Sunni

denominasi Islam
Revisi sejak 22 April 2023 16.13 oleh RaFaDa20631 (bicara | kontrib) (Menghapus Kategori:Aliran Islam menggunakan HotCat)

Sunni (/ˈsni, ˈsʊni/, KBBI: Suni) adalah cabang (firkah) terbesar Islam, yang dianut 85–90% populasi penduduk Muslim. Namanya berasal dari kata Sunnah, yakni meneladani apa yang telah diajarkan Nabi Islam Muhammad.[1] Perbedaan Sunni dengan Syiah berkaitan dengan pertentangan tentang siapa yang pantas sebagai penerus Muhammad yang berujung pada perbedaan antara akidah dan fikih.[2] Menurut tradisi Sunni, Muhammad tidak memiliki penerus dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Saqifah menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah.[2][3][4] Hal ini berbeda dengan pandangan Syiah, yang menganggap bahwa Muhammad menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya.[5]

Orang yang menganut cabang Islam ini lebih menyebut dirinya sebagai "ahli sunah", atau lebih lengkapnya ahlussunnah wal-jamāʻah ("orang yang mengikuti Sunnah dan berada dalam golongan Jamaah"). Pengikut dari ahlus-sunnah dikenal dengan sebutan Sunni. Sunni sering dijuluki sebagai "Islam Ortodoks",[6][7][8] meski banyak ulama dan pakar agama menentangnya.[9]

Al-Qur'an dan hadis (utamanya yang berada dalam Kutubussittah) dan ijma', menjadi landasan fikih Sunni. Syariah diturunkan dengan mempertimbangkan sumber-sumber tersebut, bersama dengan qiyas, istislah, dan istihsan, menggunakan metode ijtihad yang dikembangkan imam-imam mazhab. Terkait dengan akidah, Sunni berpegang teguh pada rukun iman. Di samping itu, penganut Asy'ariyah dan Maturidiyah menganut pemahaman ilmu kalam serta pemikiran tekstual yang juga disebut sebagai Atsariyah.

Pengertian

Terminologi

  • Ahl, yang mempunyai beberapa arti, yakni: keluarga-keluarga pengikut dan penduduk.[10]
  • As-sunnah, yang secara bahasa bermakna at-thariqah wa lau ghaira mardhiyah (jalan, cara, atau perilaku walaupun tidak diridai).[11]
  • Al-Jama'ah, berasal dari kata al-jam'u artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian ke sebagian lain, atau mengumpulkan yang bercerai-berai. Kata Jama'ah juga berasal dari kata ijtima' (perkumpulan), yang merupakan lawan kata tafaruq (perceraian) dan lawan kata dari furqah (perpecahan). Jama'ah adalah sekelompok orang banyak dan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Selain itu, Jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah, atau orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai satu tujuan.[12]

Sejarah

•Awal dan Akhir Kekhalifahan

Perselisihan di Masa Kekhalifahan I

Ketika Nabi Muhammad saw wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan Anshar siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan mengakibatkan perselisihan antar kaum muslimin Muhajirin dan Anshar. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukan siapa Khalifah (pengganti Nabi Muhammad saw). Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Sayyidina Abu Bakar ra sebagai khalifah.[butuh rujukan]

Fitnah di Masa Kekhalifahan III

Pada masa kekhalifahan III, Sayyidina Utsman bin Affan ra, terjadi fitnah yang cukup serius di tubuh Islam pada saat itu, yang mengakibatkan syahidnya Khalifah Utsman ra. Pembunuhnya ialah suatu rombongan delegasi yang didirikan oleh Abdullah bin Saba' dari Mesir yang hendak memberontak kepada khalifah dan hendak membunuhnya. Abdullah bin Saba' berhasil membangun pemahaman yang sesat untuk mengadu domba umat Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Kemudian masyarakat banyak saat itu, terutama anak buah Abdullah bin Saba' berhasil membunuh Sayyidina Utsman ra dengan sadis ketika beliau sedang membaca Al Qur-an.[butuh rujukan]

Fitnah di Masa Kekhalifahan IV

Saat Sayyidina Ali menjadi khalifah, beliau mengalami kesulitan bertubi-tubi. Orang-orang yang terpengaruh Abdullah bin Saba' terus menerus mengadu domba para sahabat. Usaha mereka berhasil. Para sahabat salah paham mengenai kasus hukum pembunuhan Khalifah Utsman ra. Yang pertama berasal dari ummul mu'minim, Sayyidatina Aisyah ra, yang bersama dengan Sayyidina Thalhah ra dan yang kedua ialah bersama dengan Sayyidina Zubair ra. Mereka berhasil diadu domba hingga terjadilah Perang Jamal atau Perang Unta. Dan kemudian oleh Sayyidina Muawiyah ra yang diangkat oleh Sayyidina Utsman ra sebagai gubernur di Syam, mengakibatkan terjadinya Perang Shiffin. Melihat banyaknya korban dari kaum muslimin, maka pihak yang berselisih mengadakan ishlah atau perdamaian. Para pemberontak tidak senang dengan adanya perdamaian di antara kaum muslimin. Kemudian terjadi usaha pembangkangan oleh mereka yang pada awalnya berpura-pura/ munafik dan merekalah golongan yang disebut Khawarij.[butuh rujukan]

•Tahun Jama'ah

Kaum Khawarij ingin merebut kekhalifahan. Akan tetapi, terhalang oleh Sayyidina Ali dan Sayyidina Muawiyah ra, sehingga mereka merencanakan untuk membunuh keduanya. Ibnu Muljam dari Khawarij berhasil membunuh khalifah, Sayyidina Ali ra pada saat beliau mengimami salat subuh di Kufah, tapi tidak terhadap Sayyidina Muawiyah ra karena dijaga ketat. Bahkan Sayyidina Muawiyah ra berhasil mengkonsolidasikan diri dan umat Islam, berkat kecakapan politik dan ketegaran kepemimpinannya. Karena belajar oleh berbagai pertumpahan darah, kaum muslim secara pragmatis dan realistis mendukung kekuasaan de facto Sayyidina Muawiyah ra. Maka tahun itu, tahun 41 Hijriyah, secara khusus disebut tahun persatuan ('am al-jama'ah).[butuh rujukan]

•Sunnah Madinah

Kaum muslimin mendalami agama berdasarkan Al-Qur'an, dan memperhatikan serta ingin mempertahankan sunnah Nabi di Madinah. Akhirnya ilmu hadits yang berkembang selama beberapa abad, sampai tuntasnya masalah pembukuan hadis sebagai wujud nyata Sunnah pada sekitar akhir abad ke-3 hijriyah. Saat itu, lengkap sudah kodifikasi hadis dan menghasilkan al-Kutub al-Sittah (Buku Yang Enam) yakni oleh al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibnu Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275), al-Turmudzi (w. 279 H), dan al-Nasa'i (w. 303 H).[butuh rujukan]

•Perkembangan Selanjutnya

Ahlus-Sunnah pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan perkembangan empat madzhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah.[butuh rujukan]

Ideologi

Manhaj Aqidah

Manhaj Tasawuf

Madzhab Fiqih

Terdapat empat madzhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam keyakinan sunni empat madzhab yang mereka miliki valid untuk diikuti. Perbedaan yang ada pada setiap madzhab tidak bersifat fundamental. Perbedaan madzhab bukan pada hal Aqidah (pokok keimanan) tapi lebih pada tata cara ibadah. Para Imam mengatakan bahwa mereka hanya ber-ijtihad dalam hal yang memang tidak ada keterangan tegas dan jelas dalam Alquran atau untuk menentukan kapan suatu hadis bisa diamalkan dan bagaimana hubungannya dengan hadis-hadis lain dalam tema yang sama. Mengikuti hasil ijtihad tanpa mengetahui dasarnya adalah terlarang dalam hal aqidah, tetapi dalam tata cara ibadah masih dibolehkan, karena rujukan kita adalah Nabi Muhammad saw dan beliau memang tidak pernah memerintahkan untuk beribadah dengan terlebih dahulu mencari dalil-dalilnya secara langsung, karena jika hal itu wajib bagi setiap muslim maka tidak cukup waktu sekaligus berarti agama itu tidak lagi bersifat mudah. [butuh rujukan]

Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Madzhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar 32%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan Turki, Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi). [butuh rujukan]

Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 20% muslim di seluruh dunia. Madzhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara.[butuh rujukan] Madzhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup penduduk Madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad hijrah, hidup dan meninggal di sana dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits. [butuh rujukan]

Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar di Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.[butuh rujukan] [butuh rujukan]

Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hanbal. Madzhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab.

TRADISI KEAGAMAAN

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah memiliki beberapa tradisi keagamaan yang dibenarkan menurut syariat dan hampir dilakukan oleh semua umat Muslim di dunia, yakni diantaranya:

  • Aqiqah, yaitu suatu sunnah yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya yang umurnya masih kurang dari 10 hari, biasanya dengan menyediakan daging kambing atau sapi kepada tamu atau tetangga di sekitar lingkungan
  • Khitan, yaitu ritual pembersihan kepada seorang anak laki-laki dengan di potong bagian kulit kelamin dan hal ini dianggap baik untuk kesehatan dan perempuan juga dikhitan dengan di potong bagian sedikit sekali kulit kelamin
  • Akad nikah, yaitu persidangan peresmian hubungan seorang laki-laki dan perempuan sesuai syariat agama
  • Zakat dan infaq, pemberian daging hasil kurban atau sebagian harta dan pemberian harta berupa barang dan uang kepada yang berhak
  • Kurban, yaitu pemotongan hewan kurban seperti unta, sapi, kambing, atau domba pada hari idul adha
  • Puasa, yaitu menahan hawa nafsu, makan, dan minum dari waktu fajar sampai matahari terbenam selama satu bulan pada bulan Ramadan setiap tahun.
  • Perayaan maulid Nabi, yaitu bersuka cita atas kelahiran Nabi Muhammad saw dengan cara membaca sejarah kehidupan beliau dan bersedekah di malam tanggal 12 Rabiul Awal
  • Ziarah kubur, yaitu suatu sunnah mengunjungi makam orang beriman sebagai sarana intropeksi diri atas akan datangnya kematian dan fananya kehidupan dunia
  • Tawasul dan Tabaruk

Persaingan antara Asya'irah, Maturidiyah dan Salafi

 
Ahmed el-Tayeb, Imam besar Al-Azhar, salah satu tokoh penting dalam Muktamar Chechnya, memilih undur diri dari keputusan muktamar.

Sejak paruh kedua abad ke-20, timbul persaingan antara kelompok Asya'irah dan Salafiyah, yang saling mengeluarkan lawan-lawannya dari firkah Sunni. Di Indonesia, ulama Asya'irah Sirajuddin Abbas (w. 1980) menulis kitab pada masa 1960-an, yang menyatakan dengan tegas bahwa Ahli Salaf (Salafiyah) bukan bagian dari Sunni. Selain itu, ia menganggap bahwa tidak ada "mazhab Salafi" pada 300 tahun pertama Islam. Sejak saat itu, ia menyimpulkan bahwa orang-orang yang menganut "mazhab Salafi" dianggap "memperkenalkan mazhab yang tidak pernah ada sebelumnya".[13] Menurutnya, hanya Asya'irah yang benar merupakan Sunni. Tulisan-tulisan Abbas sering menjadi rujukan bagi kampanye antisalafi di Aceh pada 2014.[14] Selama kampanye tersebut, banyak sekolah dan madrasah Salafi di Aceh ditutup pemerintah provinsi.[15]

Dengan adanya keraguan atas status Salafi sebagai bagian dari Sunni, Lajnah Daimah di Arab Saudi memutuskan fatwa bahwa Salafi termasuk dalam kelompok Sunni.[16] Seperti halnya Asya'irah, Salafi meyakini bahwa Salafi adalah ajaran Islam Sunni yang benar, dan menolak Asya'irah dan Maturidiyah sebagai bagian dari Sunni.[17] Contohnya adalah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dalam tafsirnya terhadap Aqidah Wasithiyah karya Ibnu Taimiyyah pada 2001 menyatakan bahwa Asya'irah dan Maturidiyah bukanlah bagian dari Sunni, karena doktrin akidahnya bertentangan dengan Nabi Muhammad dan para sahabat. Dengan alasan ini pula, kelompok-kelompok ini tidak dibenarkan menggunakan nama Sunni. Sunni adalah orang yang benar-benar mengikuti manhaj salaf, menurut pandangan mereka.[18]

Anggapan Wahabi bahwa Asy'irah bukan kelompok Sunni menjadi pokok bahasan fatwa oleh "Lembaga Fatwa Mesir" pada Juli 2013. Dalam fatwanya itu, lembaga tersebut menolak anggapan tersebut, serta menetapkan bahwa Asya'irah masih mewakili jumhur ulama, dan menekankan bahwa mereka adalah orang-orang yang di masa lalu menolak argumen ateis (syubuhāt al-malāḥidah). Barang siapa menyatakan mereka tidak beriman atau yang meragukan ortodoksi mereka harus takut akan agama mereka.[19] Pada hari yang sama, lembaga fatwa tersebut juga menegaskan bahwa ahlussunnah wal-jama'ah hanya berlaku bagi mereka yang mengikuti pemahaman Asya'irah maupun Maturidiyah.[20]

Kompetisi antara kelompok Salafi dan Asya'irah muncul lagi dalam dua muktamar Sunni tahun 2016, dalam rangka menanggapi terorisme NIIS. Muktamar yang pertama pada 2016 membahas judul "Siapakah ahlussunnah wal-jama'ah?" dilaksanakan di Grozny, Chechnya, pada Agustus 2016 dan didanai oleh Ramzan Kadyrov. Ulama Mesir, India, Syria, Yaman, dan Rusia ikut serta, seperti Imam Besar al-Azhar Ahmed el-Tayeb, serta Mufti Agung India, Sheikh Abubakr Ahmed. Menurut penyelenggara, muktamar ini diharapkan "memperbaiki penyimpangan agama yang serius dan berbahaya oleh para ekstremis yang mencoba mencoreng kehormatan ahlussunnah wal-jama'ah."[21] Muktamar ini menghasilkan deklarasi bahwa kelompok Salafi dan Islamisme seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dll. serta organisasi Takfiri seperti NIIS bukan Islam Sunni.[22] Menanggapi ini, ulama Salafi menggelar muktamar tandingan di Kuwait pada November 2016 dengan judul "Makna Sesungguhnya dari Ahlussunnah wal-Jama'ah" (al-Mafhūm aṣ-ṣaḥīḥ li-ahlussunnah wal-jama'ah). Dalam muktamar ini, mereka juga sepakat menjauhkan diri dari kelompok ekstremis, serta bersikeras bahwa Salafi bukan hanya bagian dari Sunni, melainkan mewakili Sunni sendiri. Muktamar ini dipimpin oleh Ahmad bin Murabit, Mufti Agung Mauritania.[23][24] Beberapa hari kemudian, Imam Besar al-Azhar Ahmed el-Tayeb secara terbuka undur diri dari deklarasi Muktamar Grozny, menegaskan kembali bahwa dia tidak berpartisipasi di dalamnya dan menekankan bahwa dia secara alami memandang kaum Salafi sebagai Sunni.[25]

Referensi

  1. ^ John L. Esposito, ed. (2014). "Sunni Islam". The Oxford Dictionary of Islam. Oxford: Oxford University Press. 
  2. ^ a b Tayeb El-Hibri, Maysam J. al Faruqi (2004). "Sunni Islam". Dalam Philip Mattar. The Encyclopedia of the Modern Middle East and North Africa (edisi ke-Second). MacMillan Reference. 
  3. ^ Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani (2014). Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God [2 volumes]. ABC-CLIO. hlm. 3. ISBN 978-1610691789. 
  4. ^ Madelung, Wilferd (1997). The Succession to Muhammad. Cambridge University Press. hlm. xi. ISBN 0521646960. 
  5. ^ Jafri, Syed Husain Mohammad (27 August 1976). The Origins and Early Development of Shi'a Islam (Millennium (Series)) (The Millennium (Series).). Karachi, Pakistan: Oxford University Press (First Published By Longman Group Ltd and Librairie du Liban 1979). hlm. 19–21. ISBN 978-0195793871. The Shi'a unequivocally take the word in the meaning of leader, master and patron and therefore the explicitly nominated successor of the Prophet. The Sunnis, on the other hand, interpret the word mawla in the meaning of a friend or the nearest kin and confidant. 
  6. ^ John Richard Thackrah (2013). Dictionary of Terrorism (edisi ke-2, revised). Routledge. hlm. 252. ISBN 978-1135165956. 
  7. ^ Nasir, Jamal J., ed. (2009). The Status of Women Under Islamic Law and Modern Islamic Legislation (edisi ke-revised). Brill. hlm. 11. ISBN 978-9004172739. 
  8. ^ George W. Braswell (2000). What You Need to Know about Islam & Muslims (edisi ke-illustrated). B&H Publishing Group. hlm. 62. ISBN 978-0805418293. 
  9. ^ An Introduction to the Hadith. John Burton. Published by Edinburgh University Press. 1996. p. 201. Cite: "Sunni: Of or pertaining sunna, especially the Sunna of the Prophet. Used in conscious opposition to Shi'a, Shi'í. There being no ecclesia or centralized magisterium, the translation 'orthodox' is inappropriate. To the Muslim 'unorthodox' implies heretical, mubtadi, from bid'a, the contrary of sunna and so 'innovation'."
  10. ^ Said Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Istihalan. hlm. 29. ; dikutip dalam: Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1. .
  11. ^ M. Hasyim Asy'ari, Risalah Ahlussunnah Wa al-Jama'ah. Jombang: Maktabah al-Turats al-Islami. 1418H. hlm. 5. ; dikutip dalam: Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1.  Kemudian menambahkan: Dalam istilah syariat (fikih), sunah berarti sesuatu yang dianjurkan untuk dilakukan, tetapi tidak wajib. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, kata Sunah berarti sesuatu yang secara khusus datang dari Nabi, bukan al-Qur'an, dan dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan sesuatu hukum-hukum agama. Dalam batasan yang agak luas, dimaksukkan pula dalam kategori Sunah adalah perbuatan, fatwa dan tradisi yang diinisiasi oleh para sahabat (atsar al-shahabi). Sedangkan Sunah dalam batasan ahli kalam (para teolog) ialah keyanikan (i'tiqad) yang didasarkan pada dalil naql (al-Qur'an, hadis, dan qawl atau ucapan Shahabi, bukan semata bersandar pada pemahaman akal (rasio). Dalam pengertian ahli politik, sunah ialah jejak yang ditinggalkan oleh Muhammad dan para Khulafa Rasyidun. Baca as-Syatibi. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah. hlm. IV/3. , as-Syaukani. Irsyad al-Fuhul. hlm. 31. , Jalal Muhammad Musa (1975). Nasy'at al-Asyariyah wa Tathawwuruh. Bairut: Dar al-Kitab al-Lubhani. hlm. 15. , Muhammad Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi a-Siyasah wa al-'Aqidah. Bairut: Dar al-Fikri al-'Arabiyah,tth. hlm. 160. .
  12. ^ Lihat Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1.  .
  13. ^ Dhuhri: „The Text of Conservatism“. 2016, p. 46f.
  14. ^ Dhuhri: „The Text of Conservatism“. 2016, p. 49.
  15. ^ Institute for Policy Analysis of Conflict: “The Anti-Salafi Campaign in Aceh”. IPAC-Report No. 32 6. Oktober 2016.
  16. ^ Aḥmad ibn ʿAbd ar-Razzāq ad-Darwīš: Fatāwā al-Laǧna ad-dāʾima li-l-buḥūṯ al-ʿilmīya wal-iftāʾ. Dār al-ʿĀṣima, Riad, 1996. Bd. II, S. 165f. digitalized
  17. ^ Namira Nahouza: Wahhabism and the Rise of the New Salafis. Theology, Power and Sunni Islam. Tauris, London, 2018. p. 144–147.
  18. ^ Muḥammad Ibn ʿUṯaimīn: Šarḥ al-Wāsiṭīya li-Ibn Taimīya. Dār Ibn al-Ǧauzī, ad-Dammām, 2001. p. 53f. Digitalized
  19. ^ Ramy al-Ašāʿira bi-l-ḫurūǧ ʿan ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa Diarsipkan 17 April 2021 di Wayback Machine. Fatwa Nr. 2370 des ägyptischen Fatwa-Amtes vom 24. Juli 2013.
  20. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Daralifta2366
  21. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Grozny
  22. ^ "The Conference of Ulama in Grozny: the Reaction of the Islamic World". islam.in.ua. 
  23. ^ Muʾtamar bi-l-Kuwait raddan ʿalā Ġurūznī as-salaf hum as-sunna... wa-lā li-ṯ-ṯaurāt Arabic CNN 13. November 2016.
  24. ^ ʿAbdallāh Maṣmūdī: Tauṣīyāt Muʾtamar al-Mafhūm aṣ-ṣaḥīḥ li-ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa wa-aṯaru-hū fī l-wiqāya min al-ġulūw wa-t-taṭarruf. Howiyapress.com 13. November 2016.
  25. ^ Aḥmad aṭ-Ṭaiyib: al-Azhar barīʾ min muʾtamar aš-Šīšān.. wa-s-Salafīyūn min ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa Arabic CNN 19. November 2016.

Bacaan lebih lanjut

  1. Branon Wheeler, Applying the Canon in Islam: The Authorization and Maintenance of Interpretive Reasoning in Ḥanafī Scholarship, SUNY Press, 1996
  2. Yudhi, Esha Rachman, ed. (2013). 500 tokoh muslim 500 tokoh muslim dunia paling berpengaruh saat ini. Diterjemahkan oleh Boediwardoyo, Satriyo. Jakarta: PT. Ufuk Publishing House. hlm. 38. ISBN 978-602-7689-52-7. OCLC 960422789. 
  3. Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1. 

Lihat pula

Pranala luar