Bahasa Buru

bagian dari rumpun bahasa Austronesia

Bahasa Buru merupakan sebuah bahasa Austronesia yang dituturkan di Pulau Buru, Maluku. Penuturnya berjumlah sekitar 45.000 orang.[1]

Bahasa Buru
Dituturkan diIndonesia
WilayahMaluku
EtnisSuku Buru
Penutur
(45.000 total, 30.000 penutur aktif per 1991)[1]
Kode bahasa
ISO 639-3mhskode inklusifMencakup:
mhs – Buru
lcl – Lisela
Glottologburu1322[2]
IETFmhs
Status pemertahanan
C10
Kategori 10
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa telah punah (Extinct)
C9
Kategori 9
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa sudah ditinggalkan dan hanya segelintir yang menuturkannya (Dormant)
C8b
Kategori 8b
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa hampir punah (Nearly extinct)
C8a
Kategori 8a
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa sangat sedikit dituturkan dan terancam berat untuk punah (Moribund)
C7
Kategori 7
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mulai mengalami penurunan ataupun penutur mulai berpindah menggunakan bahasa lain (Shifting)
C6b
Kategori 6b
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mulai terancam (Threatened)
C6a
Kategori 6a
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa masih cukup banyak dituturkan (Vigorous)
C5
Kategori 5
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mengalami pertumbuhan populasi penutur (Developing)
C4
Kategori 4
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan dalam institusi pendidikan (Educational)
C3
Kategori 3
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan cukup luas (Wider Communication)
C2
Kategori 2
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan di berbagai wilayah (Provincial)
C1
Kategori 1
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa nasional maupun bahasa resmi dari suatu negara (National)
C0
Kategori 0
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan bahasa pengantar internasional ataupun bahasa yang digunakan pada kancah antar bangsa (International)
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
EGIDS SIL EthnologueC6a Vigorous
Bahasa Buru dikategorikan sebagai C6a Vigorous menurut SIL Ethnologue, artinya bahasa ini masih dituturkan dan digunakan oleh sebagian wilayah
Referensi: [3]
Artikel ini mengandung simbol fonetik IPA. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode. Untuk pengenalan mengenai simbol IPA, lihat Bantuan:IPA.
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Klasifikasi dan dialek

sunting

Bahasa Buru termasuk ke dalam rumpun bahasa Maluku Tengah yang juga mencakup sebagian besar bahasa-bahasa Austronesia di Kepulauan Maluku. Di antara bahasa-bahasa Maluku Tengah, bahasa Buru paling dekat hubungannya dengan bahasa-bahasa di kepulauan Sula dan Taliabu, membentuk subkelompok Buru-Sula-Taliabu dalam rumpun Maluku Tengah. Rumpun bahasa Maluku Tengah sendiri termasuk dalam kelompok Melayu-Polinesia (cabang Tengah-Timur) dari keluarga Austronesia.[4]

Pada tahun 1980-an, bahasa Buru memiliki lima dialek, yaitu Masarete, Wae Sama, Rana, Lisela, dan Fogi.[5] Di antara kelima dialek bahasa Buru, dialek Lisela merupakan dialek yang paling berbeda secara kosakata. Namun, dalam hal struktur, dialek Lisela hampir persis sama dengan dialek Masarete dan Rana.[6] Perbedaan antar dialek juga tidak menghalangi usaha untuk berkomunikasi satu sama lainnya. Ditambah lagi, masyarakat Buru menganggap bahwa kelima dialek ini merupakan satu kesatuan dan bukannya bahasa-bahasa berbeda.[7]

Pantangan

sunting
 
Orang Buru pada zaman Hindia Belanda.

Masyarakat Buru mengenal pantangan atau koit yang melarang penggunaan kata-kata tertentu dan menggantinya dengan kosakata baru yang mirip secara semantik, atau kata yang dimaksudkan sebagai deskripsi.[8][9] Salah satu pantangan adalah menyebut nama kerabat secara langsung. Jika nama kerabat tersebut diambil dari nama makhluk hidup atau fenomena alam (penamaan semacam ini umum di beberapa tempat yang masih belum begitu dipengaruhi budaya luar), maka nama makhluk atau fenomena tersebut pun pantang diucapkan.[a][10] Ada pula pantangan yang diasosiasikan dengan wilayah tertentu; wilayah pantangan ini disebut net koit dalam bahasa Buru. Contohnya kata ikan 'ikan', yang di beberapa daerah diganti dengan kata edhamat 'sesuatu yang mengambang',[11] atau kata senget 'nyamuk' yang di beberapa tempat diganti inhadat 'sesuatu yang menggigit'.[9] Pantangan semacam ini biasanya dikaitkan dengan legenda atau mitos setempat.[9][11]

Di wilayah pedalaman Garan yang tak berpenghuni di bagian barat laut pulau, bahasa Buru sehari-hari sepenuhnya pantang digunakan. Wilayah pantangan ini memilki panjang dan lebar kurang lebih dua hari perjalanan dari ujung ke ujung. Untuk menghindari menggunakan bahasa sehari-hari, penutur dialek Rana yang lazim melalui wilayah ini pun menciptakan ragam bahasa bernama Li Garan 'bahasa Garan', yang leksikonnya dibentuk melalui metode yang umum digunakan untuk menghindari kata pantangan seperti dijelaskan di atas.[6] Contohnya, dalam Li Garan, kata geba 'orang' diganti em-kise-n (kata dasar kise berarti 'berdahi tinggi'), ana-fina 'perempuan' diganti em-kise-n brenge-t (kata dasar brenge berarti 'kuskus betina'[b]), dan kira-n 'dahi' diganti olo-n hapu-t '(bagian) kepala yang diikat'.[12] Selain berfungsi sebagai ragam bahasa yang digunakan di wilayah Garan, penutur dialek Rana juga menggunakan ragam ini sebagai bahasa rahasia jika ingin mendiskusikan sesuatu tanpa melibatkan penutur dialek lain.[6]

 
Peta Pulau Buru.

Demografi dan persebaran

sunting

Bahasa Buru dituturkan di sebagian besar Pulau Buru. Dialek Masarete dituturkan di daerah aliran sungai Wa Mala di bagian barat daya pulau, dialek Wae Sama di pesisir tenggara, dialek Rana di wilayah pedalaman, dialek Lisela di sepanjang pesisir utara, dan dialek Fogi di pesisir barat daya.[13][5] Dialek Rana dan Lisela merupakan dialek dengan jumlah penutur terbanyak pada tahun 1989.[14] Dari kelima dialek ini, penggunaan dialek Masarete, Wae Sama dan Rana masih cukup kuat. Sementara itu, dialek Lisela penggunaannya menurun, dan penutur dialek Fogi yang jumlahnya paling sedikit mungkin sudah bertukar menggunakan bahasa Melayu seluruhnya.[13][15]

Fonologi

sunting

Terdapat 17 fonem konsonan dan 5 fonem vokal dalam bahasa Buru. Fonem /dʒ/ merupakan serapan.[16]

1. Konsonan[16]
Labial Apikal Laminal Dorsal
Nasal m n ŋ
Letup p  b t̪  d tʃ  (dʒ) k  g
Frikatif f s h
Lateral l
Getar r
Semivokal w j
2. Vokal[16]
Depan Madya Belakang
Tertutup i u
Tengah e o
Terbuka a

Tata bahasa

sunting

Negasi

sunting

Dalam bahasa Buru, evaluasi dari sebuah ungkapan selalu dilakukan di akhir, termasuk dalam hal negasi.[17]

[Sira hapu lafa-t la yako langina] moo
3pl ikat makanan-nom untuk 1sg sebelumnya neg
'Mereka tidak menyiapkan bekal makanan untuk saya tadi'

Penggunaan kata penyangkal di akhir kalimat pada bahasa Buru berlawanan dengan lazimnya bahasa Austronesia yang meletakkan kata penyangkal sebelum predikat atau kata kerja. Negasi di akhir kalimat merupakan ciri khas bahasa-bahasa non-Austronesia di Papua dan Halmahera, yang kemudian menyebar ke beberapa bahasa-bahasa Austronesia di Maluku dan Papua (termasuk Buru) melalui kontak.[18]

Referensi

sunting

Keterangan

sunting
  1. ^ Tidak seperti pada beberapa masyarakat Austronesia lainnya, menyebut nama kerabat yang sudah meninggal bukanlah pantangan. Terkadang, mereka bahkan dipanggil dengan nama langsung tanpa panggilan kekerabatan.[9]
  2. ^ Kata ini pun awalnya tumbuh dari pantangan; kata dasar renge berarti 'membawa sesuatu dengan menyampirkannya di punggung', sebab induk kuskus sering kali menggendong anaknya di punggung.[12]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b Grimes 1991, hlm. 45.
  2. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Buruic". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History. 
  3. ^ "Bahasa Buru". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue. 
  4. ^ Collins 1983, hlm. 15, 19–20.
  5. ^ a b Grimes 1991, hlm. 35.
  6. ^ a b c Grimes 1991, hlm. 40.
  7. ^ Grimes 1991, hlm. 39.
  8. ^ Grimes & Maryott 1994, hlm. 277.
  9. ^ a b c d Grimes 1991, hlm. 34.
  10. ^ Grimes 1991, hlm. 33.
  11. ^ a b Grimes & Maryott 1994, hlm. 278.
  12. ^ a b Grimes 1991, hlm. 41.
  13. ^ a b Grimes & Maryott 1994, hlm. 276.
  14. ^ Grimes 1991, hlm. 44.
  15. ^ Grimes 1995, hlm. 3.
  16. ^ a b c Grimes 1991, hlm. 47–49.
  17. ^ Grimes 1991, hlm. 232.
  18. ^ Klamer 2002, hlm. 375.

Bibliografi

sunting

Pranala luar

sunting