Perang Bali III

artikel daftar Wikimedia

Perang Bali III (dikenal juga dengan Perang Kusamba) adalah intervensi militer Belanda yang utama di Selatan Bali, menyusul dua intervensi yang gagal, Perang Bali I dan Perang Bali II. Belanda menggunakan intervensi militer ini sebagai dalih klaim penyelamatan Bali atas hak tawan karang, yang merupakan kebiasaan rakyat Bali, tetapi tidak dapat diterima berdasarkan hukum internasional.[1]

Intervensi Belanda di Bali (1849)

Raja Buleleng membunuh dirinya bersama 400 pengikutnya, pada puputan tahun 1849 melawan Belanda. Le Petit Journal, 1849.
Tanggal1849-1850
LokasiBali, Indonesia
Hasil Kemenangan Belanda yang menentukan. Kontrol Belanda atas Bali Utara dan Koloni Sangsit didirikan.
Pihak terlibat
Netherlands
Lombok
Buleleng
Jembrana
Klungkung
Tokoh dan pemimpin
Andreas Victor Michiels   Gusti Ngurah Made Karangasem  
I Gusti Ketut Jelantik  
Kekuatan
100 kapal
3,000 pelaut
5,000 prajurit yang terlatih
33,000 penduduk laki-laki
Korban
34 sekitar 1.000
Serangan pasukan Bali di Kusamba. Lukisan J.P. de Veer dari G.L. Kepper: Wapenfeiten van het Nederlandsch-Indisch Leger (1902)
Barisan Batalyon VII di Sangsit. Lukisan dari G.Kepper: Wapenfeiten van het Nederlandsch-Indisch leger, 1902

Latar belakang sunting

Bermula dari terdamparnya dua skoner (perahu) milik G.P. King, pedagang Belanda yang berkedudukan di Ampenan, Lombok di pelabuhan Batulahak, di sekitar Pesinggahan. Kapal ini kemudian dirampas oleh penduduk Pesinggahan dan Dawan. Raja Klungkung sendiri menganggap kehadiran kapal yang awaknya sebagian besar orang-orang Sasak itu sebagai pengacau sehingga langsung memerintahkan untuk membunuhnya. Oleh Mads Lange, seorang pengusaha asal Denmark yang tinggal di Kuta, melaporkan kejadian tersebut kepada wakil Belanda di Besuki. Residen Belanda di Besuki memprotes keras tindakan Klungkung dan menganggapnya sebagai pelanggaran atas perjanjian 24 Mei 1843 tentang penghapusan hukum Tawan Karang. Kegeraman Belanda bertambah dengan sikap Klungkung membantu Buleleng dalam Perang Jagaraga, April 1849. Ekspedisi Belanda yang baru saja usai menghadapi Buleleng dalam Perang Jagaraga, langsung dikerahkan ke Padang Cove (sekarang Padang Bai) untuk menyerang Klungkung. Diputuskan, tanggal 24 Mei 1849 sebagai hari penyerangan.

Sudah sejak lama Kerajaan Bali menjalankan Tawan Karang, yakni hak untuk merampas kapal-kapal karam di perairan Bali dan seisinya termasuk anak buah kapal sebagai aset mereka. Pada tahun 1841, hak ini diberlakukan atas kapal Belanda; yang kemudian menimbulkan protes, di mana Kerajaan Buleleng, Karangasem dan Klungkung beserta penerusnya bersungguh-sungguh menerapkan hak itu dan menawarkan perompak dan pedagang budak untuk melawan; Diperkirakan hingga tahun 1844 perjanjian tersebut tetap dijalankan. Pada tahun itu juga, ketika sebuah kapal milik Belanda terdampar di Bali, kapal itu dirompak dan protes Belanda atas perlakuan itu diabaikan, yang berarti penguasa Bali melanggar kesepakatan, sehingga pemerintah kolonial di Jawa tidak dapat lagi mentoleransi dan melancarkan ekspedisi ini.

Kegagalan dua ekspedisi terdahulu sunting

Pada bulan Juni 1846, pasukan dan kapal dikerahkan bersama dan dipimpin oleh schout-bij-nacht Engelbertus Batavus van den Bosch; pasukan itu terdiri atas 1.700 prajurit, dan hanya 400 orang saja yang berasal dari Eropa. Pasukan itu dipimpin oleh Letkol. Bakker. Setelah 24 jam, setelah memberikan ultimatum, pada tanggal 28 Juni Buleleng jatuh, orang Bali menarik diri dan berlindung di Singaraja. Hampir tidak mungkin bagi pasukan Hindia Belanda kembali ke Batavia atau hak Tawan Karang itu diperbaharui terhadap kapal-kapal Inggris dan Belanda .

Ekspedisi kedua dipimpin oleh Jend. Carel van der Wijck; pada tanggal 7 Juni pasukan tersebut mendarat di pantai utara Buleleng. Desa Bungkulan adalah desa yang pertama kali takluk setelah perlawanan gencar di Jagaraga, pusat kekuatannya, jatuh. Setelah perlawanan berkepanjangan, pasukan Hindia Belanda harus kembali ke Jawa; sepersepuluh bagian dari ABK-nya yang tak ikut bertempur diculik, banyak perwira yang dibunuh. Tak lama berselang, panglima tertingginya memutuskan kembali ke Jawa dan ekspedisi ketiga harus diluncurkan untuk membalas kekalahan itu.

Ekspedisi ketiga sunting

Pimpinan ekspedisi ketiga dipegang oleh Jend. Andreas Victor Michiels, yang dipanggil dari Pesisir Barat Sumatra. Pada bulan November 1848, ia mendapatkan kesempatan inspeksi ke Bali. Dengan urusan tersebut, yang sejauh itu bisa diketahui, ia kemudian ditempatkan untuk memimpin angkatan perang sebanyak 100 kapal, 5.000 prajurit terlatih dan 3.000 pelaut di bulan Maret 1849.[2][3]

Pada tanggal 28 Maret 1849, Michiels memimpin pasukannya ke Buleleng dan 2 hari kemudian ke Singaraja tanpa banyak perlawanan, dan esoknya sebuah perundingan diusahakan terhadap kerajaan tersebut; namun gagal. Dari sini, Michiels merencanakan serangan ke Jagaraga; di saat yang sama sebagian pasukan, di bawah pimpinan Jan van Swieten, sibuk menahan pasukan di depan, dan May. Cornelis Albert de Brauw (bersama tokoh lain seperti Willem Lodewijk Buchel, Johannes Root dan Karel van der Heijden) melakukan beberapa kerja tak resmi yang dengan cepat dapat menduduki Goa Lawah dan Kusamba. Hingga pagi hari, pengepungan di bagian barat dirasakan rakyat Bali dan serangan di depan oleh Van Swieten diulang kembali, yang membuat Jagaraga jatuh dan pasukan Bali melarikan diri.

Kampanye Bali Selatan sunting

Karena enggan mengikuti jejak ekspedisi sebelumnya yang melalui jalur darat, Belanda kembali ke kapal mereka dan berlayar ke Bali Selatan, di mana mereka mendarat di dusun Padang untuk menyerang Klungkung, penguasa nominal Buleleng.[3] Sementara itu, Belanda berhasil membangun aliansi dengan tetangga Bali, Kerajaan Lombok untuk melawan Karangasem, musuh lama Lombok. Pasukan Lombok dikirim ke kapal Belanda, dan menyerang para pemimpin Buleleng. Dalam pertemuan ini baik I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng terbunuh, dan penguasa Karangasem melakukan ritual bunuh diri.[2]

Belanda melanjutkan kampanye mereka ke Klungkung, menduduki Goa Lawah dan Kusamba.[3] Iklim dan penyakit mengambil korban pada pasukan Belanda, yang berada dalam posisi genting.[2] Wabah disentri di antara pasukan Belanda mencegah mereka melakukan pukulan yang menentukan. Belanda menderita banyak korban ketika Dewa Agung Istri Kanya memimpin serangan malam terhadap Belanda di Kusamba, menewaskan komandan Major General Michiels.[3] Belanda terpaksa mundur ke kapal mereka, dihadapkan oleh kekuatan 33.000 orang Bali dari Badung, Gianyar, Tabanan dan Klungkung.[3] Kampanye ini menghasilkan jalan buntu.[2][3]

Kronologi sunting

24 Mei 1849, 05.30 sunting

Pemimpin Belanda, Mayor Jendral A.V. Michiels memerintahkan pasukannya meninggalkan Padangbai menuju Goa Lawah. Pasukan Belanda yang berangkat mendekati benteng Goa Lawah dibagi dua kekuatan. Kelompok pertama, berangkat untuk menyelidiki kedudukan sikep (laskar) Klungkung dengan merintis jalan bagi pasukan kedua. Pasukan Belanda pertama ini dipimpin Letnan Kolonel van Swieten. Pasukannya sendiri terdiri dari batalion infanteri XIII sebesar tujuh kompi dan batalion V sejumlah tiga kompi dilengkapi dengan seksi regu penembak, empat mortir 11,5cm dan sejumlah tenaga pengangkut. Pasukan ketiga

terdiri atas batalion II sebanyak tujuh kompi infanteri dan batalion VII sebanyak empat kompi. Pasukan kedua dipimpin langsung Mayor Jenderal Michiels juga dilengkapi dua seksi meriam lapangan, pasukan pembantu dari Madura berupa 1.000 orang kuli pengangkut makanan untuk tiga hari pertempuran.[4]

24 Mei 1849, 08.00 sunting

Pasukan van Swieten tiba di dekat Pura Goa Lawah dan mengambil tempat sekitar 300 meter dari pusat pertahanan Klungkung. Pasukan kedua pimpinan Jenderal MIchiels dibantu beberapa perwira angkatan darat dan laut, seperti Letnan Kolonel Helbach, Letnan Kolonel Le Bron, Letnan Kolonel Poland, Kapten van Mannen Kallermen, Bouricius dan Kapten Sorg kemudian mengikuti. Pasukan Letkol van Swieten naik ke punggung bukit lalu menembak ke arah pertahanan sikep Klungkung. Pertempuran pun pecah. Sikep Klungkung berharap pasukan Belanda menyerang, tapi mereka tetap bertahan. Senjata keris, pedang, tombak yang digunakan sikep Klungkung pun tak dapat difungsikan.

24 Mei 1849, siang sunting

Setelah lima jam bertempur, sikep Klungkung mundur ke barat menuju Kusamba. Benteng Kusamba terletak sekitar 4 kilometer dari Goa Lawah dan merupakan pertahanan kedua kerajaan Klungkung. Benteng ini kuat karena dibangun tembok perbentengan dan pagar berlapis di segala arah tepi desa. Kusamba juga pemukiman penduduk yang sangat luas dengan lorong berliku-liku menjadikan benteng yang tangguh bagi Klungkung. Tercatat sekitar 3.000 sikep terlibat memperkuat pertahanan Klungkung di Kusamba. Pasukan Belanda yang tidak memahami medan memilih menjaga jarak. Sikep Klungkung mulai menyerang pasukan Belanda yang datang dari tengah. Belanda menembakkan artileri ke arah sikep Klungkung sehingga banyak laskar Klungkung gugur. Sikep Klungkung kembali menyerang pasukan Belanda dari kiri dan mendekati pertahanan Kusamba dari arah pantai selatan. Tembakan artileri Belanda menghalau serangan sikep Klungkung. Pertempuran hebat juga terjadi di depan Puri Kusamba.

Sore hari, Kusamba jatuh ke tangan Belanda. Mereka menguasai Kusamba dan menyiapkan perkemahan untuk menginap sebelum melanjutkan serangan ke Kota Klungkung. Sementara sikep Klungkung memilih mundur ke desa-desa di sekitarnya, seperti Gunaksa, Sampalan, Satrya, dan Dawan. Berkemah di Kusamba yang saat itu masih dikepung sikep Klungkung menjadi satu-satunya pilihan bagi Michiels. Tapi, pasukannya yang lelah bertempur selama hampir sembilan jam mesti diistirahatkan.

Jatuhnya Goa Lawah dan Kusamba membuat hati Ida Dewa Agung Istri Kanya benar-benar mendidih. Tengah malam itu juga, Ida I Dewa Agung Istri Kanya bersama Mangkubumi Anak Agung Ketut Agung serta Anak Agung Made Sangging memutuskan melakukan serangan balasan ke Kusamba.

25 Mei 1849, 03.00 sunting

Dini hari, barisan depan Klungkung mencapai daerah barat Puri Kusamba dan langsung menyerang kedudukan kemah pasukan Belanda. Semua anggota pasukan Belanda yang dipercayakan menjaga pos sedang tertidur karena kelelahan sehingga tak menyadari Klungkung menyerang. Serangan Klungkung dilakukan dalam tiga gelombang sambil membakar Desa Kusamba sehingga seluruh pasukan Belanda yang tertidur bangun dan panik. Mayor Jendral Michiels panik dengan serangan tiba-tiba itu. Dalam gelap gulita, Mayor Jenderal Michiels yang berdiri di depan Puri Kusamba tidak bisa membedakan pasukannya sendiri. Batalion XII yang sedang berkumpul di dekat halaman dengan puri juga berada dalam kegelapan sehingga Michiels menyangka mereka sebagai sikep Klungkung. Michiels memerintahkan komandan Batalion XIII menembak pasukan tersebut. Komandan Batalion XIII menolak perintah komandan ekspedisi karena mengetahui pasti anak buahnya sendiri. Peluru cahaya kemudian ditembakkan dengan maksud memastikan orang-orang yang dicurigai. Saat peluru cahaya ditembakkan, seisi puri yang sebelumnya gelap gulita menjadi terang, termasuk posisi Michiels menjadi terlihat jelas. Saat itulah, sikep Klungkung menembakkan senjata api ke arah Michiels dan menghantam pahanya sampai hancur. Mayor Jendral Michiels tumbang. Dalam cerita lisan masyarakat Klungkung, senjata api yang menumbangkan Michiels itu disebut dengan nama I Seliksik.

25 Mei 1849, 06.30 sunting

Mayor Jenderal Michiels memerintahkan Letnan Kolonel van Swieten meneruskan serangan, namun dia menolak perintah itu karena persediaan makanan tidak cukup. Selain itu, hampir semua tenaga pengangkut melarikan diri meninggalkan Kusamba. Tak hanya itu, para tenaga pengangkut itu juga terkena penyakit diare, moral pasukan juga merosot karena pucuk pimpinan mereka terluka parah. Pukul 06.30, Jenderal Michiels diangkut ke Padangbai untuk diobati dan tiba di sana sekitar pukul 12.00. Namun, malam hari sekitar pukul 23.00, Jenderal Michiels menemui ajalnya.

Letkol van Swieten memerintahkan pasukannya kembali ke Padangbai. Sepanjang perjalanan, pasukan Belanda lesu, terjangkit penyakit diare dan beberapa meninggal dunia. Setelah pasukan Belanda meninggalkan Kusamba menuju Padangbai, sikep Klungkung kembali menduduki desa itu. Selain kehilangan Jendral Michiels, dalam Perang Kusamba, Belanda juga kehilangan Kapten H Everste. tujuh tentara Belanda tewas termasuk 28 orang luka-luka. Klungkung sendiri kehilangan sekitar 800 laskar Klungkung termasuk 1000 orang luka-luka[5][6][7]

Perjanjian pasca perang sunting

Kematian Jelantik menjadi pukulan besar bagi perlawanan rakyat Bali.[2] Melalui intervensi dari pedagang Mads Lange dan penguasa Kesiman Badung, sebuah perjanjian baru ditandatangani pada Juli 1849, yang memberikan kendali atas Buleleng dan Jembrana kepada Belanda.[2][3] Penguasa Lombok mendapat kendali atas Karangasem.[3] Belanda mendirikan kantor pusat mereka di Singaraja, di mana seorang Pengawas Belanda memerintah raja setempat sejak tahun 1855.[2]

Pada tanggal 12 Juni 1849, persetujuan tercapai, di mana Jembrana dinyatakan sebagai bagian dari Hindia Belanda dan Kerajaan Bangli digabungkan ke Buleleng. Penyelesaian itu diratifikasi oleh Jan Jacob Rochussen dan menjadi dasar bagi penguasaan Belanda atas Bali.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Bali & Lombok oleh Ryan Ver Berkmoes p.31
  2. ^ a b c d e f g International Dictionary of Historic Places: Asia and Oceania by Trudy Ring p.69 [1]
  3. ^ a b c d e f g h A short history of Bali: Indonesia's Hindu realm Robert Pringle p.98ff [2]
  4. ^ balisaja.com. "Detik-detik Perang Kusamba 24-25 Mei 1849". balisaja.com - Bernas dan khas Bali. Diakses tanggal 2022-05-25. 
  5. ^ Sejarah Klungkung: Dari Smarapura sampai Puputan (Pemkab Dati II Klungkung, 1983)
  6. ^ Bali Pada Abad XIX (Agung, 1989)
  7. ^ Ida I Dewa Agung Istri Kanya: Pejuang Wanita Rakawi Melawan Kolonialisme Belanda di Kerajaan Klungkung Abad ke-19, Pemkab Klungkung, 2002

Daftar Pustaka sunting

  • 1900. W.A. Terwogt. Het land van Jan Pieterszoon Coen. Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. P. Geerts, Hoorn.
  • 1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag.
  • 1876. A.J.A. Gerlach. Nederlandse heldenfeiten in Oost Indë. 3 jilid. Gebroeders Belinfante, Den Haag.