Mitologi Bantu merupakan sistem mitos dan legenda pada Suku Bantu di Afrika. Meskipun Suku Bantu terdiri dari ratusan kelompok etnis yang berbeda-beda, ada banyak kesamaan dalam kebudayaan dan mitologi Bantu, seperti halnya bahasa Bantu.[1] Istilah"Mitologi Bantu" biasanya mengacu pada tema yang sama dan berulang yang ada pada semua atau sebagian besar kebudayaan Bantu.[2]

Dewa sunting

Suku Bantu secara tradisi mempercayai adanya Dewa tertinggi. Sifat Dewa sering kali dijelaskan secara samar, meskipun ia mungkin terkait dengan Matahari, atau yang tertua dari semua nenek moyang, atau memiliki perincian lainnya. Kebanyakan nama-nama Dewa berimbuhan ng (nk), yang berkaitan dengan langit; misalnya Mulungu (Suku Yao dan lainnya), Mungu (Suku Swahili), Unkulunkulu (Suku Zulu), Ruhanga (Suku Nyoro dan lainnya), dan Ngai (beberapa kelompok lain). Pada kebanyakan tradisi, Dewa berada di langit, sama seperti mitologi dan agama di barat; ada juga tradisi yang menempatkan Dewa di gunung-gunung tinggi (seperti dalam mitologi Yunani), misalnya gunung Kirinyaga bagi Suku Kikuyu.

Ada beberapa mitos Bantu yang dimaksudkan untuk menguraikan jarak antara Dewa dan manusia, yaitu langit dan bumi. Dalam banyak mitos penciptaan Bantu, langit dan bumi awalnya dekat satu sama lain, kemudian dipisahkan oleh Dewa karena kekacauan yang disebabkan oleh manusia. Misalnya, ada sebuah mitos Bantu tentang Dewa yang terusik oleh alu yang dipegang oleh wanita, yang mengenai perutnya ketika bangkit, dan satu lagi di mana Dewa sakit hati oleh asap kebakaran buatan manusia. Ada juga mitos tentang manusia yang mencoba menaiki rumah Dewa (misalnya, dengan memanjat pohon yang sangat tinggi, atau menaiki tali).

Dewa hampir tidak pernah digambarkan sebagai Pencipta segala sesuatu, karena dalam kebanyakan mitologi Bantu alam semesta disebutkan abadi dan tidak memiliki awal. Hewan-hewan juga merupakan bagian dari alam semesta yang abadi ini. Meskipun bukan penciptanya, Dewa berhubungan erat dengan alam semesta; hewan kadang-kadang disebut sebagai "umat-Nya", dan dalam beberapa mitos tentang Dewa yang menjauhi manusia (seperti yang disebutkan di atas mengenai asap dari api buatan manusia) jelas bahwa ketidakpuasan Dewa terhadap manusia berkaitan dengan kebiasaan mereka memanipulasi dan merusak alam.

Dalam agama Bantu tradisional, Dewa itu tinggi di atas bumi. Semua acara keagamaan dimaksudkan untuk menyembah Dewa. Sikap tradisional sistem keyakinan Bantu ini telah dimodifikasi, dalam berbagai tingkatan dan dalam berbagai cara, dengan munculnya Kekristenan (atau Islam), karena Tuhan orang Kristen dan Muslim disamakan dengan Dewa tertinggi Bantu. Mungu telah menjadi Dewa yang peduli dengan kemanusiaan dan karenanya logis untuk beribadah dan berdoa kepadanya.[3]

Penciptaan sunting

Sementara dalam mitologi Bantu alam semesta dan hewan-hewan itu abadi, sehingga tidak ada mitos penciptaan tentang asal mula mereka, kebalikannya berlaku bagi umat manusia. Pada beberapa mitos Bantu, manusia pertama lahir dari tumbuhan: misalnya, berasal dari batang bambu di Zulu, dan dari pohon "Omumborombonga" dalam mitologi Herero. Tradisi lain menyebut manusia pertama keluar dari gua atau lubang di tanah. Orang-orang terutama yang hidup di peternakan lembu biasanya percaya bahwa manusia dan ternak muncul di bumi bersama-sama.

Dapat dicatat, seperti halnya mitologi lain, mitologi Bantu tentang penciptaan manusia sering kali terbatas hanya menggambarkan asal-usul mereka sendiri, bukan semua umat manusia. Sebagai contoh, sebagian besar masyarakat Bantu yang hidup berdampingan dengan suku bushmen tidak memasukkan mereka dalam mitos penciptaan (bushmen dianggap sebagai bagian dari alam semesta abadi, seperti hewan, bukan bagian dari umat manusia - hail ini dapat menjelaskan mengapa, sepuluh atau lima belas tahun yang lalu, pasukan pemberontak di Kongo timur dilaporkan mempraktikkan kanibalisme pada orang-orang pigmi).

Kematian sunting

 
Bunglon merupakan pewarta kehidupan abadi dalam mitologi Bantu

Kebanyakan kebudayaan Bantu memiliki mitos yang sama mengenai asal usul kematian, yang melibatkan bunglon. Menurut mitos ini, Dewa mengirim bunglon untuk memberitakan kepada manusia bahwa mereka tidak akan pernah mati. Bunglon tersebut melanjutkan misinya, tetapi dia berjalan perlahan dan berhenti untuk makan di sepanjang perjalanannya. Beberapa saat setelah bunglon itu pergi, seekor kadal memberitakan kepada manusia bahwa mereka akan mati. Menjadi jauh lebih cepat daripada bunglon, kadal tiba lebih dulu, sehingga membangkitkan sifat manusia yang tidak abadi. Sebagai konsekuensi dari mitos ini, baik bunglon maupun kadal sering dianggap pertanda buruk dalam kebudayaan Bantu.

Tergantung pada tradisi lokal, ada penjelasan yang berbeda tentang "pesan ganda" dari bunglon dan kadal. Dalam beberapa kasus, Dewa mengirim bunglon dan kadal, dengan pertanda masing-masing, dengan sengaja mempercayakan takdir umat manusia pada hasil dari ras mereka. Dalam kasus lain, kadal menguping perintah yang Dewa berikan kepada bunglon, dan memilih untuk membawa pesan yang berlawanan karena iri hati. Dalam budaya lain, setelah mengirim bunglon, Dewa mengubah pikirannya karena perilaku buruk umat manusia. Para Misionaris sering mengadaptasi mitos bunglon ini untuk menginjili orang-orang Bantu Afrika; bunglon, yang membawa kabar baik tentang kehidupan kekal kepada umat manusia, sehingga disamakan dengan Yesus Kristus.

Roh sunting

Pada sebagian besar kebudayaan Afrika, termasuk kebudayaan Bantu, penghormatan orang yang telah meninggal memainkan peran yang penting. Roh-roh orang mati diyakini berlama-lama di sekeliling dan mempengaruhi dunia orang hidup. Keberadaan spiritual ini biasanya tidak dianggap abadi; roh-roh orang mati hidup selama ada seseorang yang mengingat mereka. Sebagai akibatnya, para raja dan pahlawan, yang dirayakan oleh tradisi lisan, hidup berabad-abad, sementara roh orang biasa dapat lenyap dalam pergantian beberapa generasi.

Orang mati berkomunikasi dengan orang yang hidup dengan cara berbeda-beda; misalnya, berbicara dalam mimpi, mengirim pertanda, atau dapat dipanggil oleh peramal khusus. Jika mereka mengambil wujud yang terlihat, sering kali berwujud hewan (kemungkinan besar ular, burung atau belalang).

Orang yang hidup, melalui ahli tenung dan peramal, dapat berbicara kepada orang mati untuk menerima nasihat atau meminta bantuan. Jika roh tersinggung oleh sesuatu yang dilakukan oleh orang yang hidup, ia dapat menyebabkan penyakit atau malapetaka bagi orang tersebut; dalam hal ini, seorang peramal dapat membantu orang itu untuk memperbaiki kesalahannya dan menenangkan roh yang marah tersebut. Bencana, seperti kelaparan atau perang, mungkin menjadi konsekuensi dari perilaku buruk dari seluruh masyarakat.

Seperti halnya dengan mitologi lain, kebudayaan Bantu menempatkan dunia orang mati di bawah tanah. Banyak kebudayaan Bantu memiliki mitos dan legenda tentang orang hidup yang entah bagaimana berhasil memasuki dunia orang mati (kuzimi dalam bahasa Swahili); hal ini mungkin terjadi secara kebetulan pada seseorang yang mencoba memburu seekor landak atau hewan lain di dalam liangnya. Beberapa legenda mengenai para pahlawan yang rela memasuki dunia bawah tanah dalam semacam pencarian; contohnya adalah Mpobe (dalam mitologi Baganda) dan Uncama (mitologi Zulu).

Selain itu kebudayaan Bantu juga percaya pada roh lain selain orang mati (misalnya, roh alam seperti "Mwenembago", "penguasa hutan", dalam mitologi Zaramo), yang peranannya jauh lebih rendah. Dalam banyak kasus, mereka awalnya adalah roh orang mati.

Ditemukan di beberapa tempat jejak keyakinan mengenai ras penghuni Surga yang berbeda dari manusia biasa. Misalnya, mereka kadang-kadang dikatakan memiliki ekor.

Monster sunting

Mitologi Bantu sering memasukkan monster, disebut sebagai amazimu dalam bahasa Zulu dan madimo, madimu, zimwi dalam bahasa lain. Dalam terjemahan bahasa Inggris dari legenda Bantu, kata-kata ini sering diterjemahkan menjadi "ogre", salah satu ciri khas monster tersebut adalah menjadi pemakan manusia . Mereka kadang-kadang dapat berubah wujud menjadi laki-laki atau hewan (misalnya, suku Chaga yang hidup dekat Kilimanjaro memiliki kisah-kisah monster dengan wujud macan tutul) dan kadang-kadang dapat menyihir manusia dan mengubahnya menjadi hewan. Jenis monster tertentu adalah monster yang dibangkitkan, dimutilasi mati (memiliki kemiripan dengan zombi pada kebudayaan barat) seperti umkovu dari tradisi Zulu dan ndondocha dati suku Yao.

Dongeng sunting

Budaya tradisional sebagian besar suku Bantu memiliki beberapa dongeng tentang hewan yang dipersonifikasikan dan berbicara.

Karakter paling menonjol dalam dongeng-dongeng Bantu adalah kelinci, simbol keterampilan dan kecerdikan. Antagonis utamanya adalah hyena yang licik dan penipu. Singa dan gajah biasanya mewakili kekuatan kasar. Bahkan yang lebih cerdik dari kelinci adalah kura-kura, yang mengalahkan musuhnya dengan kesabaran dan kemauan yang kuat. Simbologi ini tentu saja tergantung pada variasi lokal. Di daerah di mana kelinci tidak ada (misalnya, di sepanjang Sungai Kongo), perannya sering digantikan oleh antelop. Dalam budaya Sotho, kelinci digantikan oleh serigala, mungkin karena pengaruh budaya Khoisan, di mana serigala juga merupakan simbol ketangkasan sementara kelinci dipandang bodoh. Orang-orang Zulu memiliki cerita tentang kelinci, tetapi dalam beberapa kasus musang berperan sebagai protagonis yang cerdas.

Teori konspirasi internet populer tentang "reptilian" mungkin berasal dari keyakinan tersebut, karena sangoma kontemporer bernama Credo Mutwa diduga mengklaim banyak orang Afrika percaya akan keberadaan mereka.

Lihat juga sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Lihat Werner, chapt. 1
  2. ^ Lynch, p. xi
  3. ^ Mungu sebenarnya terjemahan standar "Tuhan" yang digunakan dalam bahasa Swahili;

Referensi sunting

  • Patricia Ann Lynch, African Mythology A to Z, Infobase Publishing.
  • Alice Werner, Myths and Legends of the Bantu (1933). Available online here [1].