Duda menurut Islam
Duda menurut Islam adalah seorang laki-laki berstatus suami yang telah melakukan perceraian atas istrinya. Seorang duda dalam syariat Islam memiliki hak waris atas harta mantan istrinya akibat cerai mati sesuai dengan kondisi keberadaan anak hasil pernikahan. Duda yang telah bercerai dapat menikah lagi tanpa menunggu masa iddah selama tidak ada larangan agama dan perundangan. Pernikahannya dapat dengan mantan istrinya atau orang lain. Seorang duda dalam ajaran Islam dapat dirajam ketika melakukan perzinaan.
Pemberian status
suntingDalam syariat Islam, status duda terjadi karena terputusnya hubungan pernikahan akibat perceraian.[1]
Hak
suntingHak harta dari istri yang cerai mati
suntingSeorang duda memiliki hak atas harta yang ditinggal oleh istrinya yang meninggal duluan. Hak harta duda dijelaskan dalam Surah An-Nisa' ayat 12. Pemberian hak duda atas harta istrinya yang meninggal dikondisikan dengan keberadaan anak yang ditinggal mati.[2] Surah An-Nisa' ayat 12 menyatakan bahwa jika seorang istri meninggal tanpa memiliki seorang anak dari pernikahannya, maka harta yang ditinggalkan menjadi hak waris bagi suaminya sebanyak seperdua dari keseluruhan harta. Jika seorang istri meninggal dengan mempunyai anak dari pernikahannya, maka harta yang ditinggalkan menjadi hak waris bagi suaminya sebanyak seperempat dari keseluruhan harta. Seperempat harta waris ini harus dikurangi dengan hasil pemenuhan wasiat istrinya ketika hidup dan pelunasan hutang istrinya.[3]
Hak pernikahan
suntingAjaran Islam tidak melarang seseorang yang ingin menikah dengan duda.[4] Seorang duda yang telah mengakhiri pernikahan dengan perceraian dapat menikah lagi dengan orang lain.[1] Dalam syariat Islam, seorang duda dapat menikah lagi tanpa ada masa iddah setelah ia menceraikan istrinya.[5] Seorang duda juga dapat menikah dengan pasangan yang sebelumnya diceraikan selama tidak ada larangan dalam agama dan perundang-undangan.[6]
Hukuman atas pelanggaran
suntingZina muhsan
suntingDalam hukum pidana Islam, seorang duda yang melakukan perzinaan terhitung melakukan zina muhsan karena pernah melangsungkan pernikahan. Hukuman dari zina muhsan ialah rajam.[7] Penetapan hukuman dalam zina muhsan berlaku bagi seseorang yang pernah melakukan hubungan seksual. Pemberlakuan ini baik pada seseoorang yang masih menikah maupun yang sudah tidak menikah, termasuk salah satunya ialah duda.[8]
Lihat pula
suntingReferensi
suntingCatatan kaki
sunting- ^ a b Ria 2017, hlm. 108-109.
- ^ Nawawi 2016, hlm. 24.
- ^ Nawawi 2016, hlm. 22-23.
- ^ Arifandi, Firman (Oktober 2018). Fatih, ed. Serial Hadits Pernikahan 1: Anjuran Menikah dan Mencari Pasangan (PDF). Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing. hlm. 21.
- ^ Machrus, A., dkk. (2017). Anwar, A. K., dan Santoso, T. B., ed. Fondasi Keluarga Sakinah: Bacaan Mandiri Calon Pengantin (PDF). Jakarta: Subdit Bina Keluarga Sakinah. hlm. 193. ISBN 978-602-61267-0-2.
- ^ Ria 2017, hlm. 109.
- ^ Junaidy, dkk. 2020, hlm. 175.
- ^ Junaidy, dkk. 2020, hlm. 177.
Daftar pustaka
sunting- Junaidy, A. B., dkk. (November 2020). Ghafur, W. A., dan Fajriyah, I. M. D., ed. Hukum Pidana Islam Indonesia (PDF). Depok: Rajawali Buana Pusaka. ISBN 978-623-7787-25-9.
- Nawawi, Maimun (Maret 2016). Hasanah, Ulfatun, ed. Pengantar Hukum Kewarisan Islam (PDF). Surabaya: Penerbit Buku Pustaka Radja. ISBN 978-602-1194-46-1.
- Ria, Wati Rahmi (Oktober 2017). Hukum Keluarga Islam (PDF). Surabaya: UINSA Pers. Ringkasan.