Asnawi al-Bantani
Syekh Asnawi bin Abdurrahman al-Bantani (bahasa Arab: الشيخ اسنوي بن عبد الرحمن البنتني) atau yang lebih dikenal dengan nama Syekh Asnawi Caringin (1850-1937) adalah seorang ulama dari Banten. Syekh Asnawi lahir di Kampung Caringin, Labuan, Banten sekitar tahun 1850 Masehi di tengah keluarga yang religius. Sang ayah, Syekh Abdurrahman bin Syekh Afifuddin, dan ibunya Nyi Mustajah Binti Ki Ambah Bin Syekh Cinding Bin Syekh Abdurrahman (Ciliwulung) Bin Syekh Hasan (Raden Kenyep/Ki Renyep) Bin Bin Waliyuddin (Pangeran Jaga Lautan),[2] berasal dari keluarga yang kental berislam. Bahkan, disebutkan pula bahwa Syekh Asnawi masih keturunan Sultan Agung dari Mataram atau keturunan Raden Patah.[3][4]
Syekh Asnawi bin Abdurrahman al-Bantani | |
---|---|
Nama | Syekh Asnawi Caringin [1] |
Nisbah | al-Bantani |
Kebangsaan | Indonesia |
Murid dari | Syekh Nawawi al-Bantani |
Istri | Hj. Ageng Tuti Halimah Hj. Sarban Hj. Syarifah Nyai Salfah Nyai Nafi’ah |
Keturunan |
|
Biografi
suntingPada usia yang masih sangat belia, sembilan tahun, Syekh Asnawi sudah dikirim ayahnya untuk menuntut ilmu ke Mekkah.[butuh rujukan] Di Tanah Suci, Asnawi kemudian bertemu gurunya, Syekh Nawawi al-Bantani, yang merupakan guru di Masjidil Haram. Bukan sekadar karena sama-sama kelahiran Banten Asnawi dapat dekat dengan sang guru.[butuh rujukan] Namun, kecerdasannya juga membuat Syekh Nawawi mengajarkan banyak hal padanya.[butuh rujukan]
Bertahun-tahun Asnawi belajar di tanah kelahiran Islam. Hingga ketika dirasa telah mumpuni dalam agama, ia pun dipercaya untuk mendakwahkan Islam. Maka, Syekh Asnawi pun pulang kembali ke tanah lahirnya, Banten. Ia pun mulai mengajar dan mengundang ketertarikan banyak pemuda hingga menjadi muridnya. Tersiarlah nama Asnawi sebagai ulama di kawasan Banten dan sekitarnya. Kepiawaiannya dalam berdakwah membuat nama Syekh Asnawi tersohor sebagai ulama besar di Banten.[5]
Peran Kebangsaan
suntingTak hanya mengajarkan agama, Syekh Asnawi juga terkenal semangatnya yang menggebu dalam melawan penjajah. Ia mengobarkan semangat pemuda untuk melawan dan menentang kolonialisme Belanda. Apalagi, saat itu seluruh wilayah Banten berhasil dikuasai penjajah. Bahkan, tak hanya mengobarkan semangat kemerdekaan lewat lisan, tapi juga aksi. Syekh Asnawi juga dikenal memiliki ilmu bela diri yang sakti.[butuh rujukan]
Syekh Asnawi yang tangguh dan berhasil mengajak pemuda untuk melawan penjajah pun menjadi ancaman bagi Belanda. Apalagi, Banten dikenal sebagai tempat lahirnya para ‘pemberontak’ Belanda, bukan hanya dari kalangan rakyat biasa, melainkan juga dari kalangan ulama. Alhasil, kiai pernah ditahan oleh penjajah di Tanah Abang serta diasingkan ke Cianjur. Ia dihukum lebih dari setahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Namun, selama ditahan dan diasingkan, kiai tetap aktif menyampaikan dakwah Islam. Ia mengajarkan syariat Islam kepada masyarakat sekitar di manapun ia berada.[6]
Mendirikan Madrasah dan Masjid Caringin
suntingSeusai diasingkan, Syekh Asnawi kembali ke kampungnya di Caringin. Karena situasi yang lebih aman, ia semakin giat mensyiarkan Islam. Ia pun mendirikan sebuah Madrasah Masyarikul Anwar dan masjid di Caringin pada 1884. Masjid tersebut bernama Masjid Caringin yang hingga kini masih berdiri tegak. Ada kisah yang beredar di masyarakat bahwa kayu untuk bangunan masjid tersebut berasal dari sebuah pohon yang dibawa Syekh Asnawi dari Kalimantan. Pohon tersebut hanya satu, tetapi menghasilkan banyak kayu karena keberkahan sang Syekh.[butuh rujukan]
Beberapa sumber menyebutkan, pembangunan Masjid Caringin oleh Syekh juga ditujukan untuk membangun kembali peradaban masyarakat yang hancur akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883. Syekh Asnawi ingin membangun kembali akidah masyarakat dengan didirikannya sarana masjid tersebut. Sejak masjid berdiri, dakwah pun makin menggeliat. Banyak pemuda datang untuk berguru kepadanya. Syekh Asnawi pun menghabiskan usianya untuk pengajaran agama dari tempat kelahirannya, Caringin.[7]
Wafat
suntingSetelah banyak kiprah yang ditorehkan bagi masyarakat, terutama masyarakat Banten, Syekh Asnawi menghembuskan napas terakhir pada 1937 Masehi. Ia meninggalkan banyak sekali anak, yakni 23 putra dan putri. Ia dimakamkan di dekat masjid yang ia bangun, Masjid Caringin. Hingga kini, banyak masyarakat yang rajin berziarah ke makamnya.[8][9]
Referensi
suntingCatatan Kaki
sunting- ^ "Kisah Empat Ulama Banten (Bag. 1)". www.kompasiana.com. Diakses tanggal 2017-03-26.
- ^ "SYEKH ASNAWI Kyai Caringin Banten". geni_family_tree (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-03-26.
- ^ "SILSILAH – SILSILAH ULAMA BESAR BANTEN". Informasi Banten dan Dunia Pendidikan. 2012-04-25. Diakses tanggal 2017-03-26.
- ^ Mughni, A Malik. "Syaikh Nawawi Al Bantani" (dalam bahasa Inggris).
- ^ "Syekh Asnawi Bin Abdurrahman Caringin". www.darulhikmah.sch.id. Diakses tanggal 2017-03-26.
- ^ "K.H. Asnawi, Caringin, Labuan, Banten - Dtangsel". dtangsel.sch.id. Diakses tanggal 2017-03-26.
- ^ "Asnawi Bin Abdurrahman Al-Bantani, Ulama dan Pahlawan dari Banten | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2017-03-26.
- ^ "4 Makam Keramat di Banten ini Wajib Kamu Kunjungi". Paling Seru (dalam bahasa Inggris). 2015-06-24. Diakses tanggal 2017-03-26.
- ^ "Rano Karno Ziarah ke Makan Syekh Asnawi | Banten Terkini". bantenterkini.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-27. Diakses tanggal 2017-03-26.
Pranala luar
sunting- (Inggris)Kiyai Agung Asnawi Banten Forgotten Diarsipkan 2017-03-27 di Wayback Machine. in www.exploring-lampung.com Diarsipkan 2017-03-27 di Wayback Machine.
- Pencarian Tentang Syekh Asnawi Caringin di YouTube