Jangrana III
Kyai Adipati Jayengrana III, atau disingkat Jangrana III, adalah bernama tumenggung surodirono putra dari Tumenggung Onggowongso Surabaya yang masih keturunan Kyai Lanang dangiran ,beliau adalah bupati legendaris dari Surabaya yang dihukum mati Pakubuwana I tahun 1709.
Asal-Usul Jangrana
sunting[sunting | sunting sumber] Nama asli Jangrana adalah Anggawangsa (dibaca: Onggowongso). Ia adalah putra Ki Joko Brondong alias Lanang Dangiran. Sejak muda ia mengabdi pada Pangeran Pekik di Surabaya.
Menurut Babad Tanah Jawi, tokoh Jangrana alias Anggawangsa adalah sama dengan yang Jangrana yang dihukum mati di Kartasura tahun 1709. Sedangkan menurut Sedjarah Regent Soerabaja, Jangrana alias Panembahan Panatagama yang dihukum mati adalah putra Jangrana Anggawangsa. Dengan kata lain, Anggawangsa adalah Jangrana I, sedang Panatagama adalah Jangrana II.
Peran Awal Jangrana
sunting[sunting | sunting sumber] Pada tahun 1677 Anggawangsa dan kakaknya, Anggajaya, bergabung membantu Amangkurat II (cucu Pangeran Pekik dari pihak ibu) dalam perang melawan pemberontakan Trunajaya. Anggawangsa berhasil merebut meriam pusaka Nyai Setomi dari tangan pemberontak di Gresik. Ketika para pemberontak berhasil diusir pula dari Surabaya, Anggawangsa pun diangkat sebagai bupati di sana bergelar Tumenggung Jangrana.
Jangrana juga berhasil membebaskan Cakraningrat II bupati Madura yang dibuang Trunajaya di Hutan Lodaya (dekat Blitar).
Setelah Trunajaya kalah, Jangrana ditugasi memadamkan pemberontakan Tawangalun di Blambangan. Namun ia berperang setengah-setengah karena dalam hati memihak Tawangalun.
Jangrana juga dikenal memiliki harga diri tinggi. Sepulang menumpas pemberontakan Wanakusuma di Gunung Kidul, ia pulang dengan meminta residen Surabaya menyambut kedatangannya menggunakan tembakan salvo.
Hubungan dengan Untung Surapati
sunting[sunting | sunting sumber] Untung Surapati adalah buronan VOC yang diam-diam dilindungi Amangkurat II. Pada tahun 1686 Untung Surapati direstui Amangkurat II untuk merebut Pasuruan yang saat itu dipimpin Anggajaya.
Dalam perang di Pasuruan, Anggajaya kalah dan melarikan diri ke Surabaya. Namun Jangrana alias Anggawangsa tidak membalas kekalahan kakaknya itu karena ia sendiri juga anti VOC.
Pada tahun 1690 Jangrana dan Cakraningrat II (bupati Madura) ditugasi Amangkurat II merebut Pasuruan dari tangan Untung Surapati. Perang ini hanya perang sandiwara untuk mengelabui VOC seolah-olah Amangkurat II masih setia pada bangsa Belanda.
Sepeninggal Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan takhta di Kartasura. Dalam hal ini Jangrana memihak Pakubuwana I menghadapi Amangkurat III. Pada tahun 1705 Pakubuwana I merebut istana Kartasura dan mengusir Amangkurat III ke Jawa Timur.
Pada tahun 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura, dan Surabaya bergerak menyerang Pasuruan karena Amangkurat III dilindungi Untung Surapati. Dalam perang tersebut Jangrana melakukan sabotase yang merugikan Belanda, karena ia sendiri adalah sahabat Untung Surapati.
Kematian Jangrana
sunting[sunting | sunting sumber] Setelah kematian Untung Surapati tahun 1706 dan tertangkapnya Amangkurat III tahun 1708, pihak VOC ganti melaporkan pengkhianatan Jangrana kepada Pakubuwana I pada tahun 1709.
Jangrana terbukti telah merugikan VOC dalam perang tahun 1706. Ia sebagai pemandu perjalanan dalam penyerbuan ke Pasuruan sengaja memilih jalur yang sulit, antara lain melewati rawa-rawa, sehingga banyak tentara Belanda yang jatuh sakit dan mati. Jangrana sendiri juga dinilai bertempur setengah hati, terbukti prajurit Surabaya tidak ada yang gugur melawan Pasuruan.
Atas desakan VOC tersebut, Pakubuwana I terpaksa memanggil Jangrana untuk dihukum mati. Jangrana bersedia asalkan rakyat Surabaya tidak dilibatkan. Maka, Jangrana pun tewas ditusuki keris oleh petugas Kartasura.
Menurut Sedjarah Regent Soerabadja, yang dihukum mati tahun 1709 adalah Jangrana II yang baru menjabat bupati sejak 1705, putra dari Jangrana Anggawangsa.
Pemberontakan Surabaya Pascakematian Jangrana
sunting[sunting | sunting sumber] Menurut Sedjarah Regent Soerbadja, sepeninggal Jangrana II tahun 1709, Surabaya dipecah menjadi dua, sama-sama dipimpin adik Jangrana, yaitu Jayapuspita memimpin kadipaten Kasepuhan, dan Jangrana III memimpin kadipaten Kanoman. Keduanya sama-sama memberontak tahun 1718.
Babad Tanah Jawi memberitakan kisah pemberontakan Arya Jayapuspita panjang lebar. Jayapuspita disebut sebagai pewaris sifat-sifat Jangrana, kakaknya, yaitu gagah berani, mencintai rakyat, dan taat beragama.
Pada tahun 1714 Jayapuspita menolak menghadap ke Kartasura. Ia menyusun pemberontakan sebagai pembalasan atas kematian Jangrana. Daerah-daerah pesisir seperti Gresik, Tuban, dan Lamongan jatuh ke tangannya.
Pada tahun 1717 gabungan pasukan VOC dan Kartasura berangkat menyerbu Surabaya. Mereka bermarkas di desa Sepanjang. Perang besar terjadi. Jayapuspita mendapat bantuan dari Bali. Dalam perang tahun 1718 adik Jayapuspita, yaitu Ngabehi Jangrana (alias Jangrana III) gugur. Jayapuspita akhirnya menyingkir ke desa Japan (dekat Mojokerto) bersama kedua adiknya yang masih hidup, yaitu Surengrana dan Kartayuda.
Jayapuspita kemudian mendukung pemberontakan Pangeran Blitar terhadap Amangkurat IV (pengganti Pakubuwana I) tahun 1719. Ia sendiri meninggal dunia tahun 1723 karena sakit.
Kepustakaan
sunting- Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- H.J.de Graaf. 1989. Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad XVII (terj.). Jakarta: Temprint
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press