Sejarah Mesir Kuno

Mesir kuno meliputi seluruh dunia

Sejarah Mesir Kuno meliputi kurun waktu sejak berdirinya permukiman-permukiman pradinasti di utara Lembah Sungai Nil hingga Mesir ditaklukkan oleh Bangsa Romawi pada 30 SM. Zaman firaun diperkirakan bermula sekitar 3200 SM, yakni sejak kawasan Hulu dan Hilir Mesir bergabung menjadi satu negara sampai jatuh ke tangan Bangsa Makedonia pada 332 SM.

Kronologi

.

Sejarah Mesir Kuno dibagi-bagi menjadi beberapa periode berdasarkan masa kekuasaan wangsa-wangsa para firaun yang memerintah. Penetapan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa penting masih dalam penelitian. Penetapan waktu konservatif sama sekali tidak didukung oleh tanggal pasti yang dapat dipercaya untuk kurun waktu tiga milenia. Berikut ini adalah pembagian periode sejarah Mesir Kuno menurut Kronologi Mesir konvensional.

Zaman Neolitikum Mesir

Periode neolitik

Sungai Nil telah menjadi urat nadi peradaban Mesir sejak para pemburu-peramu yang hidup berpindah-pindah mulai menempati tepiannya pada zaman Pleistosen. Jejak-jejak peradaban bangsa Mesir awal ini berwujud artefak-artefak dan ukiran-ukiran pada batu yang ditemukan di sepanjang teras Sungai Nil dan di oasis-oasis. Bagi bangsa Mesir, Sungai Nil berarti kehidupan dan gurun berarti kematian, walaupun gurunlah yang justru melindungi mereka dari para penginvasi.

Sepanjang tepian Sungai Nil, pada milenium ke-12 SM, sebuah kebudayaan masyarakat yang hidup dari mengirik biji-bijian dan yang telah memanfaatkan peralatan berupa bilah arit jenis terawal muncul menggantikan kebudayaan masyarakat yang hidup dari berburu, menangkap ikan, dan meramu yang masih mengunakan peralatan dari batu. Bukti-bukti juga menunjukkan keberadaan permukiman manusia dan kegiatan penggembalaan ternak di penjuru barat daya Mesir, dekat perbatasan Sudan, sebelum 8000 SM. Akan tetapi menurut Barbara Barich, gagasan bahwa penjinakan bovinae terjadi di Afrika harus ditinggalkan karena bukti-bukti lebih lanjut yang dikumpulkan dalam tiga puluh tahun telah gagal mendukung gagasan itu.[1] Sehubungan dengan pendapat Barich ini, bekas-bekas penjinakan bovinae tertua di Afrika yang telah diketahui adalah yang berasal dari Al Fayyum sekitar 4400 SM.[2] Bukti-bukti geologi dan studi percontohan iklim berbasis komputer menunjukkan bahwa perubahan iklim sekitar 8000 SM mengakibatkan kekeringan mulai melanda lahan penggembalaan ternak yang membentang luas di kawasan utara Afrika dan akhirnya menciptakan Gurun Sahara (sekitar 2500 SM).

Kekeringan yang berkelanjutan memaksa para leluhur bangsa Mesir awal untuk berpindah dan tinggal lebih lama di sekitar Sungai Nil, selain itu juga memaksa mereka untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih menetap.

Periode pradinasti

 
Sebuah jambangan Naqada II dihiasi lukisan kawanan kijang, dipamerkan di Louvre.

Lembah Sungai Nil di Mesir pada hakikatnya tidak dapat didiami sebelum dimulainya kegiatan penerabasan dan pengairan lahan di sepanjang tepian sungai.[3] Namun tampaknya sebagian besar kegiatan penerabasan dan pengairan lahan ini telah rampung sekitar 6000 SM. Sekitar masa itu, masyarakat Lembah Sungai Nil sudah terbiasa bertani secara teratur dan mendirikan bangunan-bangunan besar di Lembah Sungai Nil.[4] Pada masa itu, bangsa Mesir di penjuru tenggara Mesir hidup dari menggembalakan ternak dan juga mendirikan bangunan-bangunan besar. Mortar dipergunakan sekitar 4000 SM. Penduduk kawasan lembah dan muara Sungai Nil adalah masyarakat swasembada. Mereka telah membudidayakan jelai dan gandum emmer (sejenis gandum awal) serta menyimpannya dalam ceruk-ceruk yang dialasi anyaman gelagah.[5] Mereka beternak lembu, kambing, dan babi, serta menenun lenan dan menganyam keranjang.[5] Selama periode ini masih terus berlanjut zaman pradinasti yang oleh berbagai pihak diyakini bermula dengan peradaban Naqada.

Antara 5500 dan 3100 SM, pada periode pradinasti Mesir, permukiman-permukiman kecil tumbuh subur di sepanjang tepian Sungai Nil yang bermuara ke Laut Mediterania. Sekitar 3300 SM, menjelang masa pemerintahan Wangsa Mesir pertama, Mesir terdiri atas dua kerajaan yang dikenal dengan nama Mesir Hulu atau Ta Syemau di selatan, dan Mesir Hilir atau Ta Mehu di utara.[6] Perbatasan dua kerajaan ini terletak kira-kira di wilayah Kairo sekarang ini.

Setelah itu muncul peradaban Tasa di Mesir Hulu. Kelompok budaya ini dinamakan menurut nama situs Deir Tasa, tempat ditemukannya kompleks pemakaman. Deir Tasa terletak di tepi timur Sungai Nil, antara Asyut dan Akhmim. Peradaban Tasa dikenal karena tembikar bermulut hitam terawal yang dihasilkannya, yakni jenis gerabah merah dan cokelat yang bagian mulut dan bagian dalamnya diwarnai hitam[7]

Sesudah peradaban Tasa, menyusul peradaban Badari yang dinamakan menurut nama situs Badari, tidak jauh dari Deir Tasa. Kemiripan antara peradaban Tasa dan Badari membuat banyak pihak enggan membeda-bedakan keduanya. Peradaban Badari meneruskan pembuatan tembikar bermulut hitam (dengan kualitas yang jauh lebih baik dari pada jenis sebelumnya), dan diberi nomor penanggalan sekuensi antara 21 dan 29.[8] Meskipun demikian, ada perbedaan penting antara kelompok budaya Tasa dan Badari yang mencegah para cendekiawan untuk menggabungkan saja keduanya, yaitu bahwasanya situs-situs Badari telah mempergunakan alat-alat tembaga selain alat-alat batu, dan oleh karena itu merupakan pemukiman-pemukiman zaman tembaga, sementara situs-situs Tasa masih bercorak neolitik, dan secara teknis dianggap masih tergolong Zaman Batu.[8]

Setelah peradaban Badari, muncul pula Peradaban Amra yang dinamakan menurut nama situs el-Amra, sekitar 120 km di selatan Badari. El-Amra adalah situs pertama tempat golongan budaya ini didapati tidak bercampur dengan kelompok budaya Gerza yang muncul sesudahnya. Meskipun demikian peradaban ini lebih didukung oleh temuan-temuan di situs Naqada sehingga disebut pula peradaban Naqada I.[9] Pembuatan tembikar bermulut hitam masih diteruskan, tetapi pada masa ini mulai pula dihasilkan tembikar garis silang, yakni jenis gerabah yang dihiasi barisan garis-garis putih, rapat, dan paralel, yang kemudian disilangi barisan garis-garis putih, rapat, dan paralel lainnya. Periode peradaban Amra ditempatkan antara 30 dan 39 dalam sistem penanggalan sekuensi yang dibuat Sir William Matthew Flinders Petrie.[10] Perniagaan antara Mesir Hulu dan Hilir berlangsung pada periode peradaban ini, sebagaimana disiratkan oleh barang-barang temuan hasil penggalian. Sebuah jambangan batu dari daerah utara ditemukan di el-Amra, dan tembaga, yang tidak terdapat di Mesir, tampaknya diimpor dari Sinai atau mungkin pula dari Nubia. Obsidian[11] dan emas dalam jumlah yang sangat sedikit[10] sudah pasti diimpor dari Nubia pada periode ini. Perniagaan dengan oase-oase pun demikian.[11]

Sesudah peradaban Badari, menyusul peradaban Gerza yang dinamakan menurut situs Gerza. Dalam periode inilah terbentuk landasan bagi zaman kekuasaan wangsa-wangsa Mesir. Peradaban Gerza, yang lebih merupakan perkembangan yang tak terputus dari peradaban Amra ini, bermula di daerah muara dan bergerak ke wilayah selatan melalui Mesir Hulu; Meskipun demikian, kedatangan peradaban ini tidak berhasil menyingkirkan peradaban Amra di Nubia.[12] Kehadiran peradaban Gerza bertepatan dengan zaman berkurangnya curah hujan secara drastis,[12] sehingga pertanian menjadi sumber utama bahan pangan.[12] Seiring meningkatnya ketersediaan pangan, masyarakat pun mengadopsi gaya hidup yang lebih menetap, dan pemukiman-pemukiman yang besar bertumbuh menjadi kota-kota yang dihuni sekitar 5.000 warga.[12] Pada periode inilah para penghuni kota mulai menggunakan bata lumpur dalam pembangunan kota-kota mereka.[12] Tembaga semakin menggeser pemanfaatan batu sebagai bahan baku dalam pembuatan peralatan[12] dan persenjataan.[13] Perak, emas, lapis lazuli, juga tembikar glasir bening digunakan sebagai hiasan,[14] dan penggilasan untuk membuat celak mata sejak periode Badari mulai dihiasi ukiran-ukiran timbul.[13]

Periode Dinasti

Daftar Dinasti
pada zaman Mesir Kuno

Periode Pra-Dinasti
Periode Proto-Dinasti
Periode Dinasti Awal
ke-1 ke-2
Kerajaan Lama
ke-3 ke-4 ke-5 ke-6
Periode Menengah Pertama
ke-7 ke-8 ke-9 ke-10
ke-11 (hanya Thebes)
Kerajaan Pertengahan
ke-11 (seluruh Mesir)
ke-12 ke-13 ke-14
Periode Menengah Kedua
ke-15 ke-16 ke-17
Kerajaan Baru
ke-18 ke-19 ke-20
Periode Menengah Ketiga
ke-21 ke-22 ke-23
ke-24 ke-25
Periode Akhir
ke-26
ke-27 (Periode Persia Pertama)
ke-28 ke-29 ke-30
ke-31 (Periode Persia Kedua)
Periode Yunani-Romawi
Alexander Agung
Dinasti Ptolemaik
Mesir Romawi
Serbuan Arab

Periode Dinasti Awal

 
Tugu batu Firaun Raneb dari wangsa kedua, memuat hieroglif namanya dalam sebuah serekh yang pada puncaknya bertengger Horus. Dipamerkan di Metropolitan Museum of Art.

Catatan-catatan sejarah Mesir Kuno diawali dengan menyebut Mesir sebagai negara kesatuan yang terwujud sekitar 3150 SM. Menurut tradisi Mesir, Menes, yang diyakini sebagai tokoh pemersatu Mesir Hulu dan Hilir, adalah raja Mesir yang pertama. Budaya, adat-istiadat, karya seni, arsitektur, dan struktur sosial Mesir berkaitan erat dengan agama, luar biasa stabilnya, dan berubah sedikit demi sedikit dalam kurun waktu hampir 3000 tahun.

Kronologi Mesir, yang memuat tahun-tahun pemerintahan raja-raja, berawal pada periode ini. Kronologi Mesir konvensional adalah kronologi yang diterima pada abad ke-20, namun kronologi ini tidak memuat satu pun usulan-usulan revisi penting yang juga telah diajukan dalam abad itu. Dalam satu karya ilmiah saja, arkeolog kerap mengajukan beberapa penetapan waktu yang mungkin, atau bahkan beberapa kronologi utuh yang mungkin. Oleh karena itu, mungkin saja penetapan waktu yang digunakan dalam artikel ini berbeda dari penetapan waktu dalam artikel lain yang bertopik terkait Mesir Kuno. Mungkin pula terdapat beberapa cara dalam mengeja nama-nama tokoh sejarah. Lazimnya para egiptolog membagi kurun waktu pemerintahan para firaun dengan mencontohi daftar yang pertama kali disusun oleh Manetho dalam Aegyptiaca (Sejarah Mesir) yang ditulis di era Wangsa Ptolemaik pada abad ke-3 SM.

Sebelum penyatuan Mesir, wilayah negeri ini terbagi-bagi dan dikuasai desa-desa yang otonom. Sejak kemunculan wangsa-wangsa awal, dan untuk sebagian besar sejarah Mesir selanjutnya, negeri ini dikenal sebagai Dua Negeri. Para pemimpin membentuk administrasi nasional dan melantik gubernur-gubernur kerajaan.

Menurut Manetho, raja Mesir yang pertama adalah Menes, tetapi temuan-temuan arkeologi mendukung pandangan bahwa firaun pertama yang menyatakan telah mempersatukan Dua Negeri adalah Narmer (raja terakhir dari periode protodinasti). Namanya terutama dikenal karena Lempengan Narmer yang termasyhur itu. Gambar-gambar yang terukir pada Lempengan Narmer ditafsirkan sebagai tindakan menyatukan Mesir Hulu dan Hilir.

Tata-cara pemakaman golongan elit menghasilkan pembangunan makam-makam mastaba, yang kelak menjadi contoh bagi pembangunan karya-karya konstruksi pada periode Kerajaan Lama, misalnya Piramida Berundak.

Kerajaan Lama

 
Patung Batupasir Kelabu Firaun Menkaura beserta permaisurinya, Ratu Khamerernebty II. Berasal dari kuilnya di Lembah Giza, kini dipamerkan di Museum of Fine Arts, Boston.

Kerajaan Lama lazimnya dianggap sebagai kurun waktu semenjak Mesir diperintah oleh Wangsa Ketiga sampai Wangsa Keenam (2686–2181 SM). Ibukota Kerajaan Mesir selama periode Kerajaan Lama adalah Memphis, tempat yang ditetapkan Djoser sebagai pusat pemerintahannya. Namun mungkin Kerajaan Lama lebih dikenal karena banyaknya piramida yang dibangun pada periode ini sebagai makam firaun. Inilah sebabnya Periode Kerajaan Lama kerap dijuluki "Zaman Piramida." Firaun pertama yang menonjol pada periode ini adalah Djoser (2630–2611 SM) dari Wangsa Ketiga, yang memerintahkan pembangunan sebuah Piramida Berundak di Saqqara, nekropolis Kota Memphis.

Pada periode inilah negara-negara kecil Mesir Kuno yang sebelumnya merdeka berubah menjadi satuan-satuan administratif yang disebut Nome dan yang diperintah oleh Firaun semata. Para mantan pemimpinnya dipaksa menduduki jabatan gubernur atau menjadi pemungut cukai. Bangsa Mesir pada periode ini menyembah firaun sebagai dewa, dan yakin bahwa firaunlah yang menjamin keberlangsungan banjir tahunan yang diperlukan tanaman-tanaman mereka.

Kerajaan Lama dan kekuasaan raja-raja mencapai puncaknya pada Wangsa Keempat. Sneferu, pendiri Wangsa Keempat, diyakini telah memerintahkan pembangunan sekurang-kurangnya tiga piramida; dan jika putera sekaligus penggantinya Khufu, termasyhur sebagai pendiri Piramida Agung Giza, maka Sneferu termasyhur sebagai firaun yang memerintahkan pengangkutan batu dan bata terbanyak dibanding firaun-firaun lainnya. Baik Khufu (Bahasa Yunani Keops), maupun puteranya Khafra (Bahasa Yunani Kefren), dan cucu lelakinya Menkaura (Bahasa Yunani Mikerinus) menjadi masyhur berabad-abad lamanya karena pembangunan piramida-piramida mereka. Untuk mengatur dan memberi makan tenaga kerja yang digunakan dalam pembangunan piramida-piramida ini, diperlukan suatu pemerintahan yang terpusat dengan kekuasaan yang sangat luas, sehingga para egiptolog yakin bahwa Kerajaan Lama pada periode ini telah menunjukkan tahap kecanggihan tersebut. Penggalian-penggalian terkini dekat piramida-piramida di bawah pimpinan Mark Lehner telah menyingkap keberadaan sebuah kota besar yang tampaknya pernah menampung dan menafkahi para pekerja piramida. Sekalipun pernah diyakini bahwa budak-budaklah yang membangun monumen-monumen itu, yakni sebuah teori yang didasarkan pada kisah eksodus Bangsa Israel dalam Alkitab, penelitian yang dilakukan atas makam-makam para tukang yang mengawasi pembangunan piramida-piramida menunjukkan bahwa monumen itu didirikan melalui kerja bakti rakyat jelata yang dikumpulkan dari segenap penjuru Mesir. Tampaknya mereka bekerja ketika luapan banjir tahunan Sungai Nil sedang menutupi ladang-ladang mereka, dan juga merupakan sekumpulan besar para spesialis yang beranggotakan para penatah batu, juru-juru gambar, para matematikawan dan imam-imam.

Wangsa Kelima bermula dengan pemerintahan Userkaf sekitar 2495 SM dan ditandai dengan semakin berkembangnya kultus pemujaan dewa matahari Ra. Akibatnya daya upaya yang dikerahkan untuk membangun kompleks-kompleks piramida selama periode ini lebih sedikit dibanding pada masa pemerintahan Wangsa Keempat, dan lebih besar daya upaya yang dikerahkan untuk mendirikan kuil-kuil pemujaan matahari di Abusir. Hiasan pada kompleks-kompleks piramida menjadi semakin rumit pada periode pemerintahan wangsa ini dan rajanya yang terakhir, Unas, adalah raja pertama yang memerintahkan agar naskah-naskah piramida ditatahkan pada piramidanya. Makin besarnya minat bangsa Mesir akan barang-barang dagangan semisal kayu hitam, wewangian seperti mur dan kemenyan, emas, tembaga dan bermacam-macam logam yang bermanfaat mendorong bangsa Mesir Kuno untuk mengarungi laut lepas. Bukti dari Piramida Sahure, raja kedua dari Wangsa Kelima, menunjukkan adanya perniagaan yang teratur dengan daerah pesisir Suriah untuk mendapatkan kayu Aras. Para firaun juga melakukan ekspedisi-ekspedisi ke Negeri Punt yang termasyhur itu, yang kemungkinan besar berada di Ethiopia dan Somalia sekarang, untuk mendapatkan kayu hitam, gading dan damar wangi.

Pada masa pemerintahan Wangsa Keenam (2345–2181 SM), kekuasaan para firaun mulai sedikit demi sedikit melemah seiring makin besarnya kekuasaan para nomark (gubernur-gubernur daerah). Jabatan-jabatan ini tidak lagi dipegang oleh keluarga kerajaan dan mulai diwariskan turun-temurun, sehingga menciptakan wangsa-wangsa daerah yang agak merdeka dari otoritas pusat yang dipegang firaun. Kekacauan internal timbul pada masa pemerintahan Pepi II (2278–2184 SM) yang cukup lama itu sampai pada akhir kekuasaan Wangsa Keenam. Kematian Pepi II terjadi setelah kematian orang-orang yang dipersiapkan menjadi penggantinya agaknya telah menciptakan perselisihan seputar suksesi yang menjerumuskan negeri ini ke dalam perang saudara hanya beberapa dasawarsa setelah berakhirnya pemerintahan Pepi II. Pukulan terakhir tiba tatkala Mesir dilanda kemarau pada abad ke-22 SM sehingga batas luapan banjir Sungai Nil secara konsisten rendah.[15] Akibatnya adalah keruntuhan Kerajaan Lama disusul bencana kelaparan dan pertikaian selama beberapa dasawarsa.

Periode Menengah Pertama

 
Sebuah model rumah dari tanah liat yang digunakan dalam pemakaman dari Periode Menengah Pertama, dipamerkan di Royal Ontario Museum.

Setelah keruntuhan Kerajaan Lama, tibalah kurun waktu sekitar 200 tahun yang dikenal sebagai Periode Menengah Pertama, yang umumnya diperkirakan mencakup masa pemerintahan serentet firaun yang tidak dikenal mulai akhir kekuasaan Wangsa Keenam sampai Wangsa Kesepuluh, dan sebagian besar masa kekuasaan Wangsa Kesebelas. Sebagian besar firaun-firaun ini adalah raja-raja daerah yang kekuasaannya terbatas pada nome mereka. Ada beberapa naskah fiksi yang dikenal sebagai Ratapan dari awal periode Kerajaan Pertengahan yang memberikan sedikit keterangan mengenai apa saja yang berlangsung pada Periode Menengah Pertama. Beberapa naskah berisi renungan tentang hilangnya tata pemerintahan, naskah-naskah lain menyiratkan invasi "para pemanah Asia". Pada umumnya riwayat-riwayat dalam naskah-naskah tersebut menyoroti sebuah masyarakat yang mengalami hilangnya keteraturan baik dalam masyarakat maupun pada alam sekitarnya.

Sangat mungkin pula pada periode ini terjadi perampokan atas semua piramida dan kompleks-komplek pemakaman. Naskah-naskah Ratapan selanjutnya menyiratkan kenyataan ini, dan menjelang permulaan Kerajaan Pertengahan mumi-mumi dihias dengan mantera-mantera sihir yang sebelumnya dikhususkan bagi piramida raja-raja Wangsa Keenam.

Menjelang 2160 SM sebuah rentetan baru para firaun (Wangsa Kesembilan dan Wangsa Kesepuluh) mempersatukan Mesir Hilir dan mempertahankan keutuhannya dari ibukota mereka di Herakleopolis Agung. Sebuah wangsa tandingan (Wangsa Kesebelas) yang berpangkalan di Thebes mempersatukan kembali Mesir Hulu dan tanpa dapat dicegah lagi timbullah pertentangan antara dua wangsa yang saling bersaing itu. Sekitar 2055 SM bala tentara Thebes mengalahkan para firaun dari kubu Herakleopolis dan mempersatukan kembali Dua Negeri. Pemerintahan firaun pertamanya, Mentuhotep II, menandai bermulanya Kerajaan Pertengahan.

Kerajaan Pertengahan

 
Sebuah arca Mentuhotep II (pendiri Kerajaan Pertengahan) sebagai Dewa Osiris.

Kerajaan Pertengahan adalah periode dalam sejarah Mesir Kuno yang merentang mulai tahun ke-39 pemerintahan Mentuhotep II dari Wangsa Kesebelas sampai akhir kekuasaan Wangsa Ketiga Belas, kira-kira antara 2030 SM dan 1650 SM.

Periode ini terdiri atas dua tahap, tahap yang pertama adalah masa kekuasaan Wangsa Kesebelas yang memerintah di Thebes dan kemudian Wangsa Kedua Belas yang beribukota di el-Lisht. Masa kekuasaan dua wangsa ini mula-mula dianggap sebagai keseluruhan dari periode kerajaan persatuan ini, namun beberapa sejarawan kini[16] beranggapan bahwa bagian pertama dari Wangsa Ketigabelas juga termasuk dalam periode Kerajaan Pertengahan.

Firaun-firaun paling awal dari periode Kerajaan Pertengahan menisbatkan asal-usulnya pada dua nomark dari Thebes, Intef Agung, putera Iku yang mengabdi pada seorang firaun Herakleopolis dari Wangsa Kesepuluh, dan penggantinya Mentuhotep I. Pengganti Mentuhotep I, Intef I adalah penguasa Thebes pertama yang menggelari dirinya dengan Nama Horus dan oleh karena itu berhak atas tahta Mesir. Ia dianggap sebagai firaun pertama dari Wangsa Kesebelas. Pernyataannya itu mengakibatkan rakyat Thebes bertikai dengan para penguasa dari Dinasti Kesepuluh. Intef I dan saudara lelakinya Intef II beberapa kali melancarkan peperangan ke wilayah utara dan pada akhirnya merebut nome penting, Abydos.

Peperangan berlanjut antara Wangsa Thebes dan Wangsa Herakleapolis sampai pada tahun ke-39 pemerintahan Nebhetepra Mentuhotep II, pengganti kedua dari Intef II. Pada titik ini, kubu Herakleopolis ditaklukkan dan Wangsa Thebes membentangkan jangkauan kekuasaannya ke seluruh Mesir. Mentuhotep II diketahui telah memerintahkan bala tentaranya menyerbu Nubia di wilayah selatan yang telah memerdekakan diri pada Periode Menengah Pertama. Ada pula bukti-bukti pengerahan bala tentara untuk memerangi Palestina. Raja ini menata kembali negeri Mesir dan melantik seorang wazir untuk mengepalai administrasi sipil negeri itu.

Mentuhotep II digantikan oleh puteranya Mentuhotep III, yang mengatur sebuah ekspedisi kembentuk dan mengirim sebuah ekspedisi ke Punt. Pada masa pemerintahannya dihasilkan beberapa karya ukir Mesir yang paling halus. Mentuhotep III digantikan oleh Mentuhotep IV, firaun terakhir wangsa ini. Meskipun namanya tidak tercantum dalam banyak daftar firaun, masa pemerintahannya dibuktikan oleh sejumlah prasasti di Wadi Hammamat yang berisi catatan tentang ekspedisi ke pesisir Laut Merah dan ekspedisi penambangan batu untuk pembuatan monumen-monumen kerajaan. Pemimpin ekspedisi ini adalah wazirnya Amenemhat, yang oleh banyak pihak diduga kelak menjadi Firaun Amenemhet I, raja pertama dari Wangsa Kedua Belas. Oleh karena itu beberapa egiptolog menduga Amenemhet merebut tahta ataupun mengambil alih kekuasaan setelah Mentuhotep IV mangkat tanpa anak.

Amenemhat I mendirikan sebuah ibukota baru bagi Mesir bernama Itjtawy yang diduga terletak tak jauh dari el-Lisht sekarang ini, meskipun Manetho mencatat bahwa Thebes tetap menjadi ibukota. Amenemhat meredakan kekacauan internal dengan kekerasan, membatasi hak-hak para nomark, dan diketahui pernah melancarkan peperangan setidaknya satu kali ke Nubia. Puteranya Senusret I melanjutkan kebijakan ayahnya untuk menguasai kembali Nubia dan dan wilayah-wilayah yang lepas pada Periode Menengah Pertama. Bangsa Libya ditaklukan pada tahun ke-45 masa pemerintahannya dan kemakmuran serta keamanan Mesir kembali pulih.

Senusret III (1878–1839 SM) adalah seorang raja yang gemar berperang. Ia memimpin bala tentara Mesir memasuki pelosok Nubia, dan mendirikan sejumlah benteng raksasa di seluruh wilayah Mesir guna menentukan garis-garis perbatasan resmi yang memisahkan wilayah Mesir dari wilayah yang belum ditaklukkan. Amenemhat III (1860–1815 SM) dianggap sebagai firaun besar terakhir dari Periode Kerajaan Pertengahan.

Populasi Mesir mulai melebihi tingkat produksi pangan pada masa pemerintahan Amenemhet III, yang oleh karena itu memerintahkan eksploitasi atas Fayyum dan peningkatan operasi penambangan di gurun Sinaï. Ia juga mengundang orang-orang Asia untuk bermukim di Mesir sebagai tenaga kerja dalam pembangunan monumen-monumen Mesir. Menjelang akhir masa pemerintahannya banjir tahunan Sungai Nil mulai terhenti, yang berakibat makin menyusutnya sumber daya pemerintah. Pada masa kekuasaan Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas Mesir mengalami kemerosotan secara perlahan sehingga pada Periode Menengah Kedua beberapa pemukim Asia yang didatangkan Amenemhet III mampu menguasai Mesir seperti bangsa Hyksos.

Referensi

  1. ^ Barich, B. E. (1998) People, Water and Grain: The Beginnings of Domestication in the Sahara and the Nile Valley. Roma: L' Erma di Bretschneider (Studia archaeologica 98).
  2. ^ Barich et al. (1984) Ecological and Cultural Relevance of the Recent New Radiocabon dates from Libyan Sahara. In: L. Krzyzaniak and M. Kobusiewicz [eds.], Origin and Early Development of Food-Producing Cultures in Northeastern Africa, Poznan, Poznan Archaeological Museum, pp. 411–17.
  3. ^ Carl Roebuck, The World of Ancient Times (Charles Schribner's Sons Publishing: New York, 1966) p. 51.
  4. ^ Redford, Donald B. Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times. (Princeton: University Press, 1992), p. 6.
  5. ^ a b Carl Roebuck, The World of Ancient Times, p. 52.
  6. ^ Adkins, L. and Adkins, R. (2001) The Little Book of Egyptian Hieroglyphics, p155. London: Hodder and Stoughton. ISBN .
  7. ^ Gardiner (1964), p.388
  8. ^ a b Gardiner (1964), p.389
  9. ^ Grimal (1988) p.24
  10. ^ a b Gardiner (1964), 390.
  11. ^ a b Grimal (1988) p.28
  12. ^ a b c d e f Redford, Donald B. Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times. (Princeton: University Press, 1992), p. 16.
  13. ^ a b Gardiner (1694), p.391
  14. ^ Redford, Donald B. Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times. (Princeton: University Press, 1992), p. 17.
  15. ^ The Fall of the Old Kingdom by Fekri Hassan
  16. ^ Callender, Gae. The Middle Kingdom Renasissance from The Oxford History of Ancient Egypt, Oxford, 2000