Belenggu merupakan salah satu novel Indonesia oleh Armijn Pane. Diilhami oleh teori psikoanalisis milik Sigmund Freud, novel ini menceritakan cinta segitiga antara seorang dokter, istrinya, dan temannya; cinta segitiga ini akhirnya membuat semua mereka kehilangan orang yang paling dicintai. Pertama kali diterbitkan oleh majalah sastra Poedjangga Baroe dalam tiga bagian dari April hingga Juni 1940, Belenggu merupakan satu-satunya novel yang diterbitkan majalah tersebut dan novel psikologis Indonesia pertama.

Belenggu
Sampul cetakan ke-21
PengarangArmijn Pane
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia
GenreNovel
PenerbitPoedjangga Baroe
Dian Rakyat
Tanggal terbit
1940
Jenis mediaCetak (kulit keras & lunak)
Halaman150 (cetakan ke-21)
ISBNISBN 979-523-048-8 (cetakan ke-21) Invalid ISBN

Dasar-dasar cerita Belenggu sudah wujud dalam dua cerpen yang ditulis Armijn sebelumnya, yaitu "Barang Tiada Berharga" (1935) dan "Lupa" (1936). Novel yang dihasilkan, yang ditulis untuk mencerminkan aliran pikiran manusia dan dengan menggunakan tanda elipsis dan monolog untuk mewujudkan konflik batin, sangat berbeda daripada karya-karya sebelumnya. Dibanding karya sastra Indonesia sebelumnya, yang terbatas pada tema tradisional seperti "yang baik melawan yang jahat", Belenggu mengutamakan konflik psikis tokoh. Novel ini juga menunjukkan kalau sifat modern dan tradisional itu sebenarnya berlawanan.

Setelah diselesaikan, Belenggu ditawarkan kepada Balai Pustaka, penerbit resmi negara Hindia Belanda, pada tahun 1938. Namun, buku ini ditolak karena dianggap tidak bermoral. Novel ini kemudian diambil oleh Poedjangga Baroe. Pada awalnya, penerimaan Belenggu oleh masyarakat cukup beragam. Pihak yang mendukungnya beranggapan bahwa novel ini benar-benar mencerminkan konflik yang dihadapi para intelektual Indonesia, sementara yang menolak beranggapan bahwa novel ini porno karena memasukkan tokoh pelacur dan tema perselingkuhan. Tanggapan sekarang lebih positif, dengan penulis Muhammad Balfas menyebutnya "novel Indonesia terbaik dari sebelum perang kemerdekaan".[1] Belenggu sudah diterjemahan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris.

Alur

Sukartono (Tono), seorang dokter berpendidikan Belanda, dan istrinya Sumartini (Tini), yang tinggal di Batavia (sekarang Jakarta), sedang menjauh. Tono terlalu sibuk merawat pasien sehingga dia tidak punya waktu untuk bersama Tini. Akibatnya, Tini pun menjadi lebih aktif dengan kegiatan sosial, sehingga dia tidak mengurus rumah tangga. Hal ini membuat Tono semakin menjauh, sebab dia ingin Tini menjadi istri tradisional yang bersedia menyiapkan makan dan menunggu dia di rumah.

Suatu hari, Tono dipanggil oleh seseorang bernama Nyonya Eni, yang minta dirawat. Ketika Tono mendatanginya, dia menyadari bahwa Ny. Eni sebenarnya adalah Rohayah (Yah), temannya waktu masih kecil. Yah, yang sudah mencintai Tono sejak mereka masih di sekolah rakyat, mulai menggoda Tono sehingga dokter itu jatuh cinta. Mereka mulai bertemu secara diam-diam dan sering pergi ke pelabuhan Tanjung Priok. Ketika Tini pergi ke Surakarta untuk menghadiri kongres wanita, Tono mengambil langkah untuk hidup bersama Yah selama satu minggu.

Selama di rumah Yah, Tono dan Yah membahas masa lalu. Tono menjelaskan bahwa setelah tamat sekolah rakyat di Bandung, dia berpindah ke Surabaya dan belajar di sekolah kedokteran di sana. Dia menikah dengan Tini karena kecantikannya. Sementara, Yah dijodohkan dengan pria yang lebih tua dan berpindah ke Palembang. Setelah meninggalkan suami, dia pindah ke Batavia dan menjadi pelacur; selama tiga tahun dia menjadi simpanan pria Belanda. Melihat tingkah laku Yah yang sopan santun, Tono menjadi semakin cinta padanya karena beranggapan bahwa Yah adalah istri yang tepat untuknya. Namun, Yah merasa dirinya belum siap untuk menikah.

Tono, yang merupakan penggemar musik keroncong, diminta menjadi juri suatu lomba keroncong di Pasar Gambir. Di sana, dia bertemu dengan Hartono, seorang aktivis politik dan anggota Partindo, yang bertanya tentang istri dokter itu. Beberapa hari kemudian, Hartono mengunjungi rumah Tono dan bertemu dengan Tini. Ternyata Tini pernah menjalin hubungan dengan Hartono saat kuliah, sehingga mereka berhubungan seks; hal ini membuat Tini jengkel dengan dirinya sehingga tidak dapat mencintai laki-laki. Hartono pun semakin mengacaukan keadaan ketika dia memutuskan Tini dengan hanya meninggalkan sepucuk surat. Ketika Hartono minta agar dapat kembali bersama Tini, Tini menolak.

Setelah mengetahui bahwa Tono selingkuh, Tini menjadi sangat marah dan pergi untuk berbincang dengan Yah. Namun, setelah berbicara panjang dengan Yah, Tini mulai beranggapan bahwa Yah lebih cocok untuk Tono dan minta agar Yah segera menikahinya. Tini lalu berpindah ke Surabaya, dan Tono ditinggalkannya di Batavia. Namun, Yah merasa bahwa mempunyai hubungan dengan Tono akan membuat citra baik Tono hancur, sebab latar belakangnya yang pelacur itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk pindah ke Kaledonia Baru, dengan meninggalkan sepucuk surat dan sebuah piring hitam yang membuktikan bahwa Yah sebenarnya penyanyi favorit Tono, Siti Hajati. Dalam perjalanan ke Kaledonia Baru, Yah rindu pada Tono dan mendengar suaranya di radio. Tono ditinggal sendiri dan mulai bekerja sangat keras, dalam usaha untuk mengisi kesepiannya.

Tokoh

Sukartono
Sukartono (disingkat Tono) adalah seorang dokter yang merupakan suami Tini dan cinta Yah. Dokter ini suka merawat pasien miskin tanpa memungut biaya, sehingga menjadi terkenal. Dia juga penggemar berat lagu-lagu keroncong. Sewaktu dia masih di sekolah kedokteran, dia lebih suka bernyanyi daripada belajar dan sampai sekarang ada radio di ruang periksanya. Kegemarannya atas musik tradisional mencerminkan keinginannya untuk mempunyai istri yang berwawasan tradisional untuk menjaganya. Karena merasa tersiksa dari pernikahannya tanpa cinta dengan Tini, dia jatuh hati pada Yah, sebab Yah dianggap lebih mampu menjadi istri tradisional. Namun, akhirnya dia ditinggal sendiri.[2]
Sumartini
Sumartini (disingkat Tini) adalah istri Tono yang sangat modern. Waktu masih mahasiswi, dia sangat populer dan suka berpesta. Pada masa itu, Tini menyerahkan keperawanannya kepada Hartono, sehingga setelah dia diputuskan dia menjadi semakin tidak acuh pada keinginan laki-laki. Setelah dinikahi Tono, Tini menjadi semakin kesepian dan mulai bergerak di bidang sosial supaya hidupnya berarti. Ketika mengetahui ketidaksetiaan Tono dan beranggapan bahwa Yah lebih cocok dengan suaminya, Tini meninggalkan Tono dan pindah ke Surabaya.[3]
Menurut Yoseph Yapi Taum, seorang dosen di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, sikap tidak acu Tini adalah alasan utama mengapa Tono menjadi tertarik pada Yah. Gaya hidup Tini, yang tidak memasuki Tono, membuatnya berasa terasing dan mendorongnya untuk mencari wanita yang lebih tradisional.[4] Tham Seong Chee, seorang kritikus dari Singapura, beranggapan bahwa Tini adalah tokoh yang lemah sebab dia tidak bisa mengambil keputusan tanpa pengaruh luar, dan sampai kapan pun tidak mau menyelesaikan masalahnya dengan Tono. Dia juga menyatakan kalau Tini dibatasi oleh nilainya sendiri, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia pada umumnya.[5] Menurut penyair dan kritikus sastra Goenawan Mohamad, Tini didorong oleh harapan suaminya akan istri yang tradisional.[6]
Rohayah
Rohayah (juga dikenal dengan nama samaran Nyonya Eni dan Siti Hayati; disingkat Yah) adalah teman Tono dari Sekolah Rakyat yang kemudian menjadi simpanannya; dia juga seorang penyanyi keroncong terkemuka. Setelah Tono, yang lebih tua tiga tahun, lulus dari Sekolah Rakyat, Yah dipaksakan untuk menikah dengan pria yang lebih tua 20 tahun dan dibawa ke Palembang. Setelah melarikan diri, Yah kembali ke Bandung; akan tetapi, orang tuanya sudah meninggal. Dia kemudian berpindah ke Batavia dan menjadi seorang pelacur sekaligus penyanyi keroncong dengan nama samaran Siti Hayati. Ketika mengetahui bahwa Tono telah menjadi dokter di Batavia, dia menggoda dokter itu. Biarpun mereka saling jatuh cinta, Yah mengambil langkah untuk pergi sebab dia takut Tono akan diremehkan apabila dia menikah dengan seorang mantan pelacur. Yah berpindah ke Kaledonia Baru.[7]
Tham beranggapan bahwa Yah sebenarnya cocok menjadi istri Tono, sebab dia sudi menjadi istri tradisional. Namun, dia tidak dapat menjalani hubungan tersebut karena dulu menjadi pelacur. Menurut Tham, hal ini mencerminkan bahwa "moral dan nilai etis tidak mudah dipahami intelek, akal, atau rasio".[5] Goenawan beranggapan bahwa Yah sebenarnya seorang fatalis, yang merendahkan diri dengan menyatakan bahwa ada seribu perempuan di Tanjung Priok yang mempunyai cerita serupa. Dia juga beranggapan bahwa tokoh tersebut menjadi mengharukan tanpa menjadi berlebihan. Menurutnya, Yah adalah pelacur pertama yang digambarkan secara simpatetis dalam suatu karya sastra Indonesia.[6]

Pengaruh

Menurut Bakri Siregar, seorang kritikus sastra Indonesia sosialis yang aktif dengan Lekra, Armijn dipengaruhi teori Sigmund Freud akan psikoanalisis; dia menulis bahwa hal ini paling menonjol dalam tokoh Sumartini.[8] Dua karya Armijn yang ditulis sebelumnya, "Barang Tiada Berharga" (1935) dan "Lupa" (1936), mempunyai aspek plot yang mirip dengan Belenggu. "Barang Tiada Berharga" juga mempunyai tokoh dokter dan istrinya, yaitu Pardi dan Haereni, yang digambarkan dengan watak yang mirip Sukartono dan Sumartini, sementara "Lupa" memperkenalkan tokoh utama Sukartono.[9] Sebab pemerintah Hindia Belanda melarang pembahasan politik dalam sastra, Armijn membatasi sindiran pada sistem kolonial dalm novel.[10]

Gaya

Belenggu sering menggunakan tanda elipsis dan monolog untuk mencerminkan konflik batin tokoh masing-masing, sehingga kritikus sastra Indonesia berasal Belanda A. Teeuw menyatakan bahwa novel ini adalah "monolog interior bercabang tiga".[11] Berbeda dari karya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka, yang merupakan penerbit milik negara Hindia Belanda, Belenggu tidak menjelaskan semua aspek cerita; hanya aspek kunci dikemukakan, dengan aspek lain diisi sendiri oelh pembaca. Ini membuat pembacaan menjadi lebih aktif.[12]

Berbeda dari penulis novel Balai Pustaka, Armijn tidak menggunakan peribahasa; dia lebih menekankan penggunaan simile. Cara lain yang menunjukkan perbedaan gaya tulis Armijn dengan penulis-penulis Balai Pustaka ialah dengan membatasi penggunaan bahasa Belanda murni; sebelumnya penulis seperti Abdul Muis dan Sutan Takdir Alisjahbana menggunakan bahasa kolonialis itu untuk menggambarkan sifat tokoh utama yang intelektual. Sementara, dalam Belenggu Armijn menekankan bahasa serapan, sehingga edisi-edisi awal memuat daftar istilah yang berisikan istilah-istilah yang baru atau sulit.[1][13] Siregar menulis bahwa bahasa Armijn lebih mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari.[13]

Analisis

Simbolisme

Menurut Yapi, judul Belenggu mencerminkan konflik batin yang dihadapi semua tokoh utama, sehingga mereka terbatas dalam perilaku mereka. Yapi menunjuk pada klimaks novel sebagai contoh baik akan keterbatasan itu.[14] Menurut Siregar, hal ini didukung oleh dialog antara Siregar antara Hartono dan Sukartono, di mana mereka beranggapan bahwa manusia selalu dibelenggu oleh kenangannya akan masa lalu.[15]

Berbeda dari karya sastra Indonesia pada zaman itu, bab-bab Belenggu hanya diberi nomor bab – karya lain, misalkan Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis menggunakan nomor dan judul. Menurut Yapi, perbedaan gaya ini mewakili aliran kesadaran manusia, berbeda dengan cara sebelumnya yang menjadikan setiap bab sebagai peristiwa yang terpisah.[16]

Tema

Menurut Teeuw, berbeda dari novel-novel Indonesia pada masa itu, Belenggu tidak menggunakan tema protagonis yang baik dan suci melawan antagonis yang jahat, atau konflik dan perbedaan antara generasi.[17] Novel ini juga tidak menggunakan tema kawin paksa dan tidak diterimanya adat oleh pemuda-pemudi.[1] Novel ini malah menggunakan tema cinta segitiga – yang pada saat itu sudah umum di sastra Barat tapi belum ada di sastra Indonesia – tanpa menunjukkan siapa yang baik, jahat, benar, atau salah. Dia menulis kalau buku ini menggambarkan konflik batin sejenis manusia baru, yang dibentuk karena persatuan budaya Timur dan Barat.[17]

Yapi mencatat bahwa Belenggu menunjukkan hidup modern dan tradisional sebagai dua sistem yang berlawanan, yang memperbandingkan hal-hal baru dengan yang lama. Misalkan, Sukartono, seorang dokter (simbol hidup modern), selalu berpikir tentang masa lalu, Yah, dan lebih suka musik tradisional daripada yang modern. Lewat kontras Sukartono dan istrinya Tini yang sangat modern itu, Armijn menekankan bahwa kehidupan modern belum tentu membuat orang bahagia. Menurut Yapi, Belenggu mungkin dipengaruhi atau bahkan ditulis sebagai tanggapan atas Layar Terkembang (1936), karya Sutan Takdir Alisjahbana, yang juga mempunyai tema ini tetapi lebih pro-modern.[18]

Clive Christie, seorang dosen di School of Oriental and African Studies di London, mencatat bahwa Belenggu juga mewujudkan rasa terasingkan yang kuat. Dia menulis bahwa para tokoh menjadi seperti anggota "masyarakat yang berada dalam vakum", tanpa hubungan yang jelas dengan kolonialisme tetapi juga tanpa pengertian yang jelas akan nilai-nilai tradisional. Christie menjelaskan hubungan Tono dengan Yah sebagai simbol atas orang-orang intelektual yang berusaha berinteraksi dengan masyarakat luas melalui budaya populer, tetapi akhirnya tidak berhasil.[10]

Penerbitan pertama

Belenggu diserahkan kepada Balai Pustaka pada tahun 1938 untuk diterbitkan, tetapi tidak diterima sebab dianggap berlawanan dengan moral umum;[19] hal ini disebabkan penggambaran perselingkuhan sebagai hal yang umum, bahkan menjadi bagian penting dalam alur. Akhirnya novel ini diterbitkan oleh majalah Poedjangga Baroe, yang Armijn telah bantu mendirikan pada tahun 1933, dan diterbitkan dalam bentuk serial dari bulan April sampai Juni 1940.[17][19] Belenggu adalah satu-satunya novel yang diterbitkan majalah sastra itu,[19] dan merupakan novel psikologis Indonesia pertama.[20]

Pada tahun 1965, Belenggu diterjemahkan ke bahasa Malaysia. Sampai pada tahun 1988, novel ini sudah terjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dan, pada tahun 1989, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John McGlynn dengan judul Shackles, lalu diterbitkan Yayasan Lontar.[21]

Penerimaan

Ketika Belenggu diterbitkan, ada dua jenis reaksi utama. Orang-orang yang suka novel ini menyatakan bahwa Belenggu sangat berani, sebab dia mampu membahas tema yang berdasarkan kenyataan sosial.[22] Misalkan, jurnalis S. K. Trimurti menulis bahwa buku ini benar-benar mencerminkan permasalahan yang dihadapi orang Indonesia berpendidikan tinggi saat menghadapi kebudayaan tradisional.[23] Sementara, orang-orang yang tidak suka Belenggu meremehkannya sebagai novel yang "porno", sebab ada tekanan pada perilaku tabu seperti perselingkuhan dan prostitusi.[22] Menurut Teeuw, resepsi ini dipengaruhi oleh sifat pembaca Indonesia, yang terbiasa membaca karya sastra yang diidealkan, menjadi syok atas kenyataan yang dicerminkan dalam Belenggu.[24]

Kritik-kritik yang lebih mutakhir cendurung lebih positif. H.B. Jassin menulis pada tahun 1967 bahwa, biarpun tokoh-tokoh bertindak sebagai karikatur, Belenggu mampu membuat pembaca termenung atas kenyataan sosial modern.[25] Pada tahun 1969 novel ini diberi penghargaan dari pemerintah Indonesia;[26] pada tahun yang sama, penulis dan kritikus sastra Ajip Rosidi menulis bahwa buku ini lebih menarik daripada karya-karya sebelumnya karena penyelesaiannya bersifat multi-tafsir.[25]

Menurut penyair dan kritikus sastra Muhammad Balfas, yang menulis pada tahun 1976, Belenggu adalah "novel Indonesia terbaik dari sebelum perang kemerdekaan".[1] Dalam bukunya tentang sejarah sastra Indonesia yang terbit pada tahun 1980, Teeuw menulis bahwa, biarpun ada kekurangan dalam penggambaran psikologis tokoh-tokoh utama, Belenggu adalah satu-satunya novel Indonesia dari sebelum Perang Kemerdekaan yang benar-benar menarik untuk pembaca dari Barat.[24] Tham menulis pada tahun 1981 bahwa novel ini adalah cermin terbaik akan timbulnya kesadaran dalam masyarakat Indonesia bahwa nilai-nilai Barat bertentangan dengan nilai-nilai Timur.[27]

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ a b c d Balfas 1976, hlm. 69.
  2. ^ Taum 2008, hlm. 139–141.
  3. ^ Taum 2008, hlm. 142–143.
  4. ^ Taum 2008, hlm. 142.
  5. ^ a b Tham 1981, hlm. 114.
  6. ^ a b Mohamad 1985, Yah.
  7. ^ Taum 2008, hlm. 144–146.
  8. ^ Siregar 1964, hlm. 103.
  9. ^ Balfas 1976, hlm. 70.
  10. ^ a b Christie 2001, hlm. 69.
  11. ^ Teeuw 1980, hlm. 122.
  12. ^ Siregar 1964, hlm. 102.
  13. ^ a b Siregar 1964, hlm. 103–104.
  14. ^ Taum 2008, hlm. 147.
  15. ^ Siregar 1964, hlm. 105.
  16. ^ Taum 2008, hlm. 138.
  17. ^ a b c Teeuw 1980, hlm. 119.
  18. ^ Taum 2008, hlm. 148–150.
  19. ^ a b c Balfas 1976, hlm. 68.
  20. ^ Rampan 2000, hlm. 92.
  21. ^ Mahayana, Sofyan & Dian 2007, hlm. 83–84.
  22. ^ a b Taum 2008, hlm. 113.
  23. ^ Tham 1981, hlm. 115.
  24. ^ a b Teeuw 1980, hlm. 121.
  25. ^ a b KS 2010, hlm. 99.
  26. ^ Mahayana, Sofyan & Dian 2007, hlm. 83.
  27. ^ Tham 1981, hlm. 112.
Daftar pustaka