Koesoemo Oetoyo
Raden Mas Adipati Ario Koesoemo Oetoyo (EYD: Kusumo Utoyo) (13 Januari 1873 – 26 Mei 1953)adalah seorang anggota Volksraad yang pernah menjabat sebagai Bupati Ngawi (1902-1905) dan Bupati Jepara (1905-1927).
Raden Mas Adipati Ario Koesoemo Oetoyo | |
---|---|
[[Bupati Jepara]] ke-2 | |
Masa jabatan 1905–1927 | |
Pendahulu K.R.M.A.A Sosro Ningrat Pengganti R.A.A Soekahar | |
[[Bupati Ngawi]] ke-9 | |
Masa jabatan 1902–1905 | |
Pendahulu Raden Tumenggung Purwodiprojo Pengganti Pangeran Arijo Sosro Busono | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Kebumen, Hindia Belanda. | 13 Januari 1871
Meninggal | 26 Mei 1953 | (umur 82)
Suami/istri | Raden Nganten Toorsilowati Raden Nganten Wasinah Tjokroatmodjo Raden Ayu Ataswarin Boeminoto |
Anak | Dari Toorsilowati
Dari Wasinah Tjokroatmodjo
Dari Ataswarin Boeminoto
|
Profesi | Bupati |
Penghargaan
| |
Sunting kotak info • L • B |
Oetoyo pernah aktif dan menjabat pada sejumlah organisasi dan lembaga antara lain sebagai Ketua Organisasi Pergerakan Politik Boedi Oetomo (1926-1936), anggota Dewan Pimpinan Harian Volksraad yang pertama yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1918, serta Wakil Ketua Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) yaitu badan yang dibentuk pada tahun 1943, diketuai Ir. Soekarno, dan bertugas mengajukan usul kepada pemerintah, menjawab pertanyaan mengenai politik, dan menyarankan tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintahan militer Jepang.
Riwayat Hidup
suntingKehidupan
suntingR.M.A.A. Koesoemo Oetoyo lahir pada tanggal 13 Januari 1871 dengan nama Raden Mas Oetoyo. Ia adalah cicit dari Sultan Hamengku Buwono I. Ayahanda R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo, yaitu R.M. Soejoedi Soetodikoesoemo, ialah seorang pamong praja yang kemudian menjadi Patih di Pekalongan, yang merupakan putra Bupati Kutoarjo, R.M. Soerokoesoemo. R.M. Soerokoesoemo adalah cucu dari Sultan Hamengku Buwono I. Ibunda R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo, yaitu R.A. Soeratinem, ialah putri dari Raden Adipati Aroeng Binang, Bupati Kebumen.
Ketika R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo masih berusia balita, ayahnya sudah menduduki jabatan sebagai asisten wedana di Bedoeg, sebuah desa yang terletak di sebelah selatan Purworejo. Ketika usia 6 tahun, R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo masuk ke sekolah partikelir setempat karena di wilayah itu belum ada sekolah gubernemen. Setiap hari pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke sekolah. Sore harinya ia mengaji di sebuah pesantren yang terletak sekitar 1 kilometer dari kediamannya. Pagi hari di sekolah ia belajar menulis huruf Jawa, ‘huruf Belanda’, dan berhitung, sedangkan sore hari di pesantren ia belajar Al-Qur'an dan menulis huruf Arab. Pada usia 7 tahun, R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo telah berhasil menamatkan (khatam) Al-Qur'an.
Menginjak usia remaja, R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo menjalani studi di sekolah HBS Semarang dan menamatkannya pada tahun 1891. R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo menjadi lulusan terbaik di antara semua siswa dari tiga HBS yang ada di Jawa dan ia juga tercatat dalam sejarah sebagai orang Jawa pertama yang memiliki ijazah HBS. Jumlah anak pribumi yang masuk sekolah HBS pada masa peralihan abad itu memang masih sangat sedikit meskipun Pemerintah Hindia Belanda telah mengizinkan anak pribumi untuk masuk sekolah HBS sejak tahun 1874.
R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo menikah antara lain dengan R.A. Ataswarin yang merupakan putri dari Pangeran Boeminoto sekaligus cucu dari Sultan Hamengku Buwono VI. Salah satu putra R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo, yaitu R.A.A. Soemitro Koesoemo Oetoyo, juga pernah menjabat sebagai Bupati Jepara (th. 1942 s.d. 1950) pada masa pendudukan Jepang sampai dengan awal masa kemerdekaan Indonesia.
Karier
suntingR.M.A.A. Koesoemo Oetoyo termasuk generasi priyayi pertama yang meraih posisi bupati melalui jalur profesional birokrasi, di mana pada masa sebelumnya bupati diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda dari kalangan kerabat keraton. Kenyataan ini membuktikan bahwa R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo mendapat pengakuan atas kapasitas dan kemampuan dirinya, sehingga ia dianggap memiliki legitimasi yang kuat sebagai pemimpin pemerintahan.
R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo dalam kiprahnya sebagai anggota Volksraad antara lain dikenal dengan “Mosi Koesoemo Oetoyo” yang dibacakan di hadapan persidangan College van Gedelegeerden Volksraad. Dalam mosi yang berjudul “Tidak Aman Hati di Antara Penduduk Negeri” itu, R.M.A.A Koesoemo Oetoyo meminta penjelasan tentang tindakan Pemerintah Hindia Belanda menangkap sejumlah pimpinan pergerakan bangsa Indonesia. Banyak kalangan kemudian menyebut mosi ini sebagai “Mosi Keresahan” karena dalam pidatonya R.M.A.A Koesoemo Oetoyo beberapa kali menggunakan ungkapan ‘perasaan hati yang tidak aman’. Keresahan R.M.A.A Koesoemo Oetoyo itu kemudian diteruskan oleh MH Thamrin melalui persidangan-persidangan di Volksraad, khususnya tentang proses pemahaman dan cara-cara penggeledahan yang tidak tertib. Hal ini mendapat perhatian dari seluruh golongan masyarakat agar HAM dan harkat kemerdekaan warga negara lebih dihormati.
R.M.A.A Koesoemo Oetoyo memang diketahui berteman baik dengan MH Thamrin. Pertemanan mereka tidak hanya sebatas ketika berada dalam Volksraad, namun mereka juga bersama-sama mengelola Fonds Nasional, sebuah badan yang menerbitkan buku-buku yang berisikan cerita-cerita perjalanan mengejar cita-cita suci, mengejar Indonesia merdeka. Hasil penjualan buku-buku tersebut digunakan untuk membantu kegiatan-kegiatan pergerakan nasional.
Bersama MH Thamrin pula R.M.A.A Koesoemo Oetoyo mengadakan peninjauan ke Sumatra Timur dalam rangka melakukan penyelidikan terhadap nasib buruh perkebunan yang sangat menderita akibat adanya poenale sanctie. Poenale sanctie adalah peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya. Penyelidikan mereka tersebut pada akhirnya membawa hasil dengan dihapuskannya lembaga poenale sanctie.
Setelah berkarier selama sekitar 33 tahun di dunia pangreh praja, R.M.A.A Koesoemo Oetoyo pada akhirnya mengajukan pensiun dini sebagai bupati pada usia 54 tahun. Keputusan ini bukan hal yang mudah, tetapi saat itu ia merasakan bahwa kepongahan pemerintah kolonial benar-benar telah mengoyak harga dirinya. Hal ini diawali saat seorang wedana, yang merupakan bawahannya, melaporkan bahwa Bupati Koesoemo Oetoyo tidak melakukan tekanan terhadap kelompok Sarekat Islam yang berkembang subur di wilayahnya. Dalam persidangan, terjadi hal yang menyakitkan di mana R.M.A.A Koesoemo Oetoyo harus bersimpuh di lantai rumah sendiri menghadapi asisten residen yang bertindak selaku penyidik.
Pada usia senjanya, di awal tahun 1950-an, R.M.A.A Koesoemo Oetoyo masih aktif sebagai anggota Badan Sensor Film. Pada masa itu ia bekerja sama dengan Maria Ulfah Santoso, seorang aktivis pergerakan nasional dari generasi sesudahnya. Kepercayaan untuk menjadi anggota Badan Sensor Film tersebut antara lain berhubungan dengan kesukaan R.M.A.A Koesoemo Oetoyo menonton film, di samping bahwa ia juga dikenal sebagai seorang budayawan dan tokoh yang konsisten memegang teguh etiket dan etika sosial.
Memoar
suntingR.M.A.A. Koesoemo Oetoyo wafat pada tanggal 26 Mei 1953. Beberapa bulan sebelum wafat ia masih sempat memperingati ulang tahunnya yang ke-82 pada tanggal 13 Januari 1953 bersama para sahabat, di antaranya Ki Hajar Dewantara.
R.M.A.A Koesoemo Oetoyo dimakamkan di Taman Makam Pekuncen, Yogyakarta. Biografinya tertuang dalam buku "Perjalanan Panjang Anak Bumi" yang diprakarsai oleh Ramadhan KH.
Saat ini nama R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo diabadikan sebagai nama sebuah jalan (Jln. Kusumo Utoyo) di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.