Mesir Kuno

peradaban Mesir dari abad ke-31 SM hingga abad ke-1 SM

Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika. Peradaban ini terpusat sepanjang pertengahan hingga hilir Sungai Nil yang mencapai kejayaannya pada sekitar abad ke-2 SM, pada masa yang disebut sebagai periode Kerajaan Baru. Daerahnya mencakup wilayah Delta Nil di utara, hingga Jebel Barkal di Katarak Keempat Nil. Pada beberapa zaman tertentu, peradaban Mesir meluas hingga bagian selatan Levant, Gurun Timur, pesisir pantai Laut Merah, Semenajung Sinai, serta Gurun Barat (terpusat pada beberapa oasis).

Piramida Khafre (dinasti keempat Mesir) dan Sphinx Agung Giza (± 2500 SM atau lebih tua).

Daftar Dinasti
pada zaman Mesir Kuno

Periode Pra-Dinasti
Periode Proto-Dinasti
Periode Dinasti Awal
ke-1 ke-2
Kerajaan Lama
ke-3 ke-4 ke-5 ke-6
Periode Menengah Pertama
ke-7 ke-8 ke-9 ke-10
ke-11 (hanya Thebes)
Kerajaan Pertengahan
ke-11 (seluruh Mesir)
ke-12 ke-13 ke-14
Periode Menengah Kedua
ke-15 ke-16 ke-17
Kerajaan Baru
ke-18 ke-19 ke-20
Periode Menengah Ketiga
ke-21 ke-22 ke-23
ke-24 ke-25
Periode Akhir
ke-26
ke-27 (Periode Persia Pertama)
ke-28 ke-29 ke-30
ke-31 (Periode Persia Kedua)
Periode Yunani-Romawi
Alexander Agung
Dinasti Ptolemaik
Mesir Romawi
Serbuan Arab

Peradaban Mesir Kuno berkembang selama kurang lebih tiga setengah abad. Dimulai dengan unifikasi awal kelompok-kelompok yang ada di Lembah Nil sekitar 3150 SM, peradaban ini secara tradisional dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, sewaktu Kekaisaran Romawi awal menaklukkan dan menyerap wilayah Mesir Ptolemi sebagai bagian provinsi Romawi. Walaupun hal ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara bertahap di Lembah Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban independen Mesir.

Peradaban Mesir Kuno didasari atas kontrol keseimbangan yang baik antara sumber daya alam dan manusia, ditandai terutama oleh

  • irigasi teratur terhadap Lembah Nil;
  • eksploitasi mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;
  • perkembangan awal sistem tulisan dan literatur independen;
  • organisasi proyek kolektif;
  • perdagangan dengan wilayah Afrika timur dan tengah serta Mediterania timur; serta
  • aktivitas militer yang menunjukkan karakteristik kuat hegemoni kerajaan dan dominasi wilayah terhadap kebudayaan tetangga pada beberapa periode berbeda.

Pengelolaan kegiatan-kegiatan ini dilakukan oleh elit sosial, politik, dan ekonomi yang mencapai konsensus sosial melalui sistem yang rumit didasari kepercayaan agama di bawah sosok penguasa setengah dewa (semi-divine), yang biasanya laki-laki, melalui suatu suksesi dinasti penguasa yang dikenal oleh dunia luas sebagai kepercayaan politeisme. Lembah yang dahulunya dibanjiri Sungai Nil, maka lembah tersebut terlihat jauh lebih subur daripada gurun pasir disekitarnya.

Sejarah

Pada akhir masa Paleolitik, iklim Afrika Utara menjadi semakin panas dan kering. Akibatnya, penduduk di wilayah tersebut terpaksa berpusat di sepanjang sungai Nil. Sebelumnya, semenjak manusia pemburu-pengumpul mulai tinggal di wilayah tersebut pada akhir Pleistosen Tengah (sekitar 120 ribu tahun lalu), sungai Nil telah menjadi nadi kehidupan Mesir.[1] Dataran banjir Nil yang subur memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan pertanian dan masyarakat yang terpusat dan mutakhir, yang menjadi landasan bagi sejarah peradaban manusia.[2]

Periode predinastik

Pada masa pra dan awal dinasti, iklim Mesir lebih subur daripada hari ini. Sebagian wilayah Mesir ditutupi oleh sabana berhutan dan dilalui oleh ungulata yang merumput. Flora dan fauna lebih produktif dan sungai Nil menopang kehidupan unggas-unggas air. Perburuan merupakan salah satu mata pencaharian utama orang Mesir. Selain itu, pada periode ini, banyak hewan yang didomestikasi.[3]

 
Kendi pada periode predinastik.

Sekitar tahun 5500 SM, suku-suku kecil yang menetap di lembah sungai Nil telah berkembang menjadi peradaban yang menguasai pertanian dan peternakan. Peradaban mereka juga dapat dikenal melalui tembikar dan barang-barang pribadi, seperti sisir, gelang tangan, dan manik. Peradaban yang terbesar diantara peradaban-peradaban awal adalah Badari di Mesir hulu, yang dikenal akan keramik, peralatan batu, dan penggunaan tembaga.[4]

Di Mesir Utara, Badari diikuti oleh peradaban Amratia dan Gerzia,[5] yang menunjukan beberapa pengembangan teknologi. Bukti awal menunjukan adanya hubungan antara Gerzia dengan Kanaan dan pantai Byblos.[6]

Di Mesir selatan, peradaban Naqada, mirip dengan Badari, mulai memperluas kekuasaannya di sepanjang sungai Nil sekitar tahun 4000 SM. Pada In southern Egypt, the Naqada culture, similar to the Badari, began to expand along the Nile by about 4000 BC. Sejak masa Naqada I, orang Mesir pra dinasti mengimpor obsidian dari Ethiopia, untuk membentuk pedang dan benda lain yang terbuat dari flake.[7] Setelah sekitar 1000 tahun, peradaban Naqada berkembang dari masyarakat pertanian yang kecil menjadi peradaban yang kuat. Pemimpin mereka memiliki kekuasaan penuh atas rakyat dan sumber daya alam lembah sungai Nil.[8] Setelah mendirikan pusat kekuatan di Hierakonpolis, dan lalu di Abydos, penguasa-penguasa Naqada III memperluas kekuasaan mereka ke utara.[9]

Budaya Naqada membuat berbagai macam barang-barang material - yang menunjukan peningkatan kekuasaan dan kekayaan dari para penguasanya - seperti tembikar yang dicat, vas batu dekoratif yang berkualitas tinggi, palet kosmetik, dan perhiasan yang terbuat dari emas, lapis, dan gading. Mereka juga mengembangkan keramik glasir yang dikenal sebagai faience.[10] Pada fase akhir masa pra dinasti, peradaban Naqada mulai menggunakan simbol-simbol tulisan yang akan berkembang menjadi sistem hieroglif untuk menulis bahasa Mesir kuno.[11]

Periode Dinasti Awal

Pendeta Mesir pada abad ke-3 SM, Manetho, mengelompokan garis keturunan firaun yang panjang dari Menes ke masanya menjadi 30 dinasti. Sistem ini masih digunakan hingga hari ini.[12] Ia memilih untuk memulai sejarah resminya melalui raja yang bernama "Meni" (atau Menes dalam bahasa Yunani), yang dipercaya telah menyatukan kerajaan Mesir Hulu dan Hilir (sekitar 3200 SM).[13] Transisi menuju negara kesatuan sejatinya berlangsung lebih bertahap, berbeda dengan apa yang ditulis oleh penulis-penulis Mesir Kuno, dan tidak ada catatan kontemporer mengenai Menes. Beberapa ahli kini meyakini bahwa figur "Menes" mungkin merupakan Narmer, yang digambarkan mengenakan tanda kebesaran kerajaan pada palet Narmer yang merupakan simbol unifikasi.[14]

Pada Periode Dinasti Awal, sekitar 3150 SM, firaun pertama memperkuat kekuasaan mereka terhadap Mesir hilir dengan mendirikan ibukota di Memphis. Dengan ini, firaun dapat mengawasi pekerja, pertanian, dan jalur perdagangan ke Levant. Peningkatan kekuasaan dan kekayaan firaun pada periode dinasti awal dilambangkan melalui mastaba (makam) yang rumit dan struktur-struktur kultus kamar mayat di Abydos, yang digunakan untuk merayakan didewakannya firaun setelah kematiannya.[15] Institusi kerajaan yang kuat dikembangkan oleh firaun untuk mengesahkan kekuasaan negara atas tanah, pekerja, dan sumber daya alam, yang penting bagi pertumbuhan peradaban Mesir kuno.[16]

Pemerintahan dan ekonomi

Perdagangan

Orang Mesir kuno berdagang dengan negeri-negeri tetangga untuk memperoleh barang yang tidak ada di Mesir. Pada masa pra dinasti, mereka berdagang dengan Nubia untuk memperoleh emas dan dupa. Orang Mesir kuno juga berdagang dengan Palestina, dengan bukti adanya kendi minyak bergaya Palestina di pemakaman firaun Dinasti Pertama.[17] Koloni Mesir di Kanaan selatan juga berusia sedikit lebih tua dari dinasti pertama.[18] Firaun Narmer memproduksi tembikar Mesir di Kanaan, dan mengekspornya kembali ke Mesir.[19]

Paling lambat dari masa Dinasti Kedua, Mesir kuno mendapatkan kayu berkualitas tinggi (yang tak dapat ditemui di Mesir) dari Byblos. Pada masa Dinasti Kelima, Mesir kuno dan Punt memperdagangkan emas, damar, eboni, gading, dan binatang liar seperti monyet.[20] Mesir bergantung pada Anatolia untuk memasok persediaan timah dan tembaga (keduanya merupakan bahan baku untuk membuat perunggu). Orang Mesir kuno juga menghargai batu biru lapis lazuli, yang harus diimpor dari Afganistan. Partner dagang Mesir di Laut Tengah meliputi Yunani dan Kreta, yang menyediakan minyak zaitun (selain barang-barang lainnya).[21] Sebagai ganti impor bahan baku dan barang mewah, Mesir mengekspor gandum, emas, linen, papirus, dan barang-barang jadi seperti kaca dan benda-benda batu.[22]

Budaya

Masakan

Masakan Mesir cenderung tidak berubah selama berabad-abad; Masakan Mesir modern memiliki banyak persamaan dengan Masakan Mesir Kuno. Makanan sehari-hari biasanya mengandung roti dan bir, dengan lauk berupa sayuran seperti bawang merah dan bawang putih, serta buah-buahan berbentuk biji dan ara. Wine dan daging biasanya hanya disajikan pada perayaan tertentu, kecuali di kalangan orang kaya yang lebih sering menyantapnya. Ikan, daging, dan unggas dapat diasinkan atau dikeringkan, serta direbus atau dibakar.[23]

Militer

 
Chariot Mesir.

Angkatan perang Mesir kuno bertanggung jawab untuk melindungi Mesir dari serangan asing, dan menjaga kekuasaan Mesir di Timur Dekat kuno. Tentara Mesir kuno melindungi ekspedisi penambangan ke Sinai pada masa Kerajaan Lama, dan terlibat dalam perang saudara selama Periode Menengah Pertama dan Kedua. Angkatan perang Mesir juga bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap jalur perdagangan penting, seperti kota Buhen pada jalan menuju Nubia. Benteng-benteng juga didirikan, seperti benteng di Sile, yang merupakan basis operasi penting untuk melancarkan ekspedisi ke Levant. Pada masa Kerajaan Baru, firaun menggunakan angkatan perang Mesir untuk menyerang dan menaklukan Kerajaan Kush dan sebagian Levant.[24]

Peralatan militer yang digunakan pada masa itu adalah panah, tombak, dan perisai berbahan dasar kerangka kayu dan kulit binatang. Pada masa Kerajaan Baru, angkatan perang mulai menggunakan chariot yang awalnya diperkenalkan oleh penyerang dari Hyksos. Senjata dan baju zirah terus berkembang setelah penggunaan perunggu: perisai dibuat dari kayu padat dengan gesper perunggu, ujung tombak dibuat dari perunggu, dan Khopesh (berasal dari tentara Asiatik) mulai digunakan.[25] Tentara direkrut dari penduduk biasa; namun, selama dan terutama sesudah masa Kerajaan Baru, tentara bayaran dari Nubia, Kush, dan libya dibayar untuk membantu Mesir.[26]

Teknologi, pengobatan, dan matematika

Teknologi

Dalam bidang tekonologi, pengobatan, dan matematika, Mesir kuno telah mencapai standar yang relatif tinggi dan canggih di masanya. Empirisme tradisional, sebagaimana dibuktikan oleh Edwin Smith dan Ebers papyri (c. 1600 SM), ditemukan oleh bangsa Mesir. Bangsa Mesir kuno juga diketahui menciptakan alfabet dan sistem desimal mereka sendiri.

 
Salah satu peninggalan Mesir kuno yang bernilai seni tinggi.

Faience dan kaca

Bahkan sebelum masa keemasan di bawah kekuasaan Kerajaan Lama, bangsa Mesir kuno telah mampu mengembangkan sebuah material kilap yang dikenal sebagai Faience, yang dianggap sebagai bahan artifisial yang cukup berharga. Faience adalah keramik yang terbuat dari silika, sedikit kapur dan soda, serta bahan pewarna, biasanya tembaga.[27] Faience digunakan untuk membuat manik-manik, ubin, arca, dan lainnya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menciptakan Faience, namun yang sering digunakan adalah menaruh bahan baku yang telah diolah menjadi pasta di atas tanah liat, kemudian membakarnya. Dengan teknik yang sama, bangsa Mesir kuno juga dapat memproduksi sebuah pigmen yang dikenal sebagai Egyptian Blue, yang diproduksi dengan menggabungkan silika, tembaga, kapur dan sebuah alkali seperti natron.[28]

Bangsa mesir kuno juga mampu membuat berbagai macam objek dari kaca, namun tidak jelas apakah mereka mengembangkan teknik itu sendiri atau bukan.[29] Tidak diketahui pula apakah mereka membuat bahan dasar kaca sendiri atau mengimpornya, untuk kemudian dilelehkan dan dibentuk. Namun, mereka dipastikan memiliki kemampuan teknis untuk membuat objek dan menambahkan elemen mikro untuk mengontrol warna dari kaca tersebut. Banyak warna yang dapat mereka ciptakan, termasuk di antaranya kuning, merah, hijau, biru, ungu, putih, dan transparan.[30]

Pengobatan

 
Prasasti yang menggambarkan instrumen-instrumen pengobatan Mesir kuno.

Permasalahan medis di Mesir kuno kebanyakan berasal dari kondisi lingkungan di sana. Hidup dan bekerja di dekat sungai Nil mengakibatkan mereka terancam penyakit seperti malaria dan parasit schistosomiasis, yang dapat mengakibatkan kerusakan hati dan dan pencernaan. Binatang berbahaya seperti buaya dan kuda nil juga menjadi ancaman. Cidera akibat pekerjaan yang sangat berat, terutama dalam bidang konstruksi dan militer, juga sering terjadi. Kerikil dan pasir di tepung (muncul akibat proses pembuatan tepung yang belum canggih) merusak gigi, sehingga menyebabkan mereka mudah terserang abses.[31]

Hidangan yang dimakan orang kaya di Mesir kuno biasanya mengandung banyak gula, yang mengakibatkan banyaknya penyakit periodontitis.[32] Meskipun di dinding-dinding makam kebanyakan orang kaya digambarkan memiliki tubuh yang kurus, berat badan mumi mereka menunjukkan bahwa mereka hidup secara berlebihan. [33] Ekspetasi hidup orang dewasa berkisar antara 35 tahun untuk laki-laki dan 30 tahun untuk wanita.[34]

Tabib-tabib Mesir Kuno termasyhur dengan kemampuan pengobatan mereka dan beberapa, seperti Imhotep, tetap dikenang meskipun telah lama meninggal. [35] Herodotus mengatakan bahwa terdapat pembagian spesialisasi yang tinggi di antara tabib-tabib Mesir; misalnya beberapa tabib hanya mengobati permasalahan pada kepala atau perut, sementara yang lain hanya mengobati masalah mata atau gigi.[36] Pelatihan untuk tabib terletak di Per Ankh atau institusi "Rumah Kehidupan," yang paling terkenal terletak di Per-Bastet semasa Kerajaan Baru dan di Abydos serta Saïs di Periode Akhir. Sebuah papirus medis menunjukkan bahwa bangsa Mesir memiliki pengetahuan empiris soal anatomi, luka, dan perawatannya.[37]

Luka-luka dirawat dengan cara membungkusnya dengan daging mentah, linen putih, jahitan, jaring, blok, dan kain yang dilumuri madu untuk mencegah infeksi.[38] Mereka juga menggunakan opium untuk mengurangi rasa sakit. Bawang putih maupun merah dikonsumsi secara rutin untuk menjaga kesehatan dan dipercaya dapat mengurangi gejala asma. Ahli bedah mesir mampu menjahit luka, memperbaiki tulang yang patah, dan melakukan amputasi. Mereka juga mengetahui bahwa ada beberapa luka yang sangat serius sehingga yang dapat mereka lakukan hanyalah mebuat pasien merasa nyaman menjelang ajalnya.[39]

Pembuatan kapal

Bangsa Mesir kuno telah tahu bagaimana merakit papan kayu menjadi lambung kapal sejak tahun 3000 SM. Archaeological Institute of America melaporkan[40] bahwa beberapa kapal tertua yang pernah ditemukan berjenis kapal Abydos. Kapal-kapal yang ditemukan di Abydos ini dibuat dari papan kayu yang "dijahit" menggunakan tali pengikat.[41][40] Awalnya kapal-kapal tersebut diperkirakan sebagai milik Firaun Khasekhemwy karena ditemukan dikubur bersama dan berada di dekat kamar mayat Firaun Khasekhemwy[41], namun penelitian menunjukkan bawa kapal-kapal itu lebih tua dari usia sang firaun, sehingga kini diperkirakan sebagai kapal milik firaun yang lebih terdahulu. Menurut profesor David O'Connor dari New York University, kapal-kapal itu kemungkinan merupakan kapal milik Firaun Aha.[41]

Namun meskipun bangsa Mesir Kuno memiliki kemampuan untuk membuat kapal yang sangat besar dan mudah dikendalikan di atas sungai Nil, mereka tidak dikenal sebagai pelaut yang handal.

Matematika

Kalkulasi matematika tertua yang ditemukan berasal dari periode Naqada, yang juga menunjukkan bahwa bangsa Mesir ketika itu telah mengembangkan sistem numeral yang canggih.[42] Nilai penting matematika bagi seorang intelektual kala itu digambarkan dalam sebuah surat fiksi dari zaman Kerajaan Baru di mana penulisnya mengusulkan untuk mengadakan kompetisi antara dirinya dan ilmuwan lain berkenaan masalah penghitungan sehari-hari seperti penghitungan tanah, tenaga kerja, dan padi.[43] Teks seperti Papirus Matematika Rhind dan Papirus Matematika Moskow menunjukkan bahwa bangsa Mesir Kuno dapat menghitung empat operasi matematika dasar — penambahan, pengurangan, pengalian, dan pembagian — menggunakan pecahan, menghitung volume kubus dan piramid, serta mengkalkulasi luas kotak, segitiga, lingkaran, dan bola.[butuh rujukan]. Mereka mengerti konsep dasar aljabar dan geometry, serta mampu memecahkan persamaan simultan.[44]

Matematikawan Mesir Kuno juga telah mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari teorema Pythagoras.[45] Mereka juga dapat memperkirakan luas lingkaran dengan mengurangi satu per sembilan diameternya dan memangkatkan hasilnya:

Area ≈ [(8⁄9)D]2 = (256⁄81)r 2 ≈ 3.16r 2,

yang hasilnya mendekati formula πr 2.[45][46]

Peninggalan

 
Dr. Zahi Hawass, Secretary General of the Supreme Council of Antiquities.

Budaya dan monumen Mesir kuno telah menjadi peninggalan sejarah yang abadi. Pemujaan terhadap dewi Isis, sebagai contoh, menjadi populer di masa Kekaisaran Romawi.[47] Orang Romawi juga mengimpor bahan bangunan dari Mesir untuk mendirikan struktur dengan gaya Mesir. Sejarawan seperti Herodotus, Strabo dan Diodorus Siculus mempelajari dan menulis tentang Mesir kuno yang kemudian dipandang sebagai tempat yang penuh misteri.[48] Di Abad Pertengahan dan Renaissance, perkembangan budaya pagan Mesir mulai menurun seiring dengan berkembangnya agama Kristen dan Islam, namun ketertarikan terhadap budaya tersebut masih tersirat dalam karya-karya ilmuwan abad pertengahan, misalnya karya Dhul-Nun al-Misri dan al-Maqrizi.[49]

Pada abad ke-17 dan 18, penjelajah dan turis Eropa membawa banyak barang antik dan menulis tentang kisah perjalanan mereka di Mesir, yang kemudian memancing terjadinya gelombang Egyptomania di Eropa. Ketertarikan tersebut mengakibatkan banyaknya kolektor Eropa yang membeli atau membawa barang-barang antik penting dari Mesir.[50] Meskipun penjajahan kolonial Eropa terhadap mesir mengakibatkan hancurnya benda-benda bersejarah, kehadiran bangsa Eropa juga dampak positif terhadap peninggalan Mesir kuno. Napoleon, misalnya, melakukan studi pertama mengenai Egyptology ketika ia membawa 150 ilmuwan dan seniman untuk mempelajari dan mendokumentasi sejarah alam Mesir, yang kemudian dipublikasi dalam Description de l'Ėgypte.[51] Pada abad ke-20, pemerintah Mesir dan arkeolog mulai melakukan pengawasan terhadap kegiatan penggalian di Mesir dengan membentuk Supreme Council of Antiquities.

Referensi

  1. ^ Shaw (2002) hal. 17
  2. ^ Shaw (2002) hal. 17, 67–69
  3. ^ Ikram, Salima (1992). Choice Cuts: Meat Production in Ancient Egypt. University of Cambridge. hlm. 5. ISBN 9789068317459. OCLC 60255819. Diakses tanggal 22 July 2009.  LCCN 1997-140867
  4. ^ Hayes (1964) hal. 220
  5. ^ Childe, V. Gordon (1953), "New light on the most ancient Near East" (Praeger Publications)
  6. ^ Patai, Raphael (1998), "Children of Noah: Jewish Seafaring in Ancient Times" (Princeton Uni Press)
  7. ^ Barbara G. Aston, James A. Harrell, Ian Shaw (2000). Paul T. Nicholson and Ian Shaw editors. "Stone," in Ancient Egyptian Materials and Technology, Cambridge, 5–77, pp. 46–47. Also note: Barbara G. Aston (1994). "Ancient Egyptian Stone Vessels," Studien zur Archäologie und Geschichte Altägyptens 5, Heidelberg, pp. 23–26. (See on-line posts: [1] and [2].)
  8. ^ "Chronology of the Naqada Period". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 March 2008. 
  9. ^ Shaw (2002) hal. 61
  10. ^ "Faience in different Periods". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 March 2008. 
  11. ^ Allen (2000) hal. 1
  12. ^ Clayton (1994) hal. 6
  13. ^ Shaw (2002) hal. 78–80
  14. ^ Clayton (1994) hal. 12–13
  15. ^ Shaw (2002) hal. 70
  16. ^ "Early Dynastic Egypt". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 March 2008. 
  17. ^ Shaw (2002) hal. 72
  18. ^ Naomi Porat and Edwin van den Brink (editor), "An Egyptian Colony in Southern Palestine During the Late Predynastic to Early Dynastic," in The Nile Delta in Transition: 4th to 3rd Millennium BC (1992), hal. 433–440.
  19. ^ Naomi Porat, "Local Industry of Egyptian Pottery in Southern Palestine During the Early Bronze I Period," in Bulletin of the Egyptological, Seminar 8 (1986/1987), hal. 109–129. See also University College London web post, 2000.
  20. ^ Shaw (2002) hal. 322
  21. ^ Manuelian (1998) hal. 145
  22. ^ Harris (1990) hal. 13
  23. ^ Manuelian (1998) pp. 399–400
  24. ^ Shaw (2002) hal. 245
  25. ^ Manuelian (1998) hal. 366–67
  26. ^ Shaw (2002) hal. 400
  27. ^ Nicholson (2000) p. 177
  28. ^ Nicholson (2000) p. 109
  29. ^ Nicholson (2000) p. 195
  30. ^ Nicholson (2000) p. 215
  31. ^ Filer (1995) hal. 94
  32. ^ Filer (1995) hal. 78–80
  33. ^ Filer (1995) hal. 21
  34. ^ Filer (1995) p. 25
  35. ^ Filer (1995) hal. 39
  36. ^ Strouhal (1989) hal. 243
  37. ^ Stroual (1989) hal. 244–46
  38. ^ Stroual (1989) p. 250
  39. ^ Filer (1995) hal. 38
  40. ^ a b Ward, Cheryl. "World's Oldest Planked Boats", in Archaeology (Volume 54, Number 3, May/June 2001). Archaeological Institute of America.
  41. ^ a b c Schuster, Angela M.H. "This Old Boat", 11 December 2000. Archaeological Institute of America.
  42. ^ Pemahaman ilmuwan terhadap matematika Mesir masih belum sempurna disebabkan karena tidak cukupnya bahan dan kurangnya penelitian terhadap teks-teks yang telah ditemukan. Imhausen et al. (2007) hal. 13
  43. ^ Imhausen et al. (2007) p. 11
  44. ^ Clarke (1990) hal. 222
  45. ^ a b Strouhal (1989) p. 241
  46. ^ Imhausen et al. (2007) p. 31
  47. ^ Siliotti (1998) p. 8
  48. ^ Siliotti (1998) p. 10
  49. ^ El-Daly (2005) p. 112
  50. ^ Siliotti (1998) p. 13
  51. ^ Siliotti (1998) p. 100

Lihat pula

Pranala luar

Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA