Perang Tiga Puluh Tahun

artikel daftar Wikimedia

Perang Tiga Puluh Tahun adalah sebuah konflik yang terjadi antara tahun 1618 hingga 1648, khususnya di wilayah yang sekarang menjadi negara Jerman, dan melibatkan sebagian besar kekuatan-kekuatan di kawasan tersebut. Ada beberapa sebab mengapa perang ini terjadi. Meskipun tampak sebagai konflik keagamaan antara kaum Protestan dan Katolik, persaingan antara dinasti Habsburg dan kekuatan lainnya juga merupakan salah satu motif penting terjadinya perang ini, hal ini dapat terlihat dari fakta kaum Katolik Perancis mendukung pihak Protestan, yang meningkatkan persaingan Perancis dan Habsburg.

Akibat dari Perang Tiga Puluh Tahun yang disertai musibah kelaparan dan wabah penyakit sangat mengerikan. Perang mungkin hanya berlangsung 30 tahun, tetapi konflik yang memicunya tetap berlanjut hingga waktu yang lama. Perang ini diakhir melalui Perjanjian Westfalen.

Ikhtisar

Perang Tiga Puluh Tahun dimulai sebagai perang agama, yang tumbuh dari perjuangan antara Katolik Roma Jerman dan para pemeluk Protestan. Hal ini berkembang menjadi sebuah kontes politik penguasa Habsburg di Kekaisaran Romawi Suci yang berusaha memperluas kendali mereka di Eropa, sementara sejumlah kekuatan lainnya seperti Swedia berusaha membatasinya. Perancis pada khususnya (meskipun juga kekuatan Katolik) khawatir dengan prospek hegemoni Habsburg di Eropa. Kepausan Spanyol dan sebagian besar pangeran Jerman bergabung dengan kelompok Katolik yang diperjuangkan oleh Habsburg Austria. Mereka ditentang oleh kekuatan Protestan Swedia dan Denmark, pangeran Jerman Protestan, dan Perancis Katolik (setelah 1635). Perang Tiga Puluh Tahun adalah konflik paling dahsyat di Eropa modern awal.[1]

Secara umum, perang tiga puluh tahun terdiri dari empat fase. Fase pertama adalah fase Bohemia (1618-1625) yang ditandai perang saudara di wilayah Bohemia. Perang ini melibatkan Liga Katolik yang dipimpin Raja Ferdinand II melawan Serikat Protestan yang dipimpin Pangeran Friedrich V dari Palatine. Kemudian Raja Ferdinand II diberhentikan dari jabatan rajanya oleh pangeran-pangeran Bohemia, dan sebagai gantinya, Friedrich V diangkat menjadi raja Bohemia pada tahun 1618. Naiknya Ferdinand II sebagai Kaisar Agung Romawi di tahun 1620 menjadikannya benar-benar menghapus Protestanisme dari Bohemia.[2] Fase kedua adalah fase Denmark (1625-1630) di mana Raja Christian IV dari Denmark berpartisipasi membela kaum Protestan. Jenderal perang Liga Katolik, Albert dari Wallenstein, terlalu kuat bagi Christian IV sehingga kekalahan terjadi di pihak Protestan. Kedua fase ini berlangsung selama 10 tahun, di mana Bohemia sepenuhnya menjadi Katolik di bawah kekuasaan Ferdinand II.[2] Fase ketiga diawali dengan kedatangan Raja Swedia (1625-1635), Gustavus Adolphus di tanah Jerman. Fase ini disebut dengan fase Swedia. Negara seperti Denmark (lagi), Polandia, Finlandia, dan beberapa negara kecil di kawasan Baltik, serta Raja Gustavus membantu Protestan, khususnya menolong saudaranya, Adipati Mecklenburg, yang sedang diasingkan. Fase ini ditandai dengan keterlibatan Perancis, melalui Perdana Menteri Kardinal Richelieu, yang membantu Swedia secara finansial.[a] Gustavus berhasil melawan Katolik di Pertempuran Breitenfield dan Lützen, yang terjadi di tahun 1631 dan 1632. Namun, Gustavus ternyata harus tewas dalam pertempuran di Nördlingen pada tahun 1634. Hal ini membuat Perancis campur tangan membela protestan (lebih tepatnya melawan wangsa Habsburg).[2]

Fase terakhir ditandai dengan kedatangan Perancis pada perang ini (1635-1648), yang sekaligus menandai "internasionalisasi" Perang Tiga Puluh Tahun, dengan bergabungnya Belanda (yang merupakan bentuk balas budi ketika berperang melawan Spanyol di tahun 1622), Skotlandia, dan sejumlah tentara bayaran Jerman yang disewa raja-raja Protestan Jerman, yang memperkuat kubu Serikat Protestan. Perang pada fase ini berlangsung lama, bahkan bisa disebut 'stalemate' (imbang), di mana tidak ada pihak yang memenangkan peperangan. Hal ini disebabkan keterbatasan logistik di kedua belah pihak. Situasi 'stalemate' membuat para raja atau ratu tidak memiliki pilihan lain selain membuat perjanjian damai untuk menghentikan perang, setidaknya untuk sementara waktu. Perang ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Westfalen, dengan dua traktat utamanya: Traktat Münster yang mendamaikan Perancis (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Agung Romawi serta Traktat Osnabrück yang mendamaikan Swedia (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Agung Romawi.[2]

Pendahuluan

 
Wilayah Eropa ketika Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648).

Kekaisaran Romawi Suci adalah sebuah konfederasi yang berkisar 1.000 negara otonom atau semi otonomi di Jerman. Negara-negara ini membentang dari dari Habsburg Austria hingga Hamburg, Lübeck, dan kota-kota kekaisaran bebas lainnya di utara, serta wilayah-wilayah yang lebih kecil yang berada tidak lebih dari beberapa kilometer persegi, yang dijalankan oleh para uskup. Negara bagian Swabia di wilayah Jerman barat daya, misalnya, terbagi menjadi 68 penguasa sekuler, 40 negara gerejawi dan 32 kota kekaisaran bebas. Faktor geografis mempersulit kehidupan politik negara-negara Jerman. Palatinate Hulu yang terbentang antara Bohemia dan Bavaria menganut ajaran Lutheran, sedangkan Palatinate Hilir sebagian besar menganut ajaran Kalvinis. Sejak tahun 1356, ketika hukum konstitusional Kekaisaran Romawi Suci telah didirikan, tujuh pemilih (4 panglima pemilihan dan 3 uskup agung) memilih setiap kaisar Romawi Suci yang baru. Dewan Imperial memutuskan hal-hal penting bagi kekaisaran. Kekaisaran Romawi Suci, yang pernah menjadi kekuatan paling kuat di Eropa, telah dilemahkan akibat peperangannya dengan kepausan di abad ke-13. Namun, beberapa negara kekaisaran menawarkan keseimbangan antara keinginan atas sosok berwibawa yang bisa menjaga hukum dan ketertiban, serta kemerdekaan politik mereka yang terus berlanjut.[3]

Perdamaian Augsburg (1555) mengakhiri perang antara Kaisar Romawi Suci Karl V, dengan negara-negara Jerman Protestan,[3] di mana asas cuius regio, eius religio menentukan agama raja sebagai agama wilayah kekuasaan, dan sistem agama tunggal, digantikan dengan sistem agama di setiap wilayah.[4] Asas ini, bagaimanapun, tidak mengakhiri persaingan agama atau tuntutan agama minoritas yang ditoleransi oleh pemerintah.[3] Perdamaian Augsburg, pada kenyataannya, memperkuat partikularisme Jerman, serta membantu mensekulerasikan institusi Kekaisaran Romawi Suci dengan mengakui hak pangeran Jerman untuk menentukan agama negara-negara mereka. Hal ini juga membantu mengakhiri harapan Karl V dalam mendirikan sebuah kerajaan yang akan mempertemukan semua wilayah Habsburg di negara bagian Jerman, Spanyol, dan Belanda.[3]

Rudolf II (1557- 1612), raja Bohemia dan kaisar Romawi Suci (yang menggantikan ayahnya Maximilian II), ingin meluncurkan sebuah perang agama melawan Protestan. Dia menutup gereja-gereja Lutheran di tahun 1578, mengingkari janji sebelumnya kepada bangsawan Bohemia bahwa dia akan menoleransi agama, yang dianut sebagian besar penduduk yang telah berpindah agama.[3] Selain itu, sepupu Rudolf II; Adipati Agung Ferdinand II (1578-1637) menarik toleransi agama yang diberikan Maximilian II di Austria Hilir. Pasukan kekaisaran Rudolf II, yang telah memerangi orang-orang Turki sejak tahun 1593, telah menganeksasi Transilvania.[3] Kaisar bergerak melawan Protestan di sana dan di Hongaria. Namun pada tahun 1605, ketika tentara Rudolf II melakukan kampanye melawan orang-orang Turki di Balkan, orang-orang Protestan memberontak di kedua tempat tersebut. Sebuah tentara Protestan menginvasi Moravia, yang terletak di sebelah timur Bohemia dan utara Austria, dekat dengan ibukota Habsburg di Wina. Sementara itu, Kaisar Rudolf II, mengalami depresi dan kemudian merasa tidak waras, dan hidup sebagai pertapa di kastilnya di Praha. Keluarganya meyakinkan saudaranya Matthias (1557-1619) untuk bertindak atas nama Rudolf II dengan berdamai dengan penduduk Protestan Hongaria dan Transilvania, serta orang-orang Turki. Traktat Wina (1606) menjamin kebebasan beragama di Hongaria. Matthias kemudian dikenal sebagai kepala ahli waris atau penerus wangsa Habsburg dan Rudolf II.[3]

Kebanyakan orang sepakat dengan perdamaian yang diakui pada Traktat Wina (1606), kecuali Rudolf II. Dia mengklaim wabah yang menyebar di Bohemia adalah bukti bahwa Tuhan tidak senang dengan konsesi yang diberikannya kepada penganut Protestan. Dia juga mencela Matthias dan Ferdinand II atas akomodasi mereka dengan orang-orang Protestan dan dengan orang-orang Turki. Matthias bersekutu dengan tanah milik Hongaria yang Protestan dan bergerak melawan Rudolf II. Kemudian Rudolf II menyerah, dan memberikan Hongaria, Austria, dan Moravia kepada Matthias di tahun 1608, dan Bohemia di tahun 1611. Rudolf II dipaksa menandatangani Letter of Majesty di tahun 1609, dan memberikan hak kepada penduduk Bohemia untuk memilih agama Katolik, Lutheranisme, atau satu dari dua kelompok ajaran Husite. Gereja-gereja Protestan, sekolah, dan juga kuburan ditoleransi.[3] Penurunan efektif atas otoritas Kekaisaran Romawi Suci berkontribusi pada akhir periode perdamaian di negara-negara Jerman. Dalam dasawarsa terakhir di abad ke-16, negara-negara ini saling bermusuhan dan dimiliterisasi. Untuk beberapa saat, Reformasi Katolik diuntungkan dari perdebatan sengit, atau bahkan perang kecil antara pemeluk Lutheran dan Kalvinis. Namun semakin banyak pemeluk Protestan mengesampingkan perbedaan keduanya, betapapun besarnya, dalam menghadapi desakan penguasa Katolik yang ingin memenangkan kembali wilayah-wilayah yang hilang akibat Protestanisme.[3]

Peristiwa intoleransi tejadi dan memanaskan perselisihan antar agama. Pada tahun 1606, di Donauwörth, sebuah kota kekaisaran bebas Jerman bagian selatan di mana pemeluk Lutheran dan Katolik sudah saling bersikap toleran. Kerusuhan bermula ketika penganut Lutheran berusaha mencegah dan menahan pemeluk Katolik ketika melaksanakan sebuah prosesi. Di tahun berikutnya, Adipati Maximilian I dari Bavaria mengirim pasukan untuk memastikan dominasi Katolik di wilayah tersebut. Hal ini membuat para pangeran Kalvinis marah, sama halnya dengan beberapa penguasa Lutheran.[3] Dewan Kekaisaran, yang diadakan dua tahun kemudian, bubar dalam kekacauan; saat Rudolf II menolak meningkatkan representasi Protestan di dalam Dewan Kekaisaran. Krisis politik menyebar lebih jauh ketika beberapa negara Katolik Jerman mengupayakan intervensi Spanyol dalam sebuah perselisihan mengenai suksesi pangeran di wilayah kecil Katolik Rheinland utara di Cleves-Jülich; di mana Henri IV dari Perancis mengancam akan menyerang. Pangeran-pangeran Katolik Jerman mengorganisir sebuah Liga Katolik di tahun 1609, yang dipimpin oleh Maximilian I dari Bavaria. Enam pangeran Protestan kemudian menandatangani aliansi defensif, di mana Serikat Protestan melawan Liga Katolik. Matthias, yang telah terpilih sebagai kaisar Romawi Suci di tahun 1612, ingin menjadikan Liga Katolik sebagai institusi Habsburg. Selain itu, dia juga berharap dapat merayu orang Lutheran dari Serikat Protestan yang pada saat itu didominasi oleh pemeluk Kalvinis.[3] Tetapi obsesi Matthias atas ambisi dinasti Habsburg, membuatnya dipercaya oleh beberapa pangeran Katolik.[b] Adipati Agung Ferdinand II, penguasa Austria Hilir, menunggu di pihak Kaisar Romawi Suci untuk memimpin sebuah perang salib Katolik melawan Protestanisme. Ferdinand II, yang telah mewarisi tahta Hongaria di tahun 1617 dan Bohemia di tahun berikutnya, menjadi kaisar Romawi Suci atas kematian pamannya Matthias di tahun 1619. Ferdinand II adalah seorang pria saleh yang mengaku bahwa dia hanya bisa menyelamatkan jiwanya dengan meluncurkan sebuah perang agama. Sementara itu, perlawanan Protestan di Bohemia dimobilisasi, dengan mencari bantuan Protestan dari Transilvania dan Palatinate.[3]

Permulaan perang (1618-1625)

Pemberontakan di Bohemia

Di Bohemia, Ferdinand II memberlakukan pembatasan signifikan kepada pemeluk Protestan. Pemeluk Kalvinisme dan Lutheranisme di Praha mulai melihat pemerintahan di luar Bohemia, untuk mendapatkan dukungan potensial dari para pangeran Protestan. Kemudian para pemimpin Protestan mengadakan pertemuan dengan Ferdinand II, Kaisar Romawi Suci dan Raja Bohemia, dalam pertemuan tersebut–yang juga dihadiri oleh pemilik tanah di Bohemia–dengan mengutip hak-hak yang telah disepakati bersama Rudolf II dalam Letter of Majesty di tahun 1609.[3] Kemudian Ferdinand II memerintahkan untuk segera membubarkan majelis tersebut. Peristiwa ini berlanjut dengan Pelemparan di Praha di tahun 1618, di mana bangsawan Protestan membentuk pemerintahan sementara di Bohemia.[3]

Bohemia bangkit dengan pemberontakan penuh yang tidak hanya melawan Gereja, tetapi juga wangsa Habsburg. Karena hampir tidak ada bantuan dari para bangsawan; para pemberontak beralih ke Serikat Protestan, yang menjanjikan mahkota Bohemia bagi Friedrich V, seorang Elektor Kalvinis muda dari Palatinate dan pangeran Protestan di Eropa Tengah. Di tahun 1619, pemilik tanah menawari Friedrich V mahkota tersebut, dan dia menerimanya.[3] Persoalan yang dialami pihak Protestan, dialami juga oleh pihak Katolik, dengan semakin terinternasionalisasinya pihak-pihak yang terlibat, yang juga terkait dengan pertimbangan dinasti Habsburg (Lihat peta). Ferdinand II, Kaisar Romawi Suci mengetahui bahwa para pemberontak Protestan menolak mengakui otoritasnya di Bohemia dan menawarkan tahtanya kepada Friedrich V. Dia bertekad mengusir orang-orang Protestan dari wilayahnya, walaupun tidak memiliki tentara. Kemudian Ferdinand II meminta bantuan pihak luar. Raja Katolik Spanyol setuju akan mengirim pasukan yang tidak mampu dia bayar; dan mensyaratkan kawasan negara Rheinland di Palatinate Hilir, menjadi wilayah kekuasaan Spanyol. Maximilian I dari Bavaria juga mengirim tentara, dengan harapan mendapat balasan atas masalahnya di wilayah Palatinate Hulu, juga persoalan jabatan Friedrich V yang menjadi Elektor di Kekaisaran Romawi Suci.[3]

Intervensi Katolik

Tentara Protestan mengepung kota Wina, ibu kota Habsburg, hingga kedatangan tentara Katolik di tahun 1619. Belanda tidak dapat memberi bantuan kepada orang-orang Protestan, karena mereka sedang berjuang memerdekakan diri dari Spanyol. Beberapa negara Protestan Jerman juga menolak meberikan bantuan, karena takut akan pemberontakan Katolik di wilayah mereka sendiri. Namun, dengan adanya tentara Spanyol dan uang yang sudah ada, internasionalisasi krisis di Bohemia telah sampai pada titik tanpa hasil.[3]

Pada tahun 1620, Liga Katolik mengumpulkan sebagian besar tentara Bavaria yang terdiri dari 30.000 tentara. Pangeran Johannes von Tilly (1559-1632) memimpin pasukan Katolik. Pangeran Flanders yang tertekan dan juga peragu berhasil menaklukkan Austria Hulu, kemudian mengalahkan tentara Serikat Protestan pada Pertempuran Gunung Putih, dekat Praha, di bulan November.[3] Dengan kekuatan Katolik yang sekarang memegang Bohemia, tentara Tilly kemudian menguasai Silesia, Moravia, Austria, dan bagian dari Palatinate Hulu. Tingkat kemenangan Katolik memperluas perang, meningkatkan penentuan Jerman untuk menghancurkan semua perlawanan Protestan, di mana pada saat yang sama, pasukan Protestan menentang semua akibatnya.[3] Pasukan Protestan Friedrich V terus bertempur dengan mengandalkan bantuan dari Perancis dan negara-negara lain yang memiliki alasan serta ketakutan akan perluasan kekuatan Habsburg di Eropa Tengah. Friedrich V juga berharap bisa meyakinkan James I dari Inggris bahwa kemenangan Liga Katolik akan mengancam Protestanisme. Tapi raja Inggris telah menaruh harapannya pada pernikahan anaknya, Charles I, kepada saudara perempuan Felipe IV dari Spanyol. Persaingan dinasti sebanding dengan agama.[3]

Perang terus berlanjut, dan tentara Tilly memenangkan serangkaian kemenangan kecil. Pada tahun 1622, tentara Spanyol mengalahkan pasukan Belanda di Jülich di Rheinland, dan bantuan bersenjata Inggris kepada Friedrich V melalui Belanda menjadi tidak mungkin.[3] Untuk saat ini, kekuatan Freiderich hanya efektif dengan gerombolan tentara bayaran yang suka menjarah di wilayah Jerman bagian timur laut. Kemenangan Tilly atas tentara Protestan di tahun 1623 dan penaklukan sebagian besar Palatinate; memaksa Friedrich V meninggalkan klaimnya atas takhta Bohemia setelah menjadi raja selama satu musim dingin. Juga didorong oleh kemungkinan bantuan baru dari Inggris setelah rencana James I yang akan menikahkan anaknya dengan putri Spanyol. Friedrich V pun berpaling ke utara, yaitu ke Skandinavia untuk mendapatkan bantuan.[3]

Baik Austria-Jerman, maupun kawasan Eropa yang lebih luas, terlibat dalam perang yang bermula dari masa pemerintahan Kaisar Maximilian I dan, yang lebih khusus lagi, semenjak Reformasi dan pemilihan Karl V, Raja Spanyol, ke tahta kekaisaran tahun 1519. Maximilian memulai, dan Karl V melanjutkan kekuasaan Katolik yang membangkitkan ketakutan universalisme Habsburg yang tak terpadamkan, serta konflik normal Abad Pertengahan Jerman yang terancam akibat keragaman agama, juga mengacaukan sistem politiknya hingga sekitar tahun 1648. Permintaan dan klaim kebebasan beragama diliputi oleh pembelaan kebebasan konstitusional, yaitu sebuah tujuan yang agak esoteris.[5] Klaim historis Perancis terhadap Kekaisaran Jermanik, atau kepada beberapa vikariat terbatas, telah tertanam dalam jiwa Perancis dan bertahan dalam pemerintahan Louis XIV. Kehadiran Perancis, yang siap di sayap, tidak akan pernah bisa diabaikan. Periode pertama ini juga menyaksikan asal mula dan perkembangan obsesi Perancis dengan Italia - berasal dari invasi pertama Italia pada tahun 1494 yang merupakan bahan dasar dalam persaingan Perancis-Habsburg. Karl merebut kembali Milan dari Perancis pada tahun 1535, dan menahannya. Perancis secara efektif dikelilingi oleh wilayah Habsburg, beberapa kawasan yang diklaimnya, di antaranya: Flanders, Artois, Franche-Comte dan Milan. Perancis juga berusaha untuk mempertahankan rute invasi utara-timur dan timur ke Perancis dan untuk menjaga hubungan dengan Swiss dan Venesia, dan rute turun ke Italia tengah. Sementara tema Italia sebagian besar tidak aktif pada periode kedua, ia terulang sekitar tahun 1600 dan menjadi menonjol lagi pada periode ketiga, di abad tujuh belas. Masuknya resmi Perancis ke dalam perang dengan Spanyol.[5]

Intervensi Denmark (1625-1630)

Christian IV (1588-1648), adalah raja Protestan Denmark, yang memiliki ambisi dan kekuasaan. Dia juga Adipati negara bagian Holstein di Jerman utara. Selain suka berjudi, dia juga adalah seorang pekerja keras, yang ingin memperluas pengaruhnya, bahkan memperluas wilayah kekuasaanya di negara bagian utara Jerman. Kesulitan Friedrich V tampaknya memberikan peluang kedaulatan atas Denmark seumur hidup.[3] Pada tahun 1625, dia memimpin pasukannya ke negara bagian utara Jerman, dengan asumsi bahwa Inggris dan Belanda, dan mungkin orang Perancis juga, akan segera mengikuti kepemimpinannya melawan Habsburg. Namun Raja James I dari Inggris telah meninggal dan digantikan oleh Charles I, di mana kebijakan provokatifnya menghasilkan pertentangan yang meningkat di Parlemen, sehingga memberinya sedikit waktu dalam mempertimbangkan kepentingan Protestan di negara ini. Inggris dan Belanda hanya mengirim sejumlah uang dan beberapa ribu tentara untuk membantu raja Denmark tersebut. Selain itu, Louis XIII dari Perancis, yang mengepung pemeluk Protestan di La Rochelle, serta memberikan bantuan kepada Denmark, hanya untuk membantu perjuangan melawan Habsburg.[3]

Albrecht Wallenstein (1583- 1634) adalah seorang bangsawan Bohemia yang kaya raya, dan pemasok para tentara. Lahir dan besar dari keluarga Lutheran, kemudian beralih menjadi Katolik di usia dua puluh dan menjadi jenderal Katolik terkuat. Fakta bahwa seorang mualaf bisa naik ke posisi yang begitu kuat, mengungkapkan bagaimana perang agama berkembang; tidak hanya meliputi perjuangan dinasti antara penguasa Perancis, Spanyol, dan Austria, seperti halnya Swedia dan Denmark, namun juga semua tentara bayaran yang beruntung, memainkan peran utama.[3] Wallenstein adalah seorang mahasiswa astrologi yang bersemangat, ambisius, kejam, dan memiliki temperamen keras. Tempramennya cepat berganti antara kemurahan hati yang ekstrim, menjadi kekejaman yang mengerikan. Dia juga disertai seorang algojo yang selalu menunggu perintah tuannya. Wallenstein, dipercaya Ferdinand II, serta diangkat menjadi pemimpin sebuah tentara yang direkrut dari negara bagian untuk tujuan Katolik, dan bergerak menuju utara bersama 30.000 pasukan.[3]

Tentara Katolik mengalahkan Denmark di tahun 1626, yang kemudian bergerak ke pantai Baltik, menyeberang Denmark, dan menghancurkan semenanjung Jutlandia. Wallenstein berhasil membuat lawannya gelisah di negara-negara Katolik. Selanjutnya, para pasukan tentaranya menghancurkan tanah, memeras uang dan makanan, serta menjarah. di kawasan tersebut Christian IV akhirnya menandatangani Perjanjian Lübeck di tahun 1629, di mana dia menarik diri dari perang dan menyerahkan klaimnya di Jerman utara. Perjanjian tersebut kurang drastis daripada apa yang mungkin terjadi; karena perang yang tampaknya tak berujung itu banyak terjadi di beberapa negara bagian Katolik Jerman.[3] Ferdinand II, menerapkan kebijakan terhadap orang-orang Protestan tanpa menarik perhatian Dewan Kekaisaran. Dia diusir dari Kalvinis Bohemia oleh menteri Lutheran dan para bangsawan yang menolak peraturan dominasi Katolik untuk berpindah agama. Dia menyita harta milik para bangsawan yang dicurigai berpartisipasi dalam fase pemberontakan Protestan manapun. Dengan pemilihan Friedrich V yang sekarang beralih ke Maximilian I dari Bavaria, Habsburg menmperlihatkan fakta bahwa sebagian besar elektor adalah pangeran Katolik. Pengepungan oleh tentara Habsburg di tahun 1628 menjelaskan bahwa Ferdinand II berusaha menghancurkan kebebasan kota-kota Protestan Jerman di Liga Hanseatik utara untuk memperluas wilayah Habsburg. Pemberitahuan ini membuat khawatir Louis XIII dari Perancis.[3]

Ferdinand II menemukan bahwa tidak mudah memaksakan agama Katolik di wilayah yang tidak pernah dipraktikkannya selama puluhan tahun. Di Palatinate Hulu, imam pertama yang datang merayakan Misa tidak menemukan cawan. Setengah dari paroki di Bohemia tidak berpendeta. Pastor Italia yang dibawa ke Austria Hulu tidak dapat dipahami oleh umat mereka. Dekrit Restitusi (1629)[c] mengizinkan orang-orang Lutheran—bukan Kalvinis, yang jumlahnya sedikit di negara-negara Jerman kecuali di Palatinate—supaya menjalankan agama mereka di kota-kota tertentu, namun memerintahkan mereka untuk kembali ke biara Gereja Katolik dan semua perjanjian yang ditetapkan sejak tahun 1552, ketika penandatangan Perdamaian Augsburg pertama kali berkumpul.[3]

Intervensi Swedia (1630-1635)

Intervensi Perancis dan bergabung kembali dengan Swedia (1635-1648)

Perdamaian Westfalen (1648)

 
Eropa setelah Perdamaian Westfalen, 1648.

Selama periode empat tahun, partai-partai yang bertikai (Kekaisaran Romawi Suci, Perancis, dan Swedia) secara aktif melakukan negosiasi di Osnabrück dan Münster di Westfalen.[7] Akhir perang tidak hanya berakhir dengan satu perjanjian, namun oleh satu kelompok perjanjian seperti Perjanjian Hamburg. Pada tanggal 15 Mei 1648, Perdamaian Münster ditandatangani, serta mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun. Lebih dari lima bulan kemudian, pada tanggal 24 Oktober, Perjanjian Münster dan Osnabrück ditandatangani.[8]

Korban perang dan penyebaran penyakit

Perang Tiga Puluh Tahun merupakan malapetaka terburuk, juga bencana medis terbesar dalam sejarah Eropa modern.[9][10] Karena tidak memiliki data sensus yang baik, para sejarawan mengekstrapolasi hasil penemuan di daerah yang mereka teliti.[11] John Theibault setuju dengan kesimpulan dalam Der Dreissigjährige Krieg und das Deutsche Volk (1940) karya Günther Franz, bahwa telah terjadi penurunan populasi yang signifikan, namun bervariasi secara regional (berkisar 50%). Dia mengklaim hasil temuannya adalah yang terbaik dari yang pernah ada.[12] Perang secara langsung telah membunuh tentara dan warga sipil, menyebabkan kelaparan, menghancurkan penghidupan, mengganggu perdagangan, menunda pernikahan dan persalinan, serta memaksa banyak orang untuk pindah. Penurunan populasi di negara bagian Jerman sekitar 25% hingga 40%.[13] Beberapa daerah lebih banyak terkena dampak daripada yang lain.[14] Sebagai contoh, Württemberg kehilangan tiga perempat dari penduduknya selama perang.[15] Di wilayah Brandenburg, penurunan populasi hingga setengahnya, sementara di beberapa daerah, diperkirakan dua pertiga penduduknya meninggal.[16] Populasi penduduk di negara bagian Jerman berkurang hampir setengahnya.[17] Penduduk di wilayah Ceko mengalami penurunan sepertiga akibat perang, penyakit, kelaparan, dan pengusiran penduduk Ceko Protestan.[18][19] Sebagian besar penghancuran kehidupan sipil dan harta benda disebabkan oleh kekejaman dan keserakahan tentara bayaran.[20] Desa-desa sangat mudah menjadi objek penjarahan tentara bayaran. Mereka yang bertahan, seperti desa kecil Drais dekat Mainz, membutuhkan waktu sekitar seratus tahun untuk pulih kembali. Tentara Swedia sendiri mungkin telah menghancurkan hingga 2.000 istana, 18.000 desa, dan 1.500 kota di Jerman, atau sepertiga dari seluruh kota di Jerman.[21]

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa biaya perang, sebenarnya dapat memperbaiki standar hidup orang-orang yang selamat.[22] Menurut Ulrich Pfister, Jerman adalah salah satu negara terkaya di Eropa per kapita pada tahun 1500, namun berada pada peringkat yang jauh lebih rendah pada tahun 1600. Kemudian, pulih pada periode 1600-1660, sebagian berkat kejutan demografis Perang Tiga Puluh Tahun.

Galeri

Pranala luar

Catatan

  1. ^ Selepas Perang Habsburg-Valois, Perancis telah menanam kebencian pada Habsburg, meskipun kedua negara tersebut beragama Katolik.[2]
  2. ^ Matthias dikenal dengan kontribusinya dalam berjuang melawan pemberontakan Protestan Belanda yang sedang melawan Spanyol, dan di beberapa kesempatan, dia juga menoleransi Lutheranisme.[3]
  3. ^ Dekrit Restitusi dirancang untuk menegakkan asas reservatum ecclesiasticum tahun 1555, sehingga diterapkan di seluruh kekaisaran; yang tujuan utamanya adalah untuk menghentikan, serta benar-benar membalikkan penurunan jumlah pangeran gerejawi Katolik yang terus berlanjut sejak tahun 1555 dan memulihkan aset lainnya (seperti sumbangan monastik) bagi gereja Katolik.[6]

Referensi

  1. ^ Richard,, Bonney,. The Thirty Years' War, 1618-1648. Oxford. ISBN 1472810023. OCLC 883427955. 
  2. ^ a b c d e Polimpung, Hizkia Yosie. (2014). Asal-usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok: Penerbit Kepik. ISBN 9786021426128. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad Merriman, John. A history of modern Europe : from the Renaissance to the present (edisi ke-Third edition). New York. ISBN 9780393934335. OCLC 320193499. 
  4. ^ Kristiyanto, OFM, Eddy. (2004). Reformasi dari dalam, Sejarah Gereja Zaman modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. hlm. 67–69. ISBN 979-21-0910-2. 
  5. ^ a b M., Sutherland, N. (1992-07-01). "The Origins of the Thirty Years War and the Structure of European Politics". The English Historical Review (dalam bahasa Inggris). CVII (CCCCXXIV). doi:10.1093/ehr/CVII.CCCCXXIV.587. ISSN 0013-8266. 
  6. ^ Osiander, Andreas (2001). "Sovereignty, International Relations, and the Westphalian Myth". International Organization. 55 (2): 251–287. doi:10.2307/3078632. 
  7. ^ Bring, Ove (August 2000). "The Westphalian Peace Tradition in. International Law. From Jus ad Bellum to Jus contra Bellum". International Law Studies. 75: 58. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  8. ^ "Germany History Timeline". countryreports.org. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  9. ^ Parker, Geoffrey (2008). "Crisis and catastrophe: The global crisis of the seventeenth century reconsidered". American Historical Review. 113 (4): 1053–1079. doi:10.1086/ahr.113.4.1053. 
  10. ^ Outram, Quentin (2002). "The Demographic impact of early modern warfare". Social Science History. 26 (2): 245–272. doi:10.1215/01455532-26-2-245. 
  11. ^ Outram, Quentin (2001). "The socio-economic relations of warfare and the military mortality crises of the Thirty Years' War". Medical History. 45 (2): 151–184. doi:10.1017/S0025727300067703. PMC 1044352 . 
  12. ^ Theibault, John (1997). "The Demography of the Thirty Years War Re-revisited: Günther Franz and his Critics". German History. 15 (1): 1–21. doi:10.1093/gh/15.1.1. 
  13. ^ "History of Europe – Demographics". Encyclopædia Britannica.
  14. ^ Thirty Years' War: Battle of Breitenfeld, HistoryNet
  15. ^ "Germany  — The Thirty Years' War  — The Peace of Westphalia". About.com. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  16. ^ Prussia in the later 17th century, University of Wisconsin-Madison
  17. ^ Coins of the Thirty Years' War, The Wonderful World of Coins, Journal of Antiques & Collectibles January Issue 2004
  18. ^ "The Thirty Years' War  — Czech republic". czech.cz. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 May 2008. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  19. ^ "Historical/Cultural Timeline – 1600s". College of Education, University of Houston. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  20. ^ "The Thirty Year War and its Consequences". Universitätsstadt Tübingen. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2008. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  21. ^ "Population". History Learningsite. Diakses tanggal 27 November 2017. 
  22. ^ German economic growth, 1500–1850, Pfister