Hubungan Prancis dengan Thailand
Hubungan Prancis dengan Thailand mencakup periode dari abad ke-16 sampai zaman modern. Hubungan terjalin dalam dari masa pemerintahan Louis XIV dari Prancis dengan banyak kedutaan yang saling timbal balik, serta usaha besar Prancis dalam mengkristenkan kerajaan Thailand (yang kemudian dikenal sebagai Siam) dan mendirikan sebuah protektorat Prancis, tetapi gagal ketika negara tersebut memberontak melawan intrusi asing di negara tersebut pada tahun 1688. Prancis hanya akan kembali lebih dari satu setengah abad kemudian sebagai kekuatan kolonial modern, yang terlibat perjuangan kawasan dan melawan pengaruh Thailand di daratan Asia Tenggara yang berlangsung hingga abad ke-20.
Hubungan keduanya pada abad ke-16 hingga ke-17
suntingMisi Katolik Prancis pertama
suntingKontak pertama antara Prancis-Thailand merupakan catatan sejarah pertama atas upaya mengenalkan Kekristenan ke Siam, yang menurut Giovanni Pietro Maffei, sekitar pada tahun 1550 seorang Fransiskan Prancis, Bonferre, mendengar tentang kerajaan besar Bagoans dan Thailand di timur, yang menaiki kapal Portugis dari Goa ke Cosme (Bago), di mana selama tiga tahun dia memberitakan Injil tanpa hasil apapun.[1] Kontak utama pertama antara kedua negara terjadi setelah Thailand dijadikan vikaris apostolik oleh Paus Alexander VII pada tanggal 22 Agustus 1662. Misi tersebut ditugaskan ke Komunitas Misi Asing Paris (Paris Foreign Missions Society) yang baru dibentuk untuk mnyebarkan ajaran injil di Asia, di mana Siam menjadi negara pertama yang menerima ini; yang diikuti oleh misi baru 40 tahun kemudian di Cochinchina, Tonkin dan sebagian Tiongkok,[2] karena Siam sangat toleran terhadap agama lain dan satu-satunya negara di Asia Tenggara dimana Bapa Katolik dapat membangun dirinya dengan aman.[3]
Monseigneur Pierre Lambert de la Motte, Uskup Beirut, Vikaris-Apostolik Cochinchina, dan anggota Missions Etrangères de Paris, didampingi oleh Pastor De Bourges dan Deydier,[4] meninggalkan Marseille pada 26 November 1660, dan mencapai Mergui 18 bulan kemudian. Dia tiba di Kerajaan Ayutthaya pada tahun 1662.[5]
Pada tahun 1664, sekelompok misionaris yang dipimpin oleh François Pallu, Uskup Heliopolis, juga dari Paris Foreign Missions Society, bergabung dengan Lambert di ibu kota Ayutthaya setelah melakukan perjalanan darat selama 24 bulan dan memulai pekerjaan misionaris. Pada tahun 1665-66 mereka membangun seminari di Ayutthaya dengan persetujuan Raja Narai,[6] Seminari Santo Joseph (kemudian Seminari Malaikat Kudus, yang berasal dari College General, yang sekarang berada di Penang, Malaysia).
Pada tahun 1669, Louis Laneau, Uskup Motella, juga anggota Masyarakat Misi Asing Paris, diangkat sebagai kepala misi Katolik Roma di daratan Asia Tenggara, dengan kantor pusatnya di Ayutthaya. Mereka menyebarkan iman Kristen dan juga merawat orang Kristen Annamite dan komunitas Kristen Jepang di Thailand. Narai menyambut para misionaris ini, dengan memberi mereka tanah untuk gereja, rumah misi dan sebuah seminari (koloni St. Yosef). Uskup Lambert dan Ballue mendirikan sebuah rumah sakit Barat di Thailand pada tahun 1669 di Ayutthaya, dengan Pastor Laneau sebagai kepala dokter. Rumah sakit memberikan perawatan medis kepada sekitar 200-300 orang setiap hari.[7] Selama perjalanan 1670 ke Prancis, Pallu memperoleh surat dari Louis XIV kepada Raja Narai, yang pada saat yang sama membawa sebuah surat dari Paus, dan dikirim ke Ayutthaya pada bulan Oktober 1673, lalu diterima dengan sangat hormat.
Kontak ini terkait erat dengan perkembangan pengaruh Prancis di Asia Selatan; terutama dengan pendirian Perusahaan Hindia Timur Prancis pada tahun 1664, serta pengembangan kolonial India Prancis.
Kontak perdagangan pertama (1680)
suntingPada tahun 1680, Perusahaan Hindia Timur Prancis yang baru dibentuk; mengirim sebuah kapal ke Thailand, membawa sebuah misi perdagangan yang dipimpin oleh André Deslandes-Boureau, yaitu menantu Gubernur Jenderal pemukiman Prancis di Pondicherry François Martin. Dia diterima dengan baik oleh penduduk Thailand.[8]
Pada bulan September 1680, sebuah kapal dari Perusahaan India Timur Prancis mengunjungi Phuket dan pergi dengan muatan penuh timah. Orang Belanda, Inggris, dan juga Prancis (dari tahun 1680-an) saling berkompetisi satu sama lain untuk berdagang di pulau Phuket (pulau itu bernama Junk Ceylon saat itu); yang dinilai sebagai sumber timah yang kaya. Pada tahun 1681 atau 1682, Raja Siam Narai—yang berusaha mengurangi pengaruh Belanda dan Inggris—menunjuk Brother René Charbonneau, yaitu Gubernur Phuket misionaris medis asal Prancis, dan anggota misi Siam dari Société des Missions Etrangères. Charbonneau memegang jabatan Gubernur sampai tahun 1685.[9]
Kedubes Thailand pertama di Prancis (1680 dan 1684)
suntingRaja Narai selanjutnya berusaha memperluas hubungan dengan orang Prancis, untuk melawan pengaruh Portugis dan Belanda di kerajaannya, dan atas saran penasihatnya dari Constantine Phaulkon. Pada tahun 1664, Belanda telah menggunakan kekuatan untuk membuat sebuah perjanjian yang memberi mereka hak eksteritorial, serta akses yang lebih bebas di bidang perdagangan. Pada tahun 1680, duta besar Siam pertama untuk Prancis (Phya Pipatkosa) dikirim dengan kapal Soleil d'Orient, tetapi kapal tersebut hancur di lepas pantai Afrika setelah meninggalkan Mauritius dan kemudian menghilang.
Kedutaan kedua dikirim ke Prancis pada tahun 1684 (melewati Inggris), yang dipimpin oleh Khun Pijaiwanit dan Khun Pijitmaitri, dan meminta pengiriman kedutaan Prancis di Thailand. Mereka bertemu dengan Louis XIV di Versailles. Sebagai tanggapan, Louis XIV mengirim sebuah kedutaan yang dipimpin oleh Chevalier de Chaumont.
Lihat pula
suntingCatatan kaki
sunting- ^ Committee 1913, hlm. 76.
- ^ Catherine & Paris 2011, hlm. 4.
- ^ Catherine & Paris 2011, hlm. 45; 122.
- ^ "Catholic Encyclopedia: Siam (Thailand)". www.newadvent.org.
- ^ "Thai Ministry of Foreign Affairs". Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 October 2002. Diakses tanggal 2002-10-15.
- ^ Jay Brown & Tackett 2005, hlm. 464.
- ^ Charuluxananana & Chentanez 2007, hlm. 98.
- ^ Desfarges, Jean & Smithies 2002, hlm. 7-185.
- ^ Ahmad & Ee 2003, hlm. 294.
Daftar pustaka
sunting- Ahmad, Abu Talib.; Ee, Tan, Liok (2003). New terrains in Southeast Asian history. Athens: Center for International Studies, Ohio University Press. ISBN 9780896802285. OCLC 133167898.
- Catherine, Marin.; Paris, Institut catholique de (2011). La Société des Missions Etrangères de Paris : 350 ans à la rencontre de l'Asie : 1658-2008 : colloque à l'Institut Catholique de Paris (4 et 5 avril 2008). Paris: Karthala. ISBN 9782811104559. OCLC 708339034.
- Charuluxananana, Somrat; Chentanez, Vilai (2007). "History and evolution of western medicine in Thailand". Asian Biomedicine. 1: 98.
- Committee, Knights of Columbus Catholic Truth (1913). The Catholic encyclopedia: an international work of reference on the constitution, doctrine, discipline, and history of the Catholic Church (dalam bahasa Inggris). Encyclopedia Press.
- Desfarges, General.; Jean, Vollant des Verquains; Smithies, Michael. (2002). Three military accounts of the 1688 'revolution' in Siam. Bangkok, Thailand: Orchid Press. ISBN 9745240052. OCLC 51800274.
- Jay Brown, Stewart; Tackett, Timothy (2005). White Creole culture, politics, and identity during the age of abolition. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 1397805218. OCLC 57574589.