Boeah Rindoe

kumpulan puisi karya Amir Hamzah

Boeah Rindoe (EYD: Buah Rindu) adalah kumpulan puisi karya Amir Hamzah tahun 1941. Puisi-puisinya berasal dari tahun-tahun pertama Amir di Jawa, antara 1928 dan 1935. Menurut Anthony Johns dari Universitas Nasional Australia, puisi-puisi tersebut disusun secara kronologis, seperti yang ditunjukkan oleh semakin matangnya gaya penulisan Amir. Koleksi tersebut meliputi dua puluh tiga puisi berjudul dan dua karya tak berjudul. Terdapat sepuluh puisi yang sebelumnya pernah diterbitkan, termasuk karya-karya pertama yang diterbitkan Amir (keduanya dari 1932), "Mabuk..." dan "Sunyi".

Buah Rindu
Sampul, cetakan kedua
Sampul, cetakan kedua
PengarangAmir Hamzah
NegaraHindia Belanda
BahasaMelayu
GenreKoleksi puisi
PenerbitPoedjangga Baroe
Tanggal terbit
Juni 1941 (1941-06)
Jenis mediaCetak (sampul lunak)
Halaman46 (edisi kedua)

Dalam Buah Rindu, Amir menunjukkan ketertarikannya dalam menggunakan bentuk puisi Melayu tradisional seperti pantun. Namun, tidak seperti bentuk tradisional yang sangat saklek, ia mencampur pola rimanya. Teksnya didominasi oleh penggunaan istilah yang berkaitan dengan cinta dan pencarian, dan menurut pakar sastra Indonesia asal Belanda A. Teeuw, kumpulan puisi ini disatukan oleh tema kerinduan. Johns menyatakan bahwa citra dalam Buah Rindu bergantung pada sastra Melayu tradisional, dan bahwa terminologi Amir sangat dipengaruhi oleh puisi Melayu klasik. Penggunaan bahasa oleh Amir juga sangat diwarnai oleh gagasan-gagasan dan istilah-istilah Jawa, dan sumber pengaruh lainnya berasal dari sastra India, dengan rujukan kepada dewa dan dewi Hindu.

Buah Rindu diterbitkan secara keseluruhan dalam majalah Poedjangga Baroe edisi Juni 1941, sebuah majalah yang Amir bantu dirikan pada 1933. Karya tersebut kemudian diterbitkan ulang sebagai buku yang berdiri sendiri oleh Poestaka Rakjat di Jakarta.

Latar belakang

Amir Hamzah (1911–46) adalah penulis Melayu didikan Belanda keturunan bangsawan. Ia sangat menggemari sastra Melayu tradisional dan menyukai teks-teks bersejarah seperti Hikayat Hang Tuah, Syair Siti Zubaidah Perang Cina, dan Hikayat Panca Tanderan. Amir juga sering membaca karya sastra Arab, Persia, dan Hindu.[1] Karena itu, ia menguasai banyak sekali kosakata.[2]

Meski Buah Rindu diterbitkan tahun 1941, empat tahun setelah penerbitan koleksi perdana Amir Nyanyi Sunyi, para pembaca sepakat bahwa puisi-puisinya tidak terlalu baru.[3] Puisi di Buah Rindu diperkirakan dibuat antara 1928 dan 1935, yaitu tahun-tahun pertama Amir di Jawa.[4] Koleksi puisi ini mencantumkan dua tahun tersebut sekaligus lokasi penulisannya, Jakarta–Solo (Surakarta)–Jakarta.[5] Tanggal puisi itu sendiri tidak jelas. Tidak satupun karya Amir yang bertanggal, artinya tanggal pastinya mustahil diketahui.[6] Ada sejumlah hipotesis. Nh. Dini, dalam biografi Amir karyanya, berpendapat bahwa sejumlah puisi seperti "Tinggallah" ditulis tidak lama setelah ia menumpang kapal Plancus menuju Jawa.[7] Anthony Johns dari Universitas Nasional Australia berpendapat bahwa puisi-puisi tersebut disusun secara kronologis dan menunjukkan adanya peningkatan kedewasaan Amir sebagai penulis dilihat dari perkembangan puisinya.[8]

Isi

Buah Rindu berisi 23 puisi berjudul dan 2 puisi tanpa judul, satu kuatrain pendek di awal buku, dan dedikasi tiga baris di akhir buku.[9] Dedikasi penutupnya bertuliskan "Kebawah peduka Indonesia-Raya / Kebawah debu Ibu-Ratu / Kebawah kaki Sendari-Dewi",[a][10] Achdiat Karta Mihardja, teman sekelas Amir, menulis bahwa kekasih Amir dari Jawa, Ilik Sundari, langsung dikenali semua teman Amir. Ia menganggap Sundari sebagai inspirasinya sebagaimana "Laura bagi Petrarch, Mathilde bagi Jacques Perk".[11]

Puisi-puisi berjudulnya diurutkan sebagai berikut:

  1. "Cempaka..."
  2. "Cempaka Mulia"
  3. "Purnama Raya"
  4. "Buah Rindu" (empat bagian)
  5. "Kusangka"
  6. "Tinggallah"
  7. "Tuhanku Apatah Kekal?"
  8. "Senyum Hatiku, Senjum"
  9. "Teluk Jayakarta"
  10. "Hang Tuah"
  11. "Ragu"
  12. "Bonda" (dua bagian)
  13. "Dagang"
  14. "Batu Belah"
  15. "Mabuk..."
  16. "Sunyi"
  17. "Kamadewi"
  18. "Kenang-Kenangan"
  19. "Malam"
  20. "Berlagu Hatiku"
  21. "Harum Rambutmu"
  22. "Berdiri Aku"
  23. "Pada Senja"
  24. "Naik-Naik"

Dari semua puisi di Buah Rindu, 10 di antaranya sudah pernah diterbitkan. Sepuluh puisi tersebut mencakup karya-karya Amir yang pertama diterbitkan, "Mabuk..." dan "Sunyi", yang disertakan dalam majalah Timboel edisi Maret 1932, serta "Dagang", "Hang Tuah", "Harum Rambutmu", "Kenang-Kenangan", "Malam", "Berdiri Aku", "Berlagu Hatiku", dan "Naik-Naik". Sisanya belum pernah diterbitkan.[12]

Gaya

Di Buah Rindu, terutama puisi-puisi pertamanya, Amir menunjukkan kegemarannya memakai bentuk puisi Melayu tradisional seperti kuatrain (dapat ditemukan di pantun dan syair). Namun tidak seperti bentuk tradisional yang sangat kaku, Amir mencampurkan pola rimanya. Misalnya, satu kuatrain bisa mengandung monorima (seloka), sementara kuatrain selanjutnya memiliki pola empat baris sederhana yang berlompatan (pantun).[8] Baris-barisnya dibelah oleh satu caesura, kadang-kadang dua. Caesura-nya tidak selalu di tengah garis, kadang cenderung ke depan, dan kadang cenderung ke belakang.[13]

Teksnya didominasi istilah-istilah cinta dan pencarian, termasuk kelana, merantau, cinta, dan asmara.[14]

Menurut Johns, pencitraan di Buah Rindu sangat bergantung pada sastra Melayu tradisional. Bunga-bungaan sering disebut. Seperti saat kekasih di "Buah Rindu II" merenungkan awan, bunga-bunga ini berperan sebagai "motif yang diturunkan dengan jelas, tetapi diceritakan kembali oleh Hamzah secara kreatif dan menyentuh".[15] Terminologi Amir tampaknya sangat dipengaruhi puisi Melayu klasik. Di "Hang Tuah" misalnya, kata perenggi digunakan untuk menyebut pasukan Portugal yang menyerang Malaka. Kata yang sama dapat ditemukan di teks-teks klasik seperti Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah. Kata klasik lainnya meliputi galyas dan pusta, padahal artinya sama dengan kapal perang dan kapal.[16]

Pemilihan bahasa Amir dipenuhi kata dan ide dari bahasa Jawa. Johns menunjukkan beberapa kata yang tidak diketahui dalam bahasa Melayu, seperti banyu, yayi, dan Tejaningsun. Ia juga melihat adanya pengaruh bentuk puisi macapatan Jawa.[17] Kemunglinan sumber pengaruh lainnya adalah sastra India. Sejarawan Indonesia HB Jassin menemukan beberapa hal di "Buah Rindu II", termasuk penggambaran awan yang mirip dengan Meghadūta Kālidāsa.[18] Dewa-dewi Hindu juga disebut dalam puisinya.[18]

Tema

Pakar sastra Indonesia dari Belanda A. Teeuw menulis bahwa koleksi ini disatukan oleh tema kerinduan[19] yang dijabarkan Jassin: Amir merindukan ibunya, merindukan orang yang dicintainya, dan merindukan kampung halamannya. Semuanya disebut "kekasih".[20] Menurut Teeuw, kerinduan ini tidak seperti nada religius pada Nyanyi Sunyi. Buah Rindu lebih membumi dan berdasarkan kenyataan.[21] Jassin melihat ada perbedaan tema antara keduanya. Tidak seperti Nyanyi Sunyi yang menggambarkan monoteisme secara jelas, Buah Rindu memaparkan dewa-dewi secara eksplisit, termasuk dewa Hindu Siwa dan Parwati serta dewa abstrak seperti dewa-dewi cinta.[20]

Tanggapan

Buah Rindu diterbitkan secara lengkap di Poedjangga Baroe edisi Juni 1941, majalah yang ikut didirikan Amir tahun 1933.[12] Koleksi puisi ini kemudian diterbitkan lagi dalam bentuk buku terpisah oleh Poestaka Rakjat di Jakarta.[22]

Johns menulis bahwa meski elemen-elemen individualitas sangat kentara di dalam koleksi ini, "tak satupun yang menunjukkan individualitas dan intensitas" tulisan-tulisan terakhir Amir.[8] Ia melihat ada dua puisi, "Tinggallah" dan "Senyum Hatiku, Senyum", yang terkesan lemah.[15] Walaupun memiliki sudut pandang positif terhadap karya-karya Amir, penyair Chairil Anwar tidak menyukai Buah Rindu dan menganggapnya terlalu klasik.[23]

Catatan penjelas

  1. ^ Teks asli: "Kebawah peduka Indonesia-Raya / Kebawah debu Ibu-Ratu / Kebawah kaki Sendari-Dewi"; dalam Ramayana versi Indonesia, Sendari (juga ditulis Sundari) adalah istri pertama Abimanyu.

Referensi

  1. ^ Jakarta City Government, Amir Hamzah.
  2. ^ Echols 1956, hlm. 14.
  3. ^ Teeuw 1980, hlm. 125–26.
  4. ^ Jassin 1962, hlm. 8.
  5. ^ Husny 1978, hlm. 29.
  6. ^ Jassin 1962, hlm. 9.
  7. ^ Dini 1981, hlm. 29–30.
  8. ^ a b c Johns 1979, hlm. 126.
  9. ^ Hamzah 1953, hlm. 4–46.
  10. ^ Mihardja 1955, hlm. 120.
  11. ^ Mihardja 1955, hlm. 122.
  12. ^ a b Jassin 1962, hlm. 211–19.
  13. ^ Johns 1979, hlm. 129.
  14. ^ Jassin 1962, hlm. 11.
  15. ^ a b Johns 1979, hlm. 127.
  16. ^ Jassin 1962, hlm. 20.
  17. ^ Johns 1979, hlm. 128.
  18. ^ a b Jassin 1962, hlm. 23–25.
  19. ^ Teeuw 1955, hlm. 110.
  20. ^ a b Jassin 1962, hlm. 28.
  21. ^ Teeuw 1980, hlm. 132.
  22. ^ Husny 1978, hlm. 83.
  23. ^ Teeuw 1980, hlm. 136.

Kutipan

  • "Amir Hamzah". Encyclopedia of Jakarta (dalam bahasa Indonesia). Jakarta City Government. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-26. Diakses tanggal 26 December 2011. 
  • Dini, Nh. (1981). Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gaya Favorit Press. OCLC 8777902. 
  • Echols, John (1956). Indonesian Writing in Translation. Ithaca: Cornell University Press. OCLC 4844111. 
  • Hamzah, Amir (1953). Buah Rindu (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pustaka Rakjat. OCLC 23787339. 
  • Husny, M. Lah (1978). Biografi – Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Department of Education and Culture. OCLC 18582287. 
  • Jassin, H.B. (1962). Amir Hamzah: Radja Penjair Pudjangga Baru (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 7138547. 
  • Johns, Anthony H. (1979). "Amir Hamzah: Malay Prince, Indonesian Poet". Cultural Options and the Role of Tradition: A Collection of Essays on Modern Indonesian and Malaysian Literature. Canberra: Faculty of Asian Studies in association with the Australian National University Press. hlm. 124–140. ISBN 978-0-7081-0341-8. 
  • Mihardja, Achdiat K. (1955). "Amir Hamzah dalam Kenangan". Remembering Amir Hamzah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Djawatan Kebudajaan. hlm. 113–122. OCLC 220483628. 
  • Teeuw, A. (1955). Pokok dan Tokoh (dalam bahasa Indonesia). 1. Jakarta: Pembangunan. OCLC 428077105. 
  • Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801.