Ibnu Rusyd

cendekiawan dan filsuf Arab pada Abad Pertengahan
(Dialihkan dari Averroes)

Ibnu Rusyd (bahasa Arab: ابن رشد; Nama lengkap bahasa Arab: أبو الوليد محمد ابن احمد ابن رشد, translit. Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd; 1126 – 11 Desember 1198), sering dilatinkan sebagai Averroes, adalah seorang filsuf dan pemikir dari Al-Andalus yang menulis dalam bidang disiplin ilmu, termasuk filsafat, akidah atau teologi Islam, kedokteran, astronomi, fisika, fikih atau hukum Islam, dan linguistik. Karya-karya filsafatnya termasuk banyak tafsir, parafrase, dan ringkasan karya-karya Aristoteles, yang membuatnya dijuluki oleh dunia barat sebagai "Sang Penafsir" (Bahasa Inggris: The Commentator). Ibnu Rusyd juga semasa hidupnya mengabdi sebagai hakim dan dokter istana untuk Kekhalifahan Muwahhidun.

Ibn Rusyd
ابن رشد
Averroes
Sebuah patung Ibn Rusyd yang berada di Kordoba, Spanyol dengan pose duduk sambil memegang sebuah buku di tangan kiri.
Patung Ibn Rusyd di Kordoba, Spanyol
Lahir1126
Kordoba, Spanyol, Al-Andalus, Keamiran Murabithun (sekarang Spanyol)
Meninggal11 Desember 1198 (umur 71–72)
Marrakesh, Arab Maghrib, Kekhalifahan Muwahhidun (sekarang Maroko)
EraFilsafat abad pertengahan
Zaman Kejayaan Islam
KawasanFilsafat Islam
AliranAristotelianisme (filsafat)
Maliki (fikih)
Minat utama
Akidah, Astronomi, Filsafat, Fikih, Fisika, Kedokteran, Linguistik
Gagasan penting
Hubungan antara Islam dan Filsafat, keselarasan akal dan wahyu, kesatuan akal
Memengaruhi

Ibnu Rusyd lahir di Kordoba dari keluarga yang melahirkan hakim-hakim terkenal; kakeknya adalah qadhi al-qudhat (hakim kepala) dan ahli hukum terkenal di kota itu. Pada tahun 1169 ia bertemu dengan khalifah Abu Yaqub Yusuf, yang terkesan dengan pengetahuan Ibnu Rusyd. Sang khalifah kemudian mendukung Ibnu Rusyd dan banyak karya Ibnu Rusyd adalah proyek yang ditugaskannya. Ibnu Rusyd juga beberapa kali menjabat sebagai hakim di Sevilla dan Kordoba. Pada 1182, ia ditunjuk sebagai dokter istana dan hakim kepala di Kordoba. Setelah wafatnya Abu Yusuf pada tahun 1184, ia masih berhubungan baik dengan istana, hingga 1195 saat dia dikenai berbagai tuduhan dengan motif politik. Pengadilan lalu memutuskan bahwa ajarannya sesat dan Ibnu Rusyd diasingkan ke Lucena. Setelah beberapa tahun di pengasingan, istana memanggilnya bertugas kembali, tetapi tidak berlangsung lama karena Ibnu Rusyd wafat.

Ibnu Rusyd adalah pendukung ajaran filsafat Aristoteles (Aristotelianisme). Ia berusaha mengembalikan filsafat dunia Islam ke ajaran Aristoteles yang asli. Ia mengkritik corak Neoplatonisme yang terdapat pada filsafat pemikir-pemikir Islam sebelumnya seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang ia anggap menyimpang dari filsafat Aristoteles. Ia membela kegiatan berfilsafat dari kritik yang dilancarkan para ulama Asy'ariyah seperti Al-Ghazali. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa dalam agama Islam berfilsafat hukumnya boleh, bahkan bisa jadi wajib untuk kalangan tertentu. Ia juga berpendapat bahwa teks Quran dan Hadis dapat diinterpretasikan secara tersirat atau kiasan jika teks tersebut terlihat bertentangan dengan kesimpulan yang ditemukan melalui akal dan filsafat. Dalam bidang fikih, ia menulis Bidayatul Mujtahid yang membahas perbedaan mazhab dalam hukum Islam. Dalam kedokteran, ia menghasilkan gagagan baru mengenai fungsi retina dalam penglihatan, penyebab strok, dan gejala-gejala penyakit Parkinson, serta menulis buku yang kelak diterjemahkan menjadi sebuah buku teks standar di Eropa.

Pengaruh Ibnu Rusyd ke dunia Barat jauh lebih besar dibanding dunia Islam. Ibnu Rusyd menulis banyak tafsir terhadap karya-karya Aristoteles, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan bahasa Latin dan beredar di Eropa. Terjemahan karya-karya Ibnu Rusyd memicu para pemikir Eropa Barat untuk kembali mengkaji karya-karya Aristoteles dan pemikir Yunani lainnya, setelah lama diabaikan sejak jatuhnya kekaisaran Romawi. Pendapat-pendapat Ibnu Rusyd juga menimbulkan kontroversi di dunia Kristen Latin, dan menginspirasi sebuah gerakan filsafat yang disebut Averroisme. Salah satu doktrinnya yang kontroversial di dunia Barat adalah teori yang disebut "kesatuan akal" (unitas intellectus dalam bahasa Latin), yang menyatakan bahwa semua manusia bersama-sama memiliki satu akal atau "intelek". Karya-karyanya dinyatakan sesat oleh Gereja Katolik Roma pada tahun 1270 dan 1277, dan pemikir Kristen Thomas Aquinas menulis kritik-kritik tajam terhadap doktrin Ibnu Rusyd. Sekalipun demikian, Averroisme tetap memiliki pengikut di dunia Barat hingga abad ke-16.

Biografi

Pendidikan dan masa muda

 
Ibnu Rusyd dalam sebuah lukisan abad ke-14 karya Andrea di Bonaiuto.

Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd lahir pada tahun 1126 M/520 H di Kordoba, yang ketika itu merupakan wilayah kerajaan Murabithun.[1][2] Keluarga Ibnu Rusyd dikenal sebagai tokoh masyarakat di Kordoba, terutama atas peran mereka dalam bidang hukum dan agama. [2] Kakek Ibnu Rusyd, yang juga bernama Abu al-Walid Muhammad (wafat 1126) menjabat qadhi al-qudhat (hakim kepala) di kota tersebut, dan juga merupakan imam Masjid Agung Kordoba.[2][1] Ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad, juga menjabat sebagai kadi atau hakim pada masa kekuasaan Murabithun, hingga Kordoba jatuh ke tangan Kekhalifahan Muwahidun.[2]

Menurut biografi-biografi klasik, Ibnu Rusyd menerima pendidikan yang istimewa,[1] dimulai dari pelajaran ilmu Hadis, fikih (hukum Islam), kedokteran maupun ilmu akidah (teologi Islam). Guru fikihnya adalah Al-Hafiz Abu Muhammad ibn Rizq yang bermazhab Maliki dan guru hadisnya adalah Ibnu Basykuwal, yang merupakan murid dari kakeknya.[1][3] Ia juga belajar fikih dari ayahnya, yang mengajarkannya kitab Muwatta karya Imam Malik, buku teks Maliki yang paling terkenal, yang kemudian dihafalkan oleh Ibnu Rusyd.[4][5] Guru kedokterannya adalah Abu Jafar Jarim at-Tajail, yang kemungkinan juga mengajarkannya ilmu filsafat.[6] Ia juga mempelajari karya-karya dari Ibnu Bajjah (juga dikenal dengan nama Avempace) yang mungkin juga merupakan salah satu gurunya.[2][3] Ia mengikuti pertemuan rutin para filsuf, dokter dan sastrawan di kota Sevilla, yang juga dihadiri oleh filsuf Ibnu Thufail dan Ibnu Zuhri serta Abu Yusuf Yaqub yang kelak akan menjadi khalifah.[5] Ibnu Rusyd muda juga mempelajari akidah atau teologi kalam dari Mazhab Asy'ariyah, walaupun kelak ia akan mengkritik mazhab ini.[6] Menurut penulis abad ke-13 Ibnu al-Abbar, Ibnu Rusyd lebih tertarik dengan ilmu hukum dan ushul fiqh (kaidah-kaidah hukum) dibanding ilmu hadis dan sunnah.[6] Salah satu spesialisasi yang ditekuninya adalah masalah ikhtilaf atau perbedaan pendapat dalam hukum Islam.[6] Ibnu Al-Abbar juga menyebutkan ketertarikan Ibnu Rusyd muda pada "ilmu-ilmu orang terdahulu" (al-'ulum al-awa'il), yang kemungkinan maksudnya adalah ilmu alam dan filsafat yang dikembangkan para ilmuwan Yunani.[6]

Karier

 
Ibnu Rusyd memegang berbagai jabatan pemerintah di Kekhalifahan Muwahhidun, yang menguasai sebagian wilayah Spanyol dan Maghrib

Pada tahun 1147, gerakan Muwahhidun yang dipimpin oleh Ibnu Tumart (yang menyebut dirinya sebagai al-Mahdi) menggulingkan kekuasaan Murabithun di ibu kota Marrakesh, dan tak lama kemudian Al-Andalus juga jatuh ke tangan Muwahhidun.[7] Setelah berkuasa, gerakan Muwahhidun mendeklarasikan sebuah kekhalifahan. Selain dikenal dengan misinya untuk memurnikan ajaran tauhid atau keesaan Tuhan, Ibnu Tumart dan para pemimpin Muwahhidun juga ingin agar masyarakat umum lebih mengenal syariah atau hukum Islam. Bersamaan dengan ini, pemerintahan Muwahhidun banyak menggalakkan berbagai bidang ilmu seperti filsafat, fikih dan akidah.[8]

Pada tahun 1153, Ibnu Rusyd melakukan pengamatan astronomi di Marrakesh dan membantu pembangunan perguruan-perguruan tinggi yang sedang dilakukan pemerintah.[5][6] Ia berusaha mencari hukum-hukum fisika yang mengendalikan pergerakan benda-benda langit, tetapi penelitian ini tidak berhasil.[6] Pada saat itu ia kemungkinan pertama kali bertemu dengan Ibnu Thufail, filsuf terkenal dan penulis novel Hayy ibn Yaqzhan, yang saat itu menjabat sebagai dokter istana.[6][3] Ibnu Rusyd dan Ibnu Thufail kelak berteman, walaupun mereka kadang berselisih dalam masalah filsafat.[9][3]

Pada tahun 1169, Ibnu Thufail memperkenalkan Ibnu Rusyd kepada Khalifah Abu Yaqub Yusuf.[10][6] Menurut laporan sejarawan Abdulwahid al-Marakisyi, pada pertemuan ini sang khalifah bertanya kepada Ibnu Rusyd apakah langit selalu ada sejak dahulu (qadim) atau memiliki awal mula (hadits).[a][10][6][11] Ketika itu, topik ini adalah topik kontroversial dan Ibnu Rusyd awalnya tidak menjawab karena takut memancing bahaya dan kontroversi.[11][10] Sang khalifah lalu mengemukakan pendapat Plato, Aristoteles, dan para filsuf Muslim tentang topik ini dan mendiskusikannya dengan Ibnu Thufail.[10][6] Melihat sang khalifah juga suka berfilsafat, Ibnu Rusyd menjadi tenang dan mengemukakan pendapatnya.[6] Sang khalifah terkesan dengan pendapat Ibnu Rusyd, dan begitupun Ibnu Rusyd juga terkesan dengan pengetahuan sang khalifah dan kelak mengatakan bahwa Khalifah Abu Yaqub Yusuf memiliki "pengetahuan berlimpah yang tak saya duga".[6][10]

Sejak perkenalan ini, Ibnu Rusyd memiliki hubungan baik dengan Abu Yaqub Yusuf hingga khalifah tersebut wafat.[6] Ketika sang khalifah mengeluh ke Ibnu Thufail bahwa karya-karya Aristoteles terlalu susah dimenegerti, Ibnu Thufail menyarankan agar Ibnu Rusyd ditugaskan untuk menerangkannya.[10][6] Inilah awal dari proyek besar Ibnu Rusyd menulis tafsir karya-karya Aristoteles.[10] Pada tahun 1169, Ibnu Rusyd menulis tafsir Aristoteles pertamanya.[10]

Pada tahun yang sama, Ibnu Rusyd diangkat sebagai kadi di Sevilla.[6][12] Dua tahun kemudian, ia menjadi kadi di Kordoba, kota kelahirannya.[6][4] Tugasnya sebagai kadi adalah memutuskan kasus pengadilan dan memberikan fatwa atau pendapat hukum sesuai hukum Islam.[12] Pada saat itu ia semakin aktif menulis, walaupun tugasnya semakin banyak dan mengharuskannya melakukan banyak perjalanan.[6] Kesempatan mengunjungi berbagai tempat ia gunakan untuk melakukan penelitian astronomi.[5] Antara 1169 dan 1179, banyak karyanya yang tercantum keterangan ditulis di Sevilla.[6] Pada tahun 1179 ia kembali menjabat sebagai kadi di Sevilla.[4] Pada tahun 1182 ia diangkat menjadi dokter istana untuk menggantikan Ibnu Thufail yang telah pensiun.[6] Pada tahun yang sama ia juga diangkat sebagai hakim kepala di Kordoba, jabatan bergengsi yang sebelumnya pernah dipegang oleh kakeknya.[6][12]

 
Walaupun pada sebagian besar hidupnya Ibnu Rusyd didukung pihak kekhalifahan, pada 1195 ia sempat diasingkan oleh Khalifah Yaqub al-Mansur.

Pada tahun 1184, Khalifah Abu Yaqub wafat dan digantikan oleh Abu Yusuf Yaqub al-Mansur.[6] Awalnya Ibnu Rusyd tetap memiliki hubungan baik dengan istana, dan tetap menjabat sebagai dokter istana tetapi pada 1195 situasinya berubah.[13][6][10] Ia mendapat berbagai tuduhan, termasuk tuduhan mengajarkan aliran sesat, dan ia harus menghadapi pengadilan di Kordoba.[10][6] Pengadilan memutuskan Ibnu Rusyd bersalah, menyatakan ajarannya sesat dan memerintahkan agar tulisan-tulisannya dibakar.[6] Ibnu Rusyd diasingkan ke kota kecil Lucena, sebuah permukiman Yahudi yang berada di sekitar Kordoba.[14][6] Biografi-biografi klasik menyebutkan berbagai sebab memburuknya situasi Ibnu Rusyd ini, salah satunya karena Ibnu Rusyd dianggap menghina khalifah dalam tulisannya.[10] Namun para sejarawan modern menganggap bahwa perlakuan keras terhadap Ibnu Rusyd ini bermotif politik. Encyclopaedia of Islam menyebutkan bahwa khalifah berusaha menjauhkan dirinya dari Ibnu Rusyd untuk mendapat simpati dan dukungan dari para ulama tradisional yang banyak menentang ajaran Ibnu Rusyd.[6] Pada saat itu, khalifah sedang butuh dukungan para ulama untuk melancarkan perang melawan kerajaan-kerajaan Kristen.[6] Sejarawan Majid Fakhry menulis bahwa banyak fukaha atau ahli fikih tradisional pada saat itu menentang Ibnu Rusyd dan menekan sang khalifah.[10]

Setelah beberapa tahun, Ibnu Rusyd kembali didukung khalifah dan ia bertugas lagi di istana kekhalifahan.[6] Namun tak lama kemudian ia meninggal pada tanggal 11 Desember 1198 (atau 5 Safar 595 H).[6] Awalnya ia dikuburkan di Maroko, tetapi kemudian jenazahnya dipindahkan ke Kordoba.[6] Pemakamannya di Kordoba dihadiri oleh Ibnu Arabi (1165–1240) yang kelak akan menjadi tokoh sufi terkemuka.[6]

Karya-karya

Ibnu Rusyd adalah penulis yang amat produktif dan tulisan-tulisannya mencakup banyak topik.[15] Menurut Fakhry, karyanya "mencakup lebih banyak bidang ilmu" dibanding para pendahulunya di Dunia Timur.[15] Bidang-bidang ilmu yang ia bahas di antaranya filsafat, kedokteran, teori hukum, serta linguistik.[15] Kebanyakan tulisannya adalah tafsir atau uraian terhadap karya-karya Aristoteles, yang juga sering mengandung pemikiran baru dari Ibnu Rusyd sendiri.[15] Menurut penulis Prancis Ernest Renan, selain tafsir-tafsir Aristoteles dan Plato Ibnu Rusyd menulis sedikitnya 67 buku yang merupakan karya baru (bukan tafsir), termasuk 28 buku mengenai filsafat, 20 buku mengenai kedokteran, 8 buku mengenai hukum, 5 buku mengenai teologi atau akidah, 4 buku mengenai tata bahasa, dan 2 buku mengenai astronomi.[16] Teks asli dari banyak karya Ibnu Rusyd yang berbahasa Arab telah hilang, dan yang masih ada hanyalah terjemahannya dalam bahasa Latin atau Ibrani.[17]

Tafsir Aristoteles

 
Ilustrasi berbahasa Arab dari ca 1220 yang menggambarkan Aristoteles sedang mengajar. Ibnu Rusyd banyak menulis tafsir terhadap karya-karya Aristoteles.

Ibnu Rusyd menulis tafsir atau uraian pada hampir semua karya Aristoteles yang ada pada masa hidupnya.[15] Yang tidak ia tulis tafsirnya hanya Politika, karena ia tidak bisa mendapatkan buku tersebut, dan ia menggantinya dengan menulis tafsir buku Republik karya Plato.[15] Ia membagi karya-karya ini menjadi tiga tipe, dan sekarang para pakar menyebutnya "tafsir panjang", "tafsir menengah" dan "tafsir pendek" (long, middle dan short commentary dalam bahasa Inggris).[18] Tipe yang terpendek, disebut jami' dalam bahasa Arab, berisi ringkasan doktrin-doktrin Aristoteles, dan kebanyakan ditulis pada awal karier Ibnu Rusyd.[19] Yang menengah (disebut talkhis) berisi parafrase atau uraian yang gunanya untuk memperjelas dan menyederhanakan bahasa dalam buku-buku Aristoteles.[19] Tafsir menengah ini kemungkinan ditulis setelah Khalifah Abu Yaqub Yusuf mengeluh bahwa buku-buku Aristoteles rumit dan susah dibaca, dan Ibnu Rusyd ingin membantu sang khalifah dan orang-orang lain yang memiliki masalah yang sama.[19][18] Tafsir panjang (disebut tafsir atau syarh dalam bahasa Arab) adalah tafsir baris per baris, yang berisi teks asli Aristoteles ditambah analisis rinci di tiap baris.[20] Tafsir panjang ini berisi banyak pemikiran asli Ibnu Rusyd,[19] dan kemungkinan besar bukan ditujukan untuk khalayak umum tetapi hanya untuk para pakar dan peminat Aristoteles.[18] Untuk kebanyakan buku Aristoteles, Ibnu Rusyd hanya menulis satu atau dua dari tiga tipe tafsir ini. Namun untuk lima buku: Fisika, Metafisika, De Anima ("Mengenai Jiwa"), De Caelo ("Mengenai Langit"), dan Analytica Posteriora ia menulis ketiga tipe tafsirnya.[15]

Makalah filsafat

Ibnu Rusyd juga menulis makalah-makalah (Bahasa Arab: tunggal maqalah, jamak maqālāt) dalam berbagai topik filsafat, di antaranya tentang akal atau intelek, waktu, dan benda-benda langit (yang ketika itu termasuk topik filsafat). Ia juga menulis beberapa makalah polemik atau perdebatan, termasuk mengkritik Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali dalam beberapa topik.[15]

Teologi

Ibnu Rusyd juga menulis karya bertopik akidah atau teologi. Sumber-sumber akademis seperti Fakhry dan buku Encyclopedia of Islam menyebut tiga di antara karya Ibnu Rusyd yang dianggap mengandung inti pemikiran Ibnu Rusyd dalam topik ini. Yang pertama adalah Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal, sebuah tulisan yang mengajukan kesesuaian antara filsafat dan syariat Islam.[21] Ia juga menulis Al-Kasyf 'an Manahij al-'Adillah ("Penjelasan Metode Pembukitan") yang berisi argumen Ibnu Rusyd untuk membuktikan keberadaan Tuhan (Allah), pendapat Ibnu Rusyd mengenai sifat-sifat dan perbuatan-Nya, dan juga beberapa kritik terhadap ajaran akidah Asy'ariyah.[22][23] Selain itu, karya utamanya dalam bidang ini adalah kitab Tahafut at-Tahafut ("Kerancuan dari Kerancuan") yang merupakan balasan terhadap kitab terkenal Tahafut al-Falasifah ("Kerancuan para Filsuf") karya Al-Ghazali. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik ilmu filsafat (terutama yang dibawakan Ibnu Sina) yang ia anggap tidak sesuai dengan akidah Islam.[24] Al-Ghazali sendiri hidup pada tahun 1058–1111 dan telah wafat sebelum kelahiran Ibnu Rusyd, tetapi bukunya masih sangat berpengaruh pada masa Ibnu Rusyd.[25] Tahafut karya Ibnu Rusyd mencoba membalas kritik Al-Ghazali dengan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan Ibnu Rusyd di karya-karyanya sebelumnya.[24] Selain membalas kritik, kitab ini juga mengkritik Ibnu Sina dan filsafatnya yang bercorak Neoplatonisme, bahkan kadang ia setuju dengan kritik Al-Ghazali terhadap Ibnu Sina.[24]

Kedokteran

 
Lembaran dari terjemahan bahasa Latin dari buku Ibnu Rusyd Al-Kulliyah fit-Thibb.

Ibnu Rusyd yang pernah menjabat sebagai dokter istana khalifah, menulis beberapa buku di bidang kedokteran. Yang paling terkenal berjudul al-Kulliyah fit-Thibb ("Prinsip Umum Kedokteran") yang ditulis ca 1162, sebelum ia menjabat di istana.[26] Buku ini terdiri dari 7 jilid, yang berturut-turut membahas soal anatomi, fisiologi, patologi umum, diagnosis, obat-obatan, kebersihan, dan pengobatan umum.[27] Kelak buku ini diterjemahkan dalam Bahasa Latin (judulnya berubah menjadi Colliget) dan menjadi salah satu buku teks kedokteran di Eropa selama berabad-abad.[26] Bersama Ibnu Zuhr, ia mengarang Al-Umur Al-Juz'iyyah, sehingga menurut Ibnu Abu Ushaybi'ah, karya bersama mereka menjadi sebuah karya lengkap tentang seni pengobatan.[28] Ia juga menulis ringkasan karya-karya dokter Yunani Galenus (wafat ca 210) dan uraian terhadap karya Ibnu Sina Urjuzah fit-Thibb ("Puisi Mengenai Kedokteran").[26]

Hukum

Ibnu Rusyd juga adalah seorang hakim dan menulis beberapa buku di bidang fikih atau hukum Islam, termasuk ushul fiqh yang membahas kaidah-kaidah atau teori hukum. Satu-satunya karyanya yang masih ada teksnya sampai sekarang adalah buku Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaṣid ("Permulaan Seorang Mujtahid dan Akhir Seorang Muqtashid").[b] [30] Buku ini bertopik fikih perbandingan atau ikhtilaf, yaitu perbedaan-perbedaan dalam hukum Islam.[31] Ia menjelaskan perbedaan antara mazhab-mazhab Sunni, baik dari segi ushul (teori dan kaidah) maupun dalam praktiknya.[31] Ibnu Rusyd adalah pengikut mazhab Maliki, tetapi buku ini juga membahas mazhab-mazhab lain, serta pendapat-pendapat yang beragam termasuk ulama konservatif dan liberal.[30] Selain buku ini, pada daftar-daftar pustaka juga disebutkan karya-karya lain yang teksnya sudah tidak ditemukan lagi. Di antaranya adalah rangkuman dari Al-Mustashfa min 'ilm al-Ushul, sebuah buku ushul fiqh karya Al-Ghazali serta buku-buku kecil tentang Qurban dan pajak terhadap tanah.[32]

Gagasan filsafat dan ilmu agama

Filsafat Aristoteles dalam tradisi pemikiran Islam

Dalam tulisan-tulisan filsafatnya, Ibnu Rusyd berusaha mengembalikan Aristotelianisme ke jalur utama pemikiran di dunia Islam. Menurutnya, filsafat Aristoteles telah disalahartikan oleh pemikir-pemikir Muslim sebelumnya yang terpengaruh filsafat Neoplatonisme, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.[33][34] Ia menolak gagasan-gagasan Al-Farabi yang menggabungkan filsafat Plato dan Aristoteles, dan Ibnu Rusyd merujuk pada perbedaan antara kedua filsuf Yunani tersebut, di antaranya penolakan Aristoteles terhadap teori ide yang diajukan Plato.[35] Ia juga mengkritik karya-karya Al-Farabi mengenai logika karena dianggap menyalahartikan sumber-sumbernya yang berasal dari Aristoteles.[36] Ia juga panjang lebar mengkritik Ibnu Sina, yang merupakan tokoh utama Neoplatonisme di dunia Islam abad pertengahan.[37] Ia berpendapat bahwa teori Ibnu Sina mengenai emanasi (faydh) memiliki banyak kesalahan dan tidak berasal dari Aristoteles.[37] Ibnu Rusyd tidak setuju dengan pendapat Ibnu Sina bahwa keberadaan (wujud) hanyalah aksiden ('ard) dari esensi (dzat).[38] Ibnu Rusyd berpendapat sebaliknya, bahwa sesuatu ada terlebih dahulu, dan esensi hanyalah sesuatu yang diabstraksikan dari hal yang telah ada tersebut.[38] Ia juga menolak teori modalitas Ibnu Sina serta argumen Burhan ash-Shiddiqin yang diajukan Ibnu Sina untuk membuktikan keberadaan Tuhan (Allah) sebagai sesuatu yang Wajib Ada (wajib al-wujud).[39]

Hubungan antara Islam dan filsafat

Pada masa Ibnu Rusyd, filsafat banyak diserang oleh para ulama Sunni, terutama dari mazhab-mazhab teologi seperti mazhab teologi Hanbali dan Asy'ariyah.[40] Al-Ghazali, ulama terkemuka yang bermazhab Asy'ariyah, menulis Tahafut al-Falasifah ("Kerancuan para Filsuf"), buku yang sangat berpengaruh dan berisi kritik pedas terhadap tradisi filsafat—terutama filsafat bercorak Neoplatonisme—di dunia Islam, terutama terhadap karya dan pemikiran Ibnu Sina.[41] Al-Ghazali berpendapat bahwa beberapa teori para filsuf bertentangan dengan ajaran Islam dan merupakan bentuk kekafiran, dan juga berusaha membuktikan kesalahan teori-teori tersebut dengan argumen logika.[40][42] Dalam buku Tahafut at-Tahafut itu sendiri, ada 20 persoalan yang dicermati Ibnu Rusyd yang dijadikan pangkal kritik Al-Ghazali.[43]

Dalam buku Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd memaparkan bahwa filsafat—yang merupakan metode mengambil kesimpulan berdasarkan akal dan cara yang cermat—tidak mungkin bertentangan dengan ajaran Islam.[44][45] Keduanya hanyalah dua cara untuk memperoleh kebenaran yang sama, dan "kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran". [44][45] Ketika kesimpulan yang didapat dari filsafat terlihat bertentangan dengan teks kitab suci agama Islam, menurut Ibnu Rusyd teks tersebut harus ditafsirkan ulang atau diartikan secara kiasan sehingga tidak lagi bertentangan.[44][40] Penafsiran ini haruslah dilakukan oleh "orang yang berakal" (ulil albab), istilah yang ia kutip dari Quran Surat 3:7.[44] Menurut Ibnu Rusyd, pada masanya para filsuflah yang menyandang status ini karena mereka menguasai metode tertinggi dalam ilmu pengetahuan.[44][45] Ia juga berpendapat bahwa Al-Qur'an menganjurkan umat Islam untuk mempelajari filsafat, karena mempelajari alam akan mendekatkan seseorang dengan Sang Pencipta.[46] Ia mengutip beberapa ayat Al-Quran yang menyerukan umat Islam untuk mempelajari alam sekitar (misalnya QS 59:2 dan 88:17-18) dan kemudian memberikan fatwa (pendapat hukum) bahwa filsafat hukumnya boleh, bahkan bisa jadi wajib untuk mereka yang memiliki bakat dan kemampuan untuk mempelajarinya.[47]

Ibnu Rusyd juga membedakan tiga metode membuktikan kebenaran. Yang pertama adalah metode retorika (khatab), yaitu melalui kepandaian menggunakan kata-kata, yang dapat dipahami oleh kebanyakan orang awam. Metode kedua adalah dialektika (jidāl), yaitu melalui argumen dan perdebatan, yang dilakukan oleh para ulama mutakallimun[c] pada zaman Ibnu Rusyd. Metode ketiga adalah metode demonstratif (burhan) atau melalui pembuktian dengan kaidah-kaidah logika. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Qur'an menggunakan metode retorika untuk menyerukan manusia pada kebenaran, karena Al-Qur'an ditujukan kepada semua orang termasuk orang awam. Sementara itu, filsafat menggunakan metode demonstratif yang hanya bisa dikonsumsi oleh orang-orang yang berilmu, tetapi dapat menghasilkan pengetahuan dan pengertian yang lebih baik bagi orang yang mampu.[40][46][49]

Ibnu Rusyd juga berusaha menjawab kritik Al-Ghazali terhadap filsafat dengan menunjukkan bahwa kritik-kritik tersebut hanya spesifik menyangkut filsafat Ibnu Sina, dan bukan filsafat Aristoteles, Menurut Ibnu Rusyd, filsafat Aristoteles adalah filsafat paling asli dan benar, dan Ibnu Sina telah menyimpang darinya.[50]

Bukti keberadaan Tuhan

 
Menurut Ibnu Rusyd, bumi dan isinya yang mendukung kehidupan manusia menunjukkan adanya Sang Pencipta yang sengaja mengaturnya demikian.

Ibnu Rusyd menulis mengenai bukti keberadaan Tuhan dan sifat-sifatnya di dalam bukunya Kitab al-Kasyf 'an Manahij al-Adillah ("Buku Pengungkapan Cara-Cara Pembuktian").[51][52] Ia meneliti dan mengkritik doktrin-doktrin berbagai kelompok dalam Islam: Kelompok Asy'ariyah, Mu'tazilah, Sufi, dan "Hasyawiyah" (para literalis).[52] Ia juga menguji dan mengkritik masing-masing bukti-bukti yang mereka ajukan untuk keberadaan Tuhan.[51] Menurut Ibnu Rusyd, ada dua dalil atau argumen untuk keberadaan Tuhan yang ia anggap sahih secara logika dan sesuai dengan Al-Quran, yaitu argumen inayah ("pemberian [Tuhan]") dan ikhtira' ("penciptaan").[51] Dalam argumen pemberian, ia berpendapat bahwa dunia dan alam semesta terlihat diatur untuk kehidupan dan kemakmuran manusia.[51][53] Ia memberi contoh matahari, bulan, sungai-sungai, lautan, dan planet bumi, yang semuanya mendukung kehidupan manusia dan menunjukkan adanya Sang Pencipta yang sengaja mengaturnya demikian.[51][53] Argumen ini memiliki sebutan lain, yaitu Asbab al-Ghayah, dan dalil ini termasuk ke dalam metode pembuktian ahli hikmah. Selain itu, ia kuatkan argumen ini dengan pemahamannya pada QS 25:61, "Mahasuci Allah yang menjadikan di langit gugusan bintang-bintang dan Dia juga menjadikan padanya matahari dan bulan yang bersinar." Dalam Metafisika-nya pula, ia menjelaskan tak ada cara bertakwa yang lebih penting daripada mengenal makhluk-Nya agar sampai ke taraf mengenali-Nya dengan sungguh-sungguh.[54] Dalam argumen penciptaan, ia berargumen bahwa hal-hal yang ditemukan di dunia, seperti hewan dan tumbuhan, memiliki bentuk dan struktur yang merupakan hasil penciptaan.[51] Argumen ini juga dinamakan proposisi sababiyah (kausalitas), yang bermaksud bahwa tiap keberadaaan makhluk itu bergerak dalam keteraturan. Hal ini menunjukkan adanya Sang Pencipta yang merancangnya, menjadikan semua itu ada, dan mengendalikannya.[51][55] Kedua argumen yang diajukan Ibnu Rusyd ini merupakan argumen teleologis, berbeda dengan argumen Aristoteles maupun kebanyakan ulama Muslim pada masa itu yang cenderung menggunakan argumen kosmologis untuk membuktikan keberadaan Tuhan.[56]

Sifat-sifat Tuhan

Ibnu Rusyd menjunjung doktrin tauhid atau keesaan Tuhan dan menyebutkan 7 sifat-sifat Tuhan (Allah): mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, dan berfirman—sifat-sifat ini juga sesuai dengan pendapat ulama-ulama pada masa itu. Di antara tujuh sifat ini, ia paling banyak membahas sifat mengetahui ('ilm), dan berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia: Tuhan mengetahui alam semesta karena Ia adalah sebab dari segala sesuatu, sedangkan manusia mengetahui hal-hal di alam semesta hanya dari akibat-akibat yang ditimbulkannya.[51]

Ibnu Rusyd lalu melanjutkan bahwa Tuhan dapat disimpulkan bersifat hidup karena hidup adalah prasyarat untuk mengetahui, dan juga karena Tuhan menyebabkan benda-benda menjadi ada.[57] Ibnu Rusyd menyimpulkan Tuhan bersifat berkuasa karena Ia mampu menciptakan. Selanjutnya, karena Tuhan bersifat mengetahui dan berkuasa, menurut Ibnu Rusyd sudah tentu Tuhan juga dapat berfirman. Mengenai sifat melihat dan mendengar, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa karena Tuhan menciptakan dunia, Ia mengetahui seluruh bagian dunia tersebut dengan jelas sebagaimana seorang seniman mengetahui karya ciptaannya. Karena mendengar dan melihat adalah dua cara untuk mengetahui alam semesta, Tuhan sebagai pencipta pastilah memiliki dua sifat tersebut.[51]

Qadimnya alam semesta

Pada beberapa abad sebelumnya, terjadi perdebatan di kalangan cendekiawan Muslim tentang apakah alam semesta selalu ada sejak dahulu (qadim) atau memiliki awal mula (hadits).[58] Pemikir bercorak Neoplatonisme seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina berpendapat bahwa alam semesta selalu ada.[59] Pendapat ini ditolak oleh ulama dan filsuf dari golongan Asy'ariyah.[59] Contohnya, Al-Ghazali menolak pendapat bahwa alam semesta selalu ada dan menyatakan orang yang berpendapat demikian adalah kafir lewat karyanya Tahafut al-Falasifahnya.[59]

Ibnu Ruysd berusaha untuk mengatasi perselisihan kedua pemikiran tersebut dengan menggunakan konsep waktu. Konsep waktu disepakati bersama oleh kedua kelompok pemikiran tersebut. Alasannya adalah kesepahaman bahwa alam tidak mungkin mendahului waktu.[60] Ibnu Rusyd menjawab Al-Ghazali di Tahafut at-Tahafutnya. Pertama, ia menyatakan bahwa perbedaan antara dua kubu ini tidak terlalu besar dan tidak seharusnya berakibat tuduhan kafir.[59] Ia menyatakan bahwa doktrin Ibnu Sina dan Al-Farabi belum tentu bertentangan dengan Al-Quran. Ia menyebutkan ayat-ayat Al-Quran seperti 11:7, 41:11, 65:48 yang menyebutkan ‘Arsy, air dan asap yang telah ada sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.[61][62] Menurut penafsiran Ibnu Rusyd, alam semesta selalu ada, dan saat Allah melakukan penciptaan, Ia memberi bentuk kepada zat-zat yang sudah ada.[61] Ibnu Rusyd juga mengkritik ulama yang menafsirkan ayat-ayat tentang penciptaan, topik yang seharusnya merupakan ranah para filsuf.[63]

Politik

 
Ibnu Rusyd menyampaikan filsafat politiknya di tafsirnya terhadap buku Republik karya Plato (gambar).

Ibnu Rusyd menyampaikan filsafat politiknya di tafsirnya terhadap karya Plato Republik.[64] Ia menggabungkan gagasannya sendiri dengan gagasan Plato dan dengan ajaran Islam.[64] Menurut Ibnu Rusyd, negara yang ideal adalah negara yang berlandaskan hukum-hukum Islam atau syariah. Seperti Al-Farabi, ia menafsirkan konsep "filsuf raja" yang diajukan Plato sebagai seorang imam, khalifah, dan pembuat hukum di negara yang ia pimpin.[65][64] Sifat-sifat seorang filsuf raja yang dijelaskan Ibnu Rusyd mirip dengan penjelasan Al-Farabi, yaitu ia harus mencintai ilmu, memiliki hafalan yang baik, suka belajar, suka kebenaran, tidak suka kenikmatan duniawi, tidak suka menumpuk harta, berhati besar, berani, sabar, pintar berbicara dan ahli dalam menerapkan silogisme.[65] Ibnu Rusyd menyatakan, sekalipun saat para filsuf tidak bisa berkuasa—ia memberikan contoh pada zaman dinasti Murabithun dan Muwahidun saat ia hidup—para filsuf tetap harus berusaha memengaruhi para penguasa ke arah negara yang ideal.[64]

Menurut Ibnu Rusyd, ada dua cara untuk mengajarkan kebaikan kepada warga, yaitu dengan ajakan dan paksaan.[66] Ajakan adalah cara yang lebih normal, yaitu dengan menggunakan metode retorika, dialektika, dan demonstrasi.[66] Namun kadang cara paksaan terpaksa dipakai untuk orang-orang yang tidak mau menerima ajakan, misalnya kepada musuh negara.[66] Menurut Ibnu Rusyd, perang hanya boleh digunakan sebagai jalan terakhir, sebagaimana diajarkan Al-Quran.[66] Ia juga berpendapat seorang penguasa harus memiliki baik kebijaksanaan maupun keberanian, karena keduanya diperlukan dalam pemerintahan dan pertahanan negara.[67]

Seperti Plato, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa wanita harus juga berperan dalam pemerintahan negara, baik sebagai tentara, filsuf atau penguasa.[68] Ia menyesalkan bahwa negara-negara Islam pada zamannya berusaha membatasi peran wanita, menurut Ibnu Rusyd pembatasan ini berakibat buruk untuk kemakmuran negara.[64] Ia menganjurkan kesetaraan wanita dan pria baik dalam urusan perang maupun damai, dan mencontohkan adanya prajurit-prajurit wanita dalam bangsa Yunani, Arab, dan Afrika.[69]

Ibnu Rusyd menerima gagasan Plato tentang adanya proses-proses yang dapat merusak negara ideal. Ia memberi contoh dari sejarah Islam, bahwa Kekhalifahan Rasyidin—yang menurut ajaran Muslim Sunni merupakan negara ideal—berubah menjadi sistem kerajaan di bawah Muawiyah dan Dinasti Umayyah. Ia juga menyatakan bahwa negara Murabithun dan Muwahidun berawal dari negara yang ideal dan berbasis syariah, tetapi berubah menjadi negara bersistem timokrasi, oligarki, demokrasi dan tirani.[64][70]

Hukum Islam

Dalam pekerjaannya sebagai hakim dan ahli hukum, Ibnu Rusyd kebanyakan mengikuti Mazhab Maliki yang merupakan mazhab dominan di daerah Spanyol dan Maghrib.[71] Salah satu sumbangan besarnya terhadap pemikiran hukum Islam adalah penjelasannya di buku Bidayat al-Mujtahid mengenai perbedaan mazhab dalam hukum Islam, khususnya pembahasan sistematis mengenai prinsip dan sebab-sebab yang mendasari perbedaan tersebut, sesuatu yang jarang dilakukan pada saat itu.[72] Menurutnya, perbedaan pendapat dalam hukum Islam bukan hanya wajar, tapi tidak dapat dihindarkan.[73] Sekalipun mazhab-mazhab hukum Islam sama-sama berdasar pada Al-Qur'an dan Hadis, selalu ada sebab-sebab perbedaan (al-asbab al-lati awjabat al-ikhtilaf).[73] Contohnya adalah perbedaan dalam memahami atau menafsirkan bahasa, atau perbedaan mengenai bagaimana dan pada masalah apa metode analogi atau kias dapat digunakan.[74][73]

Ilmu-ilmu alam

Astronomi

Seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail sebelumnya, Ibnu Rusyd juga mengkritik Model Ptolemaik dengan berdasarkan filsafat.[75] Ketiga pemikir Al-Andalus ini menganggap model Ptolemaik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip filsafat Aristoteles yang menyimpulkan bahwa benda-benda langit tersebut mengitari bumi dengan orbit lingkaran sempurna.[75] Mereka mengkritik konsep episiklus atau "lingkaran dalam lingkaran" yang digunakan oleh model Ptolemaik untuk menjelaskan keanehan pergerakan bulan, matahari dan planet-planet.[76] Ia membagi gerakan planet-planet menjadi tiga: gerakan yang bisa dilihat dengan mata, gerakan yang baru bisa dilihat dengan peralatan astronomi, dan gerakan yang hanya bisa diketahui dengan mempelajari filsafat.[5] Ibnu Rusyd berusaha mereformasi ilmu astronomi supaya memiliki dasar fisika; pada saat itu praktik astronomi di dunia Islam banyak didasari rumus-rumus matematika saja tanpa dasar fisika. Pada masa tuanya ia mengakui bahwa upaya reformasinya ini gagal.[76][6]

Fisika

Pendekatan Ibnu Rusyd terhadap fisika adalah menggunakan metode eksegesis atau penafsiran: ia mengeluarkan tesis-tesis baru mengenai alam melalui pembahasan teks-teks pemikir sebelumnya, terutama Aristoteles.[77] Ia tidak menggunakan metode induksi seperti halnya ilmu fisika sekarang dan ketika itu sedang dikembangkan oleh Al-Biruni di dunia Islam.[46] Karena metodenya ini, Ibnu Rusyd sering digambarkan hanya sebagai pengikut Aristoteles yang tidak banyak bersumbangsih di bidang fisika.[78] Namun sejarawan ilmu pengetahuan Ruth Glasner berpendapat bahwa Ibnu Rusyd sebenarnya juga menghasilkan teori-teori baru di bidang fisika, terutama penjelasannya mengenai teori minima naturalia Aristoteles dan teori geraknya yang menggunakan konsep forma fluens.[78] Kedua teori ini kemudian diserap oleh para pemikir Barat dan memiliki andil dalam sejarah perkembangan ilmu fisika.[78] Ibnu Rusyd juga mengajukan sebuah pengertian gaya yang mendekati pengertian daya dalam ilmu fisika modern.[79]

Psikologi

 
Tafsir De Anima karya Ibnu Rusyd, terjemahan bahasa Latin, abad ke-13.

Ibnu Rusyd menjabarkan pemikirannya di bidang psikologi dalam tiga tafsirnya mengenai karya Aristoteles De Anima ("Mengenai Jiwa").[80] Ibnu Rusyd berusaha menjelaskan akal manusia dengan metode filsafat dan dengan menafsirkan gagasan-gagasan Aristoteles.[80] Posisi yang ia ambil berubah-ubah sepanjang kariernya seiring perkembangan intelektualnya.[80] Pada tafsirnya yang pertama (disebut "tafsir pendek"), ia mengikuti teori Ibnu Bajjah bahwa sesuatu yang disebut "akal material" menyimpan bayangan dari hal-hal yang dialami seseorang.[81] Bayangan-bayangan spesifik tentang suatu konsep menjadi dasar "penyatuan" akal material dengan "akal agen" yang bersifat universal.[82] Ketika penyatuan ini terjadi, orang tersebut akan memiliki pengetahuan umum tentang konsep tersebut.[82]

Pada tafsirnya yang kedua atau menengah, Ibnu Rusyd mengajukan teori yang lebih dekat dengan gagasan Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan menyebutkan bahwa akal agen memberi manusia kemampuan untuk memiliki pengetahuan umum terhadap suatu konsep. Saat seseorang telah memiliki pengalaman yang cukup tentang suatu konsep, kemampuan ini menjadi aktif dan orang tersebut dikatakan memiliki pengetahuan umum (lihat logika induktif).[82]

Pada tafsirnya yang terakhir dan terpanjang, ia mengajukan teori baru yang kemudian dikenal sebagai teori "kesatuan akal".[83] Ibnu Rusyd berpendapat bahwa hanya ada satu akal material, yang bersama-sama dimiliki semua manusia dan tidak bercampur dengan badan atau jasad manusia.[83] Untuk menjelaskan alasan orang-orang bisa memiliki pemikiran yang berbeda, ia mengajukan konsep yang ia sebut fikr (diterjemahkan cogitatio dalam bahasa Latin), sebuah proses yang terjadi di otak manusia dan tidak memiliki pengetahuan umum tetapi hanya perhatian aktif terhadap hal-hal khusus yang dialami manusia tersebut.[83] Teori ini memicu kontroversi ketika karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan di dunia Kristen Eropa. Pujangga Gereja Thomas Aquinas menulis makalah De unitate intellectus contra Averroistas yang isinya mengkritik teori ini secara rinci.[80][84]

Kedokteran

 
Teori medis Ibnu Rusyd banyak dipengaruhi doktrin medis Galenus (gambar), dokter Yunani dan penulis terkemuka dari abad ke-2.

Secara garis besar, teori-teori medis yang digunakan Ibnu Rusyd di Al-Kuliyyah fit-Thibb-nya mengikuti doktrin medis Galenus, dokter dan penulis terkemuka pada abad ke-2.[85] Doktrin Galenus sangat berpengaruh pada masa itu, dan didasari oleh teori humoralisme yaitu adanya empat "humor" atau cairan—darah, empedu kuning, empedu hitam dan flegma—yang keseimbangannya memengaruhi kesehatan manusia.[85] Namun Ibnu Rusyd juga mengajukan konsep-konsep baru di dunia kedokteran.[85] Walaupun hingga saat ini masih diperdebatkan, menurut sebagian sejarawan Ibnu Rusyd adalah orang pertama yang menyatakan bahwa retina merupakan bagian mata yang berfungsi menerima cahaya (dan bukan lensa).[86] Selain itu, Ibnu Rusyd menolak penjelasan Galenus bahwa strok adalah tertutupnya gerakan darah dan "roh" dari jantung ke anggota tubuh.[87] Berdasarkan pengamatan terhadap pasien dan teori fungsi otak dari Aristoteles, sebagai gantinya Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa penyakit ini berasal dari otak dan terhambatnya jalur arteri dari jantung ke otak.[87] Penjelasan ini lebih mirip dengan penjelasan modern.[87] Ia juga adalah orang pertama yang mengidentifikasi gejala-gejala penyakit Parkinson, walaupun ia tidak menamainya secara khusus.[88]

Pengaruh

Pada tradisi Yahudi

 
Moshe ben Maimon atau Maimonides, salah satu cendekiawan Yahudi yang paling awal menerima karya-karya Ibnu Rusyd dengan antusias.

Moshe ben Maimon (1135–1204, dikenal juga dengan nama "Moses Maimonides" dalam bahasa Yunani) adalah salah satu cendekiawan Yahudi yang paling awal menerima karya-karya Ibnu Rusyd dengan antusias, dan menulis bahwa ia membaca hal-hal yang ditulis Ibnu Rusyd tentang Aristoteles dan berpendapat bahwa Ibnu Rusyd "sangatlah benar".[89] Penulis-penulis Yahudi abad ke-13, seperti Samuel ben Tibbon, Yehuda ben Salomo ha-Kohen dan Shem-Tov ben Falaquera, banyak mengandalkan tulisan-tulisan Ibnu Rusyd sebagai sumber untuk tulisan mereka.[89] Pada masa ini, banyak cendekiawan Yahudi yang bisa membaca bahasa Arab sehingga karya Ibnu Rusyd dapat langsung dibaca. Pada tahun 1232, buku Ibnu Rusyd pertama kali sepenuhnya diterjemahkan ke bahasa Ibrani, yaitu ketika Yosef ben Abba Mari menerjemahkan tafsir Ibnu Rusyd mengenai Organon karya Aristoteles.[89] Pada tahun 1260 Moses ben Tibbon menerbitkan terjemahan dari hampir semua tafsir-tafsir karya Ibnu Rusyd, serta sebagian tulisannya di bidang kedokteran.[89] Pengikut ajaran Ibnu Rusyd, yang kemudian disebut Averroisme, mencapai puncaknya di kalangan Yahudi pada abad ke-14.[90] Penulis-penulis Yahudi yang menerjemahkan dan banyak dipengaruhi oleh tulisan Ibnu Rusyd di antaranya adalah Kalonymus ben Kalonymus dari Arles, Samuel ben Judah dari Marseilles, Todros Todrosi dari Arles, serta Lewi ben Gerson dari Languedoc.[91]

Pada tradisi Kristen di Barat

Sumbangan Ibnu Rusyd yang paling besar pada tradisi Kristen di Eropa Barat adalah tafsir-tafsirnya terhadap karya Aristoteles.[92] Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat, Eropa Barat mengalami kemunduran budaya yang menyebabkan hilangnya hampir seluruh peninggalan intelektual dari para cendekiawan Yunani Klasik, termasuk Aristoteles.[93] Tafsir-tafsir yang ditulis Ibnu Rusyd menyebarkan kembali karya Aristoteles dan melengkapinya dengan pemikiran Ibnu Rusyd sebagai seorang pakar.[94][90] Tafsir-tafsir ini mulai diterjemahkan ke bahasa Latin dan dipelajari di Eropa Barat abad ke-13.[90] Karena tafsir-tafsir ini begitu dikenal, penulis-penulis Kristen selanjutnya sering tidak menyebut Ibnu Rusyd dengan namanya tetapi cukup dengan gelar "Sang Penafsir" (Latin: Commentatoris , Inggris Modern: The Commentator).[18]

Cendekiawan Skotlandia Michael Scot (1175 - ca 1232) adalah orang pertama yang menerjemahkan karya Ibnu Rusyd ke Bahasa Latin. Sejak 1217, ia menerjemahkan tafsir panjang Fisika, Metafisika, De Anima dan De Caelo, serta banyak tafsir pendek dan menengah.[95] Setelah itu, para penulis Eropa lainnya, seperti Hermannus Alemannus, William de Luna, dan Armengaud dari Montpellier, menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd yang lain, kadang bekerja sama dengan penulis-penulis Yahudi.[96] Tak lama kemudian, karya-karya Ibnu Rusyd menyebar di kalangan cendekiawan Kristen, terutama dari kelompok Skolastis.[96] Lalu muncul gerakan yang mengikuti tulisan-tulisan ini, yang disebut Averroisme Latin.[96] Paris dan Padova (sekarang di Italia) menjadi pusat intelektual Averroisme Latin, dengan tokoh-tokoh utama seperti Sigerus de Brabantia dan Boetius de Dacia.[96]

 
Lukisan Kemenangan Thomas Aquinas atas Ibnu Rusyd oleh pelukis Italia Benozzo Gozzoli, menggambarkan Aquinas (atas tengah), yang banyak mengkritik Ibnu Rusyd, "mengalahkan" Ibnu Rusyd (bawah), digambarkan di bawah kaki Aquinas.

Otoritas Gereja Katolik Roma kemudian berusaha membendung penyebaran Averroisme. Pada tahun 1270, Uskup Paris Étienne Tempier mengeluarkan larangan terhadap 15 doktrin—kebanyakan merupakan ajaran Aristoteles atau Ibnu Rusyd—yang dianggap bertentangan dengan doktrin Katolik. Pada tahun 1277, sesuai permintaan Paus Yohanes XXI, Tempier mengeluarkan larangan baru, kali ini terhadap 219 tesis dari berbagai sumber, dan sebagian besar merupakan ajaran Aristoteles atau Ibnu Rusyd.[97]

Ibnu Rusyd diterima dengan reaksi yang berbeda-beda oleh pemikir Katolik lainnya. Thomas Aquinas yang merupakan salah satu pemikir Katolik terkemuka abad ke-13, sangat mengandalkan Ibnu Rusyd dalam mempelajari dan menafsirkan tulisan Aristoteles, tetapi juga banyak tidak setuju dengan pendapat Ibnu Rusyd.[98][18] Contohnya, ia menulis kritik yang rinci terhadap teori Ibnu Rusyd bahwa semua manusia bersama-sama memiliki satu akal.[98][18] Ia juga menentang doktrin Ibnu Rusyd mengenai keabadian alam semesta dan keterlibatan Allah di dunia.[99]

Larangan yang dikeluarkan Gereja Katolik pada tahun 1270 dan 1277, serta kritikan keras dari Aquinas memperlemah penyebaran Averroisme di Dunia Kristen Barat.[100] Namun Averroisme tetap memiliki pengikut hingga abad ke-16.[90] Tokoh-tokoh utama Averroisme di Eropa di antaranya Jean de Jandun, Marsilius dari Padova (abad ke-14), Gaetano da Thiene dan Pietro Pomponazzi (abad ke-15), serta Agostino Nifo dan Marcantonio Zimara (abad ke-16).[101] Sejak abad ke-16, Averroisme banyak ditinggalkan karena Dunia Barat sudah mulai meninggalkan tradisi intelektual Aristoteles.[90]

Pada tradisi Islam

Ibnu Rusyd tidak memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran filsafat di dunia Islam hingga zaman modern.[102] Salah satu alasannya adalah geografi: Ibnu Rusyd berasal dari Al-Andalus atau Spanyol yang berada di ujung Barat peradaban Islam dan terletak jauh dari pusat intelektual Islam di Timur Tengah.[50] Selain itu, filsafatnya juga tidak terlalu cocok dengan filsafat yang umum pada cendekiawan Islam saat itu.[50] Fokusnya terhadap Aristoteles dianggap terlalu usang oleh para pemikir Islam, karena Aristoteles sudah banyak dipelajari sejak abad ke-9 dan pada masa Ibnu Rusyd banyak pemikiran-pemikiran yang lebih baru dan populer, seperti pemikiran Ibnu Sina.[50] Pemikir Muslim baru mulai banyak mempelajari Ibnu Rusyd lagi pada abad ke-19.[102] Pada masa ini, terjadi An-Nahdah atau kebangkitan budaya di dunia Arab, dan karya-karya Ibnu Rusyd menjadi inspirasi untuk memodernkan tradisi intelektual umat Islam.[102]

Dalam budaya populer

 
Ibnu Rusyd digambarkan dalam fresko Mazhab Athena yang dilukis di dinding ruangan Istana Kepausan di Vatikan.

Ibnu Rusyd disebutkan dalam berbagai karya budaya baik di dunia Barat maupun di dunia Islam. Puisi Divina Commedia karya penulis Italia Dante Alighieri yang terbit pada 1320, menyebutkan Ibnu Rusyd "yang menulis Tafsir-Tafsir Besar", dan menggambarkannya terjebak di limbo atau tepi neraka bersama Salahuddin Ayyubi dan beberapa pemikir Islam dan pemikir Yunani non-Kristen.[103][98] Pembukaan buku The Canterbury Tales (1387) karya Geoffrey Chaucer memasukkan Ibnu Rusyd dalam daftar ahli-ahli kedokteran yang diketahui di Eropa pada masa itu.[103] Ibnu Rusyd juga muncul di lukisan fresko Mazhab Athena karya Raffaello Sanzio.[104] Karya ini dilukis di dinding sebuah ruangan di Istana Kepausan di Vatikan, dan berisi tokoh-tokoh penting dalam filsafat.[104] Ibnu Rusyd digambarkan dengan gamis hijau dan sebuah sorban, mengintip dari belakang bahu Pythagoras yang sedang menulis buku.[104] Ibnu Rusyd adalah tokoh utama film Mesir Al-Massir ("Takdir") pada tahun 1997.[105] Film ini disutradarai Youssef Chahine dan dibuat untuk memperingati 800 tahun meninggalnya Ibnu Rusyd.[105] Dalam film ini, Ibnu Rusyd digambarkan sebagai seorang yang bijak di Kordoba abad ke-12.[104][105]

Nama Ibnu Rusyd (atau Averroes) dipakai untuk genus tanaman Averrhoa. Genus ini dikenali dengan dua tanamannya yang masyhur, yaitu belimbing sayur dan belimbing biasa.[106] Selain itu pula, ada kawah bulan bernama Ibn-Rushd dan asteroid 8318 Averroes.[107][108]

Keterangan

  1. ^ Hadits disini berarti "baru" atau "memiliki awal mula", dan bukan hadis atau hadits dalam pengertian ucapan dan perbuatan Muhammad yang menjadi landasan hukum Islam.
  2. ^ Mujtahid artinya adalah seseorang yang dapat melakukan ijtihad atau pertimbangan sendiri untuk menjawab suatu masalah dalam hukum Islam (alih-alih taklid atau mengikuti pendapat ahli hukum lainnya). Muqtashid artinya seseorang yang berpengetahuan cukup tentang hukum Islam. Maksud dari judul ini, "Permulaan Seorang Mujtahid dan Akhir Seorang Muqtashid" adalah Ibnu Rusyd berharap isi buku ini akan mengajarkan seorang yang hanya berlevel muqtashid agar bisa mulai menjadi seorang mujtahid atau mampu melakukan ijtihad.[29]
  3. ^ Para mutakallimun adalah para ulama yang bekerja di disiplin ilmu kalam, kadang disebut juga "teologi rasional", sebuah bidang ilmu yang mencoba menjelaskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan akidah dengan menggunakan dialektika dan argumen rasional.[48]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b c d Arnaldez 1986, hlm. 909.
  2. ^ a b c d e Hillier, Biography.
  3. ^ a b c d Wohlman 2009, hlm. 16.
  4. ^ a b c Dutton 1994, hlm. 190.
  5. ^ a b c d e Iskandar 2008, hlm. 1116.
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag Arnaldez 1986, hlm. 910.
  7. ^ El-Saha & Hadi 2004, hlm. 138.
  8. ^ Rosenthal 2017, Averroës’ Defense Of Philosophy.
  9. ^ Fakhry 2001, hlm. 1.
  10. ^ a b c d e f g h i j k l Fakhry 2001, hlm. 2.
  11. ^ a b M. Hadi Masruri 2005, hlm. 32.
  12. ^ a b c Dutton 1994, hlm. 196.
  13. ^ Rosenthal 2017, Early Life.
  14. ^ Ahmad 2009, hlm. 193.
  15. ^ a b c d e f g h Fakhry 2001, hlm. 3.
  16. ^ Ahmad 1994.
  17. ^ Adamson 2016, hlm. 180–181.
  18. ^ a b c d e f Adamson 2016, hlm. 180.
  19. ^ a b c d Taylor 2005, hlm. 181.
  20. ^ McGinnis & Reisman 2007, hlm. 295.
  21. ^ Arnaldez 1986, hlm. 911–912.
  22. ^ Arnaldez 1986, hlm. 913–914.
  23. ^ Arnaldez 1986, hlm. 914.
  24. ^ a b c Arnaldez 1986, hlm. 915.
  25. ^ Hillier, paragraf 1.
  26. ^ a b c Fakhry 2001, hlm. 124.
  27. ^ Ahmad 2009, hlm. 197.
  28. ^ El-Saha & Hadi 2004, hlm. 140.
  29. ^ Dutton 1994, hlm. 191.
  30. ^ a b Fakhry 2001, hlm. xvi.
  31. ^ a b Dutton 1994, hlm. 188.
  32. ^ Fakhry 2001, hlm. 115.
  33. ^ Fakhry 2001, hlm. 5.
  34. ^ Leaman 2002, hlm. 27.
  35. ^ Fakhry 2001, hlm. 6.
  36. ^ Fakhry 2001, hlm. 6–7.
  37. ^ a b Fakhry 2001, hlm. 7.
  38. ^ a b Fakhry 2001, hlm. 8–9.
  39. ^ Fakhry 2001, hlm. 9.
  40. ^ a b c d Hillier, Philosophy and Religion.
  41. ^ Hillier, paragraf 2.
  42. ^ Leaman 2002, hlm. 55.
  43. ^ El-Saha & Hadi 2004, hlm. 141.
  44. ^ a b c d e Guessoum 2011, hlm. xx.
  45. ^ a b c Adamson 2016, hlm. 184.
  46. ^ a b c Guessoum 2011, hlm. xxii.
  47. ^ Adamson 2016, hlm. 182.
  48. ^ Adamson 2016, hlm. 8–9.
  49. ^ Adamson 2016, hlm. 183.
  50. ^ a b c d Adamson 2016, hlm. 181.
  51. ^ a b c d e f g h i Hillier, Existence and Attributes of God.
  52. ^ a b Fakhry 2001, hlm. 74.
  53. ^ a b Fakhry 2001, hlm. 77.
  54. ^ Zarkasyi et al. 2020, hlm. 24 – 25.
  55. ^ Zarkasyi et al. 2020, hlm. 25.
  56. ^ Fakhry 2001, hlm. 77–78.
  57. ^ Fakhry 2001, hlm. 79.
  58. ^ Fakhry 2001, hlm. 14.
  59. ^ a b c d Fakhry 2001, hlm. 18.
  60. ^ Nuruddin, Muhammad (2021). Ilmu Maqulat dan Esai-Esai Pilihan Seputar Logika, Kalam dan Filsafat. Depok: Keira. hlm. 34. ISBN 978-623-7754-24-4. 
  61. ^ a b Fakhry 2001, hlm. 19.
  62. ^ Hillier, Origin of the World.
  63. ^ Fakhry 2001, hlm. 19–20.
  64. ^ a b c d e f Rosenthal 2017, Contents And Significance Of Works.
  65. ^ a b Fakhry 2001, hlm. 111.
  66. ^ a b c d Fakhry 2001, hlm. 106.
  67. ^ Fakhry 2001, hlm. 107.
  68. ^ Fakhry 2001, hlm. 110.
  69. ^ Ahmad 2009, hlm. 196.
  70. ^ Fakhry 2001, hlm. 112–114.
  71. ^ Dutton 1994, hlm. 195–196.
  72. ^ Dutton 1994, hlm. 191–192.
  73. ^ a b c Dutton 1994, hlm. 192.
  74. ^ Fakhry 2001, hlm. 116.
  75. ^ a b Forcada 2007, hlm. 554.
  76. ^ a b Forcada 2007, hlm. 554–555.
  77. ^ Glasner 2009, hlm. 4.
  78. ^ a b c Glasner 2009, hlm. 1–2.
  79. ^ Agutter & Wheatley 2008, hlm. 45.
  80. ^ a b c d Adamson 2016, hlm. 188.
  81. ^ Adamson 2016, hlm. 189–190.
  82. ^ a b c Adamson 2016, hlm. 190.
  83. ^ a b c Adamson 2016, hlm. 191.
  84. ^ Hasse 2014, Averroes' Unicity Thesis.
  85. ^ a b c Belen & Bolay 2009, hlm. 378.
  86. ^ Belen & Bolay 2009, hlm. 378–379.
  87. ^ a b c Belen & Bolay 2009, hlm. 379.
  88. ^ Belen & Bolay 2009, hlm. 379–380.
  89. ^ a b c d Fakhry 2001, hlm. 132.
  90. ^ a b c d e Fakhry 2001, hlm. 133.
  91. ^ Fakhry 2001, hlm. 132–133.
  92. ^ Fakhry 2001, hlm. 131.
  93. ^ Fakhry 2001, hlm. 129.
  94. ^ Adamson 2016, hlm. 181–182.
  95. ^ Fakhry 2001, hlm. 133–134.
  96. ^ a b c d Fakhry 2001, hlm. 134.
  97. ^ Fakhry 2001, hlm. 134–135.
  98. ^ a b c Fakhry 2001, hlm. 138.
  99. ^ Fakhry 2001, hlm. 140.
  100. ^ Fakhry 2001, hlm. 135.
  101. ^ Fakhry 2001, hlm. 137–138.
  102. ^ a b c Leaman 2002, hlm. 28.
  103. ^ a b Sonneborn 2006, hlm. 94.
  104. ^ a b c d Sonneborn 2006, hlm. 95.
  105. ^ a b c Guessoum 2011, hlm. xiv.
  106. ^ Quattrocchi 1999, hlm. 241.
  107. ^ Solar System Dynamics 2009.
  108. ^ Blue 2007.

Daftar pustaka