Manuskrip Sana'a

(Dialihkan dari Naskah Sana'a)

Palimpsest Sanaa (juga dikenal sebagai Ṣanʽā’ 1 atau DAM 01-27.1) atau Quran Sana'a adalah salah satu naskah Quran tertua yang telah ditemukan dan masih ada.[1] Quran Sanaa ditemukan saat kegiatan restorasi Masjid Agung Sanaa pada tahun 1972 dengan ditandai ditemukannya sejumlah besar fragmen Al-Quran maupun non-Quran. Pada tahun 1981, manuskrip ini diidentifikasikan sebagai palimpsest Quran karena ditulis di atas perkamen bekas naskah tulisan lama yang lebih dahulu ada.

  • Teks baru yang timbul dan terbaca sepenuhnya sesuai dengan Quran Utsmani, baik dalam teksnya maupun urutan surah.
  • Teks lama di bagian bawah, yang dihapus untuk ditulis ulang dan ditimpa oleh teks baru, mengandung banyak variasi dari teks Quran standar yang ada. Urutan surahnya tidak sesuai dengan Quran yang dikenal. Teks bagian bawah atau teks lama ini masih bisa dibaca dengan bantuan cahaya ultraviolet dan pemrosesan komputer.
Sisi kanan Stanford '07 folio. Teks baru ini meliputi Quran al-Baqarah, ayat 265–271.

Rekonstruksi pada sebagian teks lama diterbitkan pada tahun 2012,[2] dan rekonstruksi bagian teks bawah dan atas yang dapat dibaca sebanyak 38 file berada di Rumah Manuskrip Sana'a serta diterbitkan pada tahun 2017 melalui citra digital.[3] Analisis radiokarbon telah menentukan tanggal perkamen dari salah satu naskah terpisah yang dijual lelang, termasuk terdapat teks lama, menunjukkan usia antara tahun 578 M (44 Tahun Hijriyah) dan 669 Masehi (49 Hijriah) dengan akurasi 95%.[4]Lembaran terawal telah diuji di tiga laboratorium dan diberi tanggal antara 388-535 Masehi. file lain memiliki tanggal-tanggal awal yang serupa.

Sejarah

sunting

Penemuan

sunting

Pada tahun 1972, pekerja bangunan yang merenovasi dinding di loteng Masjid Agung Sana'a di Yaman, menemukan sejumlah besar manuskrip dan perkamen tua. Banyak diantaranya ditemukan dalam kondisi rusak. Karena tidak menyadari pentingnya dokumen tersebut, para pekerja mengumpulkan dokumen-dokumen tersebut, mengemasnya ke dalam sekitar 20 karung kentang, dan meninggalkannya di tangga salah satu menara masjid.[5]

Isma'il al-Akwa' bin Ali, yang saat itu menjabat sebagai presiden Otoritas Purbakala Yaman, menyadari pentingnya temuan tersebut. Al-Akwa' kemudian mencari bantuan internasional dalam memeriksa dan melestarikan fragmen tersebut, dan pada tahun 1979 berhasil menarik minat seorang sarjana Jerman yang berkunjung, yang kemudian membujuk pemerintah Jerman Barat kala itu untuk mengatur dan mendanai proyek restorasi.[5]Fragmen yang diawetkan terdiri dari materi Alquran dan non-Quran.[6]

Proyek restorasi

sunting

Pemulihan fragmen perkamen Sanaa dimulai pada tahun 1980 di bawah pengawasan Departemen Purbakala Yaman dan didanai oleh Bagian Kebudayaan Kementerian Luar Negeri Jerman. Temuan tersebut mencakup 12.000 pecahan perkamen Alquran. Semuanya, kecuali 1500–2000 fragmen, dimasukkan ke dalam 926 manuskrip Alquran yang berbeda pada tahun 1997. Tidak ada yang lengkap dan banyak di antaranya hanya berisi beberapa potongan saja.[2] Kala itu, Albrecht Noth (Universitas Hamburg) adalah direktur dari proyek restorasi ini. Proyek pengerjaan di lapangan dimulai pada tahun 1981 dan berlanjut hingga akhir tahun 1989 saat proyek dihentikan seiring dengan berakhirnya pendanaan. Gerd R. Puin (Universitas Saarland) menggantikan menjadi direkturnya mulai tahun 1981. Keterlibatannya berakhir pada tahun 1985, ketika Hans-Caspar Graf von Bothmer (Universitas Saarland) mengambil alih posisi sebagai direktur lokal. Bothmer meninggalkan Ṣan'ā' pada tahun berikutnya, tetapi terus menjalankan proyek tersebut dari Jerman dan melakukan perjalanan ke Sanaa hampir setiap tahun.

Mulai tahun 1982, Ursula Dreibholz menjabat sebagai konservator untuk proyek ini, dan bekerja penuh waktu di Ṣan'ā' hingga akhir tahun 1989. Ia akhirnya menyelesaikan restorasi manuskrip tersebut. Dia juga merancang tempat penyimpanan permanen untuk temuan manuskrip ini, menyusun banyak potongan perkamen untuk mengidentifikasi manuskrip Alquran yang berbeda, serta mengarahkan para staf lokal Yaman untuk mengerjakan konservasi ini. Naskah-naskah tersebut terletak di Rumah Naskah bernama Dār al-Makhṭūṭāt (DAM), di Ṣan'ā', Yaman. Setelah tahun 1989, Bothmer mengunjungi koleksi tersebut secara berkala. Pada musim dingin tahun 1996–197, dia memfilmkan semua fragmen perkamen yang telah dimasukkan ke dalam manuskrip Alquran yang berbeda. Dari 1500–2000 fragmen yang tersisa, ia memfilmkan 280 fragmen secara mikrofilm. Mikrofilm tersebut tersedia di Ṣan'ā' di Rumah Manuskrip DAM.[2] Sebanyak 651 gambar fragmen terpilih dari Sana'a - termasuk beberapa dari DAM 01-27.1, telah diterbitkan dalam CD-ROM melalui program 'Memory of the World' UNESCO.

Sana'a Palimpsest diberi nomor katalog DAM 01-27.1, yang menunjukkan sebuah manuskrip dengan baris-baris yang bervariasi pada halaman (maka ditulis '01'), panjang baris tertulis kira-kira. 27 cm (11"), dan dengan indikator urutan '1'. Pada tahun 2015, sekitar 38 lembar fragmen telah diidentifikasi kemungkinan besar berasal dari naskah khusus ini. Sejak tahun 2007, tim gabungan Italia-Prancis di bawah pimpinan Sergio Noja Noseda dan Christian Robin berusaha untuk menghasilkan gambar digital baru beresolusi tinggi dari DAM 01-27.1 (dan manuskrip terpilih lainnya yang disimpan dalam tempat khusus), di bawah cahaya alami dan ultra-violet, serta telah menjalani pasca-pemrosesan komputerisasi ekstensif oleh Alba Fedeli untuk memisahkan teks bagian atas dan bawah. Gambar resolusi tinggi menjadi dasar dari serial penelitian yang dilakukan Sadeghi dan Goudarzi, serta Asma Hilali.[7]

Isi manuskrip

sunting

Naskahnya adalah palimpsest, artinya perkamen itu ditulis lebih dari sekali. Teks asli (di bagian bawah) dihapus, dan ditulis untuk kedua kalinya (teks atas yang baru) dengan proses ini berpotensi diulang seiring waktu dengan perkamen yang sama.[butuh rujukan] Dalam palimpsest Sana'a, baik teks baru maupun lama adalah Al-Qur'an yang ditulis dengan aksara Hijazi. Teks atas atau teks baru tampaknya menyajikan teks Al-Qur'an yang lengkap, begitu pula teks lama di bawahnya, menurut rekonstruksi kodikologis oleh Éléonore Cellard (ini telah menjadi pertanyaan perdebatan ilmiah).[8] Dalam Al-Qur'an standar, surah-surah disajikan dalam urutan perkiraan yang panjangnya semakin berkurang; oleh karena itu, sebuah Al-Qur'an yang terpisah-pisah dan mengikuti urutan standar surah-surah secara umum dapat diasumsikan telah menyajikan teks yang lengkap, namun tidak demikian halnya. Rekonstruksi Cellard menemukan bahwa meskipun urutan surahnya berbeda, teks bawahnya juga mengikuti prinsip yang sama.

Namun naskah yang ditemukan belum lengkap. Ada sekitar 82 lembar telah diidentifikasi sebagai lembaran yang mungkin menyajikan teks bagian atas, 38 di antaranya berada di Dār al-Makhṭūṭāt (Rumah Naskah) Yaman[2] dan empat lainnya milik koleksi pribadi (setelah sempat dilelang di luar negeri).[9] Selain itu pada tahun 2012, 40 lembar palimpsest yang disimpan di Perpustakaan Timur Masjidil Haram di Sana'a dan diterbitkan pada tahun 2004, dianggap kemungkinan merupakan lembaran terpisah dari teks atas DAM 01-27.1.[10] Banyak lembaran di Rumah Naskah yang secara fisik tidak lengkap dan hanya 28 lembar yang tulisan atasnya masih bisa terbaca (karena rusak),[11] sedangkan lembaran milik pribadi[9] atau dipegang oleh Perpustakaan Timur umumnya dalam kondisi lebih baik.[10] 82 lembar palimsest ini mencakup sekitar setengah dari Al-Quran. Perkamen tersebut kualitasnya lebih rendah, dengan banyak lembaran berlubang di tempat teks baru dan lama ditulis. Namun secara jumlah keseluruhan lembaran berbahan kulit binatang itu tetap lengkap layaknya kualitas Al-Qur'an seperti Kodeks Parisino-petropolitanus.

Sejarawan Michael Cook, menyimpulkan pekerjaan awal pada fragmen Sana'a pada tahun 2000 sebagai berikut:

Pertama, rentang variasi isi jauh lebih banyak dibanding sumber-sumber mapan pada umumnya, meski secara karakter variasi tidak tampak jauh berbeda dari apa yang telah dicatat oleh sumber-sumber lainnya.

Kedua, ortografi dari fragmen-fragmen awal ini dan lainnya berbeda dari yang kita kenal dalam satu hal yang cukup mencolok, yaitu seringnya kegagalan menandai ā yang panjang sebagai bagian dari kerangka konsonan dalam kata-kata seperti qāla, ' katanya' (ejaan ql yang muncul dalam fragmen ini dalam teks kita akan dibaca sebagai qul, artinya 'katakan!').

Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya, bagian-bagian yang menunjukkan akhir dari satu surah dan awal dari surah lainnya mengungkapkan beberapa penyimpangan yang jelas dari urutan standar surah; Penyimpangan-penyimpangan ini sebanding dengan yang dilaporkan oleh sumber-sumber sastra untuk beberapa versi yang digantikan oleh kodeks Utsman, namun penyimpangan-penyimpangan tersebut juga tidak selalu sejalan.[12]

Teks baru

sunting

Teks baru atau teks atas sepenuhnya sesuai dengan teks yang mendasari penggunaan Al-Qur'an modern, dan kemungkinan besar berasal dari akhir abad ke-7 dan awal abad ke-8 Masehi.[13] Asma Hilali memberikan transkripsi lengkap teks bagian atas dari 26 lembar yang dapat dibaca di Rumah Naskah, dan menemukan 17 varian non-ortografik di halaman-halaman tersebut, yang bacaannya berbeda dengan teks Al-Qur'an "standar", seperti yang disajikan dalam edisi Kairo tahun 1924. Lima dari 17 varian di teks atas ini sesuai dengan bacaan Qira'at yang diketahui dalam tradisi varian Alquran.

Kepadatan penulisan teks bagian atas bervariasi dari halaman ke halaman, sehingga jumlah teks yang ditranskripsi pada setiap halaman bervariasi dari 18,5 baris edisi standar Kairo hingga sebanyak 37 baris. Setelah teks selesai, ditambahkan hiasan polikrom berupa pita pemisah surah, dan indikator pembagian 10, 50, dan 100 ayat dalam berbagai bentuk tertentu. Banyak dari dekorasi ini yang belum selesai. Selain itu, teks bagian atas sebelumnya menyertakan pemisah ayat tersendiri – ada yang sezaman dengan teks, ada pula yang disisipkan belakangan. Penghitungan ayat yang sesuai dengan indikator ayat polikrom tidak konsisten dengan penghitungan indikator ayat individual, yang menyiratkan bahwa indikator ayat tersebut disalin di Al-Qur'an lain.

Teks lama

sunting

Teks lama atau di bagian bawah yang masih ada dari 36 lembar di Rumah Manuskrip, bersama dengan teks bagian bawah dari yang dilelang di luar negeri, diterbitkan pada bulan Maret 2012 dalam sebuah esai panjang oleh Behnam Sadeghi (Profesor Studi Islam di Universitas Stanford) dan Mohsen Goudarzi ( mahasiswa PhD di Universitas Harvard).[2] Sebelumnya, pada tahun 2010, Sadeghi telah menerbitkan studi ekstensif terhadap empat folio yang dilelang di luar negeri, dan menganalisis variannya menggunakan metode kritis tekstual.[9] Ilmuwan Jerman Elizabeth Puin (dosen di Universitas Saarland), yang suaminya adalah direktur lokal proyek restorasi hingga tahun 1985, juga telah menyalin teks lamadari beberapa folio dalam lima publikasi berturut-turut.[14][15][16][17] Teks bagian bawah dari lembaran palimpsest di Perpustakaan Timur belum dipelajari atau diterbitkan, dan tidak diketahui berapa banyak dari lembaran-lembaran ini yang mungkin memiliki teks bagian bawah yang sama dengan yang ada di Rumah Naskah; namun, tampaknya empat folio yang dilelang (yang teks bawahnya telah dipelajari, dan tampaknya merupakan teks bawah yang sama) berasal dari bagian naskah ini, dan bukan dari DAM 01-27.1. Meskipun transkripsi dari foto-foto Hamdoun merupakan tantangan yang sangat sulit, Hythem Sidky telah berhasil mengidentifikasi urutan tekstual yang lebih rendah dari sebagian besar lembaran di Perpustakaan Timur.[8]

Teks bagian bawah memang telah dihapus dan ditulis ulang di atasnya, namun karena adanya kandungan logam di dalam tinta teks lama, teks bagian bawah ini muncul kembali, dan kini muncul dalam warna coklat muda, yang visibilitasnya dapat ditingkatkan menggunakan sinar ultra-violet.[9] Perkamen kala itu memang dikenal mahal dan tahan lama, sehingga merupakan praktik yang umum untuk mengikis tulisan dari teks yang tidak terpakai dan rusak agar dapat digunakan kembali. Namun meskipun terdapat beberapa contoh Al-Qur'an bekas yang digunakan kembali untuk teks-teks lain, hanya ada beberapa contoh Al-Qur'an baru yang ditulis menggunakan perkamen bekas, dan semua contoh ini diyakini berasal dari temuan Al-Qur'an di Sana'a. Penggunaan kembali dalam kasus ini mungkin semata-mata karena alasan ekonomi. Standarisasi teks Al-Quran dilakukan sekitar tahun 650 M oleh 'Utsmān yang mungkin telah menyebabkan teks yang dianggap tidak sesuai standar menjadi usang dan dihapus sesuai dengan instruksi resmi mengenai hal tersebut.[18]

Di beberapa tempat, pembacaan individu pada teks bagian bawah tampaknya telah dikoreksi secara terpisah agar lebih sesuai dengan bacaan yang sesuai dalam standar Al-Qur'an. Elizabeth Puin mengusulkan agar koreksi ini dilakukan sebelum seluruh teks bawah dihapus atau dihilangkan oleh orang-orang tertentu yang melakukan koreksi sepihak.

Meskipun surah-surah di teks lama tidak mengikuti urutan kanonik, namun, dengan hanya dua pengecualian, dalam setiap surah, teks lama yang masih ada menyajikan ayat-ayat dalam urutan yang sama dengan Al-Qur'an standar – pengecualiannya ada di surah 20, di mana Sadeghi dan Goudarzi menemukan bahwa ayat 31 dan 32 tertukar, dan di surah 9, di mana Sadeghi dan Goudarzi menemukan bahwa keseluruhan ayat 85 tidak ada, yang ia jelaskan sebagai "perumpamaan, suatu bentuk kesalahan penulisan yang membuat mata melompat dari satu teks ke teks serupa".[19] Tak satu pun dari bagian teks bawah ini ada dalam lembaranyang menurut Asma Hilali dapat terbaca. Beberapa varian antara teks bawah dan Al-Qur'an standar dikemukakan oleh Sadeghi dan Goudarzi di bawah ini.[20] Terlihat jelas bahwa teks lama atau teks bawah ini memiliki banyak variasi kata dan frasa dibandingkan dengan teks Al-Qur'an standar saat ini, namun hal tersebut dirasa tidak menyimpang dari makna mendasar yang ingin disampaikan oleh teks tersebut.

Sorotan media

sunting
 
Sebuah fragmen yang menunjukkan bagian dari Surah Ṭa Ha

Puin dan koleganya Graf von Bothmer, seorang ahli sejarah Islam, telah mempublikasikan esai-esai pendek tentang penemuan ini. Von Bothmer pada tahun 1997 telah memfoto 35.000 gambar perkamen itu dengan mikrofilm, dan telah membawa gambar-gambar tersebut ke Jerman. Teks ini akan diteliti lebih lanjut dan hasil penelitiannya akan dipublikasi secara bebas. Dalam wawancara tahun 1999 dengan Toby Lester, editor eksekutif situs The Atlantic Monthly, Puin mendeskripsikan fragmen Sanaa sebagai berikut:

"Begitu banyak Muslim yang percaya bahwa semua yang tertulis di Qur'an adalah kata-kata langsung dari Allah. Mereka kerap mengutip teks ilmiah yang menunjukan bahwa Alkitab punya runututan sejarah sehingga bukan jatuh dari langit secara langsung, sedangkan Qur'an tidak punya riwayat sejarah. Kini, satu-satunya cara untuk meruntuhkan sekat pemahaman itu adalah dengan membuktikan bahwa Qur'an juga punya sejarahnya. Dokumen-dokumen Sana'a akan membantu kami dalam mencapai hal tersebut."[5]

"Menurut saya Al-Qur'an mulanya adalah semacam campuran teks yang tidak semua dapat dipahami, bahkan pada zaman Muhammad. Banyak dari mereka bahkan mungkin sudah ada ratusan tahun lebih dulu daripada Islam sendiri. Bahkan dalam tradisi Islam ada banyak informasi yang kontradiktif, termasuk substrat Kristiani dalam jumlah yang signifikan. Seseorang dapat menemukan sejarah yang bertentangan di dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an mengklaim bahwa Al-Qur'an sempurna atau bersih, tetapi kalau anda membacanya, anda akan melihat bahwa setiap sekitar lima kalimat ada satu kalimat yang tidak masuk akal. Banyak orang Muslim yang akan memberitahu anda sebaliknya, tentu saja, tetapi faktanya seperlima bagian dari teks Qur'an tidak dapat dimengerti. Hal ini yang telah mengakibatkan kecemasan yang ada dari dulu terkait proses terjemahan. Jika Al-Qur'an tidak dapat dipahami, tidak dapat dimengerti dalam bahasa Arab, maka Al-Qur'an tidak dapat diterjemahkan ke bahasa apapun. Oleh karena itulah para Muslim takut. Karena Al-Qur'an berkali-kali mengklaim bahwa tulisan didalamnya jelas, padahal tidak. Ada kontradiksi yang sangat jelas dan serius. Pasti ada sesuatu yang lain yang terjadi."[5]

Puin mengatakan bahwa pemerintah Yaman tidak terlalu terbuka menyikapi temuan ini. "Mereka tidak mau menarik banyak perhatian pada hal ini, sama seperti kami, walaupun dengan alasan yang berbeda."[5]

Pada tahun 2000, The Guardian mewawancara sejumlah akademisi untuk menanggapi klaim temuan Puin, termasuk Dr Tarif Khalidi, dan Professor Allen Jones, pengajar studi Qur'an di Universitax Oxford. Terhadap klaim Puin bahwa beberapa kata dan pengucapan di Qur'an tidak distandardisasi sampai abad ke sembilan, artikel tersebut menuliskan.[21]

Jones mengakui bahwa ada perubahan yang "tidak penting" pada revisi era Utsman bin Affan. Khalidi mengatakan kepercayaan Muslim tentang penulisan Qur'an masih kurang lebih benar. 'Saya belum melihat sesuatu yang bisa mengubah pandangan saya secara radikal,' katanya. [Jones] meyakini bahwa Al-Qur'an Sana'a bisa saja merupakan salinan yang salah yang digunakan oleh orang-orang yang belum menggunakan teks versi Usman. "Bukan hal yang tidak mungkin setelah penyeragaman ke teks Usman, butuh waktu yang lama untuk proses penyaringannya.'[21]

Artikel tersebut mencatat beberapa reaksi positif dari umat Islam terhadap penelitian Puin. Salah satunya adalah Salim Abdullah, direktur Arsip Islam Jerman, yang berafiliasi dengan Liga Dunia Islam, berkomentar ketika dia diperingatkan tentang kontroversi yang mungkin ditimbulkan oleh temuan Puin berkomentar, "Saya menantikan diskusi semacam ini untuk topik ini."[21]

Terkait sikap pemerintah Yaman yang dinilai cenderung menghalang-halangi atau menutupi, Sadeghi dan Goudarzi mempertanyakan klaim Puin. Keduanya mempertanyakan komentar Puin bahwa orang Yaman tidak ingin orang lain mengetahui bahwa penelitian sedang dilakukan terhadap manuskrip tersebut. Misalnya, mereka mencatat bahwa pada tahun 2007, Sergio Noja Noseda (seorang peneliti Italia) dan Christian Robin (seorang arkeolog Perancis) diizinkan mengambil gambar palimpsest Sana'a. Mereka menulis bahwa menurut Robin, rekan-rekannya "diberikan akses yang lebih besar daripada yang mungkin diberikan di beberapa perpustakaan Eropa."[22] Mereka melaporkan pandangan serupa dari Ursula Dreibholz, konservator proyek restorasi, yang menggambarkan masyarakat Yaman sebagai orang-orang yang mendukung penelitian Quran tersebut[22] Mereka juga mengutip Dreibholz yang mengatakan bahwa orang Yaman "membawa anak-anak sekolah, mahasiswa, delegasi asing, pemuka agama, dan kepala negara, seperti François Mitterrand, Gerhard Schröder, dan Pangeran Claus dari Belanda, untuk melihat koleksi tersebut."[22]

Sadeghi dan Goudarzi menyimpulkan:

Meskipun keterbukaan pihak berwenang Yaman terbukti bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, mereka harus menanggung kesalahan dari tanggapan orang lain. Media Amerika memperkuat kata-kata G. Puin yang keliru, menyampaikan narasi yang meremehkan Yaman dan salah menggambarkan upaya yang dilakukan di sana. Sebaliknya, pers Arab juga membesar-besarkan cerita dari Amerika. Hasilnya adalah wacana media di Yaman yang dihasilkan dari tiga tahap misrepresentasi. Hal ini mempermalukan otoritas Yaman yang bertanggung jawab atas Rumah Manuskrip, dan Kepala Departemen Purbakala hingga harus membela diri di hadapan Parlemen atas keputusannya untuk memasukkan orang asing seperti Puin.[22]

Teks palimpsest/Sana'a kuno adalah salah satu dari beberapa naskah Alquran paling awal yang disorot oleh media dalam beberapa tahun terakhir.

  • Tanggalnya (diperkirakan antara 578 M dan 669 M dengan akurasi 95%);[4] bandingkan dengan
  • Manuskrip Al-Qur'an Birmingham (tanggal radiokarbon sedikit lebih awal -- antara tahun 568 dan 645 M dengan akurasi 95,4%),[23] (649–675);[24] yang menjadi berita pada tahun 2015;
  • sebuah manuskrip Al-Quran yang diteliti oleh Universitas Tübingen pada tahun 2014 diperkirakan lebih baru, berasal dari awal paruh kedua abad ke-7[25] (649–675 M);[26]
  • Codex Parisino-petropolitanus, juga berasal dari paruh kedua abad ke-7,[39] berisi 46% teks Alquran, dipelajari oleh François Déroche yang menjadi berita pada tahun 2009.[27]

Setelah berita naskah Al-Qur'an Birmingham tahun 2015, Gabriel Said Reynolds seorang profesor Studi Islam dan Teologi berkomentar tentang perbedaan salinan Al-Qur'an kuno yang masih ada ini dengan berspekulasi bahwa teks lama yang masih terlihat di palimpsest Sana'a tidak hanya "tidak sesuai dengan teks standar yang dibaca di seluruh dunia saat ini", namun juga memiliki varian yang "tidak cocok dengan varian yang dilaporkan dalam literatur abad pertengahan untuk naskah-naskah kuno yang disimpan oleh para sahabat" Muhammad, dan "memiliki begitu banyak varian yang mungkin membuat orang bayangkan itu adalah sisa-sisa versi kuno yang entah bagaimana dapat selamat dari aksi pembakaran semua versi Al-Qur'an yang dianggap tidak sesuai standar oleh Utsman kecuali versinya sendiri". Meskipun penanggalan radiokarbon menunjukkan tidak lebih tua dari Al-Qur'an Birmingham, Reynolds menegaskan bahwa "naskah Sanaa... hampir pasti merupakan naskah Al-Qur'an yang paling kuno."[28]

Referensi

sunting
  1. ^ Sadeghi & Goudarzi 2012, hlm. 8.
  2. ^ a b c d e Sadeghi & Goudarzi 2012.
  3. ^ Hilali 2017.
  4. ^ a b Sadeghi & Bergmann 2010, hlm. 348.
  5. ^ a b c d e Lester 1999.
  6. ^ Sadeghi & Goudarzi 2012, hlm. 9.
  7. ^ Hilali 2017, hlm. xv.
  8. ^ a b Cellard, Éléonore (2021). "The Ṣanʿāʾ Palimpsest: Materializing the Codices". Journal of Near Eastern Studies. 80 (1): 1–30. doi:10.1086/713473. 
  9. ^ a b c Sadeghi & Bergmann 2010.
  10. ^ a b Hamdoun 2004.
  11. ^ Sadeghi & Goudarzi 2012, hlm. 37.
  12. ^ Cook, The Koran, 2000: p.120
  13. ^ Sadeghi & Goudarzi 2012, hlm. 7.
  14. ^ Puin 2008.
  15. ^ Puin 2009.
  16. ^ Puin 2010.
  17. ^ Puin 2011.
  18. ^ Sadeghi & Goudarzi 2012, hlm. 27.
  19. ^ Ṣan'ā' 1 and the Origins of the Qur'ān, Behnam Sadeghi & Mohsen Goudarzi. Walter de Gruyter. 2012. Another exception concerns verse 85 of sūra 9, which is missing. At sixteen words, this omission is found to be an outlier when compared to the sizes of other missing elements in C-1, which are much shorter. The anomaly may be explained by the common phenomenon of parablepsis, a form of scribal error in which the eye skips from one text to a similar text, in this case, from the instance of ūna followed by a verse separator and the morpheme wa at the end of verse 84 to the instance of ūna followed by a verse separator and the morpheme wa at the end of verse 85. 
  20. ^ Sadeghi & Goudarzi 2012, hlm. 41-129.
  21. ^ a b c Taher 2000.
  22. ^ a b c d Sadeghi & Goudarzi 2012, hlm. 36.
  23. ^ "Rarität entdeckt: Koranhandschrift stammt aus der Frühzeit des Islam". 
  24. ^ Dan Bilefsky for The New York Times (22 July 2015). "A Find in Britain: Quran Fragments Perhaps as Old as Islam". Diakses tanggal 24 May 2021. 
  25. ^ "Rarität entdeckt: Koranhandschrift stammt aus der Frühzeit des Islam". 
  26. ^ Deroche, Francois (2009). La Transmission Écrite Du Coran Dans Les Débuts De L'Islam: Le Codex Parisino-Petropolitanus. hlm. 177. 
  27. ^ Deroche, Francois. La Transmission Écrite Du Coran Dans Les Débuts De L'Islam: Le Codex Parisino-Petropolitanus. hlm. 172. 
  28. ^ Reynolds, Gabriel Said (7 Aug 2015). "Variant readings; The Birmingham Qur'an in the context of debate on Islamic origins". academia.edu. Gabriel Said Reynolds. Diakses tanggal 14 Feb 2018. Among the manuscripts... discovered in 1972... of the Great Mosque of Sanaa in Yemen was a rare Qur’anic palimpsest – that is, a manuscript preserving an original Qur’an text that had been erased and written over with a new Qur’an text. This palimpsest has been analysed by... Gerd and Elisabeth Puin, by Asma Hilali of the Institute of Ismaili Studies in London, and later by Behnam Sadeghi of Stanford University... What all of these scholars have discovered is remarkable: the earlier text of the Qur’an contains numerous variants to the standard consonantal text of the Qur’an. 

Sumber

sunting

Pranala luar

sunting