Paradoks kemahakuasaan

Paradoks kemahakuasaan (bahasa inggris: Omnipotence Paradox) adalah sebuah paradoks yang muncul dalam pemahaman kemahakuasaan. Singkatnya, paradoks ini bertujuan untuk membuktikan bahwa kemahakuasaan sebuah entitas itu tidak logis melalui metode reductio ad absurdum.

Ilustrasi Ibnu Rusyd, seorang filsuf abad ke-12 yang membahas tentang paradoks kemahakuasaan. Dilukis oleh Andrea di Bonaiuto da Firenze, seorang pelukis abad ke-14.

Paradoks ini sudah ada semenjak abad pertengahan, yang kemudian dibahas oleh filsuf dan teolog, seperti Ibnu Rusyd[1] dan Thomas Aquinas.[2]

Bentuk Argumen

sunting

Versi paradoks kemahakuasaan yang paling terkenal adalah paradoks batu: "Bisakah Tuhan menciptakan batu yang begitu berat sehingga Dia sendiri tidak dapat mengangkatnya?", Ini adalah pertanyaan paradoks. Jika Tuhan dapat menciptakan sesuatu yang tidak dapat Dia angkat, maka Dia bukan mahakuasa (karena dia tidak bisa mengangkatnya). Demikian pula, jika Tuhan mampu mengangkat batu tersebut, maka Tuhan telah menciptakan sesuatu yang tidak dapat Dia angkat, yang mengarah pada hasil yang sama.[3]

Jawaban yang Diusulkan

sunting

Pertanyaan yang Invalid

sunting

George I. Mavrodes menanggapi paradoks ini dengan menyatakan bahwa pertanyaan itu sendiri saling bertentangan (kontradiktif). Ia menulis:

"Dengan asumsi bahwa Tuhan itu Maha Kuasa, maka kalimat "sebuah batu yang terlalu berat untuk diangkat oleh Tuhan" menjadi kontradiktif. Itu sama saja dengan mengatakan "Sebuah batu yang tidak bisa diangkat oleh-Nya yang kuasanya cukup untuk mengangkat apapun"... ...Kemahakuasaan Tuhan-lah yang menjadikan keberadaan batu sejenis itu mustahil. Sama halnya dengan saya (manusia) yang mampu untuk membuat perahu yang terlalu berat untuk saya angkat, itu karena saya tidak Maha Kuasa"[4]

Selain itu, ia juga menekankan bahwa pertanyaannya hanyalah pertanyaan receh (sophistry). Misalkan, orang yang menggunakan paradoks ini bersikeras bahwa pertanyaannya merupakan pertanyaan yang invalid. Kemudian, kita "iya"-kan bahwa Tuhan bisa menciptakan batu sejenis itu. Sekilas, memang terlihat seakan-akan kita akan jatuh ke dalam paradoks itu lagi; Namun, sebenarnya tidak. Sebabnya, orang itu tetap harus mengakui kemahakuasaan Tuhan, karena Tuhan berhasil membuat batu sejenis itu. Orang tersebut tidak bisa melakukan standar ganda. Memang terkesan kontradiktif, tetapi justru inilah yang menjadi bukti bahwa pertanyaan tersebut kontradiktif. Dengan demikian, paradoks ini merupakan pertanyaan yang invalid.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Averroës, Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence) trans. Simon Van Der Bergh, Luzac & Company 1969, sections 529–536
  2. ^ Aquinas, Thomas. Summa Theologica. hlm. Book 1, Question 25, Article 3. 
  3. ^ Savage, C. Wade (1967). "The Paradox of the Stone". The Philosophical Review. 76 (1): 74–79. doi:10.2307/2182966. ISSN 0031-8108. 
  4. ^ Mavrodes, George I. (1963). "Some Puzzles Concerning Omnipotence". The Philosophical Review. 72 (2): 221–223. doi:10.2307/2183106. ISSN 0031-8108.