Inu Kencana Syafiie

Prof. Dr. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si. (lahir 14 Juni 1952) adalah akademisi dan birokrat Indonesia. Ia menjadi staf pengajar dan rektor dari Universitas Pandanaran Semarang masa bakti 2010—2014. Ia sebelumnya sempat berprofesi sebagai PNS tepatnya sebagai staf pengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Ia terkenal setelah berhasil membongkar beberapa kasus kriminal yang terjadi di sekolah tersebut. Selain sebagai dosen, Inu Kencana juga dikenal sebagai penulis buku aktif hingga saat ini. Buku terlaris yang ditulis oleh Inu Kencana adalah IPDN Undercover.

Prof. Dr. H.
Inu Kencana Syafiie
M.Si.
Inu Kencana
Lahir14 Juni 1952 (umur 72)
Nagari Simalanggang, Kec. Payakumbuh, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat
AlmamaterAPDN Irian Jaya
IIP
Universitas Gadjah Mada
Universitas Padjadjaran
PekerjaanDosen, Penulis
Tahun aktif1974–kini
Dikenal atasPembongkar kasus kekerasan kampus IPDN
GelarDoktor
PenghargaanPoncke Princen Human Rights Prize (2007)

Inu dikukuhkan menjadi guru besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2011.[1] Tercatat pada tahun 2018, ia masih aktif mengajar sebagai dosen prodi ilmu pemerintahan di kampus itu.[2]

Profil

sunting

Masa Sekolah

sunting
 
Abdullah Syafiie, ayah Inu Kencana Syafiie

Inu Kencana Syafiie, lahir tanggal 14 Juni 1952 di Nagari Simalanggang, sekitar tujuh kilometer dari kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Ia adalah anak dari pasangan Abdullah Syafiie, mantan Bupati Bengkalis dan Zaifar Syafiie, mantan guru sekolah keputrian raja Siak Sri Indrapura.[3][4][5]

Inu kecil bersekolah di SD Simalanggang Payakumbuh, dan kemudian berpindah-pindah sekolah sampai menginjak kelas V SD. Pada saat kelas V SD ia bahkan baru dikhitan. Dan saking seringnya berpindah-pindah tempat itulah, semasa kecilnya, Inu Kencana tidak pernah khatam membaca Al-Quran.

Pada tahun 1966, Inu masuk ke SMP Negeri III Payakumbuh. Tahun berikutnya ia pindah ke SMP Negeri VIII di Jakarta. Setelah lulus SMP pada 1968, Inu Kencana melanjutkan sekolahnya ke SMA Negeri 5 Jakarta. Tahun berikutnya ia pindah lagi ke SMA Negeri I Paspal di kota Pangkalan Brandan, Sumatera Utara.

Pada 1971 setelah lulus SMA ia kembali lagi ke Jakarta. Kali ini ia berniat masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sayang gagal dan akhirnya ia berlabuh di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Namun kuliahnya di Trisakti tidak dilanjutkan karena keterbatasan biaya, hingga akhirnya Inu muda bekerja di PT CENTEX Jakarta pada tahun 1973.

Mencari Kerja dan Kuliah

sunting

Pada tahun 1974 setelah ibunya meninggal dunia, Inu Kencana kemudian melanjutkan pertualangannya ke Irian Jaya. Kali ini ia masuk ke Akademi Ilmu Administrasi dan Akuntansi Irian Jaya. Namun kembali disekolah inipun, Inu hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya ia masuk ke APDN Irian Jaya pada tahun 1976.

Pada tahun 1979 dengan skripsi yang dibimbing oleh Drs. Mohammad Stoffel, Inu Kencana lulus dari APDN Irian Jaya dengan gelar Bhacaloriat of Art. Setelah lulus, Inu Kencana kemudian melamar CPNS di Pemda tingkat I Merauke dan diterima pada tahun 1981.

Tahun 1982 ia sempat bolak-balik Jakarta-Menado saat mengikuti kursus humas. Pada 1983 ia sempat menjadi seorang fotografer amatir. Saat itulah ia bertemu dengan calon istrinya, Indah Prasetiani dalam acara upacara peringatan hari kemerdekaan RI di Merauke. Orang tua Indah sempat menolak Inu menjadi menantunya dikarenakan perbedaan agama (Inu seorang Muslim, Indah seorang Kristiani).

Di bidang lain, Inu Kencana juga sempat menjadi pemimpin Teater Pringgandani Junior. Bahkan ia juga sempat menjadi Kepala Kantor Kecamatan Edera, dan akhirnya diangkat menjadi camat Edera pada tahun 1984. Pada tahun itulah akhirnya Inu Kencana bisa menikah dengan Indah Prasetiani yang akhirnya memutuskan masuk Islam.

Pada 1985, Inu Kencana kembali lagi ke Jakarta dan ia masuk jurusan S1 IIP (lanjutan dari APDN). Pada tahun ini, istri Inu, Indah, melahirkan seorang anak yang kemudian diberi nama Raka Manggala Syafiie.

Pada 1987, Inu akhirnya lulus S1 IIP (gelarnya doctorandus) dengan skripsi yang dibimbing oleh Dr. Taliziduhu Ndraha. Ia juga mulai aktif menulis buku-buku pelajaran untuk ilmu politik dan pemerintahan serta buku-buku agama.

Khutbah Jumat Pertama

sunting

Pada 1988 Inu pindah lagi ke Jayapura dimana di kota ini lahir anak kedua yang diberi nama Nagara Belagama Syafiie. Tak lama setelah itu, Inu pindah lagi ke Serui dimana ia sekeluarga sempat kelaparan akibat kesulitan memperoleh makanan ditempat terpencil.

Pada tahun 1989, Inu diangkat menjadi Sekretaris Bappeda Tk. II Yapen Waropen. Ia juga memulai debut sebagai khotib dan imam salat Jumat di masjid setempat. Pada tahun berikutnya, Inu sekeluarga kembali lagi ke Jakarta, dan pada 1991 mereka sekeluarga pindah ke Bandung. Di Bandung Inu hanya mengontrak sebuah kamar berukuran 3X3 meter di daerah Cileunyi. Tahun ini pula, anak ketiga Inu yang dberi nama Periskha Bunda Syafiie lahir di Rumah Sakit St. Yusup Bandung. Kemudian pada 1993, Inu sekeluarga pindah mengontrak rumah di daerah Cipacing.

Pengalaman Inu Kencana yang tidak akan pernah ia lupakan adalah pada tahun 1994 saat ia bersama istrinya menunaikan ibadah haji hanya dengan bekal 10.000 rupiah saat berangkat dari Bandung.

Dosen STPDN

sunting

Pada 1995 Inu sekeluarga pindah ke Depok, dan ia kemudian masuk menjadi mahasiswa S2 di MAP Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setahun kemudian Inu pindah ke rumah dinas STPDN Jatinangor seiring tugasnya yang kini menjadi dosen tetap STPDN.

Pada 1997, Inu Kencana memilih untuk tidak mengikuti pemilu. Ia lantas hanya menjadi panitia saja di pemilu terakhir rezim orde baru tersebut. Kemudian pada 1998, Inu mendapat kesempatan menjadi khotib salat Idul Fitri di kampus STPDN. Ia juga (bersama Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas) menjadi khotib dan imam salat Jumat di IAIN Bandung (sekarang menjadi UIN Sunan Gunung Djati Bandung).

Pada 2001, Inu Kencana lulus S2 UGM berkat tesisnya yang dibimbing oleh Dr. Warsito Utomo. Dan ia berhak menyandang Magister Sains. Tahun berikutnya, Inu sempat mendaftar untuk menjadi mahasiswa S3 di UGM dan UI namun gagal hingga akhirnya ia bisa masuk S3 di UNPAD Bandung.

Membongkar Kasus IPDN

sunting

Pada tahun 2003 ia mulai membongkar semua kasus kriminal di STPDN (kini IPDN). Sampai saat ini bermacam borok yang terjadi di kampus itu ia kemukakan pada publik walaupun ada ancaman pembunuhan yang terus-menerus menghantui dirinya.

Inu Kencana adalah sebuah sosok kecil namun semangat serta keberaniannya sangat besar. Dan ia sudah menjadi salah satu tokoh Indonesia yang disegani, baik oleh yang suka dengan dirinya ataupun yang benci dengan dirinya.

Inu Kencana adalah satu dari sekian banyak orang yang setia dengan kesederhanaan. Untuk pulang-pergi Bandung-Jakarta saja ia rela dan setia memakai transportasi angkutan bis umum. Bahkan untuk telepon genggam sekalipun ia masih setia dengan ponsel hitam putih, disaat dosen-dosen yang lain pamer kemewahan dengan mobil dan sepeda motor kinclong serta ponsel yang berharga jutaan rupiah.

Skandal IPDN

sunting

Kasus Wahyu Hidayat

sunting

Kasus-kasus kriminal di STPDN (alias IPDN) telah lama mengusik hati seorang Inu Kencana untuk membongkarnya. Tapi baru pada tahun 2003 ia mulai membeberkan semua skandal yang ada di STPDN pada publik.

Berawal dari kasus kematian praja Wahyu Hidayat. Inu mulai bertindak. Ia melaporkan kasus kematian tidak wajar Wahyu Hidayat kepada pihak kepolisian bahkan sampai ke pihak Departemen Dalam Negeri.

Bukannya berubah, segera setelah Inu melaporkan kasus-kasus tersebut, hampir semua pejabat dalam STPDN marah pada Inu. Bahkan beberapa mahasiswa STPDN sempat mengancam Inu bahwa mereka akan membunuh Inu Kencana secara diam-diam.

Bulan Agustus 2006, Inu kembali beraksi saat ia melihat daftar mahasiswa yang membunuh Wahyu Hidayat masuk daftar wisudawan. Ia langsung menghubungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui jubirnya, Andi Mallarangeng. Spontan saja 10 tersangka kasus pembunuhan praja Wahyu Hidayat dicabut gelar akademiknya, hanya dua hari setelah Presiden SBY melantik mereka dalam acara wisuda.

Kembali lagi atas tindakkan nekad Inu tersebut, kalangan pejabat dalam IPDN, bersama para orang tua praja yang ditangguhkan kelulusannya dan juga sang menteri dalam negeri RI memarahi Inu. Inu Kencana seperti biasa bertindak tegas bahwa keadilan harus ditegakan. Hukum harus ditegakan tak pandang bulu apakah yang terkena kasus hukum itu seorang pejabat atau bukan.

Kasus Cliff Muntu

sunting

April 2007, satu lagi skandal kasus kematian datang di IPDN. Kali ini korban tewas adalah Cliff Muntu, seorang praja asal Sulawesi yang dianiaya oleh para seniornya. Pihak IPDN selalu menghalangi usaha otopsi dan juga selalu berdalih bahwa yang menjadi penyebab kematian adalah karena korban terkena penyakit liver. Namun dari hasil otopsi rumah sakit, ternyata sesudah tewas, jenazah Cliff disuntik dengan formalin untuk menghilangkan jejak.

Atas tindakkannya tersebut, kembali Inu Kencana ditegur oleh pihak IPDN melalui pembantu rektor I Nyoman Sumaryadi yang ternyata setelah diintrograsi polisi juga terlibat dalam kasus pembunuhan Cliff Muntu.

Walaupun sudah banyak ditegur, semangat Inu untuk menegakkan hukum dan keadilan di IPDN masih terasa hingga saat ini. Kasus terbaru IPDN pada tahun 2008 ini adalah kasus korupsi yang diduga dilaksanakan oleh para pejabat dalam IPDN beserta sang rektor sementara Johannes Kaloh.

Karya Tulis

sunting

Referensi

sunting

Sumber

sunting