Mas Atje Salmoen atau M. A. Salmoen (EYD: M. A. Salmun; 23 April 1903 - 10 Februari 1972) adalah penulis dan redaktur surat kabar Sunda. Karier kepenulisannya terentang sejak 1920an saat dia baru berusia 20an hingga menjelang akhir hayatnya. Oleh karena itu, banyak karya tulis yang ia hasilkan dan banyak media yang sempat ia lahirkan dan kelola. Beliau juga seorang sastrawan Sunda yang banyak menghasilkan karya yang hampir seluruhnya berbahasa Sunda. Karya M.A Salmun, tercatat ada 480 judul, termasuk karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Beliau dikelompokkan ke dalam Sastrawan Angkatan 1966-1970-an.[1]

M. A. Salmoen
LahirMas Atje Salmun Raksadikaria
(1903-04-23)23 April 1903
Rangkasbitung, Lebak, Banten, Hindia Belanda (kini Indonesia
Meninggal10 Februari 1972(1972-02-10) (umur 68)
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Tempat pemakamanTPU Blender Kebon Pedes, Tanah Sareal, Bogor, Jawa Barat
KebangsaanIndonesia
PendidikanHollandsch-Inlandsche School
PekerjaanSastrawan, Penulis, Redaktur
Tahun aktif1923-1972
Orang tua
  • Mas Abusa'id Rakyadikaria (bapak) Nyi Mas Samayi (ibu)

Biografi

sunting

Masa Muda

sunting

M.A Salmoen lahir pada tanggal 23 April 1903 di Rangkasbitung, Jawa Barat dengan nama Mas Atje Salmun Raksadikaria. Ia anak dari pasangan Mas Abusa'id Rakyadikaria dan Nyi Mas Samayi. Ayah beliau, Mas Abusa'id Rakyadikaria pernah menjabat sebagai asisten wedana Pabyosongan Kabupaten Serang, Banten. Ketika muda ayah Salmun terkenal penari ulung dan penulis sandiwara yang dahulu dikenal dengan istilah "Kamidi". Sementara itu sang Ibu, Nyi Mas Samayi, adalah seorang perempuan yang masih  mempunyai hubungan darah dengan bangsawan Lebak. Menurut sejarah, sang Ibu, walaupun tidak pernah bersekolah akan tetapi pandai membaca Latin, Jawa, Sunda, dan Arab. Pada zamannya Ibu Salmun dianggap sebagai ahli bahasa, karena mahir berbahasa Sunda, Jawa, Kawi, serta lancar berbahasa Melayu. Disamping itu dapat pula sedikit-sedikit berbahasa Belanda Arab dan Tionghoa. Selain itu Ibu Salmun pun faham pula berbagai pustaka Klasik, sehingga sering menjadi tempat bertanya sarjana-sarjana Belanda.

Pendidikan dan Karir

sunting

Pendidikan dasarnya ia lalui di HIS (sekarang setara dengan SD 6 tahun). Baru lima hari meninggalkan bangku sekolah (1919), setelah itu bekerja di Kantor Pos dan Telepon-Telegrap (PTT) Rangkasbitung diberikan pekerjaan sebagai jurutulis, kemudian dipindah ke Tanjung Karang dan selanjutnya ke Cianjur. Kegiatan menulisnya ia mulai ketika bertugas di Tanjung Karang, iapun senantiasa mengirim tulisan-tulisan ke Balai Poestaka. Namun bukunya yang pertama berjudul Moro Julang Ngaleupaskeun Peusing (1923) dan Sungkeman Gelung (1928) terbit bukan oleh Balai Poestaka. Tahun 1938 Salmun ditarik ke Sidang Pengarang Soenda, Balai Poestaka. Tahun 1943 Salmun keluar dari Balai Poestaka, kemudian menjadi pegawai tinggi Pamong Praja di Banten, tapi kemudian kembali lagi (1948-1951).

Setelah kembali ke Balai Poestaka Salmun menerbitkan buku Padalangan Pasundan (1949), menyunting Mahabharata (1950), Wawangsalan Jeung Sisindiran Karya Mas Adiwinata dan Raden Bratakusumah menjadi Sisindiran pada tahun 1950 dan Gogoda Ka Nu Ngarora (1951). Pada tahun 1950, Salmun termasuk ke dalam tim yang menyusun buku pelajaran bahasa Sunda Kandaga, bahkan Salmun menulis tentang kesusastraan  yang berjudul Kandaga Kasusastraan Sunda (1959). Selain giat dalam bidang sastra, tahun 1965 Salmun mendirikan sekolah dalang di Bandung.

Setelah keluar dari Balai Peostaka, beliau menjadi pegawai tinggi di Departemen Sosial sampai pensiun. Tahun 1951 Salmun diminta menjadi Dosen luar biasa, hal ini terjadi ketika Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta membuka Kuliah Bahasa Sunda. M.A Salmoen juga aktif dalam Konperensi Basa Sunda di Bandung pada tahun 1952. Konperensi ini melahirkan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS). Dalam setiap kongres yang diselenggarakan oleh LBSS, Salmun sering memberikan prasaran tentang bahasa dan sastra sunda, perkembangan dan tantangannya.[2][3]

Di Bogor, Salmun merupakan perintis terbitnya majalah Tjandra (1954). Salmun juga merupakan perintis terbitnya majalah Mangle (1957) dan Sari (1963). Dalam majalah-majalah tersebut, Salmun rajin menulis karya-karya yang berupa cerita bersambung atau bahasan mengenai sastra. Selanjutnya cerita-cerita bersambung Salmun banyak yang dibuat menjadi buku, di antaranya Budah Cikapundung (1965), Angeun Haseum (1965), Villa Bati Nyeri (1966), dan Neangan Bapa (1966).

Karya-karya sastra M.A. Salmun yang eprtama muncul dalam bentuk dangding dan cerita pendek, diterbitkan dalam Volksalmanak Soenda dan surat kabar Parahiangan terbitan Bale Pustaka. Setelah itu, Salmun juga menulis wawacan, gending karesmen, bahasan/esey, roman, sajak, dan sebagainya. Bukunya anu pertama kali terbit yaitu Moro Julang Ngaleupaskeun Peusing (1923) dan Sungkeman Gelung (1928). Naskah gending yang dibuat pada masa awal Salmun menjadi pangarang, di antaranya Mundinglaya, Kelenting Kuning, dan Lenggang Kancana (semuanya dibuat pada tahun 1933). Naskah gending Lenggang Kancana selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armijn Pane (1934). Pada zaman setelah perang, Salmun menulis gending Arya Jalak Harupat yang menceritakan tentang Oto Iskandar di Nata (1954).

Salmun tak hanya mahir menulis dalam bahasa Sunda ia pun sanggup dengan baik menulis di dalam bahasa Indonesia. Gaya menulisan dan bahasa Salmun selain penuh humor, ia pun secara serius sering memaparkan tentang filsafat, etika kehidupan dan agama. Sebagai seorang yang mendalami sastra wayang dan pedalangan karya-karya tulis Salmun tentang wayang dan pedalangan tersebut penuh dengan nasihat, petuah dan filsafat kemanusiaan.

Hasil karya Salmun tercatat dan terkumpulkan sebanyak 480 judul, termasuk karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indinesia. Ke-480 judul tersebut adalah terbitan tahun 1929 sampai 1967, terdiri dari guguritan 122 judul, wawacan 6 judul, sanjak 25 judul, cerita pendek 103 judul, roman 7 judul, anekdot 26 judul, drama dangding dan gending karesmen 5 judul, bahasan 172 judul, pengetahuan bacaan umum 6 judul, dan buku pelajaran 8 judul.[4]

Banyaknya Nama Samaran

sunting

Saat menulis, M. A. Salmun banyak menggunakan nama samaran, di antaranya M. A. S., Hajati, Musalman, Abracadabra, Narajana, Abiyasa, Jusupadi, Rukmini, Atje, Doelatjis, Ragawa, dan lain-lain. Baik nama asli maupun sandiasma itu sangat kentara saat dia menulis untuk Sipatahoenan. Meskipun tetap saja nama aslinya merupakan nama utama yang ia gunakan dalam surat kabar terbitan Paguyuban Pasundan itu.

Tulisan pertamanya yang saya dapat temukan dalam Sipatahoenan adalah “Noord breekt Wet” (edisi 27 Juli 1926). Isinya seputar pelacuran, terutama di Bandung. Antara lain dia menyatakan, “Di Kota Bandoeng reana poeloehan ... terkadang ratoesan ... awewe noe kahormatanana djadi handap pisan, lantaran boga ‘kahiroepan’ noe katjiad aebna” (Di Kota Bandung ada puluhan ... malah bisa jadi ratusan ... perempuan yang kehormatannya menjadi rendah sekali, akibat punya ‘kehidupan’ yang sangat nista).

Di Bandung, ia mencontohkan pelacur-pelacur ada di Elita, Orion, Empress, Feestterrein, dan lain-lain. Padahal ketika Salmun masih bekerja di Tanjungkarang pada tahun 1923-1924, konon sudah ada larangan perempuan keluar di atas pukul 20.00 (“Moen teu salah, kira-kira taoen 1923/1924 basa sim koering dipeuntas keneh, matja dina Neratja jen awewe karitoe teh ditarangkepan, malah asana matja, jen nepi ka aja larangan, awewe loemantoeng ti peuting liwat poekoel dalapan”). Dan pada tahun 1926, katanya, fenomena perempuan pelacur itu belum berkurang (“Geus taoen 1926 lain beuki ngoerangan ‘neneng-neneng’ teh!”).

Memang perhatian Salmun terhadap isu perempuan terbilang besar. Karena dalam tulisan berikutnya saya temukan lagi tulisan “P[agoejoeban] I[stri] R[angkas]” (13 November 1930). Katanya, ia turut mendirikan organisasi perempuan tersebut, tidak berorientasi politik dan berharap organisasi tersebut bisa terus maju. Dari tulisan sebelumnya dan yang kedua ini, saya jadi bisa menyimpulkan bahwa antara 1926 hingga 1930, Salmun sudah tidak bekerja di kantor pos Tanjungkarang, melainkan sudah dipindahkan ke Rangkasbitung, Banten.

Pada edisi 27 Mei 1931, tersaji tulisan “Naon hartosna ‘Pagoejoeban’?” yang merupakan pidato Salmun pada pertemuan Pagoejoeban Toeloeng Tinoeloengan Istri di Pandeglang, Banten. Tulisan ini juga menegaskan komitmen M. A. Salmun untuk dalam kerangka mendorong emansipasi perempuan di kalangan bumiputra, sekaligus menegaskan bahwa hingga Mei 1931 Salmun bekerja di daerah Banten serta aktif berorganisasi. Dalam “Reclame Respect” (21 Juni 1933) masih bisa dibilang Salmun masih bekerja dan aktif bergoranisasi di Rangkasbitung.

Dari berita “Tjalon Leden Prov. Raad” (27 September 1933), organisasi yang diikuti Salmun menjadi jelas. Ia anggota Paguyuban Pasundan yang terbilang sangat aktif, sehingga pada 28 September 1933 oleh Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, diajukan sebagai seorang calon anggota Dewan Provinsi Jawa Barat. Selain Salmun yang saat itu masih bekerja sebagai “klerk PTT” (juru tulis kantor pos), ada Oto Iskandar di Nata, Atik Soeardi, Moehamad Enoch, Djajadiningrat, Moehamad Moehjiddin, Ahmad Atmadja, Idih Prawira di Poetra, Achmad Natanagara, Wirasendjaja, Adjat Soedradjat, Soetisna Sendjaja, Ios Wiriaatmadja, Djoendjoenan, dll., yang sama-sama diajukan oleh Pengurus Besar Paguyuban Pasundan.

Oleh karena itu, dapat saya mengerti mengapa Salmun sangat aktif menulis di Sipatahoenan. Bahkan dengan beragam nama samaran yang digunakannya, bisa dibilang ia merupakan kontributor paling produktif bagi Sipatahoenan. Sejak 1934, M.A. Salmun dipindahkan ke Cianjur. Di kota ini dia juga aktif di Paguyuban Pasundan, bahkan menjadi salah seorang pengurusnya. Ia antara lain hadir pada acara silaturahmi Pasoendan Bagian Kabinangkitan dari Cianjur di Clubhuis Pasoendan pada 17 November 1934 (20 November 1934); tulisan “Milih Lid Volksraad” sebagai bahan ceramah fraksi Paguyuban Pasundan Cabang Cianjur (2 Januari 1935); ikut kongres Paguyuban Pasundan (29 April 1935); menjadi panitia pelantikan bupati Cianjur pada 20 Juli 1935 (17 Juli 1935); perpisahan dengan Bupati Cianjur R. T. Sunarya yang diangkat menjadi bupati Ciamis (“R.T. Soenarja djeung Pasoendan Tjiandjoer”, edisi 19 Maret 1936); hadir dalam pertemuan propaganda Spaarkas Pasundan Istri Cianjur (24 Juni 1936); menjadi sekretaris pengurus Bank Pasoendan Cianjur antara 1931-1935 (25 Juni 1936); turut mendirikan Gending Karesmen Moengdinglaja di Cianjur pada 18 September 1933, tetapi mengalami kemunduran, dan akan mendirikan semacam grup gending karesmen lagi (26 Agustus 1936); dan tercatat sebagai salah seorang anggota Dewan Kabupaten Cianjur dari fraksi Paguyuban Pasundan (30 Desember 1937).

Nama M. A. Salmun pun digunakan untuk menulis karya kreatif seperti sajak berjudul “Tebih ti Pasoendan” pada rubrik “Leleson Dinten Minggoe” (9 Februari 1935), cerita bersambung “Hate Awewe” yang dimuat dari edisi 27 November 1937 hingga 22 Desember 1937 sebanyak 21 nomor, dan drama bertajuk “Asmaramargana” yang dipertunjukkan dalam Kongres Paguyuban Pasundan XXIV dan Pasi VIII di Cianjur (22 April 1939).

Karena diangkat menjadi redaktur (Adjunct Hoofdredacteur) di Balai Pustaka, pada malam 15 Januari 1938, Paguyuban Pasundan Cabang Cianjur mengadakan perpisahan bagi M. A. Salmun. Sebagaimana yang dilaporkan dalam tulisan “Patoeraj Tineungna Djoeragan Salmoen” (edisi 18 Januari 1938), di antara yang dikatakan ketua Cabang Cianjur Sastraprawira, Salmun adalah anggota Paguyuban Pasundan sejati (“Koe kitoe tea mah koemaha teu rek kitoe da poegoeh andjeunna teh diakoe koe Pas jen andjeunna Pasoendan toelen”).

Setelah pindah ke Batavia, M. A. Salmun tetap aktif di Paguyuban Pasundan. Seperti yang dikabarkan dalam edisi 13 Mei 1938, ia terpilih menjadi salah seorang pengurus Cabang Jakarta, yaitu sebagai sekretaris pertama, dengan ketua Adang Kadaroesman, wakil ketua Djajamihardja, sekretaris kedua Sata, bendahara pertama Enang Koesnadi, bendahara kedua W. Atmadja, dan beberapa komisaris. Selain itu, ia tergabung dalam Redactie Commissie Orgaan Pasoendan yang antara lain menyampaikan ceramah perihal bahasa Sunda sehari-hari dan dalam kesusastraan pada 23 Desember 1938 di gedung HIS Pasoendan Bandung (21 Desember 1938).

Selama menjadi redaktur di Balai Pustaka, antara lain M.A. Salmun banyak menulis esai mengenai dunia pewayangan, mitos-mitos Sunda, opera Sunda, dan lain-lain untuk Sipatahoenan. Misalnya, “Patilasan sareng Sasakala di Pasoendan” (21, 23, dan 24 Januari 1939), “Gending Karesmen atawa Taman Karesmen??” (4 Februari 1939), “Rasiahna Ngarang” (28 Februari 1939 dan 4 Maret 1939), “Sadjarah Pagoejoeban Pasoendan” (11 Januari 1940), “Djisim Koering di RR” (8 Juli 1940), “Padalangan di Pasoendan” (16 Juli 1940), “Saha Pantjawala teh?” (30 Juli 1940), “Oerang Badoej” (6 dan 9 Juni 1941), “Deboes” (18 November 1941), dan “Wawangsalan” (15 dan 16 Desember 1941).

Narajana, Ragawa, dan Doelatjis

sunting

Dengan menggunakan sandiasma Narajana, M.A. Salmun banyak menulis karya sastra berupa sajak dan esai. Sajak-sajaknya yang menggunakan nama Narajana terutama dimuat dalam rubrik “Leleson Dinten Minggoe”, seperti “Djati Kasilih koe Djoenti” (11 Oktober 1930), “Piliheun antara: Boedi & Rasa-Djasad & Sipat” (4 Januari 1936), “Emh ...” (25 Januari 1936), “Kasopanan” (edisi 22 Februari 1936), “Emh Ethiopie ...!!!” (23 Mei 1936), “Liefde ... Ras-criterium ... en politiek” (29 Mei 1936), dan “Pantjarinengga: Petikan tina Astogini” (10 Juli 1936). Karya-karya dalam bentuk esai atau opini juga ada. Misalnya tulisan “Bantam-Bantamers Beweging” (21 Agustus 1931), “Diganda” (18 Desember 1935), “Eenscheidachte (Sapatekadan)” (24 Desember 1935), “Istri noe Mimiti djadi Ponggawa BB” (12 Februari 1936), “M. A. S.” (2 Maret 1936), dan “Jury” (20 Juli 1936).

Komitmen Narajana untuk berkontribusi nampak tak berubah tatkala ada badai fitnah yang menerpa namanya, karena dikelirukan dengan nama Arajana yang menyerang Sipatahoenan. Agar jelas duduk soalnya, Narajana mengirimkan surat dan dimuat dalam edisi 16 Maret 1931 dengan tajuk “Arajana djeung Narajana aja Doea”. Katanya, “Abah, ti djaman Soet Sen keneh, langkoeng oeninga saha sareng koemaha ari Narajana teh houdingna terhadep ka Sip. Ti djaman di peuntas keneh djaman Sip djadi weekblad, Narajana geus aja (onder een anderen schuilnaam” (Abah, sejak masih Soetsen, lebih tahu siapa dan bagaimana sikap Narajana terhadap Sipatahoenan. Sejak zaman masih bekerja di pulau seberang saat Sipatahoenan masih mingguan, Narajana sudah ada [di bawah nama aslinya]).

Di ujung suratnya, Narajana sekali lagi menegaskan komitmennya bagi Sipatahoenan. Katanya, siapapun redakturnya, ia akan senantiasa seperti dulu (“Nadjan saha bae noe ngamoedi Sipatahoenan ari Narajana mah terhadep ka Sipatahoenan tetep sabareto”). Selanjutnya, dengan menggunakan nama Ragawa, tulisan-tulisan Salmun di Sipatahoenan berkisar di sekitar berita atau laporan seperti “Ragawa Ngabedjaan” (31 Agustus 1933); sajak-sajak dalam rubrik “Leleson Dinten Minggoe” seperti “Kajakinan” (2 September 1933), “Kaboedajan Soenda!” (23 Desember 1933); esai seperti “Dalem” (20 November 1933), “Dangding” (21 Desember 1933), “Basa Soenda Malarat??” (26 Oktober 1934), “Lelemboetan” (5 Januari 1935), “Komara sareng Wisit” (29 Januari dan 5 Februari 1935); cerita pendek dalam rubrik “Ngobrol Wengi Ahad” seperti “Ditjatjag koe ... letah!” (26 Mei 1934), “Boedjangga Pinandita” (11 Agustus 1934), “Tetela jen Hade ...??” (25 Agustus 1934), “Ngoebaran Malaise!” (22 September 1934), “Soempah” (27 Oktober 1934), “Kahormatan Bangsa” (3 November 1934); dan cerita bersambung seperti “Cleopatra” (13-21 Maret 1935).

Sementara dengan nama Doelatjis, Salmun lebih banyak menulis laporan. Misalnya tulisan bertajuk “Kakaren Congres” (26 April 1935), “Doelatjis & Conges” (28 Maret 1936), “Kakaren Congres” (23 April 1938), “Neuraan Congres” (13 Maret 1939), “Kakaren Kongres” (17 April 1939), dan “Kakaren Lebaran” (30 November 1939). Dalam tulisan-tulisan itu, suasana yang dibangun Salmun sangat hidup dan segar dengan bahasa-bahasa Sunda sehari-hari yang kaya banyolan, sehingga terasa sangat plastis dan nyastra.

Mengenai Doelatjis, Ragawa, dan Sitjaloed sebenarnya orang yang sama, bisa dilihat dari berita singkat “Noehoen” oleh redaksi Sipatahoenan (25 Juni 1936). Di situ antara lain dikatakan “Alhamdoelillah, teu bared-bared atjan, pasangkelid Doelatjis alias Sitjaloed alias Ragawa ... moesoeh pating tjakakak, peureup kapegat” (Alhamdulillah, tidak terlukas sedikit pun, dengan jurus-jurus Doelatijis alias Sitjaloed alias Ragawa ... musuh tertawa-tawa, pukulan pun tertahan).[5]

Meninggal Dunia

sunting

M.A Salmoen meninggal dunia pada tanggal 10 Februari 1972. Beliau dimakamkan dipemakanan Blender Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sareal, Bogor. Namanya diabadikan untuk sebuah jalan di Kota Bogor yaitu: Jalan M.A Salmun yang menghubungkan Jl Merdeka, Jl Ciwaringin, Jl Mayor Oking, dan Jl Dewi Sartika (Pasar Anyar).[6]

Setahun sebelum beliau meninggal beliau pada tahun 1971 dengan kondisi mata yang 80% yang tidak melihat, Salmun berhasil menyelesaikan naskah Paribasa Sunda yang dikirimnya ke penerbit Sumur Bandung. Naskah tentang peribahasa Sunda tersebut merupakan karya terakhir Salmun yang dibuat pada tahun 1971 beberapa bulan sebelum akhir hayatnya.

Banyak sekali karya M.A Salmun, tercatat ada 480 judul, termasuk karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Ke-480 judul tersebut adalah terbitan tahun 1929 sampai 1967, terdiri dari:

  1. Guguritan 122 judul
  2. Wawacan 6 judul
  3. Sajak 25 judul
  4. Cerita pendek 103 judul
  5. Roman 7 judul
  6. Anekdot 26 judul
  7. Drama dangding dan gending karesmen 5 judul
  8. Bahasan 172 judul
  9. Pengetahuan bacaan umum 6 judul
  10. Buku pelajaran 8 judul.

Beberapa karya M.A Salmoen yang banyak menarik perhatian publik:

  1. Ciung Wanara (1939)
  2. Mundinglaya (1940)
  3. Ekalaya Palastra (1940)
  4. Asmarandhana (1942)
  5. Goda Rancana (1942)
  6. Membangun dan menerbitkan Majalah Sunda Tjandra di Bogor pada tahun 1954
  7. Padalangan Pasundan (Buku, 1949)
  8. Mahabharata (suntingan, 1950)
  9. Wawangsalan Jeung Sisindiran Karya Mas  Adiwinata dan Raden Bratakusumah menjadi Sisindiran pada tahun 1950 dan
  10. Gogoda Ka Nu Ngarora (1951)
  11. Majalah Panglipur Mangle pada tahun 1957
  12. Majalah Sari pada tahun 1963
  13. Budah Cikapundung (cerita bersambung, 1965)
  14. Angeun Haseum (cerita bersambung, 1965)
  15. Villa Bati Nyeri (cerita bersambung, 1966)
  16. Neangan Bapa (cerita bersambung, 1966)
  17. Masa Bergolak (1968)
  18. Naskah Gending Karesmen seperti Mundinglaya (1933)
  19. Kelenting Kuning (1933)
  20. Lenggang Kancana yang kemudian disadur oleh sastrawan Armijn Pane dalam Bahasa Indonesia pada 1934
  21. Gending Karesmen, Arya Jalak Harupat, riwayat Otto Iskandardinata pada tahun 1954
  22. Kandaga Sastra Sunda (buku, 1957) terbit di Bandung
  23. Paribasa Sunda (1971)

Referensi

sunting
  1. ^ "(Aneka, 1951) M.A. Salmoen". Seputar Teater Indonesia. 2016-07-05. Diakses tanggal 2024-06-05. 
  2. ^ Administrator (2019-02-20). "M.A Salmoen (Sastrawan dan Pujangga)". indoSastra.com. Diakses tanggal 2024-06-05. 
  3. ^ "Biografi M.A Salmun - Sastrawan Angkatan 1966-1970-an". BIOGRAFI TOKOH TERNAMA. Diakses tanggal 2024-06-05. 
  4. ^ "M. A. Salmun" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-05. 
  5. ^ Kurnia, Atep. "SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #24: M. A. Salmun, Kontributor Paling Produktif". BandungBergerak.id. Diakses tanggal 2024-06-05. 
  6. ^ "Facebook". www.facebook.com. Diakses tanggal 2024-06-05.