Jivaka
Jivaka Komarabhacca (Sanskerta: Jivaka Kumarabhrata )[2] adalah tabib pribadi Raja Bimbisara dari Magadha dan Siddhartha Buddha Gautama. Ia hidup di Rajagriha, sekarang Rajgir, pada akhir abad ke-5 SM. Dalam berbagai legenda beberapa negara Asia, Jivaka dikenal sebagai "Raja Pengobatan".[2] Ia dianggap sebagai sumber rujukan para tabib tradisional (Sanskerta: vaidya ) sejumlah negara di Asia.
Jivaka Komarabhacca | |
---|---|
Nama lain | Jivaka Kumarabhrata, Kumarabhuta, Raja Pengobatan [1] |
Informasi pribadi | |
Lahir | Rajagriha, Magadha |
Meninggal | Rajagriha, Magadha |
Agama | Buddha |
Kebangsaan | Magadha |
Orang tua |
|
Almamater | Taksila |
Dikenal sebagai | Raja Pengobatan India, Pijat Thai |
Profesi | Tabib |
Kiprah keagamaan | |
Ahli | Atreya |
Profesi | Tabib |
Kedudukan | Tabib pribadi Raja Bimbisara dan Raja Ajatasatru, serta tabib Buddha. |
Keterangan mengenai Jivaka dapat ditemukan dalam berbagai naskah/kitab agama Buddha, baik dalam naskah-naskah tradisional terdahulu yang berbahasa Pali dan Mūlasarvāstivāda maupun dalam sutta-sutta dan Avadana di periode berikutnya. Meski disebutkan bahwa Jivaka terlahir sebagai seorang abdi istana, riwayat leluhurnya tidak diketahui secara pasti.
Dalam catatan sejarah dikatakan bahwa Jivaka dirawat dan dibesarkan dalam lingkungan istana Kerajaan Magadha. Saat beranjak dewasa, Jivaka pergi ke Taksila untuk belajar pengobatan tradisional dari seorang guru yang terkenal. Ia kemudian menjadi murid yang menonjol di sana. Setelah belajar selama tujuh tahun, Jivaka kembali ke Rajagriha untuk membuka praktik pengobatan. Kecakapannya dalam dunia pengobatan membuatnya terkenal dan ia pun diangkat menjadi tabib keluarga Kerajaan Magadha di masa Raja Bimbisara. Jivaka juga merupakan tabib keluarga klan Shakya yang berada di wilayah Magadha, yang mana Siddhartha Gautama lahir dari klan ini. Karena kedekatannya dengan Siddhartha, di kemudian hari Jivaka termasuk pendukung utama agama Buddha. Jivaka juga berperan dalam membawa Raja Ajatasatru, yang naik tahta menggantikan ayahnya Bimbisara, menjadi pengikut agama Buddha.
Naskah-naskah tradisional menceritakan bahwa Jivaka mampu melakukan prosedur pengobatan yang rumit, termasuk tindakan medis yang dapat ditafsirkan sebagai bedah otak—meski interpretasi ini menjadi perdebatan para sejarawan. Jivaka dihormati sebagai tabib teladan dan orang suci dalam ajaran Buddha di Asia sepanjang zaman oleh buddhis dan sebagian tabib yang tidak beragama Buddha. Jivaka dihormati oleh masyarakat India dan Thailand sebagai pelopor pengobatan tradisional hingga saat ini, ia berperan penting dalam semua upacara pengobatan tradisional Thailand.
Di luar itu, sosok Jivaka dalam legenda memiliki peran penting dalam penyebaran agama Buddha meskipun beberapa legenda mengalami penyesuaian dengan tradisi lokal di mana cerita tentang Jivaka disampaikan. Sangha Jivakarama, yang didirikan oleh Jivaka, ditemukan pada abad ke-7 oleh seorang peziarah Tionghoa bernama Xuan Zang. Situs tersebut baru selanjutnya diekskavasi pada abad ke-19 . Saat ini, Sangha Jivakarama menjadi salah satu wihara tertua dengan reruntuhan arkeologinya.
Sumber
suntingKehidupan Jivaka dikisahkan dalam banyak tradisi tertulis agama Buddha terdahulu yang berbahasa Pali, Tionghoa (pada tradisi Dharmaguptaka, Mahīśāsaka dan Sarvāstivāda, semuanya diterjemahkan dari naskah berbahasa India pada abad ke-5 M), Tibet (Mūlasarvāstivāda) dan Sanskerta.[note 1] Kisah Jivaka dapat ditemukan pada naskah rahib Buddha (dalam bahasa Pali dan Sanskerta: Vinaya ) yang mana stratum tertuanya berasal dari paruh pertama abad ke-4 SM. Stratum tersebut membahas antara lain aturan dan regulasi dalam pengobatan, juga menceritakan tentang kehidupan dan karya Jivaka; stratum tersebut dapat ditemukan dalam berbagai tradisi tertulis.[4]
Dalam naskah kanon Buddha Tionghoa, dua sutra (Sanskerta: sūtra ) yang berbeda ditemukan bukan merupakan bagian dari Vinaya: Sūtra Āmrapāli dan Jivaka (yang dikenal sebagai T. 554) serta Sūtra Avadāna Āmrapāli dan Jivaka (T. 553). Dua sutta tersebut masing-masing berasal dari sebelum abad ke-5 M serta antara abad ke-7 dan ke-10 M. Keduanya diterjemahkan dari sumber Sanskerta atau Asia Tengah. Secara tradisional, kedua terjemahan tersebut dianggap milik An Shigao (148–180 M) tetapi pandangan tersebut tampaknya merupakan upaya agar karya tersebut menjadi tampak lebih tua dan sah. Salguero berpendapat bahwa karya-karya tersebut mungkin berdasar pada terjemahan yang dibuat oleh Zhu Fahu (233–±308 M) serta Vinaya awal dan bahan apokrifa (naskah pascakanon) dari abad ke-5. Catatan tentang Jivaka pada Vinaya ditujukan untuk para biksu; catatan pada dua Sūtra Jivaka, yang ditujukan bagi awam secara luas, tampaknya merupakan versi yang lebih populer dari catatan tersebut. Sūtra T. 554 sangat mungkin menyertakan dan terkadang mengganti catatan tentang Jivaka pada Vinaya awal dalam kitab Mahīśāsaka dan Sarvāstivāda; sebagian catatan tersebut dicantumkan sebagai bagian dari Vinaya sehingga hanya dapat ditemukan dalam sūtra tersebut. Sūtra T. 553 lainnya tampaknya berdasar pada T. 554 tetapi diperluas memakai bahan dari Vinaya Dharmaguptaka.[5]
Selain pada sumber-sumber tersebut, catatan tentang Jivaka dimuat dalam beberapa naskah Avadana. Terdapat juga sejumlah rujukan kepadanya dalam sastra India yang tak bernuansa agama Buddha, seperti Māṭharavṛtti (komentar terhadap Sāṃkhyasūtra) dan puisi satir Kṣemendra (puisi Kashmir dari abad ke-11).[6]
Sejarawan Kenneth Zysk dan C. Pierce Salguero membandingkan hasil penyuntingan kritis terhadap cerita tentang Jivaka; mereka menyatakan bahwa tidak ada catatan tentang Jivaka yang merupakan naskah asli sehingga narasi asli tak dapat diketahui. Mereka pun berpendapat bahwa narasi yang berbeda-beda dibuat sehingga selaras dengan tradisi lokal.[7][4] Contohnya, Salguero berpendapat bahwa sūtra-sūtra Jivaka dari abad pertengahan yang bukan bagian dari Vinaya ditulis berdasarkan sebagian besar pengetahuan asli dari pengobatan Tionghoa: beberapa metode yang dipakai oleh Jivaka, baik dalam sūtra-sūtra Jivaka maupun naskah Vinaya, lebih bernuansa Tionghoa alih-alih India;[8][3] kebanyakan motif dalam biografinya dipetik dari legenda-legenda tabib Tionghoa terkenal lainnya.[9] Zysk menyatakan bahwa penyuntingan Pali lebih bersifat terapan sementara tradisi yang dipengaruhi oleh ajaran Mahāyāna memberikan nuansa yang lebih magis dan ajaib. Ia juga menemukan bahwa catatan-catatan tentang Jivaka dalam bahasa Tibet dan Sanskerta lebih banyak menggambarkan pengobatan tradisional India (Āyurveda). Setiap penyuntingan memiliki ciri regional masing-masing dalam pemahaman tentang penyakit dan bagaimana Jivaka mengobatinya, meskipun banyak kemiripan juga ditemui.[10]
Penuturan
suntingJivaka disebutkan dalam naskah agama Buddha sebagai tokoh yang hidup pada masa yang sama dengan Buddha, sebagian besar cendekiawan memperkirakan mereka hidup pada abad ke-5 SM.[11] Terdapat perbedaan signifikan dalam bagaimana kehidupan awal Jivaka dituturkan dalam berbagai tradisi tertulis. Pada versi terdahulu narasi yang menceritakannya, Jivaka dideskripsikan sebagai bayi terlantar yang dibuang oleh seorang perempuan penghibur tanpa darah ningrat. Ia ditemukan dan dibesarkan di istana oleh Pangeran Abhaya. Dalam versi-versi berikutnya, kisah tentang Jivaka memuat rincian yang dapat diterima oleh khalayak ramai: ibu Jivaka digambarkan sebagai perempuan penghibur yang berasal dari khayangan dan sebagai Āmrapāli, murid Buddha; ayah yang sebelumnya tak disebutkan namanya kemudian disebut sebagai Raja Bimbisara.[12] Selain itu, beberapa versi dari kisah tentang Jivaka berusaha menunjukkan bahwa Jivaka adalah "Raja Pengobatan" yang sebenarnya, sebuah gelar yang dipakai untuk tabib legendaris lainnya seperti tabib-tabib Tiongkok Bian Que dan Hua Tuo. Sebagian besar motif dalam penuturan tentang Jivaka menekankan hal tersebut: contohnya, sūtra-sūtra Jivaka menyatakan bahwa Jivaka dilahirkan dengan jarum-jarum akupuntur dan tumbuhan obat di tangannya, hal ini berusaha mendukung narasi bahwa Jivaka lebih unggul dibandingkan tabib Tiongkok lainnya.[13] Dalam versi Sanskerta dan Tibet, Jivaka diakui dan disebut sebagai "Raja Pengobatan" oleh istana sebanyak tiga kali, masing-masing usai terjadinya keajaiban pengobatan.[14][15] Maka dari itu, ia juga disebut sebagai "Tabib yang Tiga Kali Dinobatkan".[16]
Ditemukannya Jivaka
suntingNaskah-naskah terdahulu, dari tradisi Pali,[1][4] serta Vinaya Dharmaguptaka Tionghoa dan Sūtra T. 553[17] menyatakan bahwa Jivaka lahir di Rajagriha (sekarang Rajgir) sebagai anak dari seorang pelacur (Sanskerta: gaṇikā ; dalam kitab Pali dan Dharmaguptaka, ia bukanlah Āmrapāli, melainkan Salāwatī) yang menyuruh seorang budak agar membuang Jivaka di atas tumpukan sampah.[1][18][note 2] Jivaka kemudian dilihat oleh seorang pangeran bernama Abhaya, putra Raja Bimbisara, yang bertanya apakah anak tersebut masih hidup. Saat masyarakat menjawab bahwa itu benar, ia memutuskan untuk membesarkannya dan menamainya "ia yang hidup" (Pali: jīvati) karena dapat bertahan hidup meski dibuang.[1][18] Tradisi Pali, Tibet, dan Sanskerta menjelaskan bahwa nama lain Jivaka adalah Komarabhacca karena ia dibesarkan oleh seorang pangeran (Pali: kumāra) tetapi para cendekiawan menyatakan bahwa nama tersebut lebih tampak berkaitan dengan Kaumārabhṛtya: Obstetri dan Pediatri India kuno,[3][21] salah satu dari delapan cabang Āyurveda.[22] Saat ia dewasa, ia mempelajari tentang asal-usulnya dan memutuskan untuk memperoleh pendidikan yang baik untuk mengimbangi latar belakangnya.[18] Tanpa sepengetahuan Pangeran Abhaya, Jivaka pergi belajar ilmu pengobatan di tempat pembelajaran yang disebut Taksila (disebut oleh orang Yunani sebagai Taxila),[1][23] sekarang diidentifikasi dengan sebuah kota di Islamabad, Pakistan.[18]
Pangeran
suntingNaskah Sanskerta dan terjemahan Tibet awal dalam tradisi Mūlasarvāstivāda menyatakan bahwa Jivaka lahir sebagai anak kandung dari hubungan gelap Raja Bimbisara dengan seorang istri pedagang.[17][19][18] Dalam sūtra-sūtra Jivaka yang berbahasa Tionghoa, pasangan Raja tersebut diidentifikasikan sebagai Āmrapālī, seorang perempuan penghibur. Namun, dalam hasil penyuntingan kritis Sanskerta dan Tibet, istri pedagang tersebut masih tak disebutkan namanya dan Āmrapālī dianggap sebagai ibu Pangeran Abhaya alih-alih Jivaka.[17] Naskah Sanskerta dan Tibet, serta Sūtra T. 554, menjelaskan bahwa Raja memiliki hubungan terlarang dengan perempuan bersuami tersebut dan kemudian perempuan tersebut memberitahukan bahwa ia sedang mengandung. Raja berkata kepada perempuan tersebut bahwa jika anak tersebut berjenis kelamin laki-laki, perempuan tersebut harus menyerahkannya kepada Raja untuk dibesarkan di istana. Setelah anak itu lahir, perempuan tersebut menempatkannya di depan istana dalam sebuah peti. Saat peti tersebut telah dibawakan ke hadapan Raja, Raja menanyakan apakah anak itu masih hidup. Para pelayan menjawab bahwa benar demikian dan Raja menamakannya "ia yang hidup" (bahasa Sanskerta dan Pali: Jivaka).[17][19] Dalam versi Tibet, Jivaka kemudian dibesarkan di istana oleh Zho-nu Jigmed; di sana anak tersebut menjadi tertarik dengan bidang pengobatan saat ia menyaksikan kunjungan para vaidya (tabib). Selanjutnya, ia memutuskan untuk berguru menjadi tabib di Taksila.[24] Dalam Vinaya Dharmaguptaka dan sūtra-sūtra Jivaka berbahasa Tionghoa, Jivaka menganggap rendah para guru pengobatan istana dan menunjukkan pengetahuan pengobatannya yang lebih tinggi dari mereka. Setelah itu, ia memutuskan untuk belajar di Taksila.[25] Pada masa itu, Taksila berada di bawah kekuasaan Akhemeniyah usai penaklukan Lembah Indus oleh Akhemeniyah pada sekitar tahun 515 SM.[26][27]
Murid yang membuka hati
suntingNaskah dalam tradisi Tionghoa menceritakan bahwa Jivaka adalah seorang putra mahkota sebuah kerajaan di India Tengah. Saat raja wafat, adik Jivaka mempersiapkan pasukan untuk melawan Jivaka. Namun, Jivaka berkata kepada saudaranya bahwa ia tak terlalu berminat dengan takhta karena pikirannya terfokus kepada Buddha. Ia membuka dadanya dan menunjukkan gambar Buddha yang terukir pada hatinya. Adiknya terpukau dan menarik kembali pasukannya. Karena cerita tersebut, Jivaka disebut 'Arhat yang membuka hati' (Pinyin: Kāixīn Luóhàn).[21]
Pada semua versi kisah tentang Jivaka, ia menyerahkan haknya atas takhta agar dapat belajar di Taksila.[25] Ia mungkin berusia enam belas tahun saat berangkat ke sana.[22]
Kehidupan di Taksila
suntingIa berguru selama tujuh tahun di Taksila kepada seorang ṛṣi (pemilik penglihatan gaib) yang bernama Ātreya Punarvasu.[25][28][note 3] Naskah-naskah Tibet menceritakan bahwa Ātreya sebelumnya merupakan tabib ayah Bimbisara.[24]
Jivaka mempelajari kitab-kitab khusus pengobatan Āyurveda klasik masa itu, seperti Caraka Saṃhitā (dianggap milik Ātreya)[30] dan Suśruta Saṃhitā,[31] meskipun pengobatan Jivaka pada masa selanjutnya juga memakai tradisi pengetahuan pengobatan lainnya.[32] Ātreya membantu Jivaka membangun keterampilan observasi.[18] Jivaka kemudian dikisahkan menjadi terkenal karena kemampuan observasinya. Dalam satu catatan, Jivaka melihat jejak kaki gajah dan dapat menggambarkan penunggang gajah tersebut dengan sangat rinci berdasarkan jejak kaki tersebut.[18] Namun, naskah-naskah Tibet menyatakan bahwa Jivaka membuat iri murid lainnya, mereka menuduh Ātreya pilih kasih karena Jivaka berasal dari istana.[24] Dalam versi Pali dan Tionghoa, Ātreya kemudian menyuruh Jivaka dan murid lainnya untuk mengumpulkan tumbuhan apapun di hutan yang tak berperan sebagai obat. Jivaka kembali dengan kecewa dan berkata kepada Ātreya bahwa ia tak menemukan satupun tumbuhan yang ia anggap tidak memiliki kekuatan menyembuhkan.[22][33] Ātreya puas dengan hal ini, memberikan sedikit uang kepada Jivaka, dan mengirimnya pulang[1][23] setelah mengakui Jivaka sebagai penerus selanjutnya.[34]
Dalam penyuntingan kritis Sanskerta dan Tibet, ujian yang berkaitan dengan hutan tersebut diadakan sebelum Jivaka diterima belajar di Taksila, bertentangan dengan kisah yang menceritakan bahwa ujian diadakan pada akhir pembelajarannya. Usai Jivaka lulus dari tes tersebut, diterima dan belajar di tempat itu selama beberapa tahun, ia mulai menunjukkan keahliannya dalam pengobatan dan diakui oleh Ātreya.[35][36] Ia menyelesaikan pembelajarannya dengan Ātreya dan meneruskannya di Kota Bhadraṅkara, Vidarbha, di mana ia mempelajari buku yang disebut Sarvabhūtaruta, yang berisikan jampi-jampi dan dharani.[37] Setelah itu, ia berkeliling jauh dan memperoleh benda ajaib yang membantunya melihat tembus ke tubuh manusia dan menemukan penyakit-penyakitnya. Dalam catatan yang ditemukan dalam Sūtra Jivaka ini, Jivaka menemui pria yang membawa ranting-ranting kayu. Dalam beberapa catatan, pria tersebut tampak sangat menderita karena membawa ranting-ranting kayu tersebut, sangat kurus dan berkeringat; dalam catatan lain, ranting-ranting kayu yang dibawa oleh pria tersebut menjadikan mereka yang lewat dapat melihat apa yang ada di balik punggungnya.[38][39] Bagaimanapun juga, Jivaka membeli ranting-ranting tersebut dan menemukan bahwa, menurut kebanyakan naskah Tionghoa, salah satu ranting berasal dari "Pohon Raja Pengobatan" (Pinyin: yao wang shu) yang ajaib:[34] pohon Bhaiṣajrayājan, yang naskah Mahāyāna sebut sebagai bodhisattva, seseorang yang kemudian menjadi Buddha, dengan fokus pada penyembuhan.[33] Namun, versi Tibet dan Sanskerta menceritakan bahwa terdapat permata tersembunyi, di antara ranting-ranting tersebut, yang merupakan sumber keajaiban.[38] Benda ajaib yang ada menjadikan Jivaka dapat melihat tembus badan pasien dan mendiagnosis penyakit karena benda tersebut "memperlihatkan bagian dalamnya seperti lentera yang menerangi rumah".[35] Catatan-catatan tersebut memunculkan mitos tentang "alat ultrasonik" kuno, seperti yang dibayangkan di kerajaan-kerajaan Buddha Asia pada abad pertengahan.[39]
Kehidupan sebagai tabib
suntingMenurut naskah Pali, dalam perjalanannya kembali ke Rajagriha, Jivaka membutuhkan biaya perjalanan sehingga ia terpaksa untuk mulai bekerja di Sāketa. Seorang pedagang kaya (Pali: seṭṭhī) meminta Jivaka agar menolong istrinya karena banyak tabib gagal menyembuhkannya. Jivaka tidak ingin menerima permintaan tersebut dan menyatakan bahwa ia tak mau dibayar jika pengobatannya gagal. Ia berhasil mengobati istri pedagang tersebut dan menerima bayaran yang besar. Setelah pulang ke Rajagriha, ia memberikan bayaran pertamanya ke Pangeran Abhaya, yang menolaknya namun meminta Jivaka agar bekerja di istana.[22][40] Jivaka dengan cepat menjadi kaya karena jasanya terhadap pasien-pasien yang berpengaruh, termasuk Raja Bimbisara.[41] Meskipun ia menerima bayaran yang layak dari para pelanggan kayanya, berbagai naskah juga menyatakan bahwa ia mengobati pasien miskin secara gratis.[21] Saat Raja Bimibisāra mengidap gangguan saluran buang air besar, ia meminta diobati oleh Jivaka.[42] Setelah berhasil mengobati Raja, Jivaka diangkat oleh Raja menjadi dokter pribadi Raja dan Buddha.[22][43]
Jivaka dikisahkan mengobati gangguan usus, mengadakan trepanasi,[1][44] mengangkat benjolan pada rongga intrakranial,[44] dan melakukan pembedahan hidung.[45] Dalam T. 553 dan Vinaya Dharmaguptaka, ia menyembuhkan "penyakit pada kepala" dengan mengobati pasien memakai minyak samin melalui hidungnya.[note 4] Dalam naskah Pali, ia disebutkan melakukan laparotomi, menghilangkan volvulus pascatrauma, dan operasi sesar terhadap pasien yang dibius.[43][47] Deskripsi prosedur pengobatan yang Jivaka lakukan sangat mengikuti protokol Suśruta dan Saṃhitā Charaka.[32][11] Sūtra Jivaka menceritakan bahwa ia juga melakukan akupuntur tetapi tindakan tersebut merupakan interpolasi Tionghoa karena akupuntur berasal dari budaya tersebut.[48]
Dalam kasus yang berkaitan dengan psikologi, Jivaka mengobati seṭṭhī lain yang memiliki kelainan pada otak. Setelah melakukan bedah otak, ia menyuruh pasien agar berbaring diam pada sisi kanannya selama tujuh tahun, pada sisi kirinya pada tujuh tahun berikutnya, dan terlentang selama tujuh tahun berikutnya.[22] Pasien tersebut berbaring pada setiap sisi selama tujuh hari tetapi tak dapat berbaring diam lebih lama dari itu, ia bangun dari tempat tidurnya. Ia mengaku kepada Jivaka; Jivaka kemudian menjawab bahwa ia menyuruhnya selama tujuh tahun pada setiap sisi sehingga seṭṭhī tersebut dapat menyelesaikan tujuh hari penuh pada setiap sisinya.[22][49]
Dalam salah satu bagian pada naskah Mūlasarvāstivāda, Raja Bimbisara mengutus Jivaka kepada Raja Pradyota (Pali: Candappajjoti), raja dari Ujjeni, untuk menyembuhkan penyakit kuning yang diderita raja tersebut.[50] Karena ranting ajaibnya, Jivaka mengetahui bahwa Pradyota keracunan bisa ular dan hanya dapat disembuhkan dengan memakai minyak samin, yang dibenci Pradyota.[51][52] Praydyota mungkin akan murka dan Jivaka ragu apakah ia sebaiknya mengobati raja tersebut. Jivaka meminta nasihat Buddha yang kemudian mengatakan bahwa Jivaka telah bersumpah pada kehidupan sebelumnya bahwa ia akan mengobati tubuh orang sementara Buddha bersumpah bahwa ia akan mengobati pikiran orang—lantas, Jivaka memutuskan untuk menyembuhkan raja tersebut.[52] Jivaka memberikan ramuan yang mengandung minyak samin tanpa Raja sadari. Mengantisipasi tanggapan Raja, Jivaka kabur dari istana dengan menunggangi salah satu gajah milik Pradyota. Raja tersebut benar-benar menjadi geram dan mengutus salah satu pelayan untuk menangkap dan membawa pulang Jivaka. Pelayan tersebut berhasil menangkap Jivaka tetapi, saat mereka bersantap, Jivaka diam-diam memberikannya obat pencahar yang kuat. Pada waktu mereka berdua akhirnya sampai kembali di istana, Raja Pradyota telah sembuh dan tak lagi murka, ia memberi imbalan yang besar bagi Jivaka karena kesembuhannya.[1][22][note 5] Dalam versi Pali, Jivaka dihadiahi dengan busana mahal, yang kemudian Jivaka tawarkan kepada Buddha;[1][53] dalam versi Mūlasarvāstivāda, Raja menganugerahi Jivaka dengan disampaikannya ajaran Buddha, satu-satunya bayaran yang disetujui oleh Jivaka.[54]
Catatan dalam sastra Jepang dan Tionghoa abad pertengahan mengisahkan Jivaka yang menawarkan permandian kepada Buddha dan mendedikasikan jasa relijiusnya kepada seluruh makhluk. Cerita tersebut dipakai dalam masyarakat Asia Timur untuk mempromosikan nilai pengobatan dan ritual mandi, mendorong manfaat penawaran permandian semacam itu kepada komunitas wihara sebagai bentuk "karma medis".[55][56]
Sejumlah cendekiawan menggunakan catatan tentang Jivaka sebagai bukti praktik pengobatan kuno.[53][57] Sejarawan kedokteran Thomas dan Peter Chen menyatakan bahwa "peristiwa-peristiwa menonjol dalam kehidupan Jivaka dan tindakan pengobatannya mungkin bersifat otentik". Mereka juga menganalisis sebagian prosedur Jivaka dari sudut pandang praktik pengobatan ilmiah.[58] Namun, Salguero lebih bersikap skeptis dan berpendapat bahwa "legenda-legenda pengobatan, secara sederhana, tak dapat dijadikan bukti praktik pengobatan".[59]
Peran dalam ajaran Buddha
suntingNaskah Pali sering mendeskripsikan Jivaka yang mengobati sejumlah gejala pada Buddha, seperti saat Buddha pilek[60][61] dan saat terluka karena percobaan pembunuhan oleh biksu pemberontak Devadatta.[1][21] Peristiwa percobaan pembunuhan tersebut terjadi di sebuah taman yanng bernama Maddakucchi, Devadatta menggulingkan batu ke arah Buddha dari tebing. Batu tersebut berhenti karena adanya batu lain di tengah jalan tetapi serpihannya mengenai kaki Buddha dan menyebabkannya berdarah; Jivaka menyembuhkan Buddha. Namun, Jivaka terkadang lupa untuk menyelesaikan pengobatan tertentu. Saat itu terjadi, Buddha mengetahui isi pikiran Jivaka dan menyelesaikan pengobatan tersebut sendiri.[62] Jivaka mengobati Buddha hanya dengan barang-barang yang dianggap istimewa, misalnya dengan bagian bunga teratai alih-alih bahan alam dari pohon-pohonan.[63] Naskah Tibet menyatakan bahwa Jivaka sangat sering memeriksa Buddha, bisa sampai tiga kali sehari.[16] Jivaka tak hanya mengobati Buddha tetapi juga mengekspresikan perhatiannya kepada komunitas wihara, pada suatu saat Jivaka menganjurkan agar Buddha menyuruh para biksu untuk sering berolahraga.[21]
Di samping berperan sebagai tabib, Jivaka juga memiliki minat dalam ajaran-ajaran Buddha. Satu kitab Pali diberi nama Jivaka: Sutta Jivaka. Dalam sumber tersebut, Jivaka menanyakan soal bagaimana menjadi pengikut awam yang baik.[64] Ia juga menanyakan kenapa Buddha menyantap daging. Buddha menjawab bahwa seorang biksu hanya boleh menyantap daging jika hewan tersebut tak dibunuh khusus untuk biksu tersebut—selain dari itu, daging diperbolehkan. Ia lanjut menjawab bahwa seorang biksu tidak boleh bersifat pilih-pilih makanan tetapi harus menerima dan menyantap makanan yang ada, hanya untuk memelihara kesehatannya. Ajaran tersebut menginspirasi Jivaka sehingga memutuskan untuk mendedikasikan dirinya sendiri sebagai pengikut awam agama Buddha.[53][65] Tradisi Tibet mengisahkan versi lain tentang perbincangan Jivaka: harga diri Jivaka sebagai tabib terbaik di dunia (menurut dirinya sendiri) menghalanginya menerima Buddha. Buddha mengutus Jivaka ke tempat-tempat legendaris untuk menemukan berbagai bahan dan akhirnya Jivaka menemukan bahwa ia masih banyak yang ia belum ketahui tentang pengobatan dan Buddha tahu lebih banyak. Saat Jivaka menerima Buddha sebagai "tabib tertinggi", ia lebih menerima ajaran-ajaran Buddha dan Buddha mulai mengajarinya. Jivaka mencurahkan dirinya sendiri kepada lima sila moral.[66]
Naskah Pali mengisahkan bahwa Jivaka kemudian mencapai śrotāpanna, sebuah keadaan sebelum pencerahan. Setelah memperoleh keadaan tersebut, ia mulai mengunjungi Buddha dua kali sepekan. Sejak ia lebih sering melakukan perjalanan jauh, ia memutuskan untuk menyumbangkan hutan kecil mangga di dekat Rajagriha dan membangun wihara di sana.[1][41] Wihara tersebut dipakai oleh para biksu pada masa retret tahunan.[67] Kemudian, Jivaka menjadi orang awam pertama yang tercatat menawarkan jubah kepada para biksu.[68] Mungkin, Jivaka menawarkan jubah demi kesehatan mereka karena sebelum itu para biksu biasanya membuat jubah dengan menyatukan kain rombengan yang kurang higienis yang ditinggalkan begitu saja atau sebelumnya dipakai oleh mayat. Pada masa Jivaka menyumbangkan jubah, Buddha sedang sakit, mungkin karena kondisi yang kurang higienis. Bersangkutan dengan hal itu, Jivaka dikisahkan menyumbangkan jubah dari bahan wol yang dipakai pada musim dingin.[69]
Pada akhir masa pelayanan Buddha, Raja Bimbisara ditahan oleh putranya, Ajātaśatru yang naik takhta dengan paksa.[70] Ia berusaha agar ayahnya sendiri mati kelaparan tetapi Ajātaśatru mendengar bahwa ibunya berusaha mencegah Bimbisara agar tidak mati kelaparan. Menurut naskah Mūlasarvāstivāda, Ajātaśatru nyaris membunuh ibunya karena marah tetapi dihentikan oleh Jivaka dan seorang menteri, yang memperingatkan bahwa ia akan dianggap orang buangan tanpa kasta (Sanskerta: caṇḍala ) jika ia membunuh ibunya sendiri.[71] Kemudian, Bimbisara mati kelaparan dan meninggal. Ajātaśatru terserang tumor usai ayahnya meninggal dan meminta Jivaka untuk menyembuhkannya. Jivaka berkata bahwa ia membutuhkan daging anak-anak untuk menyembuhkan tumor tersebut. Ajātaśatru berencana untuk menyantap seorang anak dan kemudian ia mengingat bahwa ia telah membunuh ayahnya. Saat ia memikirkan bagaimana ayahnya terbunuh, tumor tersebut menghilang.[72] Ajātaśatru menyesali apa yang ia lakukan.[70] Akhirnya, Jivaka memutuskan untuk membawa Ajātaśatru menghadap Buddha untuk menebus kesalahannya.[21] Dalam naskah Mūlasarvastivāda, peristiwa itu terjadi usai Jivaka menunjukkan contoh-contoh orang jahat lain yang masih diselamatkan meskipun berbuat salah dan setelah Jivaka mengingatkan kembali Ajātaśatru bahwa Buddha berada pada akhir hidupnya.[73] Namun, pada naskah Mahāsaṃghika, Ajātaśatru berkonsultasi kepada para menteri soal ke mana ia harus mengadu. Meskipun para menterinya merekomendasikan agar mendatangi beberapa guru non-Buddhis lain, Jivaka kemudian menasihati raja baru tersebut agar mendatangi Buddha.[74]
Dalam kitab ajaran Buddha, Buddha mendeklarasikan Jivaka sebagai tokoh terdepan di kalangan kaum awam yang dikasihi oleh masyarakat,[21][53] naskah Pali menyebutnya sebagai contoh orang yang kokoh akan keyakinannya dalam agama Buddha.[53] Jivaka banyak dikenal karena keterampilan menyembuhkan sampai-sampai ia tidak dapat menanggapi setiap orang yang menginginkan bantuannya. Karena Jivaka memprioritaskan komunitas wihara Buddha, sebagian orang yang membutuhkan pertolongan pengobatan darinya berusaha agar ditahbiskan sebagai biksu. Jivaka kemudian mengetahui hal tersebut dan menganjurkan agar Buddha mencari adanya penyakit terlebih dahulu pada orang yang akan ditahbiskan.[6][21] Kemudian, Buddha melakukannya untuk lima penyakit.[64]
Meskipun Jivaka digambarkan menunjukkan penghormatan besar terhadap Buddha serta memerhatikan dan membantu komunitas wihara, terdapat setidaknya satu kasus di mana ia gagal menunjukkan penghormatan. Ini terjadi pada kasus Paṇṭhaka, seorang biksu yang dianggap bodoh bagi banyak orang. Jivaka juga menganggapnya demikian; saat ia mengundang Buddha dan komunitas wihara dalam jamuan, Paṇṭhaka menjadi satu-satunya biksu yang tak diundang. Buddha, yang datang untuk bersantap, enggan untuk mulai makan, meminta orang-orang untuk mencari Paṇṭhaka. Jivaka mengutus pelayan untuk membawa Paṇṭhaka ke jamuan tetapi pelayan tersebut terkejut karena menemukan 1.250 Paṇṭhaka yang berjalan di sekitar wihara karena Paṇṭhaka mengeluarkan kemampuan supernaturalnya. Kemudian, Paṇṭhaka yang asli bergabung untuk bersantap tetapi Jivaka masih tak mengakui kekuatan mental dari biksu tersebut. Jivaka baru berubah pikiran saat Paṇṭhaka menunjukkan kemampuan supernatural lainnya, memperpanjang lengannya untuk mengambilkan mangkuk dana untuk Buddha. Jivaka tertunduk pada kaki biksu tersebut untuk meminta maaf.[75]
Peninggalan
suntingCatatan-catatan Tionghoa abad pertengahan tentang Jivaka bersifat hagiografi dan dipakai lebih banyak untuk menceramahkan agama Buddha daripada sebagai biografi pengobatan.[76] Karena pengetahuan penyembuhan sangat berkaitan dengan penceramahan agama Buddha, pujian terhadap kemampuan pengobatan Jivaka juga menjadi pujian terhadap dan pembenaran agama Buddha.[77] Dalam naskah Tionghoa tentang pengobatan dari zaman Enam Dinasti (awal abad pertengahan), Jivaka menjadi tabib yang paling menonjol; kisah-kisahnya saling berpengaruh dengan kisah tabib legendaris lainnya.[78] Di Asia Timur, Jivaka dikaitkan dengan ginekologi dan nama Jivaka dikaitkan dengan patologi perempuan dan kesehatan anak kuno.[79][80] Sejumlah formula pengobatan abad pertengahan diberi nama sesuai Jivaka dan ia menjadi rujukan dalam sejumlah naskah pengobatan dari sekurang-kurangnya abad ke-4 M dan sesudahnya. Dalam naskah farmakologi Tionghoa abad ke-6, kalimat "semua hal di bumi tidak lain adalah obat" [sic] dianggap berasal darinya.[22][81] Dalam pengobatan Tionghoa abad ke-10, banyak risalah diasosiasikan atau diatributkan kepada Jivaka.[82] Terdapat juga bukti yang menunjukkan bahwa Jivaka dianggap sebagai tokoh penting dalam pengobatan Āyurveda India:[83] contohnya, Ḍalhaṇa, seorang cendekiawan India yang hidup antara abad ke-11 dan ke-13, menulis dalam komentar terhadap Suśruta Saṃhitā bahwa "kompendium Jivaka" dianggap sebagai naskah tepercaya tentang penyakit anak-anak, meskipun naskah tersebut sekarang telah hilang.[22] Ini tak menandakan bahwa Jivaka dimuliakan di seluruh Asia; beberapa naskah India abad pertengahan seperti Māṭharavṛtti, dan syair-syair Kṣemedra, menggambarkan Jivaka beserta tabib lainnya sebagai penipu.[84] Naskah-naskah Buddha cenderung menonjol di antara naskah India dalam penghormatan mereka terhadap pekerjaan tabib,[84] di samping penghormatan mereka yang besar terhadap pengetahuan pengobatan.[85] Ini berkaitan dengan doktrin keselamatan agama Buddha, yang mana Buddha sering digambarkan sebagai dokter yang menyembuhkan penyakit-penyakit umat manusia.[84]
Jivaka dahulu dan pada abad ke-21 adalah tokoh dan sumber inspirasi bagi sebagian besar tabib Buddhis dan tradisional.[46] Figur Jivaka digambarkan dalam naskah-naskah kuno sebagai bukti atas keunggulan agama Buddha baik dalam hal spiritual maupun pengobatan. Sūtra Jivaka dan versi Mūlasarvāstivāda mengisahkan bahwa saat Jivaka menemui Buddha, Buddha membuat pernyataan bahwa "aku mengobati penyakit dalam; kau mengobati penyakit luar". Kata mengobati (Pinyin: zhi) dalam konteks tersebut juga memiliki arti "berkuasa atas".[52][86] Sepanjang abad pertengahan, catatan tentang Jivaka dipakai sebagai pembenaran praktik-praktik pengobatan.[87] Dalam naskah-naskah agama Buddha terdahulu yang diterjemahkan ke bahasa Tionghoa, Jivaka dideitifikasi dan dideskripsikan dalam istilah yang serupa pemakaiannya untuk para buddha dan bodhisattva. Ia kemudian disebut sebagai "Raja Pengobatan", sebuah istilah untuk sejumlah tabib Tiongkok legendaris.[88] Terdapat bukti bahwa pada zaman Dinasti Tang (abad ke-7–10), Jivaka disembah di sepanjang Jalur Sutra sebagai dewa pelindung kesehatan anak-anak.[87] Pada abad ke-21, Jivaka dipandang oleh orang India sebagai bapak penyembuhan tradisional[89] dan dianggap oleh orang Thailand sebagai pencipta pengobatan dan pijat tradisional Thailand.[76][90] Orang Thailand masih memuja Jivaka untuk meminta bantuan dalam penyembuhan[76] dan ia memainkan peran utama dalam nyaris seluruh upacara yang menjadi bagian dari pengobatan tradisional Thailand.[91] Banyak ditemukan kisah perjalanan Jivaka ke Thailand meskipun mereka mungkin bukan bagian dari sejarah yang nyata.[76]
Dalam tradisi-tradisi tertulis Sanskerta, Jivaka adalah orang kesembilan dari enam belas Arhat, para murid yang dipercayakan untuk melindungi ajaran Buddha sampai kebangkitan Buddha berikutnya. Maka dari itu, Jivaka dideskripsikan masih hidup di puncak gunung yang bernama Gandhamādana, antara India dan Sri Lanka, dalam naskah-naskah Buddha.[21] Wihara yang dipersembahkan oleh Jivaka kepada komunitas Buddha selanjutnya dikenal sebagai Wihāra Jīwakarāma, Jīwakāmrawaṇa atau Jīwakambawana,[23][41][92] dan ditemukan oleh peziarah Tionghoa Xuan Zang (ca 602–64) sebagai sebuah wihara di Rajgir.[93] Reruntuhannya ditemukan dan diekskavasi pada tahun 1803 - 1857.[22] Wihara tersebut dideskripsikan oleh para arkeolog sebagai "... salah satu wihara India terawal yang berasal dari zaman Buddha".[94][95]
Catatan
sunting- ^ Naskah-naskah dari tradisi Mahāsaṃghika tentang Jivaka terpotong-potong.[3]
- ^ Buddhologis Jonathan Silk membuat catatan terhadap sebuah pasal dalam komentar kepada Dhammapada, yang menyatakan bahwa pelacur-pelacur jarang mengambil putranya, karena mereka lebih menjalani hidup mereka dengan para putri mereka.[19] Sejarawan Y.B. Singh berkata bahwa anak tersebut akan merusak reputasi perempuan panghibur tersebut dan juga sumber pemasukannya.[20]
- ^ Versi Pali dari penjelasan tersebut tak mengidentifikasikan siapa guru Jivaka.[29]
- ^ Menganalisis cerita tersebut dari sudut pandang pengobatan saintifik, para sejarawan kedokteran Thomas dan Patrick Chen berspekulasi bahwa Jivaka memakai minyak samin sebagai alat labur, dan mengurangi rasa sakit yang disebabkan sakit kepala.[46]
- ^ Chen dan Chen berspekulasi bahwa saat disamarkan sebagai lemak, minyak samir dapat membantu kantung empedu untuk berkontraksi dan mengangkat koleresis, sehingga kantung empedu terangkat dan menyembuhkan penyakit kuning.[46]
Kutipan
sunting- ^ a b c d e f g h i j k Malalasekera 1960, Jivaka.
- ^ a b Salguero, C. Pierce (2009). "The Buddhist Medicine King in Literary Context: Reconsidering an Early Medieval Example of Indian Influence on Chinese Medicine and Surgery". History of Religions. 48 (3): 183. doi:10.1086/598230. JSTOR 10.1086/598230.
- ^ a b c Zysk 1998, hlm. 53.
- ^ a b c Zysk 1998, hlm. 52.
- ^ Salguero 2009, hlm. 186–8, 190, 192.
- ^ a b Granoff 1998, hlm. 288.
- ^ Salguero 2009, hlm. 186.
- ^ Salguero 2009, hlm. 194, 199.
- ^ Salguero 2009, hlm. 201.
- ^ Zysk 1998, hlm. 53, 60.
- ^ a b Chen & Chen 2002, hlm. 89.
- ^ Salguero 2009, hlm. 195–6.
- ^ Salguero 2014, hlm. 126–7.
- ^ Zysk 1998, hlm. 58.
- ^ Kapoor 1993, hlm. 40–1.
- ^ a b Clifford 1994, hlm. 39.
- ^ a b c d Salguero 2009, hlm. 195.
- ^ a b c d e f g Singh et al. 2011.
- ^ a b c Silk 2007, hlm. 304–5.
- ^ Singh 1993, hlm. 184 n.25.
- ^ a b c d e f g h i Buswell & Lopez 2013, Jivaka.
- ^ a b c d e f g h i j k Muley, Gunakar. "Great Scientists of Ancient India: Jivaka Kaumara-Bhrtya". Vigyan Prasar. Departemen Sains dan Teknologi, Pemerintahan India. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 April 2001.
- ^ a b c Le 2010, hlm. 48–9.
- ^ a b c Rabgay 2011, hlm. 28.
- ^ a b c Salguero 2009, hlm. 196.
- ^ Lowe & Yasuhara 2016, hlm. 62.
- ^ Le 2010, hlm. 50.
- ^ Deepti & Nandakumar 2015, hlm. 283.
- ^ Salguero 2009, hlm. 196 n.50.
- ^ Zysk 1982, hlm. 78.
- ^ Chen & Chen 2002, hlm. 88.
- ^ a b Zysk 1998, hlm. 121.
- ^ a b Zysk 1998, hlm. 55.
- ^ a b Salguero 2009, hlm. 197.
- ^ a b Zysk 1998, hlm. 54.
- ^ Thakur 1996, hlm. 80.
- ^ Zysk 1998, hlm. 54, 56.
- ^ a b Olshin 2012, hlm. 132–3.
- ^ a b Chhem 2013, hlm. 11–2.
- ^ Mookerji 1989, hlm. 469.
- ^ a b c Keown 2004, hlm. 127.
- ^ Salguero 2009, hlm. 199.
- ^ a b Salguero 2009, hlm. 198.
- ^ a b Banerjee, Ezer & Nanda 2011, hlm. 320.
- ^ Chakravarti & Ray 2011, hlm. 14.
- ^ a b c Chen & Chen 2002, hlm. 91.
- ^ Sano 2002, hlm. 861.
- ^ Salguero 2009, hlm. 194.
- ^ Braden, Charles Samuel. "Chapter 6: The Sacred Literature of Buddhism". Religion Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 October 2018. Diakses tanggal 30 September 2018.
- ^ Zysk 1998, hlm. 57, 59.
- ^ Salguero 2009, hlm. 200.
- ^ a b c Zysk 1998, hlm. 59.
- ^ a b c d e Perera 1996, hlm. 55.
- ^ Zysk 1998, hlm. 60.
- ^ Moerman 2015, hlm. 78.
- ^ Salguero 2014, hlm. 77.
- ^ Mookerji 1989, hlm. 468.
- ^ Chen & Chen 2002, hlm. 88, 91.
- ^ Salguero 2009, hlm. 204.
- ^ Rabgay 2011, hlm. 30.
- ^ Salguero 2009, hlm. 190.
- ^ Malalasekera 1960, Jivaka, Maddakucchi.
- ^ Zysk 1998, hlm. 126.
- ^ a b Perera 1996, hlm. 56.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Jivakasutta.
- ^ Rabgay 2011, hlm. 29–30.
- ^ Salguero 2006, hlm. 61.
- ^ Brekke 1997, hlm. 28.
- ^ Wijayaratna 1990, hlm. 34–5, 51.
- ^ a b Malalasekera 1960, Ajātasattu.
- ^ Durt 1997, hlm. 20–1.
- ^ Rabgay 2011, hlm. 29.
- ^ Durt 1997, hlm. 23.
- ^ Bareau 1993, hlm. 35.
- ^ Huber 1906, hlm. 35.
- ^ a b c d Salguero, C. Pierce. "Jivaka Across Cultures" (PDF). Thai Healing Alliance. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 24 October 2018.
- ^ Salguero 2009, hlm. 185, 191, 207–8.
- ^ Salguero 2009, hlm. 183, 194.
- ^ Deshpande 2008, hlm. 43.
- ^ Zysk 1982, hlm. 79 n.1.
- ^ Ming 2007, hlm. 244.
- ^ Salguero 2009, hlm. 209–10.
- ^ Salguero 2009, hlm. 210 n. 103.
- ^ a b c Granoff 1998, hlm. 288–9.
- ^ Norman 1983, hlm. 162.
- ^ Salguero 2009, hlm. 208.
- ^ a b Salguero 2009, hlm. 209.
- ^ Salguero 2009, hlm. 183 n.2, 191.
- ^ "NJ legislature honors Dr Pankaj Naram". India Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 September 2018. Diakses tanggal 2017-09-06.
- ^ Thai Massage. Gale Encyclopedia of Alternative Medicine. Thomson Gale. 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 October 2018 – via Encyclopedia.com.
- ^ Salguero 2006, hlm. 62.
- ^ "Buddhism: Buddhism In India". Encyclopedia of Religion. Thomson Gale. 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 October 2018 – via Encyclopedia.com.
- ^ Chakrabarti 1995, hlm. 195.
- ^ Mishra & Mishra 1995, hlm. 178.
- ^ Tadgell 2015, hlm. 498.
Referensi
sunting- Banerjee, Anirban D.; Ezer, Haim; Nanda, Anil (February 2011), "Susruta and Ancient Indian Neurosurgery", World Neurosurgery, 75 (2): 320–3, doi:10.1016/j.wneu.2010.09.007, PMID 21492737
- Bareau, André (1993), "Le Bouddha et les rois" [The Buddha and the Kings], Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient (dalam bahasa Prancis), 80 (1): 15–39, doi:10.3406/befeo.1993.2187
- Brekke, T. (1997), "The Early Saṃgha and the Laity", Journal of the International Association of Buddhist Studies, 20 (2): –32, diarsipkan dari versi asli tanggal 19 May 2018
- Buswell, Robert E. Jr.; Lopez, Donald S. Jr. (2013), Princeton Dictionary of Buddhism, Princeton University Press, ISBN 978-0-691-15786-3
- Chakrabarti, Dilip K. (October 1995), "Buddhist sites across South Asia as influenced by political and economic forces", World Archaeology, 27 (2): 185–202, doi:10.1080/00438243.1995.9980303
- Chakravarti, R.; Ray, K. (2011), Healing and Healers Inscribed: Epigraphic Bearing on Healing-houses in Early India (PDF), Kolkata: Institute of Development Studies, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 8 October 2018
- Chen, Thomas S. N.; Chen, Peter S. Y. (May 2002), "Jivaka, physician to the Buddha", Journal of Medical Biography, 10 (2): 88–91, doi:10.1177/096777200201000206, ISSN 0967-7720, PMID 11956551
- Chhem, Rethy K. (2013). Fangerau, H.; Chhem, R. K.; Müller, I.; Wang, S. C., ed. Medical Image: Imaging or Imagining? (PDF). Medical Imaging and Philosophy: Challenges, Reflections and Actions. Franz Steiner Verlag. hlm. 11–8. ISBN 978-3-515-10046-5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 24 October 2018. Diakses tanggal 6 October 2018.
- Clifford, Terry (1994), Tibetan Buddhist Medicine and Psychiatry: The Diamond Healing, Motilal Banarsidass Publishers, ISBN 9788120817845
- Deepti, R. Jog; Nandakumar, Mekoth (January 2015). Educational Tourism as an Avenue of Responsible Tourism. Vision India: The Road Ahead. ISBN 978-81-930826-0-7.
- Deshpande, Vijaya J. (2008), "Buddhism as a Vehicle for Medical Contacts Between India and China", Annals of the Bhandarkar Oriental Research Institute, 89: 41–58, JSTOR 41692112
- Durt, Hubert (1997), "Quelques aspects de la légende du Roi Ajase (Ajātaśatru) dans la tradition canonique bouddhique" [Some Aspects of the Legend of King Ajase (Ajātaśatru) in the Buddhist Canonical Tradition], Ebisu (dalam bahasa Prancis), 15 (1): 13–27, doi:10.3406/ebisu.1997.964
- Granoff, P. (1998), "Cures and Karma II. Some Miraculous Healings in the Indian Buddhist Story Tradition", Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient, 85 (1): 285–304, doi:10.3406/befeo.1998.3834
- Huber, Edouard (1906), "Etudes de littérature bouddhique" [Studies of Buddhist Literature], Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient (dalam bahasa Prancis), 6 (1): 1–43, doi:10.3406/befeo.1906.2077
- Kapoor, L. D. (2 November 1993), "Ayur-Vedic Medicine of India", Journal of Herbs, Spices and Medicinal Plants, 1 (4): 37–219, doi:10.1300/J044v01n04_07
- Keown, Damien (2004), A Dictionary of Buddhism, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-157917-2
- Le, Huu Phuoc (2010), Buddhist Architecture, Grafikol, ISBN 978-0-9844043-0-8
- Lowe, Roy; Yasuhara, Yoshihito (2016), The Origins of Higher Learning: Knowledge Networks and the Early Development of Universities, Routledge, ISBN 978-1-317-54326-8
- Malalasekera, G.P. (1960), Dictionary of Pāli Proper Names, Pali Text Society, OCLC 793535195
- Ming, Chen (1 January 2007), "The Transmission of Foreign Medicine via the Silk Roads in Medieval China: A Case Study of Haiyao Bencao", Asian Medicine, 3 (2): 241–64, doi:10.1163/157342008X307866
- Mishra, Phanikanta; Mishra, Vijayakanta (1995), Researches in Indian Archaeology, Art, Architecture, Culture and Religion: Vijayakanta Mishra Commemoration Volume, Sundeep Prakashan, ISBN 9788185067803
- Moerman, D. Max (2015), "The Buddha and the Bathwater: Defilement and Enlightenment in the Onsenji engi", Japanese Journal of Religious Studies, 42 (1): 71–87, doi:10.18874/jjrs.42.1.2015.71-87 , JSTOR 43551911
- Mookerji, Radhakumud (1989), Ancient Indian Education: Brahmanical and Buddhist, Motilal Banarsidass Publishers, ISBN 9788120804234
- Norman, K. R. (1983), Gonda, Jan, ed., Pāli Literature: Including the Canonical Literature in Prakrit and Sanskrit of all the Hīnayāna Schools of Buddhism, Otto Harrassowitz, ISBN 978-3-447-02285-9
- Olshin, Benjamin B. (2012), "A Revealing Reflection: The Case of the Chinese Emperor's Mirror", Icon, 18: 122–41, JSTOR 23789344
- Perera, H. R. (1996), "Jīvaka", dalam Malalasekera, G. P.; Weeraratne, W. G., Encyclopaedia of Buddhism, 6, Government of Sri Lanka, OCLC 2863845613
- Rabgay, Lobsang (2011), "The Origin and Growth of Medicine in Tibet", The Tibet Journal, 36 (2): 19–37, JSTOR tibetjournal.36.2.19
- Salguero, C. Pierce (2006), Spiritual Healing of Traditional Thailand, Findhorn Press, ISBN 978-1-84409-072-3
- Salguero, C. Pierce (2009), "The Buddhist Medicine King in Literary Context: Reconsidering an Early Medieval Example of Indian Influence on Chinese Medicine and Surgery", History of Religions, 48 (3): 183–210, doi:10.1086/598230, JSTOR 10.1086/598230
- Salguero, C. Pierce (2014), Translating Buddhist Medicine in Medieval China, University of Pennsylvania Press, ISBN 978-0-8122-4611-7
- Sano, Keiji (October 2002), "Development of Japanese Neurosurgery: From the Edo Era to 1973", Neurosurgery, 51 (4): 861–3, doi:10.1097/00006123-200210000-00002, PMID 12234391
- Silk, Jonathan A. (2007), "Child Abandonment and Homes for Unwed Mothers in Ancient India: Buddhist Sources", Journal of the American Oriental Society, 127 (3): 297–314, JSTOR 20297277
- Singh, J.; Desai, M. S.; Pandav, C. S.; Desai, S. P. (2011), "Contributions of Ancient Indian Physicians: Implications for Modern Times", Journal of Postgraduate Medicine, 58 (1): 73–8, doi:10.4103/0022-3859.93259 , PMID 22387655
- Singh, Y. B. (1993), "Roots of the Gaṇikā-Culture of Early India", Annals of the Bhandarkar Oriental Research Institute, 74 (1/4): 181–90, JSTOR 43977198
- Tadgell, Christopher (2015), The East: Buddhists, Hindus and the Sons of Heaven, Routledge, ISBN 978-1-136-75383-1
- Thakur, Amarnath (1996), Buddha and Buddhist Synods in India and Abroad, Abhinav Publications, ISBN 9788170173175
- Wijayaratna, Mohan (1990), Buddhist monastic life: According to the Texts of the Theravāda Tradition (PDF), Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-36428-7, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 20 September 2018, diakses tanggal 23 October 2018
- Zysk, Kenneth G. (1982), "Studies in Traditional Indian Medicine in the Pāli Canon: Jīvaka and Āyurveda", Journal of the International Association of Buddhist Studies, 5: 7–86, diarsipkan dari versi asli tanggal 18 April 2018
- Zysk, Kenneth G. (1998), Asceticism and Healing in Ancient India: Medicine in the Buddhist Monastery, Motilal Banarsidass Publishers, ISBN 9788120815285