Persatuan hipostatik

(Dialihkan dari Kemanunggalan hipostatik)

Persatuan hipostatik atau kesatuan hipostatik (bahasa Inggris: hypostatic union), berasal dari kata "hipostasis" (bahasa Yunani: ὑπόστασις hypóstasis), adalah suatu istilah teknis dalam teologi Kristen sehubungan dengan Kristologi untuk menjelaskan persatuan dari kedua kodrat (kemanusiaan dan keilahian) Yesus Kristus dalam satu hipostasis atau keberadaannya sebagai seorang individu.[3] Dalam teologi Kekristenan, suatu pribadi atau hipostasis adalah salah satu dari 3 elemen Tritunggal Mahakudus.[4] Pandangan mengenai kedua kodrat Yesus dalam satu kesatuan hipostatik telah diakui sejak Konsili Efesus tahun 431, dan hubungan antar keduanya ditegaskan dalam Konsili Kalsedon tahun 451.

Ikon "Kristus Pantokrator" dari abad ke-6 (Biara Santa Katarina). Ekspresi wajah yang berbeda di kedua sisinya menyiratkan "kodrat ganda" Yesus Kristus sebagai Allah sekaligus manusia.[1][2]
Hasil paduan dari Photoshop atas 2 sisi wajah Kristus.

Hipostasis

sunting

Terminologi

sunting

Kata Yunani hypostasis telah digunakan sebagai suatu istilah teknis sebelum perdebatan Kristologis di akhir abad ke-4 dan abad ke-5. Dalam masa sebelum Kekristenan, filsafat Yunani (terutama Stoikisme) telah menggunakan kata tersebut.[5][6] Namun tulisan-tulisan awal Kekristenan menggunakan kata ini untuk menunjukkan "kenyataan substantif" dan tidak selalu dibedakan artinya dari esensi atau "substansi" (bahasa Yunani: οὐσία ousia); misalnya Tatianus dan Origenes menggunakan kata ini tanpa pembedaan tersebut.[7] Walau secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "substansi" atau hakikat, akan tetapi hal ini menimbulkan berbagai kebingungan.[8]

Istilah "hipostasis" (hypostasis) kemudian dapat diperjelas dan distandardisasi terutama karena pengaruh dari Bapa-bapa Kapadokia. Secara khusus Santo Basilius Agung berpendapat bahwa istilah hypostasis dan ousia tidaklah sama dan kedua istilah tersebut tidak untuk digunakan tanpa pembedaan yang jelas untuk merujuk pada Ketuhanan (keilahian).[9] Sejak pertengahan abad ke-4 dan seterusnya, kedua istilah tersebut sudah dibedakan dan istilah hipostasis digunakan untuk menyebut "kenyataan individual" —terutama dalam konteks Trinitas dan Kristologi. Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria dan Gereja Katolik, sebagaimana dituliskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 251, menyamakan hipostasis dengan individu atau pribadi (person).[10][11][12]

Trinitas

sunting

Dalam penjelasan mengenai Trinitas, Gereja Katolik—sebagaimanana tertulis pada KGK 252—menggunakan istilah "substansi" (biasa diterjemahkan menjadi kodrat, esensi atau hakikat) untuk menunjukkan kesatuan Trinitas dalam satu hakikat-Nya sebagai Allah (ilahi). Sementara istilah "hipostasis" atau pribadi digunakan untuk menunjukkan perbedaan nyata antara ketiga pribadi Trinitas: Bapa, Putera, dan Roh Kudus.[10] Dengan demikian dinyatakan bahwa Trinitas adalah satu Allah, dengan satu "substansi" atau hakikat ilahi yang sama, dalam tiga pribadi atau "hipostasis" yang berbeda: "Tritunggal yang sehakikat" (homo-ousios, consubstantial Trinity).[10]:253,255

Kedua kodrat Yesus

sunting

Istilah "hipostasis", dalam arti pribadi (person), baru digunakan secara resmi sejak Konsili Kalsedon tahun 451 untuk menjelaskan kodrat manusia dan kodrat Allah dalam diri Yesus Kristus: "persatuan hipostatis". Sejak awal mula Kekristenan tidak sedikit ajaran sesat (atau bidah) yang menyangkal hakikat (kodrat) Yesus baik sebagai Allah maupun sebagai manusia, atau juga usaha penyederhanaan misteri kemanusiaan dan keilahian Yesus.

Sebelum abad ke-6

sunting

Doketisme

sunting

Bidaah pertama, yaitu Doketisme (termasuk Gnostisisme), tidak begitu banyak menyangkal keilahian Yesus Kristus —tapi lebih ke penyangkalan kemanusiaan-Nya.[13]:465 Santo Sirilus dari Yerusalem adalah salah seorang Bapa Gereja, dan juga Pujangga Gereja, yang mengadakan perlawanan atas bidaah ini; dalam tulisannya di Catechetical Lecture 4 ia menulis:

"Kristus terdiri atas dua kodrat; manusia dalam apa yang terlihat, tetapi juga Allah dalam apa yang tak terlihat. Sebagai manusia Ia benar-benar makan seperti kita, ... ; tetapi sebagai Allah Ia memberi makan lima ribu orang dari lima roti. ... Benar-benar tidur di perahu sebagai manusia, dan berjalan di atas air sebagai Allah."[14]:9

Arianisme

sunting

Pada sekitar abad ke-3 berkembang ajaran Arianisme, yang dianggap sesat juga, karena menolak Allah Tritunggal dan Yesus hanya dipandang sebagai makhluk ciptaan (bukan Allah). Untuk menanggapi ajaran ini, St Gregorius Nazianzen dalam Orations mengatakan:

"Dan Putera Allah sudi menjadi dan dipanggil sebagai Anak Manusia, bukan dengan mengubah Diri-Nya (sebab Ia tidak dapat berubah); tetapi dengan mengambil sesuatu yang bukan Diri-Nya (sebab Ia penuh kasih kepada manusia), ... Oleh sebab itu Yang Tak Dapat Tercampur menjadi tercampur; Allah dengan kelahiran dan Roh dengan daging, dan Yang Abadi dengan waktu, ... "[15]:XIII

Nestorianisme

sunting

Skisma pertama dalam sejarah Kekristenan terjadi pada awal abad ke-5, yang berawal dari doktrin Nestorianisme. Doktrin ini berasal dari Nestorius, Patriark Konstantinopel pada tahun 428-431; salah satu ajarannya adalah bahwa Yesus mempunyai dua pribadi yang berbeda (manusia dan Allah).[16] St. Sirilus dari Aleksandria (Patriark Aleksandria saat itu) adalah penentang utama doktrin tersebut, dan dalam surat keduanya kepada Nestorius ia mengatakan:[17]

"Sang Firman, dengan suatu cara yang tak terkatakan dan tak terbayangkan, setelah menyatukan dalam diri-Nya secara hipostatik, daging yang dihidupi oleh jiwa yang rasional, Ia menjadi manusia dan disebut sebagai Anak Manusia, ... kedua kodrat-Nya yang berbeda bersama-sama membentuk satu kesatuan, dan dari keduanya itulah lahir satu Kristus, satu Anak."

Surat kedua St Sirilus tersebut disahkan oleh Konsili Efesus pada tahun 431, dan konsili yang sama juga mengutuk doktrin Nestorianisme.[17] Dampak dari Konsili Efesus adalah Church of the East, sebagai pendukung Nestorius, memisahkan diri.[16] Namun Patriark Mar Dinkha IV, sebagai Patriark Gereja Asiria Timur (salah satu hasil pemisahan dari Church of the East), pada tahun 1976 secara eksplisit menolak doktrin Nestorianisme.[18]

Monofisitisme

sunting

Pada abad ke-5 muncul bidaah Monofisitisme yang menolak kemanusiaan Yesus dan menganggap bahwa Yesus hanya memiliki satu kodrat, yaitu keilahian-Nya, setelah Ia lahir di dunia. St Leo Agung (Paus Leo I) dalam suratnya, The Tome, kepada St Flavianus (Uskup Agung Konstantinopel) menuliskan:

"Maka lahirlah Allah yang sejati dalam keseluruhan dan kesempurnaan kodrat manusia sejati; sepenuhnya seperti apa yang Ia miliki sebagai Allah, sepenuhnya seperti apa yang kita miliki sebagai manusia. ... Ia mengampil rupa seorang hamba tanpa noda dosa, menaikkan kodrat manusia dan tidak mengurangi keilahian-Nya ... Masing-masing karakter yang layak dari kedua kodrat-Nya tetap dipertahankan tanpa ada yang dihilangkan ... sehingga rupa seorang hamba tidak mengurangi keilahian-Nya."[19]:III

Konsili Kalsedon

sunting

Kemudian Konsili Kalsedon yang diselenggarakan pada tahun 451 mengutuk bidaah Monofisitisme dan meneguhkan surat dari Paus Leo I (saat itu tidak dapat hadir dalam konsili) yang menjadi dasar Pengakuan Iman Kalsedon. Isi dari Pengakuan Iman Kalsedon memberikan pernyataan yang jelas mengenai hakikat atau kodrat manusia dan ilahi dari Yesus Kristus, berikut sebagian kutipannya:[13]:467[20]

Kita mengaku bahwa Kristus yang satu dan sama, Tuhan, dan Putera yang tunggal, harus diakui dalam dua kodrat-Nya yang tidak tercampur baur, tidak berubah, tidak terbagi-bagi atau terpisahkan. Perbedaan antara kedua kodrat-Nya tidak pernah hilang karena persatuan keduanya, namun karakter setiap kodrat dipertahankan sementara keduanya bersama-sama membentuk satu pribadi dan satu hipostasis.

Konsili Kalsedon memiliki pengaruh besar dan menjadi titik penting dalam perdebatan Kristologi yang membuat Gereja terpecah pada abad ke-5.[21] Kalangan yang menolak Pengakuan Iman Kalsedon memisahkan diri dan menganut pandangan Miafisitisme; mereka dikenal sebagai Gereja Ortodoks Oriental. Sebenarnya penganut miafisit mengakui kedua kodrat Yesus (sebagai manusia dan sebagai Allah); tetapi menganggap kedua kodrat-Nya dipersatukan (menjadi satu kodrat baru) tanpa pemisahan, tanpa bercampur-baur, dan tanpa alterasi.[12][22]

Pasca Konsili Kalsedon

sunting

Agnoetae

sunting

Pada abad ke-6 muncul aliran Agnoetae, yang berkembang dari Monofisitisme, yang mengakui bahwa Yesus adalah Allah tetapi menganggap bahwa Ia persis seperti manusia biasa dalam semua aspek —termasuk keterbatasan pengetahuan. Ajaran tersebut kemudian dikutuk oleh Paus Gregorius I (St. Gregorius Agung) atas dasar suatu risalah, yang menentang mereka, dari St Eulogius (Patriark Aleksandria).[23] Dalam suratnya kepada Patriark Eulogius, untuk menanggapi ajaran Agnoetae, Paus Gregorius I menjelaskan makna dari Markus 13:32 dengan menekankan perbedaan kodrat manusia dan kodrat Allah dalam diri Yesus:

"Putra Tunggal Allah yang telah menjelma menjadi manusia sempurna bagi kita, tentu dalam diri-Nya sebagai manusia Ia mengetahui hari dan saat penghakiman, tetapi tetap saja Ia tidak mengetahui hal itu dari kodrat-Nya sebagai manusia. Apa yang Ia ketahui dalam diri-Nya tidaklah Ia ketahui dari kodrat (manusia) tersebut, sebab Allah, yang menjadi manusia, yang mengetahui hari dan saat penghakiman itu melalui kuasa keilahian-Nya."[24]

Monotelitisme

sunting

Pada abad ke-7 timbul ajaran Monotelitisme, yang juga merupakan perkembangan dari paham Monofisit. Ajaran ini sebenarnya mengakui kedua kodrat Yesus namun menganggap bahwa diri-Nya hanya memiliki satu kehendak —yaitu kehendak ilahi, sehingga tidak mengakui kemanusiaan-Nya. Monotelitisme dikutuk dalam Konsili Konstantinopel III, atas pengaruh dari surat St. Agatho (Paus Agathus) dan Sinode Gereja Roma kepada para Bapa Konsili dan Kaisar Konstantinus IV. Dalam suratnya yang dibacakan dalam konsili tersebut, Paus Agathus menuliskan:

"Sebab saat kita mengakui kedua kodrat dan kedua kehendak alamiah, dan kedua operasi alamiah dalam diri satu Tuhan kita Yesus Kristus, kita tidak menyatakan bahwa semuanya itu saling bertentangan atau berlawanan satu sama lain, atau seolah-olah terpisah dalam dua pribadi. Tetapi kita katakan bahwa sebagaimana Tuhan kita Yesus Kristus yang sama memiliki dua kodrat maka ia juga memiliki dua operasi dan kehendak alami, yakni yang ilahi dan yang manusiawi: operasi dan kehendak ilahi-Nya memiliki kesamaan dengan Bapa yang sehakikat (dengan-Nya) dari kekekalan: yang manusiawi telah Ia terima dari kita, diambil dengan kodrat kita dalam (batasan) waktu."[25]

Perbandingan

sunting

Berikut ringkasan perbandingan beberapa pandangan dibandingkan dengan pandangan "persatuan hipostatik" yang dianut sebagian besar Kekristenan:[22][26]

  • Nestorianisme: pemisahan 2 kodrat dalam 2 pribadi
  • Monofisitisme: 1 kodrat (Allah) dalam 1 pribadi
  • Miafisitisme: persatuan 2 kodrat membentuk 1 kodrat baru dalam 1 pribadi
  • Persatuan hipostatik: persatuan 2 kodrat dalam 1 pribadi (sesuai definisi yang ditetapkan Konsili Kalsedon)

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ (Inggris) Christoph Schoenborn (1994), God's human face: the Christ-icon, hlm. 154, ISBN 0-89870-514-2 
  2. ^ (Inggris) John Galey (1986), Sinai and the Monastery of St. Catherine, hlm. 92, ISBN 977-424-118-5 
  3. ^ (Inggris) Lewis Sperry Chafer (1947). "Chapter XXVI ("God the Son: The Hypostatic Union")". Systematic Theology (edisi ke-reprinted 1993). hlm. 382–384. ISBN 0-8254-2340-6. 
  4. ^ (Inggris) Erwin Fahlbusch, Jan Milic Lochman and John Mbiti. The Encyclopedia Of Christianity. Volume 5 (edisi ke-Feb 1, 2008). hlm. 543. ISBN 080282417X. 
  5. ^ (Inggris) R. Norris (1997). "Hypostasis". Dalam E. Ferguson. The Encyclopedia of Early Christianity. New York: Garland Publishing. 
  6. ^ Aristoteles, "Mund.", IV, 21.
  7. ^ F.D. Wellem (2006). Kamus Sejarah Gereja (revisi). Jakarta: BPK GM. hlm. 173. 
  8. ^ (Inggris) William Placher (1983). A History of Christian Theology: An Introduction. Philadelphia: Westminster Press. hlm. 78–79. ISBN 0-664-24496-3. 
  9. ^ (Inggris) González, Justo L. (1987). A History of Christian Thought: From the Beginnings to the Council of Chalcedon. Nashville, TN: Abingdon Press. hlm. 307. ISBN 0-687-17182-2. 
  10. ^ a b c (Inggris) "Paragraph 2. The Father", Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana 
  11. ^ (Inggris) "Main Doctrines and Practice of the Church". Ethiopian Orthodox Tewahedo Church. 
  12. ^ a b (Inggris) H.H. Pope Shenouda III. "The Nature of Christ" (PDF). St. Mark Coptic Orthodox Church. 
  13. ^ a b (Inggris) "Paragraph 1. The Son of God Became Man", Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana 
  14. ^ (Inggris) St. Cyril of Jerusalem, "Catechetical Lecture 4", dalam Philip Schaff, Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Vol. 7, Translated by Edwin Hamilton Gifford (Revised and edited for New Advent by Kevin Knight) (edisi ke-1894), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. 
  15. ^ (Inggris) St. Gregory Nazianzen, "Oration 39 - Oration on the Holy Lights", dalam Philip Schaff, Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Vol. 7, Translated by Charles Gordon Browne and James Edward Swallow (Revised and edited for New Advent by Kevin Knight) (edisi ke-1894), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. 
  16. ^ a b (Inggris) Nestorius (edisi ke-online 2013), Oxford University Press, 2006, ISBN 9780191727214 
  17. ^ a b (Inggris) Norman P. Tanner (ed.), "The Council Of Ephesus — 431 A.D.", Decrees of the Ecumenical Councils, Eternal Word Television Network, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-29, diakses tanggal 2015-05-29 
  18. ^ (Inggris) Henry Hill (1988), Light from the East, Toronto Canada: Anglican Book Centre, hlm. 107 
  19. ^ (Inggris) St. Leo the Great, "Letter 28 - "The Tome"", dalam Philip Schaff, Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Vol. 12, Translated by Charles Lett Feltoe (Revised and edited for New Advent by Kevin Knight) (edisi ke-1895), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. 
  20. ^ (Inggris)(Yunani) The Chalcedonian Definition, Early Church Texts 
  21. ^ (Inggris) Richard Price, Michael Gaddis (2006), The acts of the Council of Chalcedon, hlm. 1–5, ISBN 0-85323-039-0 
  22. ^ a b (Inggris) Ken Parry (2009). The Blackwell Companion to Eastern Christianity. hlm. 88. ISBN 1-4443-3361-5. 
  23. ^ (Inggris) George Monks (April 1953), "The Church of Alexandria and the City's Economic Life in the Sixth Century", Speculum, hlm. 349-362 
  24. ^ (Inggris) St. Gregory the Great, "Book X, Letter 39", dalam Philip Schaff, Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Vol. 13, Translated by James Barmby (Revised and edited for New Advent by Kevin Knight) (edisi ke-1898), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. 
  25. ^ (Inggris) St. Agatho, "Third Council of Constantinople - The Letter of Pope Agatho", dalam Philip Schaff, Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Vol. 14, Translated by Henry Percival (Revised and edited for New Advent by Kevin Knight) (edisi ke-1900), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. 
  26. ^ (Inggris) J. Chapman (1911), "Monophysites and Monophysitism", The Catholic Encyclopedia, Retrieved from New Advent, New York: Robert Appleton Company