Bahasa Melayu Klasik

bagian dari rumpun bahasa Austronesia
(Dialihkan dari Bahasa Melayu Johor-Riau)

Bahasa Melayu Klasik adalah tahapnya bahasa Melayu yang mulai dituturkan pada abad ke-14 hingga abad ke-19, oleh Kesultanan Melaka, Kesultanan Aceh, dan sejumlah entitas politik lainnya yang ada di Nusantara. Bahasa ini ditulis dengan abjad Jawi, yaitu sistem penulisan yang berasal dari abjad Arab. Ia adalah perkembangan lanjutan dari salah satu dialek bahasa Melayu Kuno.

Bahasa Melayu Klasik
بهاس ملايو کلاسيک
WilayahMelaka, Aceh, Ternate
EraAbad ke-14 sampai ke-19 M
Bentuk awal
Dialek
Abjad Jawi
Kode bahasa
ISO 639-3
Status pemertahanan
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
ICHEL Red Book: Extinct

Bahasa Melayu Klasik diklasifikasikan sebagai bahasa yang telah punah (EX) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan

Referensi: [1][2]

Catatan
  1. ^ Menurut H.S. Paterson (& C.O. Blagden), 'An early Malay Inscription from 14th-century Trengganu', Journ. Mal. Br.R.A.S., II, 1924, hlm. 258–263.
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Bahasa Melayu Klasik mulai berkembang secara meluas menjadi bahasa Melayu Klasik dengan adanya pengaruh kosakata bahasa Arab dan bahasa Persia. Perkembangan ini berkaitan dengan menguatnya pengaruh agama Islam di Asia Tenggara sejak abad ke-13. Pada mulanya, bahasa Melayu Klasik adalah kelompok dialek yang beragam, yang mencerminkan asal-usul beragam kerajaan Melayu di Asia Tenggara. Salah satu dialek yang berkembang dalam tradisi kesusastraan Melaka pada abad ke-15 ini akhirnya menjadi pradominan. Pengaruh kuat Melaka dalam perdagangan antarbangsa di wilayah ini menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara dalam perdagangan dan diplomasi, kedudukan yang dipertahankan sepanjang zaman kesultanan Melayu berikutnya, zaman penjajah Eropa, dan zaman modern. Bahasa Melayu Klasik tercatat pada berbagai naskah-naskah hikayat dan bentuk susastra lain, peraturan perundang-undangan, serta surat-surat komunikasi antara penguasa-penguasa Nusantara bagian barat. Terdapat pula beberapa prasasti dari periode awalnya.

Sejarah

sunting
 
Batu Bersurat Terengganu (1303), bukti terawal tulisan Jawi di dunia Melayu.

Periode Melayu Klasik dimulai ketika Islam bertapak di wilayah ini dan kedudukannya meningkat menjadi agama negara. Sebagai hasil dari pengislaman dan pertumbuhan perdagangan dengan dunia Islam, zaman ini menjadi bukti penyerapan perbendaharaan kata bahasa Arab dan Parsi serta penyepaduan kebudayaan Islam utama dengan kebudayaan Melayu setempat. Contoh perbendaharaan kata bahasa Arab yang terkandung dalam bahasa Melayu praklasik yang ditulis dalam aksara Kawi ditemukan dalam Prasasti Minye Tujoh bertarikh 1380 M dari Aceh di Sumatra. Namun demikian, bahasa Melayu praklasik mengambil bentuk yang lebih radikal lebih dari setengah abad sebelumnya sebagaimana dibuktikan dalam Prasasti Batu Terengganu tahun 1303 M serta Prasasti Pangkalan Kempas tahun 1468 M dari Semenanjung Malaya. Kedua prasasti tersebut tidak hanya berfungsi sebagai bukti Islam sebagai agama negara, tetapi juga sebagai spesimen tertua dari bentuk ortografi klasik yang dominan, yaitu abjad Jawi. Prasasti serupa yang memuat berbagai istilah bahasa Arab yang diterima pakai dengan beberapa di antaranya masih tertulis dalam aksara keindiaan juga ditemukan di bagian lain Sumatra dan Kalimantan.[3][4]

 
Ilustrasi depan salinan Sejarah Melayu (1612), satu-satunya catatan sejarah Kesultanan Melayu pada abad kelima belas yang tersedia.

Bahasa Melayu Praklasik berkembang dan mencapai bentuknya yang halus selama zaman kegemilangan Kesultanan Melayu Melaka dan penerusnya Kesultanan Johor mulai dari abad ke-15.[5] Sebagai bandar yang sibuk dengan 200.000 penduduk yang beragam dari berbagai negara, yang terbesar di Asia Tenggara pada waktu itu, Melaka menjadi kancah lebur berbagai budaya dan bahasa.[6] Lebih banyak kata pinjaman dari bahasa Arab, Parsi, Tamil, dan Tionghoa diserap dan periode ini menjadi saksi berkembangnya kesusastraan Melayu Klasik serta perkembangan profesional dalam kepemimpinan kerajaan dan penadbiran umum. Berbeda dengan bahasa Melayu Kuno, tema-tema kesusastraan Melaka berkembang melampaui karya teologi dan susastra hias, dibuktikan dengan dimasukkannya akuntansi, undang-undang kelautan, nota kredit, dan lisensi perdagangan dalam tradisi kesusastraan. Beberapa manuskrip yang menonjol dari kategori ini adalah Undang-Undang Melaka dan Undang-Undang Laut Melaka. Tradisi kesusastraan itu semakin diperkaya dengan terjemahan berbagai karya sastra asing seperti Hikayat Muhammad Hanafiah dan Hikayat Amir Hamzah, serta kemunculan tulisan-tulisan intelektual baru dalam bidang filsafat, tasawuf, tafsir, sejarah, dan lain-lain dalam bahasa Melayu yang diwakili oleh manuskrip seperti Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah.[4][7]

Keberhasilan Melaka sebagai pusat perdagangan, agama, dan hasil kesusastraan menjadikannya titik acuan budaya yang penting bagi banyak kesultanan Melayu yang berpengaruh pada abad-abad berikutnya. Hal ini mengakibatkan semakin pentingnya bahasa Melayu Klasik sebagai satu-satunya bahasa perantara di wilayah ini. Melalui hubungan dan perdagangan antaretnik, bahasa Melayu Klasik menyebar ke luar dunia berbahasa Melayu tradisional[8] dan menghasilkan bahasa perdagangan yang disebut bahasa Melayu Pasar atau Melayu Rendah[9] sebagai lawan dari bahasa Melayu Tinggi Melaka-Johor. Bahkan, Johor juga berperan penting dalam pengenalan bahasa Melayu ke berbagai kawasan di bagian timur kepulauan ini. Umumnya diyakini bahwa bahasa Melayu Pasar adalah pijin, mungkin dipengaruhi oleh hubungan antara pedagang Melayu, Tionghoa, dan pribumi bukan Melayu. Namun, perkembangan yang paling penting adalah bahasa Melayu pijin yang telah dikreolkan yang menciptakan beberapa bahasa baru seperti bahasa Melayu Baba, Melayu Betawi, dan Melayu Indonesia Timur.[10] Selain menjadi alat utama dalam penyebaran Islam dan kegiatan perdagangan, bahasa Melayu juga menjadi bahasa istana dan persuratan bagi kerajaan-kerajaan di luar wilayah tradisionalnya seperti Aceh dan Ternate dan juga digunakan dalam komunikasi diplomatik dengan kekuatan penjajah Eropa. Hal ini dibuktikan dari surat-surat diplomatik dari Sultan Abu Hayat II dari Ternate kepada Raja João III dari Portugal bertarikh 1521 hingga 1522, sepucuk surat dari Sultan Alauddin Riayat Shah dari Aceh kepada Kapten Henry Middleton dari Perusahaan Hindia Timur Britania bertarikh 1602, dan sepucuk surat emas dari Sultan Iskandar Muda dari Aceh kepada Raja James I dari Inggris bertarikh 1615.[11]

 
Kitab-Kitab Hakim Leydekker terjemahan bahasa Melayu dalam abjad Jawi (1733).

Zaman ini juga menjadi saksi tumbuhnya minat dalam kalangan orang asing untuk mempelajari bahasa Melayu untuk tujuan perdagangan, misi diplomatik, dan kegiatan-kegiatan misionaris . Oleh sebab itu, banyak buku dalam bentuk daftar kata atau kamus tertulis. Yang tertua adalah daftar kata Melayu-Tionghoa yang disusun oleh pejabat Ming dari Biro Penerjemah selama kegemilangan Kesultanan Melaka. Kamus itu dikenali sebagai Man-la-jia Yiyu (滿剌加譯語, Terjemahan Kata Melaka) dan berisi 482 entri yang dikategorikan ke dalam 17 bidang yaitu astronomi, geografi, musim dan waktu, tumbuhan, burung dan binatang, rumah dan istana, perilaku dan tubuh manusia, emas dan perhiasan, sosial dan sejarah, warna, ukuran, dan kata-kata umum.[12][13][14][15][16][17][18][19][20][21][22][23][24]Templat:Kutipan berlebihan sebaris Pada abad ke-16, daftar kata itu diyakini masih digunakan di Tiongkok ketika pejabat arsip kerajaan Yang Lin meninjau catatan itu pada tahun 1560 M.[25] Pada tahun 1522, daftar kata Melayu-Eropa yang pertama telah disusun oleh penjelajah Italia Antonio Pigafetta, yang bergabung dengan ekspedisi mengelilingi dunia Magellan. Daftar kata Melayu-Italia oleh Pigafetta berisi kira-kira 426 entri dan menjadi rujukan utama untuk kamus-kamus Melayu-Latin dan Melayu-Prancis kemudian.[26]

Fase awal penjajahan Eropa dimulai dengan kedatangan Portugis pada abad ke-16, Belanda pada abad ke-17 diikuti oleh Britania pada abad ke-18. Periode ini juga menandakan awal pengkristenan di wilayah ini dengan benteng kuatnya di Melaka, Ambon, Ternate, dan Batavia. Penerbitan terjemahan-terjemahan Alkitab dimulai sejak abad ketujuh belas walaupun terdapat bukti bahwa misionaris Yesuit, Fransiskus Xaverius, menerjemahkan teks-teks keagamaan yang menyertakan ayat-ayat Alkitab ke dalam bahasa Melayu pada awal abad keenam belas.[27] Bahkan, Fransiskus Xaverius mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk misi di empat pusat utama, yaitu Melaka, Ambon dan Ternate, Jepang dan Tiongkok, dua di antaranya berada dalam wilayah berbahasa Melayu. Dalam memudahkan karya-karya misionaris, buku-buku dan manuskrip keagamaan mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, yang paling awal diprakarsai oleh seorang pedagang Belanda yang saleh, Albert Ruyll pada tahun 1611. Buku berjudul Sovrat A B C yang ditulis dalam alfabet Latin tidak hanya bermaksud memperkenalkan alfabet Latin, tetapi juga prinsip-prinsip dasar Calvinisme yang mencakup Sepuluh Perintah Allah, iman, dan beberapa doa. Karya ini kemudian diikuti oleh beberapa Alkitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, yaitu Injil Mateus dan Markus (1638), Lukas dan Johannes (1646), Injil dan Perbuatan (1651), Kitab Kejadian (1662), Perjanjian Baru (1668), dan Mazmur (1689).[28]

Prasasti

sunting

Terdapat tiga prasasti yang penting:

  1. Prasasti di Pagar Ruyung, Minangkabau (1356) ditulis dalam aksara kawi mengandung prosa Melayu Kuno dan beberapa baris sajak dalam bahasa Sanskerta. Bahasanya berbeda sedikit dengan bahasa batu bertulis abad ke-7.
  2. Prasasti Minyetujoh, Aceh (1380), untuk pertama kalinya mencatat penggunaan kata-kata Arab seperti kata "nabi", "Allah", dan "rahmat".
  3. Prasasti di Kuala Berang, Terengganu (1303-1387) ditulis dalam tulisan Jawi. Ini membuktikan tulisan Arab telah telah digunakan dalam bahasa Melayu pada abad itu.[29]

Ketiga prasasti ini merupakan bukti-bukti terakhir perkembangan bahasa Melayu berbentuk batu bertulis, karena setelah abad ke-14, muncul kesusastraan Melayu dalam bentuk tulisan.

Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci (berbahasa Melayu dan Sanskerta) adalah bentuk tertulis pada media daluang. Berdasarkan pengukuran dengan teknik penarikhan karbon (carbon-dating) diketahui berasal dari abad ke-14 atau selambat-lambatnya abad ke-15.[30]

Zaman kejayaan

sunting

Zaman kejayaan bahasa Melayu Klasik terjadi setelah pemimpin kerajaan kerajaan Melayu memeluk Islam dan mempelajari bahasa Arab dari pedagang Islam dari Arab dan India. Ini menyebabkan penyerapan unsur-unsur Arab dan Parsi dalam bahasa Melayu. Zaman ini dapat dibagi menjadi tiga zaman penting yaitu:

Ciri-ciri

sunting

Ciri-ciri yang paling tampak dari Bahasa Melayu Klasik adalah:

  • Kalimat yang panjang, berulang, dan berbelit-belit.

  • Mempunyai banyak kalimat pasif dengan susunannya terbalik

  • Menggunakan bahasa istana

  • Menggunakan perkataan klasik seperti ratna mutu manikam, edan kesmaran (mabuk asmara), sahaya, masygul (bersedih)

  • Banyak menggunakan perdu perkataan (kata pangkal kalimat) seperti sebermula, alkisah, hatta, adapun.

  • Banyak menggunakan partikel pun dan lah

  • Ditulis dengan abjad Jawi, yaitu sistem penulisan yang berasal dari abjad Arab dengan beberapa huruf tambahan.
  • Banyak menggunakan kata pinjaman dari bahasa Arab dan Persia dalam berbagai bidang pengetahuan, misalnya bidang keagamaan, perundang-undangan (hukum), kesusastraan, pemerintahan dan penadbiran (pengelolaan), perobatan, filsafat, tasawuf, serta beberapa perkataan dasar/sehari-hari.
  • Susunan frasa dan kalimatnya yang memiliki pengaruh bahasa Arab, terutama dalam kitab-kitab klasik Melayu. Misalnya frasa ketahuilah olehmu (dari terjemahan I’lamL, maka kemudian daripada itu (dari Amma ba’du); atau pada kalimat sunat berbuka atas tamar dan lain-lain. Frasa dan kalimat tersebut memiliki susunan seperti itu karena merupalan hasil dari terjemahan harfiah (secara langsung) dari teks-teks berbahasa Arab.
  • Banyak mengandung unsur filsafat Islam dalam tulisannya, khususnya yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Islam, sebagai akibat dari pengaruh Islam.

Tokoh dan hasil karya

sunting

Di antara tokoh-tokoh penulis yang penting dalam bahasa Melayu Klasik ialah Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumaterani, Syeikh Nuruddin al-Raniri, dan Abdul Rauf al-Singkel. Hasil karya yang terkenal pula ialah:

Rujukan

sunting
  1. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  2. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  3. ^ Collins 1998, hlm. 12–15
  4. ^ a b Abdul Rashid & Amat Juhari 2006, hlm. 29
  5. ^ Sneddon 2003, hlm. 74–77
  6. ^ Collins 1998, hlm. 20
  7. ^ Collins 1998, hlm. 15–20
  8. ^ Sneddon 2003, hlm. 59
  9. ^ Sneddon 2003, hlm. 84
  10. ^ Sneddon 2003, hlm. 60
  11. ^ Collins 1998, hlm. 23–27, 44–52
  12. ^ Braginsky, Vladimir, ed. (2013) [first published 2002]. Classical Civilizations of South-East Asia. Routledge. hlm. 366–. ISBN 978-1-136-84879-7. 
  13. ^ Edwards, E. D.; Blagden, C. O. (1931). "A Chinese Vocabulary of Malacca Malay Words and Phrases Collected between A. D. 1403 and 1511 (?)". Bulletin of the School of Oriental Studies, University of London. 6 (3): 715–749. doi:10.1017/S0041977X00093204. JSTOR 607205. 
  14. ^ B., C. O. (1939). "Corrigenda and Addenda: A Chinese Vocabulary of Malacca Malay Words and Phrases Collected between A. D. 1403 and 1511 (?)". Bulletin of the School of Oriental Studies, University of London. 10 (1). JSTOR 607921. 
  15. ^ Tan, Chee-Beng (2004). Chinese Overseas: Comparative Cultural Issues. Hong Kong University Press. hlm. 75–. ISBN 978-962-209-662-2. 
  16. ^ Tan, Chee-Beng (2004). Chinese Overseas: Comparative Cultural Issues. Hong Kong University Press. hlm. 75–. ISBN 978-962-209-661-5. 
  17. ^ Chew, Phyllis Ghim-Lian (2013). A Sociolinguistic History of Early Identities in Singapore: From Colonialism to Nationalism. Palgrave Macmillan. hlm. 79–. ISBN 978-1-137-01233-3. 
  18. ^ Lach, Donald F. (2010). Asia in the Making of Europe, Volume II: A Century of Wonder. Book 3: The Scholarly Disciplines. The University of Chicago Press. hlm. 493–. ISBN 978-0-226-46713-9. 
  19. ^ 黃慧敏 [Ng Fooi Beng] (2003) (dalam bahasa zh) (Tesis Master's). 國立政治大學 [National Chengchi University]. p. 21. http://nccur.lib.nccu.edu.tw/handle/140.119/34580. 
  20. ^ 杨贵谊 (8 May 2003). 四夷馆人编的第一部马来语词典: 《满拉加国译语》. www.nandazhan.com (dalam bahasa Tionghoa). Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 March 2016. Diakses tanggal 5 January 2016. 
  21. ^ 安煥然‧明朝人也學馬來話. iconada.tv (dalam bahasa Tionghoa). 3 August 2014. 
  22. ^ 安煥然‧明朝人也學馬來話. opinions.sinchew.com.my (dalam bahasa Tionghoa). 2014-08-03. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 March 2016. Diakses tanggal 5 Januari 2016. 
  23. ^ 安煥然‧明朝人也學馬來話. iconada.tv (dalam bahasa Tionghoa). 3 August 2014. 
  24. ^ Braginskiĭ, V. I. (2007). ... and Sails the Boat Downstream: Malay Sufi Poems of the Boat. Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, University of Leiden. hlm. 95. ISBN 978-90-73084-24-7. 
  25. ^ Collins 1998, hlm. 18
  26. ^ Collins 1998, hlm. 21
  27. ^ de Vries, Lourens (2018). "The First Malay Gospel of Mark (1629–1630) and the Agama Kumpeni". Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia. 174 (1). doi:10.1163/22134379-17401002 . Diakses tanggal 20 April 2019. 
  28. ^ Collins 1998, hlm. 55&61
  29. ^ "Batu Bersurat Memorial". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-03-11. Diakses tanggal 2011-08-24. 
  30. ^ Kozok, Uli (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6.