Assaat

politisi Indonesia

Mr. Assaat gelar Datuk Mudo (18 September 1904 – 16 Juni 1976) adalah seorang politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia.[1] Ia merupakan pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia.[2]

Assaat
Potret resmi, ca 1949-50
Presiden Negara Republik Indonesia
presiden sementara
Masa jabatan
27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950
Perdana MenteriSoesanto Tirtoprodjo (Pjs.)
Abdoel Halim
Sebelum
Pendahulu
Soekarno
Pengganti
Soekarno
Sebelum
Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat Ke-4
Masa jabatan
28 Februari 1947 – 27 Desember 1949
Sebelum
Pendahulu
Soepeno
Pengganti
Jabatan Dihapuskan
Sebelum
Menteri Dalam Negeri Indonesia Ke-9
Masa jabatan
6 September 1950 – 27 April 1951
PresidenSoekarno
Perdana MenteriMohammad Natsir
Informasi pribadi
Lahir(1904-09-18)18 September 1904
Dusun Pincuran Landai, Kubang Putiah, Banuhampu, Agam, Hindia Belanda
Meninggal16 Juni 1976(1976-06-16) (umur 71)
Jakarta, Indonesia
Suami/istriRoesiah
HubunganAbdoel Halim (keponakan) Arisun Sutan Alamsyah (keponakan)
Anak4
AlmamaterUniversitas Leiden
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan

sunting
 
Assaat

Pendidikan dan praktik advokat

sunting

Assaat belajar di Perguruan Adabiah dan MULO Padang,[1] selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Jakarta. Merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, dia keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melanjutkan pendidikannya ke Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta.

Ketika menjadi mahasiswa RHS, ia memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, dalam gerakan pemuda dan politik. Saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. Karier politiknya makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus Besar Perhimpunan Pemuda Indonesia. Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda ia terpilih menjadi Bendahara Komisaris Besar Indonesia Muda.

Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke kancah politik dengan bergabung dalam Partai Indonesia atau Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo, seperti Adenan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dan beberapa tokoh lainnya. Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, diketahui oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walau sudah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan itu, dia memutuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Universitas Leiden Belanda dia memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.) atau Sarjana Hukum.[3]

Sebagai seorang non-kooperator terhadap penjajah Belanda, sekembalinya ke tanah air pada tahun 1939 Assaat berpraktik sebagai advokat hingga masuknya Jepang pada tahun 1942. Di zaman Jepang ia diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.

KNIP dan RIS

sunting
 
Mr. Assaat ketika menjadi pimpinan sidang BP-KNIP di Malang, 1947. Kelak ia diangkat menjadi Ketua BP-KNIP pada 1948.

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya (BP-KNIP) pada masa revolusi dua kali mengadakah hijrah karena situasi dianggap terlalu riskan, dan agar Revolusi Indonesia tetap berjalan. Berkedudukan awal di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian Jakarta) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Sekitar tahun 1945 KNIP dipindahkan ke Yogyakarta. Kemudian pada tahun itu pula, pindah ke Purworejo, Jawa Tengah. Sampai saat situasi Purworejo dianggap kurang aman untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta.

Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) dibentuk tanggal 16 Oktober 1945 yang diketuai oleh Sutan Sjahrir dan penulis oleh Soepeno dan beranggotakan 28 orang. Pada tanggal 14 November 1945, Sutan Syahrir diangkat menjadi Perdana Menteri Indonesia, sehingga BP-KNIP diketuai oleh Soepeno dan penulis Abdul Halim.[4] Kemudian pada tanggal 28 Januari 1948, Soepeno diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda pada Kabinet Hatta I, sehingga ketua adalah Mr. Assaat Datuk Mudo, dan penulis tetap dr. Abdul Halim.

Sehingga tahun 1948-1949 (Desember) ia menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Ia terpilih menjadi Ketua KNIP terakhir hingga KNIP dibubarkan, kemudian ia ditugasi sebagai Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.

Pengasingan

sunting

Pengasingan Assaat merupakan salah satu bentuk perlakuan Agresi Militer II oleh Belanda. Pada 22 Desember 1948, Assaat dijadikan tawanan pemerintah Belanda dengan dibawa keluar Ibukota bersama tokoh-tokoh lain seperti Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mr. Gafar Pringgodigdo, dan Komodor Suryadi Suryadarma. Assaat bersama dengan Hatta, Gafar, dan Suryadarma diasingkan di Manumbng, Pulau Bangka.[5]

Pelaksana Tugas Presiden Republik Indonesia

sunting
 
Mr. Assaat, Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia disalami oleh warga seusai salat Jumat di Masjid Sumedang dalam kunjungan kerja di Jawa Barat bulan Mei 1950.

Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949, Assaat diamanatkan menjadi Acting (Pelaksana Tugas) Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta hingga 15 Agustus 1950.[1] Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden RI pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.[1] Saat menjadi Acting Presiden RI, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.[6]

Setelah pindah ke Jakarta, Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), hingga duduk dalam Kabinet Natsir menjadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Setelah Kabinet Natsir bubar, ia kembali menjadi anggota Parlemen.

Pada tahun 1955 ia menjabat sebagai formatur Kabinet bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terjadi ketidak puasan daerah terhadap beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah mendukung Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena secara formal, ditolak oleh Parlemen.

Pertentangan dengan Pemerintah Pusat

sunting

Ketika Presiden Soekarno menjalankan Demokrasi Terpimpin, Assaat menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, yang ditentangnya adalah politik Bung Karno yang seolah-olah condong ke sayap kiri Partai Komunis Indonesia (PKI).

Assaat merasa terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah kediktatoran terselubung, ia selalu diawasi oleh intel serta PKI. Dengan berpura-pura "akan berbelanja" ia bersama keluarganya melarikan diri dengan berturut-turut naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan menuju Stasiun Tanah Abang.

Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatra. Berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu di Sumatera Selatan sudah terbentuk Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatera Barat Letkol Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng. Kolonel Maludin Simbolon mendirikan Dewan Gajah di Sumatera Utara, sementara Kolonel Ventje Sumual membangun Dewan Manguni (Burung hantu) di Sulawesi.

Dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang dipengaruhi oleh PKI. Terbentuklah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Assaat yang ketika itu baru tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatra, setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.

Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Ia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan dipenjara pada masa Demokrasi Terpimpin selama 4 tahun (1962-1966). Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.

Pada tanggal 16 Juni 1976, Assaat meninggal di rumahnya yang sederhana di Warung Jati, Jakarta Selatan pada usia 72 tahun. Assaat gelar Datuk Mudo diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.

Kehidupan pribadi

sunting
 
Rumah Peninggalan Mr Assaat Datuak Mudo di Kubang Putiah

Assaat menikah dengan Roesiah dari Sungai Puar, Agam di Rumah Gadang Kapalo Koto pada 12 Juni 1949.[7] Dari pernikahan ini ia dikaruniai dua orang putra dan seorang putri. Mereka yakni Ras Soelaiman, Aminullah, Lucy Sakura, dan Iqbal.[8]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d "Mr. Assaat Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional" Diarsipkan 2016-11-26 di Wayback Machine. Kompas.com, 1-9-2009. Diakses 23-5-2014.
  2. ^ Tokohindonesia.com. "Pejabat Presiden RI (RIS)" Diarsipkan 2016-05-27 di Wayback Machine.. Diakses 23-5-2014.
  3. ^ Kami perkenalkan. Kementerian Penerangan Republik Indonesia. 1954. 
  4. ^ Pada kartu anggauta BP-KNIP milik Soegondo Djojopoespito ditemukan, bahwa yang menanda-tangani adalah Soepeno (ketoea) dan A.Halim (penoelis) tertanggal Djakarta 25-11-1945, Museum Sumpah Pemuda Jakarta
  5. ^ Handayani, Maulida Sri. "Mr. Assaat: Presiden yang Tak Dihitung oleh Negara". Tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-24. Diakses tanggal 2022-08-24. 
  6. ^ "Presiden Bukan, Pahlawan Bukan" Diarsipkan 2020-11-10 di Wayback Machine. Tempo.co, 21-3-2011. Diakses 10-11-2020.
  7. ^ Maharani (2022-10-29). "Siapa Assaat?". Cekricek. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-29. Diakses tanggal 2022-10-31. 
  8. ^ "Ketika Assaat Menjabat Presiden Sembilan Bulan". Sindonews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-31. Diakses tanggal 2022-10-31. 

Pranala luar

sunting