Kajian media

(Dialihkan dari Ilmu media)

Kajian media adalah disiplin ilmu pengetahuan yang mempelajari konten, sejarah, dan pengaruh berbagai media, khususnya media massa. Kajian media berasal dari tradisi ilmu sosial dan humaniora, dengan fokus studi pada bidang komunikasi massa, komunikasi, ilmu komunikasi, dan kajian komunikasi.[1] Di penghujung tahun 1970-an, kajian media secara luas mulai berdiri sebagai disiplin ilmu mandiri. Beberapa peneliti mengembangkan beragam teori dan metode dari berbagai disiplin seperti kajian budaya, retorika (termasuk retorika digital), filsafat, teori sastra, psikologi, ilmu politik, ekonomi politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, teori sosial, sejarah seni, teori kritis, teori film, feminisme, dan teori informasi.[2]

Kajian media berkaitan dengan bentuk-bentuk representasi realitas (di sini, fotografer pers yang sedang bekerja)

Sejarah dan definisi media

sunting
 
Seorang gadis kecil membaca berita melalui surat kabar tentang pendaratan di bulan pada tahun 1969

Surat kabar dan jurnal merupakan area kajian media pertama yang dibakukan menjadi penelitian ilmiah. Institut Ilmu Surat Kabar atau IIS (bahasa Jerman: Institut für Zeitungskunde) adalah pranata pendidikan kajian media pertama yang pernah didirikan di Eropa. Institusi tersebut didirikan oleh Karl Bücher pada tahun 1916 di Leipzig, Jerman. Sebelum mendirikan IIS, Bücher sempat terlibat dalam pers dan propaganda selama Perang Dunia I.[3] Dapat diketahui berdasarkan sejarah penggunaanya, kajian media bukanlah disiplin ilmu, yang dapat dipastikan netral dari kepentingan; baik ideologi maupun politik. Selain itu, kajian media juga merupakan bidang ilmu sosial-humaniora interdisiplin; yang membaur dengan perkembangan teknologi. Oleh sebab itu, beberapa pemikir menggolongkan kajian media sebagai bagian dari kajian budaya, di mana 'media' di sini merupakan salah satu produk "industri budaya".[4]

Para pemikir ilmu sosial dan humaniora umumnya menggunakan kata 'media' untuk menjelaskan dua hal yang berbeda. Pertama, digunakan untuk menunjuk kepada alat atau teknologi yang digunakan untuk komunikasi seperti kertas, gelombang radio, atau kata yang diucapkan. Hal ini lazim digunakan oleh para artis, insinyur, dan arsitek. Para pemikir komunikasi, seperti Innis, McLuhan, dan alumni sekolah Kanada; juga menggunakan kata 'media' untuk menunjuk pada alat atau teknologi. Kedua, penggunaan kata 'media' yang ditunjukkan kepada lembaga, organisasi, atau korporasi media massa, misalnya nama sebuah stasiun berita, atau penyiaran radio. Para agen periklanan mulai menyebut nama surat kabar, majalah, dan stasiun radio sebagai 'media' pada tahun 1920. Ilmuwan sosial pengkaji Perang Dunia II pada tahun 1930-an juga menggunakan kata 'media' sebagai penunjuk media massa.[5]

McLuhan (1964) misalnya mengenalkan konsep "media adalah pesan" (bahasa Inggris: "the medium is the message"), dan menurutnya semua artefak buatan manusia dan teknologi adalah media. Dia juga mengenalkan istilah 'media' dengan konsep umum seperti "penduduk global" dan "zaman informasi", di mana sebuah media juga merupakan segala hal yang memediasi interaksi kita dengan dunia dan manusia lainnya. Berdasarkan perspektif ini, kajian media tidak terbatas pada bentuk media komunikasi tetapi segala bentuk teknologi. Media dan penggunanya adalah sebuah ekosistem, dan kajian mengenai ekosistem ini disebut ekologi media. Dalam menjelaskan konsep ini, dia menggunakan contoh penggunaan cahaya elektrik; di mana cahaya elektrik merupakan informasi murni, dan ini merupakan media tanpa pesan, yaitu selama cahaya ini tidak digunakan untuk mengeja huruf atau kata. Karakteristik dari semua media yaitu adanya "konten" dari media lainnya; yang merupakan media. Misalnya, "konten" tulisan adalah pidato, kata tertulis adalah "konten" dari tulisan, dan tulisan adalah "konten" dari telegram. Perubahan media atau teknologi memperkenalkan hubungan manusia; yang merupakan sebuah "pesan". Jika cahaya elektrik digunakan dalam acara pertandingan bola atau digunakan untuk menerangi meja misalnya, maka "konten" dari cahaya elektrik adalah aktivitas ini. Menurutnya, cahaya elektrik tidak dimaknai sebagai media komunikasi karena tidak memiliki pesan. Selama tidak digunakan untuk mengeja nama, atau aktivitas lainnya, maka benda ini bukan media. Sama halnya dengan radio, dan media massa lainnya, "konten" dari sebuah film adalah buku, permainan, opera atau yang lainnya.

McLuhan (1964) juga membedakan antara "media dingin" dan "media panas"; di mana "media panas" seperti radio atau film dapat memperpanjang makna tunggal dalam sebuah "definisi tinggi" (bahasa Inggris: high definition). Makna "definisi tinggi" berarti keadaan terisi penuh dengan data atau informasi. "Media dingin" seperti telepon, dan televisi dikelompokkan dalam "definisi rendah" karena hanya memberikan jumlah data atau informasi yang sedikit. "Media panas" memiliki tingkat keterlibatan rendah, sedangkan "media dingin" memiliki tingkat keterlibatan tinggi. "Media panas" sangat rendah dalam tingkat keterlibatan, karena media ini memberikan hampir seluruh informasi; sedangkan "media dingin" memiliki tingkat keterlibatan tinggi karena media ini memberikan informasi yang sangat sedikit, tidak terisi penuh, namun inklusif. Dia mengelompokkan kuliah atau pengajaran sebagai salah satu contoh "media panas" dan seminar sebagai salah satu contoh "media dingin".

Pendekatan teori dalam kajian media

sunting

Pendekatan teori dalam kajian media yang diuraikan di sini meliputi pendekatan mazhab Chicago; pendekatan propaganda; dan pendekatan mazhab Frankfurt dan teori kritis.

Pendekatan mazhab Chicago

sunting

Mazhab Chicago merupakan aliran pemikiran dengan tokoh pemikir seperti Nels Anderson, Ernest Burgess, Ruth Shonle Cavan, Edward Franklin Frazier, Everett Hughes, Roderick D. McKenzie, George Herbert Mead, Robert E. Park, Walter C. Reckless, Edwin Sutherland, dan W. I. Thomas.[6] Sekolah ini terkenal dengan perkembangan teori sosiologi urban dan peradaban, dengan pendekatan teori interaksionisme simbolik dan ekologi; yang kini dikenal dengan pendekatan etnografi. Awalnya, para pemikir ini memfokuskan pemikirannya pada masalah-masalah sosial kontemporer yang terjadi di Chicago. Menurut mereka, masalah sosial yang terjadi di sana, salah satunya diakibatkan karena urbanisasi dan peningkatan mobilitas sosial. Lalu, para pemikir seperti John Dewey, Charles Cooley, dan George Herbert Mead memikirkan tentang konsep warga negara Amerika yang berpeluang menjadi warga negara demokrasi. Menurut Mead (1934), hlm. 317-328, suatu bentuk komunikasi baru harus ditemukan untuk mengembangkan suatu warga negara menjadi "warga negara ideal"; dengan asumsi dasar bahwa seorang individu mampu mengapresiasi sikap, sudut pandang, dan posisi orang lain; dan sebaliknya. Mead percaya bahwa bentuk komunikasi baru ini, dapat menjadikan warga negara saling berempati satu sama lain. Sedangkan Dewey (1927a), hlm. 143-184 memformulasikan konsepnya sebagai "komunitas hebat"; di mana kecerdasan manusia mampu membangun dirinya sendiri. Selain itu, menurutnya pengetahuan juga memiliki semacam "fungsi asosiasi dan komunikasi". Lalu Cooley menambahkan bahwa komunikasi politik mampu membuat opini publik, dan mempromosikan demokrasi.[7] Para pemikir ini sedang merepresentasikan perhatian mereka tentang komunikasi elektronik sebagai fasilitator demokrasi, dan keyakinan mereka kepada para pemilih cerdas; yang mampu menjadi pribadi yang dapat melawan massa kebanyakan.

Pendekatan teori propaganda

sunting
 
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, film dokudrama propaganda anti-komunisme, anti-PKI dan pro-Soeharto yang paling dikenal dan sering ditonton di era Orde Baru di Indonesia

Menurut Institut Analisis Propaganda (bahasa Inggris: Institute for Propaganda Analysis) dalam Lee & Alfred (1937), definisi propaganda adalah suatu ekspresi berupa gagasan atau tindakan, baik oleh individu maupun kelompok, yang secara sengaja dirancang untuk mempengaruhi gagasan atau tindakan individu atau kelompok lain, dengan mengacu pada tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan dalam buku Teknik Propaganda Perang Dunia, Lasswell (1937), hlm. 214-222 berpendapat bahwa propaganda dalam makna yang lebih luas, merupakan teknik mempengaruhi tindakan manusia dengan cara merekayasa representasi. Representasi ini disampaikan baik dalam bentuk ucapan, tulisan, gambar, maupun musik. Berdasarkan definisi propaganda ini, menunjukkan bahwa media sangat berpengaruh terhadap perilaku dan tindakan para audiens.[8]

Program pengaruh media dan komunikasi massa pertama kali dibuka di Universitas New School (bahasa Inggris: The New School University), New York pada tahun 1919. Universitas ini adalah universitas pertama yang membahas gambar bergerak pada tahun 1926. John Culkin, seorang kolega Marshall McLuhan, menghibahkan Pusat Pemahaman Media kepada universitas ini pada tahun 1975; dan tidak lama kemudian, kajian media resmi dibuka pada program pascasarjana (M.A.). Universitas New School adalah universitas pertama yang melakukan penelitian di Bagian Eksperimentasi pada Divisi Informasi dan Pendidikan Sub-divisi Penelitian di Departemen Perang Amerika Serikat. Mereka mengamati pengaruh film propaganda terhadap para tentara yang ikut serta dalam berbagai perang Amerika Serikat.[9] Di Indonesia, film propaganda Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI pernah dibuat untuk mempertahankan pemerintahan Orde Baru. Saat itu, saluran TVRI merupakan satu-satunya saluran televisi milik negara yang ada di Indonesia, yang menayangkan film ini setiap malam 30 September. Film ini pernah menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia; juga sering ditayangkan di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pemerintah.[10] Menurut Heryanto (2006), hlm. 13, versi kejadian tahun 1965 dalam film ini adalah satu-satunya wacana terbuka yang diperbolehkan kala itu.

Berbeda, dengan masa pemerintahan Orde Baru; di mana atas nama pembangunan nasional, pemerintah mengeluarkan sejumlah aturan atau kebijakan politik melalui Menteri Penerangan; termasuk dalam kebijakan konten dalam penyiaran televisi. Kini orientasi ekonomi dijadikan sebagai "kiblat" bagi para pemilik modal untuk mengendalikan isi siaran televisi. [11] Salah satunya dalam bisnis iklan, seperti yang diungkapkan Herman & Chomsky (1992), hlm. 63, yang menegaskan bahwa media adalah bisnis berorientasi laba, dimiliki oleh orang yang sangat kaya (atau korporasi); dan sebagian besar didukung oleh banyaknya pengelola iklan yang juga pencari laba; serta oleh siapapun yang ingin iklan mereka muncul dan menjual di lingkungan yang berdaya beli.[12] Keduanya juga berpendapat mengenai lima faktor tentang media ini, yaitu tentang kepemilikian, periklanan, sumber daya, perlawanan dan ideologi anti-komunis yang bekerja sebagai penyaring: mengenai informasi apa saja yang boleh disajikan, baik secara individual maupun kolektif; yang sebagian besar berpengaruh kuat dalam preferensi pemilihan media. Hingga hari ini, tidak ada kesimpulan akhir mengenai definisi propaganda, dan perdebatan masih berlanjut.

Pendekatan mazhab Frankfurt dan teori kritis

sunting

Mazhab Frankfurt berperan besar dalam perkembangan dan aplikasi teori kritis, khususnya pada kajian media. Dengan lokus teoretis dan filosofis dari para tokoh besar seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Leo Lowenthal, dan Herbert Marcuse. Oleh karenanya, kritik kaum Marxis atas hembusan pasar "industri budaya" merupakan kritik yang tajam dan berpengaruh kuat. Seperti halnya yang pernah ditulis dalam Sebuah Kritik atas Musik Radio, Adorno (1945), hlm. 7; 208-217 menegaskan bahwa musik tak ubahnya seperti barang konsumen lainnya, yang hanya menghasilkan 'komoditas mendengar', dan tidak lagi sebagai daya pendorong manusia; dan pendengar musik pun kini menolak semua aktivitas intelektual. Selain mengeluhkan pengaruh "industri budaya", Mazhab Frankfurt juga mulai mengidentifikasi antara budaya massa dan budaya tinggi dalam dua entitas berbeda; yang kemudian dikenal dengan budaya populer dan budaya tinggi. Pembedaan dua konsep budaya ini, didasarkan atas perbedaan produksi orisinal dengan perilaku ritualistik budaya massa; yang suka meniru dan menyerupai simbol reproduksi, sehingga tidak memiliki orisinalitas, dan hampa makna.

Selain mazhab Frankfurt, Pierre Bourdieu, seorang pemikir dan penulis buku On Television asal Prancis; berpendapat bahwa televisi membuat otonomi atau kebebasan diri berkurang, dengan intensitas yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Dalam pandangannya, pasar bukan hanya membentuk keseragaman dan kedangkalan, tetapi juga membentuk sensor tak terlihat. Salah satu contoh misalnya, seorang produser televisi akan melakukan wawancara awal (atau melakukan konsensus) dengan para audiens yang hadir dalam program berita atau tayangan publik; untuk memastikan bahwa mereka dapat berbicara dengan sederhana, menarik perhatian, dan ketika ada audiens yang bertanya atau mengalihkan perhatian pada hal-hal sensasional dan spektakuler, maka orang-orang dengan pandangan kompleks, tidak akan didengar.[13]

Kajian efek media

sunting

Setelah terjadinya Perang Dunia II, perspektif kajian media tidak lepas dari gagasan, metode, dan penemuan Paul F. Lazarsfeld dan studinya tentang efek media. Efek media memiliki fokus dalam mengukur sejauh mana efek media terhadap kebiasaan massa jangka pendek. Dia berkesimpulan bahwa media memiliki peran terbatas dalam mempengaruhi opini publik. Model media "efek terbatas" ini dikembangkan oleh Lazarsfeld dan koleganya dari Kolombia, yang di kemudian hari berpengaruh dalam pengembangan media. Model tersebut memiliki "efek terbatas" khususnya dalam pola pemilu. Karena menurutnya, pemilih lebih banyak dipengaruhi oleh model "arus dua tahap", di mana pesan media disampaikan lewat interaksi langsung antar individu dengan opini pemimpin.[14] Studi model "efek terbatas" memiliki peran dalam politik, namun model ini tidak digunakan lagi hingga tahun 1960. Kemudian pengkaji komunikasi massa, mulai mempelajari lagi tentang kebiasaan politik, tetapi tidak mengenal model "efek terbatas" ini.[15]

Kajian penggunaan dan gratifikasi

sunting

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hodge & Tripp (1986) dan sebagian yang dilakukan Palmer (1986) tentang konsep Jay Blumler dan Elihu Katz mengenai proses 'pembaca aktif' dalam model penggunaan dan gratifikasi yang dilakukan anak-anak sekolah; yang pernah menonton drama seri Prisoner. Mereka menemukan bahwa anak-anak mengidentifikasi diri sebagai seorang tokoh utama dalam drama seri tersebut, dan mengikuti detail perilaku tokoh yang mereka lihat pada kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, Fiske (1987) menyimpulkan bahwa anak-anak memaknai cerita dalam drama dengan pengalaman sosial riil di sekolah; dengan cara pembentukan pengalaman yang juga dipengaruhi oleh orang lain, yang saling memvalidasi.

Namun pendekatan ini tidak memberikan prediksi atau penjelasan yang cukup terhadap pemilihan dan penggunaan media. Hal ini karena, sering kali penggunaan dan pemilihan media dilakukan secara kebetulan; dan pendekatan ini hanya terjadi pada beberapa jenis media saja.[16] Selain itu Ien Ang, seorang profesor kajian budaya di Universitas Sydney Barat juga mengkritik pendekatan ini dengan alasan:

  1. Konteks pendekatan ini terlalu individualis; di mana dalam pendekatan ini hanya mempertimbangkan kepuasan psikologis individu dalam penggunaan media. Sedangkan konteks sosial penggunaan media cenderung diabaikan. Pendekatan ini juga mengabaikan fakta bahwa beberapa penggunaan media mungkin tidak ada kaitannya dengan pencarian kepuasan; atau bisa jadi karena kebetulan atau bahkan dipaksakan, misalnya.
  2. Para pengkaji media sering kali menaruh perhatian yang sangat besar terhadap alasan mengapa seseorang menggunakan media tertentu; namun abai dalam mengkaji konten media dan menemukan makna dari penggunaan media tersebut.
  3. Pendekatan ini dimulai dari pandangan bahwa media selalu bersifat fungsional dan mungkin dengan demikian secara implisit telah melakukan pembenaran, mengenai bagaimana media diorganisasikan.[17]

Kajian kontra hegemoni dan emansipasi

sunting
 
Roehana Koeddoes adalah wartawati dan aktivis perempuan pertama di Indonesia yang ikut mendirikan surat kabar Soenting Melajoe

Hegemoni dalam bahasa Yunani Kuno disebut eugemonia, sebagaimana yang dikemukakan Encyclopedia Britannica dalam praktiknya di Yunani, yang diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis atau city states) secara individual. Misalnya, yang dilakukan oleh kota Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar. Konsep hegemoni sebenarnya secara historis pertama kali diproduksi di Rusia pada tahun 1880 oleh Plekhanov yaitu seorang Marxis asal Rusia. Konsep ini dibangun sebagai bagian dari strategi guna menjatuhkan Pemerintah Tsar.[18]

Setelah Plekhanov, konsep hegemoni dijadikan basis material oleh Lenin dalam mendefinisikan konsep perjuangan politiknya. Bagi Lenin, hegemoni merupakan strategi untuk revolusi; suatu strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk mendapatkan dukungan dari pihak mayoritas.[19] Lalu Antonio Gramsci melakukan upaya teoretis dalam pencarian hubungan antara teori dan praktik dalam marxisme yang kemudian dikenal dengan Konsep Hegemoni Gramsci.[20] Menurut Mansour Fakih dalam Simon (2004), hlm. XVIII; bagi Gramsci, kelas sosial akan memperolah keunggulan atau supremasi terhadap kelas lain melalui dua cara, yaitu melalui cara dominasi atau paksaan (force) atau melalui cara kepemimpinan intelektual dan moral (consent). Bagi Gramsci, proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berpikir, dan pandangan masyarakat bawah terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka. Konsep hegemoni Gramsci ini meluas dan digunakan, baik oleh mereka yang Marxis maupun non-Marxis, baik untuk tujuan melawan kapitalisme maupun untuk tujuan lainnya. Selain itu, menurut Gramsci, pada dasarnya setiap hegemon (orang, kelompok, kelas, ataupun penguasa yang melakukan hegemoni); teruatama kelas yang berkuasa, mencoba untuk melegitimasi kekuasaan, kesejahteraan, dan kehormatannya kepada massa secara ideologis; termasuk media massa yang dapat menjadi lembaga atau alat yang digunakan untuk melancarkan hegemoni kelas penguasa terhadap kelas tertindas.

Di sini, kajian emansipasi jelas sangat dibutuhkan sebagai alat kontra hegemoni; di mana media tidak melulu digunakan sebagai alat legitimasi penguasa atau pemilik modal. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Roehana Koeddoes, seorang wartawati dan aktivis pendidikan perempuan asal Minangkabau; dalam perjuangannya membela hak-hak kaum perempuan dan orang-orang yang termarjinalkan. Roehana berjuang melalui tulisan, serta ikut melahirkan dan memimpin redaksi surat kabar Soenting Melajoe di Padang pada tahun 1912. Soenting Melajoe merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Beberapa isu sentral yang diperjuangkan Roehana, diantaranya adalah isu kemiskinan kaum perempuan, isu keterbelakangan perempuan di ranah publik, dan isu peran ganda perempuan.[21] Di penghujung hidupnya, Roehana masih aktif menjadi pemimpin surat kabar Perempuan Bergerak, Surat Kabar Radio, dan Cahaja Sumatra.[22]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Frank 1995.
  2. ^ Dayan 1992.
  3. ^ "Karl Bücher". 2016-07-09. Diakses tanggal 2017-10-14. 
  4. ^ Horkheimer & Adorno 1972.
  5. ^ Nerone 2003, hlm. 96-97.
  6. ^ "Ron Bolender". www.bolender.com. Diakses tanggal 2017-10-15. [pranala nonaktif permanen]
  7. ^ Dewey 1927b, hlm. 138-70.
  8. ^ Lasswell 1937, hlm. 521-27.
  9. ^ Hovland, Lumsdaine & Shefield 1949, hlm. 3–16; 247–79.
  10. ^ Sen 1994, hlm. 148.
  11. ^ Irianto 2015, hlm. 107-108.
  12. ^ Herman & Chomsky 1992, hlm. 62.
  13. ^ "on, a French sociologist explains, dumbs itself down". Diakses tanggal 2017-10-08. 
  14. ^ Gitlinn 1978.
  15. ^ Chaffee & Hockheimer 1985, hlm. 265-99.
  16. ^ McQuail, Blumler & Browmn 1972, hlm. 135-65.
  17. ^ "Mass media: effects research - uses and gratifications". www.cultsock.ndirect.co.uk. Diakses tanggal 2017-10-18. 
  18. ^ Arief & Patria 2009, hlm. 16.
  19. ^ Simon 2004, hlm. 21.
  20. ^ Amin 2014, hlm. 102.
  21. ^ Mahardika 2014, hlm. 202-203.
  22. ^ "Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama dari Sumatera Barat". http://minangkabaunews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-16. Diakses tanggal 2017-10-16.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)

Daftar pustaka

sunting
Ensiklopedia:
  • Lasswell, Harold. (1937). "Propaganda". Encyclopedia of the Social Sciences. New York: Henry Holt & Co. 
Jurnal akademik:
  • Adorno, Theodor W. (1945). "A Social Critique of Radio Music". 7 (3/4). Kenyon Review. 
  • Chaffee, Steven H.; Hockheimer, J. (1985). "The Beginnings of Political Communication Research in the United States: Origins of the 'Limited Effects' Model". The Media Revolution in America & Western Europe. New Jersey: Ablex. 
  • Dewey, John. (1927b), "Nature, Communication, and Meaning", Experience and Nature, New York: Henry Holt & Co. 
  • Gitlinn, Todd. (1978). "Media Sociology: the Dominant Paradigm". Theory and Society. Springer. 
  • Hovland, Carl I.; Lumsdaine, Arthur A.; Shefield, Fred D. (1949). "Experiments in Mass Communication". Studies in the Social Psychology in World War II, American Soldier Series. New York: Macmillan. 3. 

Pranala luar

sunting