Penduduk asli Taiwan

(Dialihkan dari Penduduk Pribumi Taiwan)
Penduduk Asli Taiwan

Perburuan Rusa (捕鹿), 1746
Informasi umum
  • Total populasi
2014: 533.600[1]
  • Tanah air di Taiwan
    • Pegunungan yang membentang dalam lima rangkaian dari ujung utara sampai ujung selatan pulau tersebut
    • Dataran timur sempit
    • Pulau Anggrek (Lán Yǔ)
  • Bahasa
14 bahasa Formosa hidup. Beberapa bahasa terancam dan bahasa hampir mati.
Puak

Penduduk asli Taiwan (Hanzi: 臺灣原住民; Pinyin: Táiwān yuánzhùmín; Pe̍h-ōe-jī: Tâi-ôan gôan-chū-bîn) adalah istilah yang umumnya ditujukan kepada suku bangsa pribumi di Taiwan, yang berjumlah lebih dari 530.000 jiwa dan meliputi sekitar 2,3% dari populasi di pulau tersebut. Penelitian terkini menyatakan bahwa leluhur mereka tinggal di Taiwan pada sekitar 8.000 tahun yang lalu sebelum imigrasi besar Han yang dimulai pada abad ke-17.[2] Penduduk asli Taiwan adalah suku bangsa Austronesia, dengan hubungan linguistik dan genetik dengan kelompok etnis Austronesia lainnya yang meliputi orang-orang dari Filipina,Malaysia, Indonesia, Madagaskar, dan Oseania.[3][4] Masalah identitas etnis yang tak terhubung dengan Asia daratan telah menjadi salah satu salah satu bahan pembicaraan dalam permasalahan terkait status politik Taiwan.

Selama berabad-abad, penduduk asli Taiwan mengalami persaingan ekonomi dan konflik militer dengan serangkaian para pendatang baru yang membuat koloni. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang disentralisasi dirancang untuk diadakannya perubahan bahasa dan asimiliasi kebudayaan, serta kontak berkelanjutan dengan para anggota koloni melalui perdagangan, pernikahan silang dan proses silang budaya lainnya, yang mengakibatkan berbagai kematian bahasa dan hilangnya identitas kebudayaan. Contohnya, dari sekitar 26 bahasa yang pernah dipakai penduduk asli Taiwan (secara kolektif disebut sebagai rumpun bahasa Formosa), sekitar sepuluh bahasa sekarang menjadi punah, lima bahasa hampir mati,[5] dan beberapa bahasa meraih status bahasa terancam. Bahasa-bahasa tersebut merupakan signifikansi sejarah yang unik, sejak sebagian besar linguis sejarah menganggap Taiwan sebagai tempat asal dari keluarga bahasa Austronesia.[2]

Para pemakai bahasa Austronesia di Taiwan awalnya tersebar di sebagian besar wilayah pegunungan di tengah pulau tersebut dan terkonsentradi di desa-desa di sepanjang daratan aluvial. Sejumlah besar penduduk asli Taiwan saat ini tinggal di pegunungan dan perkotaan.

Penduduk asli Taiwan menghadapi masalah ekonomi dan sosial, yang meliputi angka pengangguran yang tinggi dan pendidikan yang masih di bawah standar. Sejak awal 1980-an, beberapa kelompok penduduk asli aktif memperjuangkan peningkatan politik penentuan nasib sendiri dan pengembangan ekonomi.[6] Kebangkitan kesadaran etnis dikeluarkan dalam beberapa cara oleh penduduk asli, termasuk memasukkan unsur-unsur budaya mereka dalam musik pop yang sukses secara komerial. Upaya yang dilakukan oleh penduduk asli tersebut dilakukan untuk membangkitkan praktik kebudayaan tradisional dan menyajikan bahasa-bahasa tradisional mereka. Festival Kebudayaan Austronesia di Kota Taitung adalah salah satu acara dimana para anggota suku mempromosikan budaya penduduk asli. Selain itu, beberapa suku-suku pribumi secara khusus terlibat dalam industri pariwisata dan eko-pariwisata dengan tujuan meningkatkan ekonomi berdikari dan menyajikan budaya mereka.[7]

Sejarah dan definisi persukuan

sunting

Pada sebagian sejarah mereka yang tercatat, penduduk asli Taiwan didefinifikan oleh oknum-oknum dari proyek "pensipilisasian" berbeda dari Nasionalis, Kristen, dan Konghucu, dengan berbagai tujuan. Setiap poryek "pensipilisasian" mendefinisikan penduduk asli tersebut berdasarkan pada pengertian budaya "penduduk sipil" yang berbeda dan mirip, perilaku, lokasi, penampilan dan kontak sebelumnya dengan kelompok suku bangsa lainnya.[8] Taksonomi-taksonomi dibentuk oleh pasukan-pasukan kolonialis yang membagi para penduduk asli dalam penamaan subgrup, yang disebut sebagai "suku". Pembagian tersebut tidak selalu sejalan dengan pola pikir penduduk asli itu sendiri. Namun, kategori tersebut telah menjadikan bahan dalam pembicaraan masyarakat dan pemerintah sepanjang waktu yang membuat mereka memiliki kekhasan de facto, menyajikan sebagian bentuk pembicaraan politik saat ini di Republik Tiongkok (RT), dan berdampak pada kebijakan-kebijakan Taiwan mengenai penduduk-penduduk asli.

 
Foto wanita dan bayi penduduk asli Taiwan, yang diambil oleh John Thomson, 1871

Pelaut Han, Chen Di, dalam Catatan Laut-Laut Timur buatannya (1603), mengindentifikasikan penduduk asli Taiwan sebagai "Bangsa Timur Biadab" (東番; Dongfan), sementara Belanda menyebut penduduk asli Taiwan sebagai "Indian" atau "orang kulit hitam", berdasarkan pada pengalaman kolonial mereka sebelumnya di sebuah wilayah yang sekarang menjadi negara Indonesia.[9]

Hampir seabad kemudian, pemerintah Kekaisaran Qing memerintahkan sekelompok besar masyarakat, epnulis dan gazetir untuk memberikan deskripsi mereka dalam rangka mengadakan akulturasi, yang berujung pada sebuah sistem yang mendefinisikan kekerabatan para penduduk asli atas pengajuan mereka atau permusuhan terhadap pemerintah Qing. Sastrawan Qing menggunakan istilah "mentah/liar" (生番) untuk mendefinisikan orang-orang yang tidak memberikan pengajuan kepada pemerintah Qing, dan "matang; dijinakkan atau ditundukkan" (熟番) kepada orang-orang yang menyatakan persekutuan mereka dengan membayar uang kepada kepala pajak.[10] Menurut standar Kaisar Qianlong dan rezim-rezim penerusnya, kata "matang" merupakan sinonim dari orang-orang yang diasimilasikan dengan norma-norma kebudayaan Han, dan tinggal sebagai warga negara Kekaisaran, tapi kata tersebut masih dijadikan sebutan yang merendahkan untuk menandakan kurangnya rasa berbudaya dari orang-orang non-Han.[11][12] Rancangan tersebut merefleksikan gagasan bahwa siapapun yang menjadi warga negara/dijinakkan harus mengadopsi norma-norma sosial Konghucu.[13][14]

 
Foto berwarna seorang pasukan Tsou yang mengenakan busana tradisional yang diambil sebelum Perang Dunia II.

Setelah Qing menyatakan kekuasaan mereka atas wilayah tersebut dan berusaha memasuki pegunungan pada akhir abad ke-19, istilah Pingpu (平埔族; Píngpǔzú; 'Suku dataran rendah') dan Gaoshan (高山族; Gāoshānzú; 'Suku dataran tinggi') digunakan sebagai pengganti istilah "matang" dan "mentah".[15] Pada masa kekuasaan Jepang (1895–1945), para antropolog dari Jepang melakukan klasifikasi binari. Pada 1900, mereka memasukannya dalam proyek kolonial mereka sendiri dengan menggunakan istilah Peipo (平埔) yang artinya "suku matang", dan membuat kategori "suku yang diakui" untuk penduduk asli yang awalnya disebut "mentah". Insiden Musha pada 1930 berujung pada beberapa perubahan dalam kebijakan penduduk asli, dan pemerintah Jepang mulai menyebut mereka dengan sebutan Takasago-zoku (高砂). [16] Suku-suku yang diakui yang meliputi suku Atayal, Bunun, Tsou, Saisiat, Paiwan, Puyuma, dan Ami. Yami (Tao) dan Rukai ditambahkan pada masa berikutnya, sehingga terdapat total sembilan suku yang diakui.[17] Pada awal periode pemerintahan Nasionalis Tiongkok Kuomintang (KMT), istilah Shandi Tongbao (山地同胞) "orang dataran tinggi senegara" dan Pingdi Tongbao (平地同胞) "orang dataran rendah senegara" digunakan, untuk menghilangkan pengaruh Jepang dan memasukkan wilayah penduduk asli Taiwan dalam negara Nasionalis Tiongkok. [18] KMT kemudian mengadopsi penggunaan seluruh pengelompokan Jepang sebelumnya kecuali Peipo.

Disamping perubahan-perubahan terkini dalam bidang antropologi dan peralihan obyektitivasan pemnerintah, label Pingpu dan Gaoshan utamanya digunakan pada masa sekarang sebagai sebuah bentuk yang diberikan oleh kekaisaran Qing untuk menunjukan akulturasi penduduk asli dengan budaya Han. Suku-suku penduduk asli yang disahkan saat ini semuanya disebut sebagai Gaoshan, meskipun pembagian tersebut tidak dan tidak pernah berdasarkan pada letak geografi. Amis, Saisiat, Tao dan Kavalan adalah suku-suku yang memegang budaya Dataran Rendah Timur.[19] Pembagian antara suku Pingpu dan Gaoshan masih berdampak pada kebijakan-kebijakan Taiwan terkait suku-suku asli, dan kesempatan mereka untuk ikut serta secara bulat dalam pemerintah.[20]

Meskipun Pusat Informasi pemerintah Republik Tiongkok secara resmi mengangkat 14 kelompok utama sebagai "suku", konsensus beberapa sarjana menyatakan bahwa 14 kelompok tersebut tidak menunjukan entitas sosial apapun, kolektivitasan politik, atau aliansi pengidentifikasian diri yang berasal dari Taiwan pada masa pra-modern.[21] Catatan-catatan terawal yang mendetail, yang berasal dari kedatangan Belanda pada 1624, menyatakan bahwa penduduk-penduduk asli tinggal di desa-desa terpisah dengan berbagai ukuran. Antara desa-desa tersebut, terjadi perdagangan, pernikahan silang, peperangan dan aliansi melawan musuh besar. Menggunakan kriteria etnografi dan linguistik kontemporer, desa-desa tersebut diklasifikasikan dalam lebih dari 20 kelompok etnis (dan sebagian besar diperdebatkan),[22][23] yang tak pernah disatukan di bawah negara, kerajaan atau "suku" umum.[24]

Populasi suku-suku penduduk asli pada 1911[25]
Atayal Saisiyat Bunun Tsou Rukai Paiwan Puyuma Ami Yami Total
27,871 770 16,007 2,325 13,242 21,067 6,407 32,783 1,487 121,950

Suku-suku yang diakui

sunting

Suku-suku yang disahkan di Taiwan

sunting
 Suku YamiSuku PaiwanSuku RukaiSuku PuyumaSuku TsouSuku BununSuku AmisSuku KavalanSuku ThaoSuku SediqSuku AtayalSuku TrukuSuku SakizayaSuku Saisiyat
Peta gambar suku-suku dataran tinggi menurut persebaran geografi tradisional. Nama atau pengucapan alternatif: Pazih (Pazeh); Taroko (Truku, Seediq); Yami (Tao)

Pemerintah Republik Tiongkok secara resmi mensahkan suku-suku berbeda dari komunitas probumi berdasarkan pada kualifikasi yang ditentukan oleh Dewan Penduduk Asli (DPA).[26] Untuk meraih pengakuan tersebut, suku-suku harus mengumpulkan sejumlah tanda tangan dan sebuah badan bukti mendukung yang meneruskan petisi kepada DPA. Pengakuan resmi memberikan hak-hak hukum dan hak-hak asasi terhadap sebuah kelompok, serta menyediakan mereka dengan satisfaksi yang menyoroti identitas mereka sebagai sebuah suku. Pada Juni 2014, 16 suku diakui.[27]

Dewan Penduduk Asli memberikan beberapa faktor terbatas dalam sebuah petisis formal yang berhasil. Faktor-faktor penentu tersebut meliputi pengumpulan silsilah anggotam sejarah kelompok dan bukti identitas kebudayaan dan linguistik yang berlanjut.[28][29] Kurangnya dokumentasi dan punahnya beberapa bahasa pribumi sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan kebudayaan dan bahasa kolonial menjadi bahan pertimbangan pengesahan resmi beberapa suku yang berada pada wilayah terkendali. Tren-tren terkini dalam etno-wisata membuat beberapa bekas Penduduk Asli Dataran Rendah tetap memperjuangkan kebangkitan kebudayaan.[30]

Beberapa kelompok dataran rendah membuat petisi untuk status suku, hanya Kavalan dan Sakizaya yang secara resmi diakui. Dua belas suku resmi lainnya secara tradisional dianggap sebagai penduduk asli dataran tinggi.

Subgrup atau kelompok persukuan lainnya yang diperjuangkan untuk diberi status hukum penduduk asli meliputi Chimo (yang tidak secara resmi membuat petisi ke pemerintah, lihat Lee 2003), Kakabu, Makatao, Pazeh, dan Siraya.[31] Namun, undang-undang pembuatan petisi untuk status resmi tak selalu mewakili pandangan konsensus manapun dari kalangan cendekiawan yang menyatakan bahwa sebuah kelompok yang relevan pada kenyataannya harus dikategorisasikan sebagai suku terpisah.

Terdapat diskusi yang diadakan oleh para cendekiawan dan kelompok politik untuk memberikan nama terbaik atau paling pas digunakan untuk beberapa suku dan bahasa mereka, serta romanisasi dari nama tersebut. Contoh yang paling umum dikutip meliputi Seediq/Sediq/Truku/Taroko dan Tao/Yami.

Sembilan suku asli telah diakui sebelum 1945 oleh pemerintah Jepang.[26] Thao, Kavalan dan Truku diakui oleh pemerintah Taiwan masing-masing pada 2001, 2002 dan 2004. Sakizaya diakui sebagai suku ke-13 pada 17 Januari 2007,[32] dan pada 23 April 2008, Sediq diakui sebagai suku resmi ke-14 di Taiwan.[33] Sebelumnya, Sakizaya dimasukkan sebagai Amis dan Sediq sebagai Atayal. Hla'alua dan Kanakanavu diakui sebagai suku ke-15 dan ke-16 pada 26 Juni 2014.[27] Daftar lengkap suku yang diakui di Taiwan, serta beberapa kelompok suku tak resmi yang sering dikutip, adalah sebagai berikut:

Diakui: Ami, Atayal, Bunun, Hla'alua, Kanakanavu, Kavalan, Paiwan, Puyuma, Rukai, Saisiyat, Tao, Thao, Tsou, Truku, Sakizaya dan Sediq.
Tak diakui: Babuza, Basay, Hoanya, Ketagalan, Luilang, Makatao, Pazeh/Kaxabu, Papora, Qauqaut, Siraya, Taokas, Trobiawan.

Penduduk asli Taiwan di Tiongkok

sunting

Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengklaim Taiwan sebagai bagian dari teritorialnya dan secara resmi menyebut seluruh penduduk asli Taiwan sebagai Gaoshan (artinya "dataran tinggi"), yang merupakan salah satu 56 suku bangsa yang secara resmi diakui oleh RRT. Menurut Sensus 2000, 4,461 orang yang diidentifikasikan sebagai Gaoshan tinggal di Tiongkok daratan. Beberapa survei mengindikasikan bahwa 4,461 Gaoshan tercatat dalam Sensus RRT 2000, jumlah tersebut diperkirakan meliputi 1,500 orang Amis, 1,300 orang Bunun, 510 orang Paiwan, dan sisanya berasal dari suku-suku lainnya.[34] Mereka merupakan keturunan dari penduduk asli Taiwan yang berada di Tiongkok daratan pada masa pembentukan Republik Rakyat Tiongkok pada 1949.[34]

Asimilasi dan akulturasi

sunting

Bukti arkeologi, linguistik dan anekdot menunjukan bahwa penduduk asli Taiwan mengalami serangkaian peralihan kebudayaan dalam rangka menjalin hubungan dengan teknologi baru dan masyarakat lainnya.[35] Pada permulaan abad ke-17, penduduk asli Taiwan menghadapi perubahan kebudayaan yang besar karena pulau tersebut dimasukkan dalam perluasan ekonomi global oleh pergantian rezim-rezim kolonial yang bersaing dari Eropa dan Asia.[36][37] Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok pribumi menolak pengaruh kolonial, namun beberapa orang bersedia untuk bersekutu dengan penguasa-penguasa kolonial. Peristiwa tersebut membuat seseorang atau sebuah kelompok mengalami peningkatan ekonomi, kekuasaan kolektif terhadap desa-desa tetangga atau kebebasan dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak diinginkan dan hal-hal tabu terkait pernikahan, peralihan zaman dan kelahiran anak.[38][39]

Sebagian Penduduk Asli Dataran Rendah, sesuai dengan dekret "proyek sipilisasi" pada setiap pergantian rezim, penduduk asli menemukan diri mereka sendiri dalam kontak yang lebih besar dengan budaya-budaya luar. Proses akulturasi dan asminilasi terkadang disusul secara bertahap dalam membangun keadaan sosial, sebagian menghapus kebiasaan-kebiasaan etnis (seperti ikat kaki, gaya makan dan berbusana), yang awalnya berbeda-beda pada setiap kelompok etnis di Taiwan.[40] Penghapusan atau penggantian kebiasaan-kebiasaan tersebut berdampak pada sebuah peralihan dari budaya "Fan" (barbar) menjadi budaya "Han" Konghucu yang dominan.[41] Pada periode Jepang dan KMT mensentralisasi kebijakan-kebijakan pemerintah modernis yang disentralisasi, yang berakar dari gagasan-gagasan Darwinisme Sosial dan kulturalisme, mengarahkan pendidikan, kebiasaan genealogi dan tradisi lainnya menuju asimilasi etnis.[42][43] Perubahan etnis pada suku Gaoshan, yang kurang menjalin kontak dengan dunia luar karena sulitnya mengakses wilayah mereka, lebih dihasilkan dari asmilatif yang disentralisasi mketimbang prubahan sosial secara bertahap. Selain itu, budaya dan bahasa dari sebagian besar suku yang diakui masih terpinggirkan pada saat ini. budaya multi-budaya berkontribusi terhadap kebanggaan etnis dalam komunitas tersebut.

Pada komunitas Han Hoklo Taiwan sendiri, perbedaan-perbedaan dalam budaya menandakan tingkat percampuran dengan penduduk asli dilakukan, dengan sebagian besar Han Hoklo murni di Taiwan Utara hampir tidak bercampur dengan Penduduk asli, yang terbatas pada Han Hoklo di Taiwan Selatan.[44] Penduduk asli dataran rendah yang berasimilasi dalam penduduk Han Hoklo pada tahap yang berbeda dibedakan oleh sejarawan Melissa J. Brown ntara "jangka pendek" dan "jangka panjang".[45] Identitas etnis dari Penduduk Asli Dataran Rendah di sekitaran Tainan masih terlacak semenjak seorang gadis Hoklo Taiwan murni diminta oleh ibunya untuk tinggal jauh dari keluarga mereka.[46] Sebutan ejekan "fan" digunakan terhadap Penduduk Asli Dataran Rendah oleh orang Taiwan, dan gaya bicara Hoklo Taiwan memaksa Penduduk Asli seperti Pazeh.[47] Hoklo Taiwan menggantikan Pazeh dan membuatnya hampir mendekati kepunahan.[48] Aboriginal status has been requested by Plains Aboriginals.[49]

Bentuk asimilasi saat ini

sunting

Beberapa bentuk asimilasi masih terjadi saat ini. Contohnya, saat otoritas pusan menasionalisasi satu bahasa, dalam rangka meningkatkan pengaruh ekonomi dan sosial terhadap bahasa tersebut. Seperti halnya generasi-generasi pada masa lampau, penggunaan bahasa asli sering kali menyusut atau menjadi punah, demikian pula identitas budaya dan linguistik. Namun, beberapa kelompok berjuang membangkitkan identitas asli mereka.[50] Salah satu aspek politik pentingnya adalah membuat petisi kepada pemerintah untuk memberikan pengakuan resmi kepada pemerintah agar mereka diakui sebagai suku yang berbeda dan terpisah.

Kompleksitas dan cangkupan asimilasi dan akulturasi penduduk asli di Taiwan terbagi dalam tiga perubahan utama etnis Taiwan. Yang tertua terjadi saat migrasi Han dari Fujian dan Guangdong pada abad ke-17 yang membuat Penduduk Asli Dataran Rendah terpinggirkan ke wilayah pegunungan, dimana mereka menjadi suku-suku Dataran Tinggi pada masa sekarang.[51] Pandangan paling terkini menyatakan bahwa akibat merebaknya pernikahan silang antara Han dan penduduk asli antara abad ke-17 dan ke-19, para penduduk asli secara menyeluruh diSinikisasikan.[52][53] Pada akhirnya, pembelajaran etnografi dan atropologi modern menunjukan susunan peralihan kebudayaan yang secara tumpang tindih dialami oleh Han dan Penduduk Asli Dataran Rendah, yang menghasilkan budaya hibrida. Pada masa sekarang, orang-orang beretnis Han di Taiwan menerapkan kebudayaan utama yang berbeda dari Han di tempat lain.[54][55]

Pada komunitas Han Hoklo Taiwan sendiri, perbedaan budaya menandai tingkat terjadi percampuran dengan penduduk asli, meskipun sebagian besar Hoklo Han di Utara Taiwan hampir tidak memiliki darah penduduk asli, yang terbatas pada Hoklo Han di Selatan Taiwan.[56] Penduduk asli dataran rendah yang bercampur dan berasimilasi dengan populasi Hoklo Han pada tahap-tahap berbeda yang dibedakan oleh sejarawan Melissa J. Brown antara "jangka panjang" dan "jangka pendek".[57]

Marga dan identitas

sunting

Beberapa faktor menyebabkan asimilasi Penduduk Asli Dataran Rendah.[58] Mengambil sebuah nama Han adalah sebuah langkah maju dalam pengambilan nilai-nilai Konghucu dalam masyarakat penduduk asli.[59] Nilai-nilai Konghucu meningkatkan pengakuan sebagai warga negara penuh dan untuk beroperasi pada negara Konghucu Qing.[60] Sebuah marga dalam masyarakat Han dipandang sebagai penanda pengedahan paling penting dari hubungan leluhur garis ayah pada Kaisar Kuning (Huang Di) dan Lima Kaisar dari mitologi Han.[61] Selain itu, kedudukan dari sebuah marga Han memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan bagi penduduk asli, meskipun sebelumnya memiliki identitas non-Han atau berdarah campuran. Dalam beberapa kasus, para anggota Penduduk Asli Dataran Rendah mengadopsi marga Han Pan (潘) sebagai sebuah modifikasi dari status rancangan mereka sebagai Fan (番: "orang barbar").[62] Sebuah keluarga Pazeh menjadi anggota dari penduduk lokal[63][64] diselesaikan dengan garis keturunan pada provinsi Fujian. Pada kasus lainnya, keluarga penduduk asli dataran rendah mengadopsi marga Han umum, namun garis keturunan leluhur terawal mereka berasal dari wilayah Taiwan.

Dalam beberapa kasus, sekelompok besar imigran Han disatukan di bawah sebuah marga umum untuk membentuk sebuah persaudaraan. Persaudaraan tersebut digunakan sebagai sebuah bentuk pertahanan, karena setiap saudara yang diangkat terikat pada keterikatan darah untuk membantu seorang saudara yang membutuhkan. Kelompok-kelompok persaudaraan tersebut menghubungkan nama-nama mereka pada sebuah pohon keluarga, dalam esensi membangun sebuah silsilah yang berdasarkan pada nama ketimbang darah, dan menempatkan organisasi-organisasi kekerabatan yang umumnya ditemukan di Tiongkok. Praktik tersebut sangat merebak pada buku-buku keluarga saat ini yang sebagian besar tidak bisa diandalkan.[60][65] Beberapa Penduduk Asli Dataran Rendah bergabung dengan persaudaraan-persaudaraan tersebut untuk mendapatkan perlindungan kolektif sebagai jenis kebijakan asuransi melawan perselisihan regional, dan melalui kelompok-kelompok tersebut, mereka mendapatkan identitas Han dengan garis keturunan Han.

Tingkat salah satu kelompok tersebut dengan kelompok lainnya tidak jelas. Preferensi untuk satu eksplanasi terhadap kelompok lainnya terkadang dipredikatkan atas dasar sebuah sudut pandang politik yang diberikan. Efek kumulatif dari perubahan tersebut terjadi pada permulaan abad ke-20 dimana para Penduduk Asli Dataran Rendah hampir secara menyeluruh terakulturasi dalam kelompok etnis Han yang lebih besar, dan hampir mengalami peralihan bahasa total dari rumpun bahasa Formosa mereka masing-masing ke Tionghoa. Selain itu, batasan hukum untuk penggunaan marga tradisional dan juga batasan kebudayaan masih terjadi sampai saat ini. Para penduduk asli tidak diijinkan untuk menggunakan nama-nama tradisional mereka pada kartu-kartu identitas resmi sampai 1995 ketika sebuah larangan tentang penggunaan nama-nama penduduk asli yang berasal dari tahun 1946 akhirnya diangkat.[66] Salah satu rintangannya adalah pendaftaran rumah tangga hanya memperbolehkan maksimum 15 karakter untuk nama-nama pribadi. Namun, nama-nama penduduk asli masih secara fonetik diterjemahkan dalam karakter Tionghoa, dan beberapa nama masih memiliki jumlah karakter lebih dari itu.[67]

Sejarah penduduk asli

sunting
 
Seorang anak dan wanita Penduduk Asli Dataran Rendah karya Paul Ibis, 1877
 
Seorang pria muda Māori dari Selandia Baru (Aotearoa) ditampilkan dalam kelompok kapa haka. Suku bangsa Austronesia berasal dari Taiwan[68] yang bermigrasi ke Asia Tenggara, Oseania (Polinesia), Afrika (Madagaskar) dan yang paling jauh Amerika Selatan.[69][70][71]

Penduduk asli Taiwan adalah suku bangsa Austronesia, dengan hubungan linguistik dan genetik dengan kelompok etnis Austronesia lainnya, seperti bangsa Filipina, Malaysia, Indonesia, Madagaskar dan Oseania.[72][73] Peralatan pemecah batu yang berawal dari awal 15,000 tahun yang lalu menunjukan bahwa pemukiman manusia awal dari Taiwan adalah budaya Paleolitikum pada zaman Pleistosen. Suku bangsa tersebut bertahan hidup dengan memakan kehidupan laut. Bukti-bukti arkeologi menunjukan perubahan pada zaman Neolitikum yang terjadi pada sekitar 6,000 tahun yang lalu, dengan kemajuan pertanian, peternakan, pengolahan batu dan tembikar. Alat pemotong baru diproduksi massal di Penghu dan pulau-pulau sekitarnya, yang terbuat dari bebatuan vulkanik yang ditemukan di sana. Bukti sejarah tersebut menunjukkan lalu lintas laut yang padat terjadi di antara Taiwan dan pulau-pulau tersebut pada masa tersebut.[74]

Sejarah penduduk asli di Taiwan mulai tercatat pada sekitar abad ke-17, dan sering kali didominasik oleh pandangan dan kebijakan penguasa asing dan non-penduduk asli. Bermula dengan kedatangan para pedagang Belanda pada 1624, wilayah-wilayah tradisional penduduk asli berhasil dijajah oleh penguasa Belanda, Spanyol, Ming, Qing, Jepang, dan Nasionalis Tiongkok. Setiap pusat kebudayaan "pensipilisasian" suksesif tersebut terlibat dalam konflik kekerasan dan interaksi ekonomi damai dengan kelompok suku Dataran Rendah dan Dataran Tinggi. Dengan berbagai tingkatan, mereka mempengaruhi atau mengubah budaya dan bahasa penduduk asli.

Empat abad masa kekuasaan non-penduduk asli diwarnai beberapa periode peralihan penguasa yang memerintah dan perubahan kebijakan resmi terhadap penduduk asli. Dari abad ke-17 sampai awal abad ke-20, dampak para pemukim asing—Belanda, Spanyol dan Han—menjadi lebih menonjol pada suku-suku Dataran Rendah. Penguasa Han jauh lebih dapat diakses secara geografi, dan lebih disepakati dengan para penguasa asing. Pada permulaaan abad ke-20, suku-suku Dataran Rendah secara garis besar berasimilasi dengan budaya Taiwan kontemporer sebagai akibat dari kekuasaan kolonial Eropa dan Han. Sampai paruh akhir era kolonial Jepang, suku-suku Dataran Tinggi secara keseluruhan masih tidak tersentuh oleh kelompok non-suku manapun. Namun, pertengahan 1930-an menandai peralihan dalam dinamika antar-budaya, karena Jepang mulai memainkan peran yang jauh lebih dominan dalam budaya suku-suku Dataran Tinggi. Peristiwa tersebut meningkatkan tingkat kendali atas suku-suku Dataran Tinggi yang berlanjut pada masa pemerintahan Kuomintang. Pada dua era utama tersebut, terdapat beberapa perbedaan dalam dampak individual dan regional dari para penjajah dan "proyek-proyek pensipilisasian" mereka. Pada masa para penguasa asing datang, beberapa suku mengadopsi gaya berbusana dan praktik kebudayaan asing (Harrison 2003), dan mengadakan kerjasama dagang terhadap barang-barang seperti kamper, kulit rusa, gula, teh dan beras.[75] Sejumlah perubahan lainnya dari dunia luar dilakukan secara paksa.

Sebagian besar informasi sejarah tentang penduduk asli Taiwan dikumpulkan oleh rezim-rezim tersebut dalam bentuk laporan-laporan administratif dan catatan-cata sebagai bagian dari proyek "pensipilisasian" besar-besaran. Pengumpulan informasi tersebut membantu konsolodasi kontrol administratif.

Penduduk asli dataran rendah

sunting

Orang pribumi tanah datar sebagian besar tinggal di tempat desa sedenter yang dikelilingi dengan tembok pertahanan bambu. Desa-desa di Taiwan selatan lebih banyak didiami daripada lokasi lain. Beberapa desa mendukung penduduk sebanyak 1.500 orang, yang dikelilingi dengan desa-desa satelit yang lebih kecil.[76] Desa-des Siraya misalkan dibangun tempat tinggal yang terbuat dari lalang dan bambu, dan berada pada ketinggian 2 meter dari atas tanah pada tiang-tiang, dengan masing-masing rumah tangga mempunyai gudang untuk hewan ternak. Menara pengawasan ditempatkan di desa untuk bisa mengawasi keluar dan memberikan peringatan jika ada kelompok pengayau datang dari suku-suku pegunungan. Mereka mempunyai konsep kepemilikan komunal, dengan rangkaian lingkaran konsentris sekitar masing-masing desa. Lingkaran paling dalam dipakai sebagai tempat berkebun dan menanam buah-buahan yang disusul dengan lingkaran tanah kosong di sekeliling ini. Lingkaran kedua dipergunakan untuk menanam tanaman sayur-sayuran dan bahan untuk penggunaan eksklusif suku. Lingkaran ketiga dipakai hanya untuk berburu dan merupakan ruang rusa bagi penggunaan suku. Konsep administrasi perdesaan tanah datar dimasukkan secara menonjol dalam kepemerintahan Qing Taiwan kelak. Suku tanah datar memburu rusa berbintik-bintik dan muntjak, namun mereka juga bercocok tani tanaman millet. Gula dan padi ditanam juga, tetapi kebanyakan untuk dibuat minuman beralkohol.[77]

Banyak suku tanah datar merupakan masyarakat matrilineal. Laki-laki menikah ke dalam keluarga seorang wanita setelah masa pra-pernikahan di mana wanita bebas menolak sejumlah laki-laki semau si wanita. Sampai kedatangan Gereja Reformasi Belanda, pasangan menikah jika mereka sudah menginjak usia 30-an dan sudah tidak mampu mengerjakan pekerjaan berat lagi.[78] Hampir semua suku di Taiwan memiliki pembagian jenis pekerjaan menurut jenis kelamin. Wanita melakukan pekerjaan jahit-menjahit, masakan dan bertani, sedangkan laki-laki memburu dan mempersiapkan diri untuk mengayau. Laporan awal bangsa Eropa sering menyebutkan kaum pria malas, namun mereka tidak mempertimbangkan keuntungan pembagian kerja ini. Kaum wanita sering ditemukan memegang jabatan sebagai Pendeta atau yang memiliki hak berhubungan dengan Dewata dan dunia supranatural.

Selama berabad-abad, penduduk asli Taiwan mengalami persaingan ekonomi dan konflik militer dengan serangkaian bangsa penjajah. Kebijakan pemerintah yang tersentralisasi dirancang untuk mengedepankan peralihan bahasa dan asimilasi budaya, serta kontak berkelanjutan dengan para penjajah melalui perdagangan, pernikahan silang dan proses persilangan budaya lainnya, yang menghasilkan beragam tingkat kematian bahasa dan hilangnya identitas kebudayaan asli. Contohnya, sekitar 26 bahasa yang diketahui dari penduduk asli Taiwan (yang secara kolektif disebut sebagai rumpun bahasa Formosa, sekitar sepuluh bahasa diantaranya adalah bahasa punah, lima bahasa hampir mati[79] dan beberapa bahasa terancam. Bahasa-bahasa tersebut merupakan signifikansi sejarah yang unik, sejak sebagian besar linguis sejarah menganggap Taiwan sebagai tempat asal keluarga bahasa Austronesia.[80]

Periode Eropa (1623–1662)

sunting

Di bawah kekuasaan Belanda

sunting
 
Paragraf pembuka Injil Matius dalam format paralel dwi-bahasa, dari paruh pertama abad ke-17, dalam bahasa Belanda dan Sinckan. Ortografi tersebut merupakan sebuah pelopor dari penulisan Sinckan, sebuah jenis kontrak tanah yang ditulis oleh penduduk asli dataran rendah suku Sinkan antara paruh akhir abad ke-17 dan paruh pertama abad ke-19. (Campbell & Gravius (1888). The Gospel of St. Matthew in Formosan)

Pada periode Eropa (1623–1662), para prajurit dan pedagang mewakili Perusahaan Hindia Timur Belanda membuat sebuah koloni di barat daya Taiwan (1624–1662) yang sekarang dekat Kota Tainan. Koloni tersebut mendirikan sebuah pangkalan Asia untuk perdagangan triangular antara perusahaan tersebut, Dinasti Qing dan Jepang, dengan harapan bersaing dengan aliansi dagang Portugis dan Spanyol. Spanyol juga mendirikan sebuah koloni di utara Taiwan (1626–1642) yang sekarang berada di Keelung. Namun, pengaruh Spanyol mengalir hampir dari awal, sehingga pada akhir 1630-an, mereka me arjm sebagian besar pasukan mereka.[81] Setelah mereka diusir dari Taiwan oleh sebuah padukan kombinasi penduduk asli dan Belanda pada 1642, Spanyol "memiliki dampak kecil bagi sejarah Taiwan".[82] Pengaruh Belanda jauh lebih menonjol: menyebar ke barat daya dan utara pulau tersebut, mereka mengeluarkan sistem pajak dan mendirikan sekolah-sekolah dan gereja-gereja di beberapa desa.

Saat Belanda datang pada 1624 di Pelabuhan Tayouan (Anping), para perwakilan yang memakai bahasa Siraya dari dekat desa Saccam kemudian mendatangi benteng Belanda untuk melakukan barter dan perdagangan; sebuah peristiwa yang sangat disambut oleh Belanda. Namun, desa-desa Sirayan terbagi dalam faksi-faksi yang berperang: desa Sinckan (Sinshih) berperang dengan Mattau (Madou) dan sekutunya Baccluan, sementara desa Soulang yang berada pada posisi netral merasa tidak tenang. Pada 1629, sekelompok serdado Belanda yang mencari para pembajak Gan dibantai oleh para prajurit dari Mattau, dan kemenangan tersebut membuat desa-desa lainnya memberontak.[83] Pada 1635, dengan bala bantuan yang datang dari Batavia (sekarang Jakarta, Indonesia), Belanda menyerang dan membakar Mattau. Sejak Mattau menjadi desa paling berkuasa di wilayah tersebut, kemenangan tersebut memberikan tawaran perdamaian dari des-desa terdekat lainnya, beberapa di antara mereka berasal dari luar wilayah Siraya. Peristiwa tersebut menjadi permulaan konsolidasi Belanda atas sebagian besar wilayah Taiwan, yang mengakhiri peperangan antar-desa yang terjadi selama berabad-abad.[84] Periode dama yang baru membuat Belanda leluasa untuk membangun sekolah-sekolah dan gereja-gereja dalam rangka mengakulturasi dan mengkonversi penduduk asli.[85][86] Sekolah-sekolah Belanda mengajarkan abjad yang diromanisasikan (penulisan Sinckan), yang mentranskripsikan bahasa Siraya. Abjad tersebut menjadi umum digunakan pada abad ke-18.[87] Saat ini, fragmen-fragmen yang selamat hanya dalam bentuk dokumen-dokumen dan ukiran-ukiran prasasti batu. Sekolah-sekolah juga digunakan untuk membentuk aliansi dan wilayah penduduk asli terbuka untuk kegiatan wirausaha dan komersial Belanda.

Belanda kemudian tergiur dengan perdagangan kulit dan daging rusa di pasar Asia Timur[88] dan mengajak Penduduk Asli Dataran Rendah untuk diajari cara menguliti hewan. Perdagangan rusa membuat desa-desa penduduk asli disoroti oleh para pedagang Han awal, namun pada awal 1642, permintaan rusa yang besar membuat harga rusa menjadi anjlok. Penurunan harga tersebut mengurangi kemakmuran suku-suku penduduk asli,[89] yang memaksa beberapa penduduk asli bercocok tanam untuk menanggulangi dampak ekonomi yang menghilangkan sebagian besar sumber makanan mereka.

 
Para penduduk asli Taiwan yang digambarkan pada Gedenkwaerdig bedryf karya Olfert Dapper (1670)

Karena Belanda mulai menguasai desa-desa penduduk asli di selatan dan barat Taiwan, jumlah imigran Han pengeksploitasi lahan yang kaya dan subur meningkat. Belanda awalnya membiarkannya, karena orang-orang Han terampil dalam agribudaya dan perburuan berskala besar. Beberapa orang Han bermukim di desa-desa Siraya. Belanda menggunakan para agen Han untuk mengumpulkan pajak, memungut biaya perijinan berburu dan pemasukan lainnya. Kebijakan tersebut membuat masyarakat mengira "beberapa kolonis adalah Tionghoa Han namun struktur militer dan administratif-nya adalah Belanda".[90] Disamping itu, aliansi-aliansi lokal dicap sebagai etnisitas pada zaman Belanda. Contohnya, Pemberontakan Guo Huaiyi pada 1652, sebuah kebangkitan kaum petani Han, dikalahkan oleh sebuah aliansi 120 musketer Belanda dengan bantuan para loyalis Han dan 600 prajurit penduduk asli.[91]

Berbagai desa penduduk asli di wilayah terdepan memberontak melawan Belanda pada 1650-an karena penekanan seperti saat Belanda memerintahkan wanita penduduk asli untuk melakukan pelayanan seksual, menyerahkan kulit rusz, dan beras agar diberikan kepada mereka yang membuat penduduk asli di cekungan Taipei, desa Wu-lao-wan mrlakukan pemberontakan pada Desember 1652 pada saat yang sama dengan pemberontakan Tiongkok. Dua penerjemah Belanda dipenggal oleh penduduk asli Wu-lao-wan dan kemudian 30 penduduk asli dan dua orang Belanda lainnya tewas. Setelah sebuah embargo garam dan besi di Wu-lao-wan, penduduk asli terpaksa berdamai pada Februari 1653.[92]

Namun, suku-suku penduduk asli Taiwan yang sebelumnya bersekutu dengan Belanda melawan Tiongkok pada Pemberontakan Guo Huaiyi pada 1652 berbalik melawan Belanda pada Pengepungan Benteng Zeelandia dan mengalahkan pasukan Tiongkok yang dipimpin Koxinga.[93] Penduduk asli (Formosa) dari Sincan mengalahkan Koxinga setelah ia menawarkan mereka amnesti; penduduk asli Sincan kemudian bekerja untuk Tiongkok dan memegang orang Belanda dalam penghukuman mati saat pendidik asli di dataran tinggi dan dataran rendha juga menyerah dan melindungi Tiongkok pada 17 Mei 1661, merayakan kebebasan mereka dari pendidikan wajib di bawah kekuasaan Belanda dengan berburu orang Belanda dan memenggal mereka dan membuang buku-buku teks sekolah Kristen mereka.[94]

Periode Belanda berakhir pada 1662 saat pasukan loyalis Ming dari Zheng Chenggong (Koxinga) mendepak Belanda dan mendirikan kerajaan keluarga Zheng yang berusia pendek di Taiwan. Keluarga Zheng membawa 70,000 prajurit ke Taiwan dan mulai memnyelesaikan traktat-traktat lahan untuk mendukung pasukan mereka. Disamping bertarung dengan Kekaisaran Qing sebelum pendudukan, keluarga Zheng berfokus untuk menyejahterakan penduduk asli di Taiwan. Keluarga Zheng membangun aliansi, mengumpulkan pajak dan mendirikan sekolah-sekolah penduduk asli, dimana pendidik asli Taiwan pertama kali diperkenalkan dengan Konghucu Klasik dan penulisan Tionghoa.[95] Namun, pengaruh bangsa Belanda sangat mendarah-daging di antara masyarakat pribumi Taiwan. Pada abad ke-19 dan ke-20, para penjelajah bangsa Eropa menulis bahwa mereka disambut sebagai kerabat oleh orang pribumi yang mengira mereka adalah orang Belanda yang telah berjanji untuk kembali.[96]

Penguasaan Qing (1683–1895)

sunting
 
Sebuah foto sekelompok pemburu penduduk asli dengan Anjing Pegunungan Formosa mereka di Ba̍k-sa, karya John Thomson, 1871: "A Native Hunting Party Baksa Formosa 1871" 木柵原住民的狩獵祭典.

Setelah pemerintah Qing mengalahkan pasukan loyalis Ming yang meliputi keluarga Zheng pada 1683, sebagian Taiwan menjadi makin terintegrasi dalam Kekaisaran Qing.[97] Pasukan Qing menguasai wilayah barat yang sangat berpenduduk di Taiwan selama lebih dari dua abad, sampai 1895. Era tersebut dikarakteristikan dengan peningkatan jumlah Tionghoa Han di Taiwan, yang menimbulkan keteganggan sosial, peralihan hak milik (dalam berbagai arti) sebagian besar lahan dari penduduk asli ke Han, dan akulturasi yang hampir bulat terhadap Penduduk Asli Dataran Rendah ke kebiasaan Han Taiwan.

Selama dua abad pemerintahan Dinasti Qing di Taiwan, populasi Han di pulau tersebut meningkat secara dramatis. Namun, tidak jelas apakah terjadi karena membludaknya pemukim Han, yang umumnya terdiri dari pria muda dari Zhangzhou dan Quanzhou di provinsi Fujian,[98] atau dari berbagai faktor lainnya, yang meliputi: pernikahan silang berkelanjutan antara Han dan pendidik asli, perombakan rumah tangga dan penghapusan aborsi, dan merebaknya adopsi gaya hidup pertanian Han karena menurunnya harga kebutuhan tradisional, yang berujung pada meningkatnya tingkat kelahiran dan pertumbuhan penduduk. Selain itu, akulturasi penduduk asli meningkat seiring meningkatnya pendatang Han.

Pemerintah Qing tak hanya secara resmi mengendalikan pemukiman Han, namun juga mengurusi ketegangan antara berbagai wilayah dan kelompok etnis. Selain itu, pemerintahan tersebut sering kali mengakui klaim suku-suku dataran rendah untuk teritorial tradisional dan lahan rusa.[99][100] Otoritas Qing berharap daoat memasukkan suku-suku dataran rendah dalam subyek-subyek loyal, dan mengadopsi pajak kepala dan corvée terhadap penduduk asli, yang membuat penduduk asli dataran rendah secara langsung bertuga untuk pembayaran kepada pemerintah yamen. Perhatian yang dibayarkan oleh otoritas Qing kepada hak tanah penduduk asli merupakan bagian dari tujuan administratif yang lebih besar untuk meningkatkan perdamaian pada ketegangan Taiwan, yang sering kali menimbulkan konflik etnis dan regional.[101] Pemberontakan, kerusuhan dan penyerangan sipil berkelanjutan di Taiwan pada masa Dinasti Qing sering kali dituangkan dalam kalimat "setiap tiga tahun kebangkitan; setiap lima tahun pemberontakan".[102] Keikutsertaan penduduk asli dalam sejumlah pemberontakan besar pada era Qing, termasuk pemberontakan Ta-Chia-hsi yang dipimpin Taokas pada 1731–1732, menandakan suku-suku dataran rendah masih menjadi faktor berpengaruh dalam pembuatan kebijakan pemerintah Qing sampai akhir kekuasaan Qing pada 1895.[103]

Perjuangan atas sumber daya lahan adalah salah satu sumber konflik. Wilayah dataran rendah barat merupakan subyek perebutan lahan besar yang disebut Huan Da Zu (番大租—artinya, "Perebutan Besar Barbar"), sebuah kejadian yang masih ada sampai zaman penjajahan Jepang. Sebagian besar besar lahan rusa, yang dinaungi oleh Qing, dimiliki oleh suku-suku dan para anggota individual mereka. Suku-suku umumnya menawarkan para petani Han sebuah hak milik permanen untuk digunakan, meskipun mengutamakan kepemilikan anak tanah (田骨), yang disebut "dua juragan dari sebuah lahan" (一田兩主). Suku-suku dataran rendah sering kali mencurangi hak atas tanah dan menjualnya dengan harga yang tidak sepadan. Beberapa subgrup yang tak senang berpindah ke tengah atau timur Taiwan, namun sebagian besar masih berada di lokasi lama mereka dan berakulturasi atau berasimiliasi dalam masyarakat Han.[104]

Penduduk asli sering kali menyerang para kru kapal tenggelam dari kapal-kapal barat. Pada 1867, seluruh kru Amerika Rover dibantai oleh para penduduk asli dalam insiden Rover.[105] Saat pasukan Amerika meluncurkan Ekspedisi Formosa untuk pemulihan, para penduduk asli mengalahkan pasukan Amerika dan memaksa mereka pergi, dengan membunuh seorang marinir Amerika meskipun tidak ada korban dari pihak mereka sendiri.[106][107]

Dalam Insiden Mudan (1871), penduduk asli menyerang 54 pelaut Ryūkyū yang berujuk pada invasi Jepang ke Taiwan (1874) melawan penduduk asli.[108][109][110]

Pada Perang Tiongkok-Prancis, Prancis berupaya untuk melakukan invasi ke Taiwan saat Kampanye Keelung. Liu Mingchuan, yang memimpin pertahanan Taiwan, mengajak para penduduk asli untuk bekerja sama dengan prajurit Tiongkok dalam pertarungan melawan Prancis. Prancis dikalahkan pada Pertempuran Tamsui dan pasukan Qing mendepak pasukan Prancis dari Keelung dalam kampanye delapan bulan sebelum pasukan Prancis mundur.

Suku-suku dataran tinggi

sunting
 
Seorang wanita Bunun dan anaknya yang digendong menggunakan sejenis selendang di desa Lona, kabupaten Nantou, Taiwan.

Sedikit yang diketahui mengenai keadaan para suku pribumi Taiwan dari dataran tinggi sebelum mereka dikunjungi oleh para penjelajah dan misionaris dari Eropa dan Amerika pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.[111][112] Kekurangan data ini terutama diakibatkan oleh karantina Qing atas daerah di sebelah timur garis yang tidak boleh didatangi.

Kontak antara kaum Han dan para suku yang tinggal di pegunungan biasanya ialah karena mereka mencari kapur Barus, sebuah zat kimia yang diambil dari pohon kapur Barus yang dipakai sebagai bahan obat-obatan. Pertemuan antara mereka biasanya berakhir dengan dipenggalnya kepala sang Han. Para anggota suku tanah datar sering kali dipakai sebagai penterjemah untuk berdagang antara para pedagang Han dan para anggota suku-suku tanah tinggi. Para suku pribumi ini berdagang kain, kulit, dan daging. Bahan-bahan ini dibarter besi dan senapan. Besi sebagai bahan dasar dipakai untuk membuat parang-parang untuk berburu dan mengayau para musuh.

 
Seorang gadis suku Atayal dengan tato di wajahnya sebagai lambang kedewasaan, yang dilakukan oleh pria dan wanita. Adat itu dilarang semasa pemerintahan Jepang.

Penelitian lapangan pertama mengenai budaya para suku tanah tinggi dipelopori pada tahun 1897 oleh seorang ahli antropologi Jepang Ino Kanori, yang kemudian hari bergabung dengan kawannya Torii Ryuzo. Karya yang diterbitkan oleh kedua pria ini merintis ilmu antropologi modern Taiwan. Ino beragumentasi untuk mendukung hak-hak kaum pribumi Taiwan dan berpendapat bahwa akal budi mereka tidaklah lebih rendah, bertentangan dengan sumber-sumber Tionghoa, meski Ino juga menulis bahwa mereka lebih mudah diatur di bawah sebuah kekuasaan kolonial. Penelitian awal oleh para pakar Jepang ini menghasilkan penciptaan delapan suku Taiwan, Atayal, Bunun, Saisiat, Tsou, Paiwan, Puyuma, Ami dan, Pepo (tanah datar). Penemuan mereka diterima oleh Gubernur Jepang, Kodama. Penelitian pada masa depan menemukan kesalahan pada klasifikasi mereka sebab Atayal berarti ‘saya’ dan Yami ternyata menyebut diri mereka sendiri ‘Tao’, seperti ‘yami’ dalam bahasa Tao artinya adalah “kita/kami”. Kemudian suku Paiwan disebut Ruval dan Batsul, sebuah istilah yang juga digunakan bagi kaum Rukai. Kemudian Puyuma dinamakan menurut kota Beinan dan bukan nama suku yang sebenarnya. Meski kaum Pepo juga dikenali, mereka tidak dilindungi, sementara Pong So No Daoo (Pulau Anggrek (Orchid Island) atau Lanyu), tempat asal Tao, ditutup secara hermetis dari dunia luar sampai tahun 1930-an, dan hanya boleh dimasuki oleh para ilmuwan dan ahli antropologi.

Hanya sedikit hal yang berubah bagi para suku tanah tinggi ini sampai masa pendudukan Jepang pada tahun 1895. Ketika orang-orang Jepang sampai di Taiwan, mereka memiliki rencana-rencana muluk-muluk untuk mengubah Taiwan menjadi jajahan teladan, sebuah model bagi ambisi-ambisi colonial lainnya pada masa depan. Demi mengeploatasi kekayaan alam, orang-orang Jepang harus mengkategorisasikan para penduduk pribumi dan membatasi mereka pada daerah-daerah reservasi. Kaum-kaum pribumi dibatasi dari pergaulan dengan masyarakat umum yang hidup di tanah datar dan dipaksa untuk memakai pakaian tradisional mereka supaya membatasi klaim-klaim teritorial mereka. Kampanye-kampanye awal untuk menundukkan kaum pribumi biasanya sangat kejam dengan suku Taroko yang menderita pengeboman terus menerus dari kapal-kapal perang dan pesawat terbang yang menjatuhkan gas mustard. Mulai tahun 1910, pemerintahan Jepang berusaha memberikan kaum pribumi sebuah identitas Jepang. Mereka membangun sekolah-sekolah di desa-desa di pegunungan yang dijaga oleh pejabat kepolisian/kepala sekolah. Sekolah-sekolah ini mengajari matematika, etika, bahasa Jepang, dan pelajaran praktik. Atribut administratif suku pribumi ini menjadi sesuatu hal yang diwariskan di bawah pemerintahan Jepang dan membuat hubungan kebudayaan Taiwan semakin kabur dan rumit.

Mendekati tahun 1940, 71% dari anak-anak kaum pribumi Taiwan duduk di bangku sekolah dan kebudayaan Jepang mengganti kebudayaan pribumi. Istilah 'Takasago zoku' (高沙族, "ras Formosa") juga mengubah istilah 'hoan-á' (番仔, orang liar/barbar) sebagai nama untuk menyebut mereka. Pemerintahan Jepang telah menginvestasi banyak waktu dan uang untuk menghilangkan beberapa tradisi yang mereka anggap kurang baik seperti tattoo, pembunuhan anak-anak, dan pengayauan.

Pengayauan

sunting

Para anggota suku-suku tanah tinggi terkenal akan kemampuan dalam pengayauan, yang sering kali dipandang sebagai liar dan tak beradab. Mereka yang menolak fenomena ini mengatakannya tanpa melihat fungsinya dalam konteks sosialnya di dalam beberapa masyarakat di Taiwan.

Di Taiwan, pengayauan dianggap merupakan simbol keberanian dan kejantanan. Hampir semua suku pribumi, kecuali Yami (Tao) melakukannya. Seringkali kepala-kepala yang telah dipenggal diundang sebagai anggota suku untuk menjaga dan melindungi mereka. Para penghuni dan penduduk Taiwan menerima peraturan pengayauan sebagai risiko kehidupan persukuan yang telah diperhitungkan. Kepala-kepala yang telah dipenggal direbus dan dikeringkan, sering kali bergantungan dari pohon atau rak-rak kepala. Sebuah kelompok yang pulang membawa sebuah kepala diterima dengan meriah karena hal ini dianggap akan membawa keberuntungan.

Suku Bunun sering kali akan mengambil tawanan dan menuliskan doa-doa atau pesan pada para sahabat dan sanak saudara yang telah meninggal dunia pada panah-panah mereka. Lalu panah-panah mereka tembakkan pada tawanan mereka dengan harapan doa mereka akan dibawakan kepada kenalan mereka di dunia baka. Para pendatang Han sering kali merupakan korban serangan pengayauan karena mereka diangkap pembohong dan musuh oleh para suku pribumi. Sebuah serangan pengayauan biasanya terjadi di ladang atau dengan membakar sebuah rumah dan memenggal semua penghuninya ketika mereka melarikan diri. Selain itu juga dianggap kebiasaan untuk memelihara anak-anak korban pengayauan mereka sebagai anggota penuh suku mereka. Suku-suku terakhir yang melakukan pengayauan adalah Paiwan, Bunun, dan Atayal. Pemerintahan Jepang mengakhiri praktik ini pada tahun 1930, namun beberapa orang Taiwan yang sudah lanjut usia masih bisa mengingat kebiasan pengayauan tersebut.

Kehidupan di antara suku-suku pribumi setelah datangnya pemerintahan Jepang menjadi berubah secara drastis, karena banyak struktur-struktur tradisional mereka diganti dengan kekuasaan militer. Suku-suku pribumi yang ingin memperbaiki status sosial mereka menggunakan pendidikan sebagai sarana yang baru dan bukan pengayauan. Para anggota suku-suku pribumi yang telah belajar bekerja sama dengan orang-orang Jepang lebih pantas untuk menjadi kepala desa. Mendekati akhir Perang Dunia II, kaum pribumi yang mana ayah-ayah mereka tewas dalam kampanye pasifikasi merelakan diri untuk mati bagi sang Kaisar Jepang. Banyak kaum pribumi yang telah tua merasakan rasa identifikasi yang kuat terhadap orang Jepang dan lebih banyak atau lebih suka menggunakan bahasa Jepang daripada bahasa Mandarin.

Kaum pribumi di bawah pemerintahan kaum Nasionalis

sunting

Ketika pemerintahan Nasionalis China mendarat di Taiwan, mereka ketakutan bahwa daerah-daerah pegunungan yang dilanda kemiskinan akan menjadi basis komunisme. Partai KMT mengasosiasikan kaum pribumi Taiwan dengan pemerintahan Jepang dan mereka dianggap sebagai 'shan bao' atau penduduk gunung. Pada tahun 1946, sekolah-sekolah desa yang didirikan Jepang diubah menjadi pusat-pusat ideology KMT. Dokumen-dokumen Dinas Pendidikan menunjukkan bahwa kurikulum kala tersebut sarat dengan proganda dengan penekanan pada bahasa Mandarin, sejarah, dan kewarganegaraan. Sebuah laporan pemerintahan mengenai daerah-daerah pegunungan dari tahun 1953 menunjukkan bahwa tujuan mereka terutama mulai dari tahun ini ialah mempromosikan bahasa Mandarin demi memperkuat posisi nasional dan menciptakan tatakrama yang baik. Hal ini dimasukkan pada kebijakan 'Shandi Ping di hua' supaya membuat "daerah pegunungan menjadi lebih mirip dengan tanah datar". Kekurangannya para guru pada tahun-tahun pertama pemerintahan KMT menciptakan jurang-jurang yang dalam pada pendidikan kaum pribumi karena hanya sedikit guru-guru Tionghoa yang tinggal di Taiwan dan lebih sedikit lagi yang ingin mengajar di daerah pegunungan. Banyak pekerjaan berat mengajari kaum pribumi dilakukan oleh guru-guru yang kurang cakap namun bisa berbahasa Mandarin dan mampu mengajarkan ideologi dasar.

Pada tahun 1951 sebuah kampanye besar diluncurkan untuk mengubah adat-istiadat kaum pribumi supaya lebih mirip sukubangsa Han. Pada waktu yang sama, anggota suku-suku pribumi yang pernah bergabung dengan Tentara Dai Nippon ditugaskan untuk berperang pada peperangan yang sangat berdarah dalam mempertahankan pulau Kinmen dan Matsu, kedua pulau ini berada di bawah kekuasaan Republik Tiongkok namun posisinya paling dekat dengan daratan. Kemudian para prajurit KMT yang mengungsi dari Daratan Tiongkok sering kali menikahi wanita-wanita pribumi karena mereka berasal dari daerah-daerah miskin dan bisa lebih mudah dibeli sebagai istri. Kebijakan resmi pada identitas kaum pribumi ada pada rasio 1.1, di mana setiap pernikahan antarsuku menghasilkan seorang anak Tionghoa. Kemudian kebijakan ini diubah di mana status kesukuan sang bapak menentukan status si anak.

Medan penelitian budaya pribumi Taiwan hampir saja dihilangkan dari kurikulum pendidikan Taiwan dengan memberikan perhatian lebih khusus pada hal-hal yang lebih bernapaskan Tionghoa demi menolong memperkokoh kedudukan KMT di Taiwan. Hasilnya ialah punahnya beberapa bahasa Austronesia di Taiwan dan pengekalan rasa malu bagi mereka yang merupakan keturunan penduduk pribumi Taiwan. Hanya sedikit orang Taiwan saja yang bersedia mengemukakan bahwa mereka memiliki darah pribumi Taiwan meskipun studi-studi modern menunjukkan bahwa di Taiwan terjadi perkawinan campur dan pembauran secara luas. Pada sebuah studi tahun 1994, menunjukkan bahwa 71% dari semua keluarga Taiwan menolak gagasan jika putri mereka menikahi seorang pria pribumi Taiwan.

Semenjak pertengahan tahun 1990-an, pemerintahan Republik China sudah mengambil beberapa langkah untuk mengangkat derajat dan kesadaran kaum pribumi serta memberikan hak-hak khusus kepada mereka sebagai bagian dari gerakan lokalisasi Taiwan. Anggota suku-suku pribumi memainkan peran yang penting pada agenda pendidikan lokal dan lingkungan hidup dan pengajaran bahasa-bahasa pribumi Taiwan. Semenjak tahun 1998, kurikulum resmi pendidikan di sekolah-sekolah Taiwan sudah diganti dan sekarang lebih banyak memuat informasi mengenai kaum pribumi. Sementara itu mereka juga digambarkan lebih positif. Pemerintah Taiwan juga telah mengeluarkan banyak biaya pada museum dan pusat-pusat kebudayaan yang secara khusus memperhatikan suku-suku tanah datar dan warisan leluhur Taiwan.

Sementara itu semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa kompositas etnik warga Taiwan tidak bisa dikategorikan secara mudah begitu saja seperti pada masa dahulu. Lee Teng hui misalnya secara terkenal telah menjalani sebuah penelitian darah di mana hasil penelitian menunjukkan bahwa ia juga memiliki darah pribumi Taiwan selain juga memiliki darah Hakka dan Hokkien.

Para pendukung kemerdekaan Taiwan melihat kepentingan dalam urusan kaum pribumi sebagai sebuah langkah ke depan dalam proses pembentukan bangsa (nation building) dan ciptaan sebuah alternatif pada identitas Tionghoa. Di sisi lain para pendukung persatuan Tiongkok secara umum tidak menolak kepentingan-kepentingan kaum pribumi dan berpendapat bahwa hal ini menggaris bawahi keluasan dan keanekaragaman suku bangsa di Tiongkok dan menekankan bahwa perhatian pada bangsa-bangsa pribumi juga ada di Daratan Tiongkok sebagai bagian daripada Gerakan Xungen.

Kaum pribumi dan masyarakat modern

sunting
 
Seorang penari Bunun sebelum pertunjukan di Lona, Taiwan.

Kaum pribumi Taiwan jumlah secara relatif menurut pemerintah Taiwan hanyalah 2% dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Di sisi lain 34% dari seluruh penduduk pribumi Taiwan telah berhijrah ke kota. Pertumbuhan ekonomi di Taiwan yang pesat pada dasawarsa-dasawarsa terakhir abad ke-20 menghasilkan fenomena urbanisasi. Pekerjaan pada proyek-proyek bangunan biasanya terbuka bagi kaum-kaum pribumi yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang cukup pada tempat-tempat reservasi mereka dan dengan begitu tidak memiliki kepandaian apa-apa. Mereka dengan cepat membentuk kelompok-kelompok dengan suku-suku lain karena mereka memiliki motif-motif politik yang sama untuk melindungi kepentingan mereka bersama sebagai tenaga kerja. Orang-orang pribumi ini menjadi pekerja besi yang terampil dan tim-tim pembangun di pulau ini dan sering kali dipilih untuk mengerjakan proyek-proyek yang sulit. Hasilnya ialah eksodus besar-besaran kaum pribumi dari desa-desa tempat mereka tinggal dan alienasi para pemuda pribumi yang tidak bisa mempelajari budaya mereka jika bekerja. Seringkali, para pemuda pribumi di daerah perkotaan terjerumus menjadi anggota gang proyek bangunan. Kebudayaan-kebudayaan pribumi di Taiwan menghadapi krisis besar.

Kemudian undang-undang baru yang mengizinkan masuknya tenaga kerja asing dari Indonesia, Vietnam dan Filipina mengikis kesempatan kerja kaum pribumi lebih jauh lagi. Sementara itu kelompok-kelompok pribumi lainnya berpaling kepada sektor pariwisata supaya bisa bersaing pada ekonomi lokal. Berkat keterdekatan kaum-kaum pribumi dengan pegunungan, banyak anggota kelompok ini lalu berharap bisa mendapatkan keuntungan pada usaha-usaha pemandian air panas dan hotel-hotel di mana mereka bisa menyanyi dan menari untuk memberikan dan menambahkan nuansa. Namun para kritikus sering menyebut usaha-usaha seperti ini kurang menghormati mereka atau hanya menggaris bawahi stereotipe kaum pribumi.

 
Anak-anak penghuni desa Bunun di Lona, Taiwan, berpakaian rapi untuk perayaan Natal tradisional. Para misionaris Kristen berhasil menyebarkan agama Katolik dan Protestan di kalangan mereka. Kota menyelenggarakan dua parade besar dalam kaitan liburan ini.

Kaum pribumi di Taiwan sudah menjadi simbol mawas diri terhadap lingkungan hidup di pulau ini, karena banyak masalah-masalah yang berhubungan dengan lingkungan hidup dipelopori oleh orang-orang pribumi yang secara klasik sebelumnya merupakan korban-korban kebijakan pemerintahan.

Kasus dengan profil tertinggi adalah fasilitas tempat penimbunan sampah nuklir di pulau Anggrek (Orchid Island). Pulau Anggrek ini merupakan sebuah pulau tropis kecil 60 kilometer sebelah tenggara lepas pantai Taiwan. Penghuni pulau ini berjumlah 4.000 jiwa dan merupakan anggota suku Tao yahng telah hidup selama lebih dari 1.000 tahun di pulau ini dengan menjadi nelayan dan bercocok tanam ubi manis. Pada tahun 1970-an, pulau ini ditunjuk sebagai situs tempat penimbunan sampah nuklir dengan faktor risiko rendah dan menengah. Pulau ini, meski dihuni dipilih dengan alasan bahwa biaya untuk membangun fasilitas penimbunan sampah di sini akan menjadi lebih rendah dan penduduk setempat dianggap tidak berbuat macam-macam. Suku Tao mengklaim bahwa pejabat-pejabat KMT menawarkan mereka untuk membangun sebuah pabrik pengalengan ikan dan menolak 98.000 barel sampah nuklir yang disimpan di pulau mereka, 100 meter dari tempat penjalaan ikan Immorod. Suku Tao sejak saat itu menjadi pelopor pada gerakan anti nuklir dan meluncurkan beberapa aksi ‘eksorsisme’ dan protes untuk menyingkirkan sampah nuklir dari pulau mereka yang menurut mereka telah menghasilkan kematian dan penyakit. Penyewaan tanah di pulau tersebut sudah habis dan sebuah situs alternatif masih harus ditemukan. Komisi di kecamatan Taitung telah menawarkan diri untuk menimbun sampah di Taimali (Timmuri), di wilayah reservasi Puyuma, namun gagasan ini belum diterima oleh penduduk setempat.

Dewasa ini ada sebuah gerakan yang dilakukan oleh kaum pribumi Taiwan untuk kembali ke daerah asal mereka dan mencari-cari cara untuk tetap tinggal di tanah mereka, melestarikan budaya mereka dan bahasa-bahasa mereka sementara juga mencari uang. Pariwisata ramah lingkungan (eco tourism), menjahit, dan menjual ukiran gaya etnik, perhiasan, dan musik sudah menjadi ekonomi baru kaum pribumi. Lalu pemerintah pusat juga sudah memperbolehkan para anggota suku-suku pribumi untuk menggunakan nama-nama asli mereka menggunakan huruf Latin pada surat-surat resmi dan dengan ini menghentikan kebijakan lama yang memaksakan nama-nama Tionghoa pada mereka. Sebuah kebijakan baru juga memperbolehkan seorang anak dari pernikahan campur boleh memilih jatidiri mereka sendiri secara bebas.

Dari segi politik, kaum pribumi Taiwan cenderung memilih partai Kuomintang. Meskipun hal ini terlihat agak paradoksal melihat koalisi pan-hijau yang mempromosikan budaya pribumi, gejala pemilihan bisa dijelaskan dengan alasan ekonomi. Kaum pribumi biasanya berasal dari daerah-daerah miskin dan dengan ini tergantung pada jaringan koneksi yang telah dirintis oleh Kuomintang. Salah satu fenomena yang aneh dalam pemilihan umum di Taiwan ialah bahwa para calon legislatif koalisi pan-biru biasa menggunakan nama-nama Tionghoa sementara para caleg koalisi pan-hijau menggunakan nama-nama pribumi mereka.

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Exec. Yuan (2014), hlm. 49.
  2. ^ a b Blust (1999).
  3. ^ Hill et al. (2007).
  4. ^ Bird, Hope & Taylor (2004).
  5. ^ Zeitoun & Yu (2005), hlm. 167.
  6. ^ Hsu (1991), hlm. 95–9.
  7. ^ Anderson (2000), hlm. 283–90.
  8. ^ Harrell (1996), hlm. 5–20.
  9. ^ Teng (2004), hlm. 61–5.
  10. ^ Dalam kasus penulisan perjalanan, sastrawan Qing menggunakan kata "mentah" dan "matang" untuk mengartikan kata "tak familiar" dan "familiar", atas dasar budaya/bahasa dan interaksi dengan para pemukim Han. Teng (2004), hlm. 126–27.
  11. ^ Harrell (1996), hlm. 19.
  12. ^ Diamond (1995), hlm. 100.
  13. ^ Crossley (1999), hlm. 281–95.
  14. ^ Dikotter (1992), hlm. 8–9.
  15. ^ Teng (2004), hlm. 125–27.
  16. ^ Tai (1999), hlm. 294.
  17. ^ Harrison (2001), hlm. 54–5.
  18. ^ Harrison (2001), hlm. 60.
  19. ^ Brown (2001), hlm. 163 n6.
  20. ^ "Saisiyat people launch referendum initiative". National Affairs. April 28, 2006. Diakses tanggal August 22, 2010. [pranala nonaktif permanen]
  21. ^ Teng (2004), hlm. 104–5.
  22. ^ Tsuchida (1983), hlm. 62.
  23. ^ Li (1992), hlm. 22–3.
  24. ^ Shepherd (1993), hlm. 51–61.
  25. ^ 臺灣總督府第十五統計書 (dalam bahasa Jepang). Governor-General of Taiwan. 1913. hlm. 46. OCLC 674052936. 
  26. ^ a b Ericsson (2004).
  27. ^ a b "Gov't officially recognizes two more aboriginal tribes". The China Post. CNA. 27 Juni 2014. Diakses tanggal 13 December 2014. 
  28. ^ Lee (2003).
  29. ^ Chuang (2005).
  30. ^ Brown (2004).
  31. ^ "Kavalan become official Aboriginal group". Taipei City Government. 5 May 2005. 
  32. ^ Cheng (2007).
  33. ^ Shih & Loa (2008).
  34. ^ a b Hattaway (2003), hlm. 39, 93, 425.
  35. ^ (Liu 2002)
  36. ^ Shepherd 1993
  37. ^ Kang 2003
  38. ^ Shepherd 1995
  39. ^ Blusse & Everts 2000
  40. ^ (Brown 2004)
  41. ^ (Brown 2004)
  42. ^ (Harrison 2001)
  43. ^ (Duara 1995)
  44. ^ Brown 2004. pp. 156-7.
  45. ^ Brown 2004. p. 162.
  46. ^ Brown 2004. p. 157.
  47. ^ http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2014/06/15/2003592824
  48. ^ http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2008/06/26/2003415773
  49. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-12. Diakses tanggal 2016-08-12. 
  50. ^ (Hsieh 2006)
  51. ^ (Shepherd 1993)
  52. ^ Lamley 1981
  53. ^ Meskill 1979
  54. ^ Brown 1996
  55. ^ Brown 2004
  56. ^ Brown 2004
  57. ^ Brown 2004
  58. ^ Salah satu catatan dari "perubahan identitas" tersebut terjadi di wilayah yang disebut Rujryck oleh Belanda, sekarang bagian dari kota Taipei. Sebuah dokumen yang ditandatangani oleh para kepala desa dari tahun ketujuh era Qianlong menyatakan: "Kami awalnya tidak memiliki marga, mohon berikan kami marga-marga Han, Pan, Chen, Li, Wang, Tan, dll" (Pan 2002).
  59. ^ (Liu 2002)
  60. ^ a b Ebrey 1996
  61. ^ (Ebrey 1996)
  62. ^ Perubahan tersebut hanya melibatkan penambahan radikal air pada karakter tersebut (Shepherd 1993)
  63. ^ Pan 1996
  64. ^ Hong 1997
  65. ^ Hsu 1980
  66. ^ Low (2005) menyatakan: "Menurut sebuah dokumenter yang dirilis oleh departemen urusan etnis Partai Progresif Demokrat, meskipun para penduduk asli sekarang masih tidak boleh menggunakan nama-nama tradisional mereka setelah amendemen 1995 terhadap Undang-Undang Nama Pribadi, hanya 890 orang dari total 460,000 penduduk asli di Taiwan yang menggunakannya karena stigma masa lalu terhadap nama-nama tersebut dan terkomplikasi formalitas yang dilibatkan"
  67. ^ (Loa 2007)
  68. ^ Diamond, JM (2000). "Taiwan's gift to the world". Nature. 403 (6771): 709–710. doi:10.1038/35001685. PMID 10693781. 
  69. ^ Gunn, Bee; Luc Baudouin; Kenneth M. Olsen (2011). "Independent Origins of Cultivated Coconut (Cocos nucifera L.) in the Old World Tropics". PLoS ONE. 6 (6): e21143. doi:10.1371/journal.pone.0021143. PMC 3120816 . PMID 21731660. 
  70. ^ Van Tilburg, Jo Anne. 1994. Easter Island: Archaeology, Ecology and Culture. Washington D.C.: Smithsonian Institution Press
  71. ^ Langdon, Robert. The Bamboo Raft as a Key to the Introduction of the Sweet Potato in Prehistoric Polynesia, The Journal of Pacific History', Vol. 36, No. 1, 2001
  72. ^ Hill et al. 2007
  73. ^ Bird, Hope & Taylor 2004
  74. ^ (Rolett, Jiao & Lin 2002)
  75. ^ (Gold 1986)
  76. ^ (Kang 2003)
  77. ^ (Shepherd 1993)
  78. ^ (Shepherd 1995)
  79. ^ (Zeitoun & Yu 2005)
  80. ^ (Blust 1999)
  81. ^ (Andrade 2005)
  82. ^ (Gold 1986)
  83. ^ (Shepherd 1995)
  84. ^ (Blusse & Everts 2000)
  85. ^ Campbell 1915
  86. ^ Shepherd 1995
  87. ^ (Shepherd 1995)
  88. ^ (Shepherd 1993)
  89. ^ (Andrade 2005)
  90. ^ (Andrade 2005)
  91. ^ (Shepherd 1993)
  92. ^ Shepherd1993, p. 59.
  93. ^ Covell, Ralph R. (1998). Pentecost of the Hills in Taiwan: The Christian Faith Among the Original Inhabitants (edisi ke-illustrated). Hope Publishing House. hlm. 96–97. ISBN 0932727905. 
  94. ^ Hsin-Hui, Chiu (2008). The Colonial 'civilizing Process' in Dutch Formosa: 1624 - 1662. Volume 10 of TANAP monographs on the history of the Asian-European interaction (edisi ke-illustrated). BRILL. hlm. 222. ISBN 900416507X. 
  95. ^ (Shepherd 1993)
  96. ^ (Pickering 1898)
  97. ^ (Teng 2004)
  98. ^ (Tsao 1999)
  99. ^ Knapp 1980
  100. ^ Shepherd 1993
  101. ^ "From 1684 to 1895, 159 major incidents of civil disturbances rocked Taiwan, including 74 armed clashes and 65 uprisings led by wanderers. During the 120 years from 1768 to 1887, approximately 57 armed clashes occurred, 47 of which broke out from 1768 to 1860" (Chen 1999).
  102. ^ (Kerr 1965)
  103. ^ (Shepherd 1993)
  104. ^ (Chen 1997)
  105. ^ Japan Weekly Mail. Jappan Meru Shinbunsha. 1874. hlm. 263–. 
  106. ^ The Nation. J.H. Richards. 1889. hlm. 256–. 
  107. ^ http://www.greendragonsociety.com/Military_History/Taiwan_Formosa_page.htm http://michaelturton.blogspot.com/2010/12/rover-incident-of-1867.html http://michaelturton.blogspot.com/2010_12_01_archive.html "Search Results THE PIRATES OF FORMOSA. - Official Reports of the Engagement of The United States Naval Forces with the Savages of the Isle". The New York Times. WASHINGTON, Friday, Aug. 23. Friday, Aug. 23. 1867.  "THE PIRATES OF FORMOSA.; Official Reports of the Engagement of the United States Naval Forces with the Savages of the Isle". The New York Times. August 24, 1867. "EUROPEAN INTELLIGENCE.; Garibaldi at Sienna Preparing to March Upon Rome Rumored Resignation of Omar Pasha as Turkish Commander in Crete Adjustment of the Difficulties Between Prussia and Denmark Bombardment of the Island of Formosa by American Ships of War CHINA Conflict Between United States Ships-of-War and the Pirates of the Island of Formosa Mexican Dollars Coined During the Reigh of Maximilian Uncurrent ITALY Garibaldi at Sienna Preparing for the Attack on Rome PRUSSIA Prebable Settlement of the Difficulties Between Prussia and Denmark CANDIA Rumored Resignation of Omar Pasha as Commander of the Turkish Forces Who Case of the Ship Anna Kimball Satisfactorily Settied IRELAND Sentence of the Fenian Capt. Moriarty Marine Disaster Attitude of the French and Italian Governments Toward the Garibaldians The Mission of Gen. Dumont from a French Point of View The Interference of France in the Affairs of Schleswig JAVA The Terrible Earthquake in the Island The Approaching Visit of Francis Joseph of Austria--Movements of the Emperor Napo". The New York Times. LONDON, Tuesday, Aug. 13–Evening. August 14, 1867. "NEWS OF THE DAY.; EUROPE. GENERAL. LOCAL". The New York Times. August 24, 1867. "The American Fleet in Chinese Waters--Avenging National Insults". The New York Times. August 15, 1867. 
  108. ^ Japan Gazette. 1873. hlm. 73–. "WASHINGTON.; OFFICIAL DISPATCHES ON THE FORMOSA DIFFICULTY. PARTIAL OCCUPATION OF THE ISLAND BY JAPANESE THE ATTITUDE OF CHINA UNCERTAIN CHARACTER OF THE FORMOSAN BARBARIANS. THE RAILROAD AND THE MAILS. THE VACANT INSPECTOR GENERALSHIP OF STEAMBOATS. THE TREATY OF WASHINGTON. THE CURRENCY BANKS AUTHORIZED CIRCULATION WITHDRAWN. POSTMASTERS APPOINTED. APPOINTMENT OF AN INDIAN COMMISSIONER. THE WRECK OF THE SCOTLAND, NEW-YORK HARBOR. NAVAL ORDERS. TOLL ON VESSELS ENGAGED IN FOREIGN COMMERCE. THE TREASURY SECRET SERVICE. TREASURY BALANCES". The New York Times. WASHINGTON, Aug. 17. August 18, 1874. 
  109. ^ Shih-Shan Henry Tsai (18 December 2014). Maritime Taiwan: Historical Encounters with the East and the West. Routledge. hlm. 129–. ISBN 978-1-317-46517-1. 
  110. ^ P. Chow (28 April 2008). The "One China" Dilemma. Springer. hlm. 29–. ISBN 978-0-230-61193-1. 
  111. ^ Campbell 1915
  112. ^ Mackay 1896

Referensi

sunting
  • Andrade, Tonio (2005). "Pirates, Pelts, and Promises: The Sino-Dutch Colony of Seventeenth-Century Taiwan and the Aboriginal Village of Favorolang". The Journal of Asian Studies (edisi ke-2). 64: 295–321. doi:10.1017/s0021911805000793. JSTOR 25075752. 
  • Anderson, Christian A. (2000). "New Austronesian Voyaging: Cultivating Amis Folk Songs for the International Stage". Dalam Blundell, David. Austronesian Taiwan: Linguistics, History, Ethnology, Prehistory. Taipei: SMC Publishing. ISBN 9789868537804. 
  • Bird, Michael I; Hope, Geoffrey; Taylor, David (2004). "Populating PEP II: the dispersal of humans and agriculture through Austral-Asia and Oceania". Quaternary International. 118–19: 145–63. doi:10.1016/s1040-6182(03)00135-6.  Accessed March 31, 2007.
  • Blundell, David (2000). Taiwan: Linguistics, History and Prehistory. Taipei: SMC Publishing. ISBN 9789868537804. 
  • Blusse, Leonard; Everts, Natalie (2000). The Formosan Encounter: Notes on Formosa's Aboriginal Society — A selection of Documents from Dutch Archival Sources Vol. I & Vol. II. Taipei: Shung Ye Museum of Formosan Aborigines.  ISBN 957-99767-2-4 & ISBN 957-99767-7-5.
  • Blusse, Leonard (2006). "The Eclipse of the Inibs: The Dutch Protestant Mission in 17th Century Taiwan and its Persecution of Native Priestesses". Dalam Yeh Chuen-Rong. History, Culture and Ethnicity: Selected Papers from the International Conference on the Formosan Indigenous Peoples. Taipei: SMC Publishing Inc. ISBN 978-957-30287-4-1. 
  • Blust, Robert (1999). "Subgrouping, circularity and extinction: some issues in Austronesian comparative linguistics". Dalam E. Zeitoun & P.J.K Li. Selected papers from the Eighth International Conference on Austronesian Linguistics. Taipei: Academia Sinica. hlm. 31–94. 
  • Brown, Melissa J (1996). "On Becoming Chinese". Dalam Melissa J. Brown. Negotiating Ethnicities in China and Taiwan. Berkeley, CA: Institute of East Asian Studies of the University of California. China Research Monograph 46. 
  • Brown, Melissa J. (2001). "Reconstructing ethnicity: recorded and remembered identity in Taiwan". Ethnology. 40 (2): 153. doi:10.2307/3773928. 
  • Brown, Melissa J (2004). Is Taiwan Chinese? : The Impact of Culture, Power and Migration on Changing Identities. Berkeley: University of California Press. ISBN 0-520-23182-1. 
  • Campbell, Rev. William (1915). Sketches of Formosa. London, Edinburgh, New York: Marshall Brothers Ltd. reprinted by SMC Publishing Inc 1996. ISBN 957-638-377-3. 
  • Chen, Chiu-kun (1997). Qing dai Taiwan tu zhe di quan, (Land Rights in Qing Era Taiwan). Taipei, Taiwan: Academia Historica.  ISBN 957-671-272-6.
  • Chen, Chiukun (1999). "From Landlords To Local Strongmen: The Transformation Of Local Elites In Mid-Ch'ing Taiwan, 1780–1862". Dalam Murray A. Rubinstein. Taiwan: A New History. Armonk, N.Y.: M.E. Sharpe. hlm. 133–62. ISBN 9781563248160. 
  • Chen, Henry C. L.; Hay, Peter (2004). "Dissenting Island Voices: Environmental Campaigns in Tasmania and Taiwan". Changing Islands – Changing Worlds: Proceedings of the Islands of the world VIII International Conference. hlm. 1110–31. , 1–7 November 2004, Kinmen Island (Quemoy), Taiwan.
  • Cheng, Zoe (Apr 1, 2007). "The Secret's Out". Taiwan Review. 57 (4). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-05-05. Diakses tanggal 2016-08-06.  Accessed April 22, 2007.
  • Ching, Leo T.S. (2001). Becoming "Japanese" Colonial Taiwan and The Politics of Identity Formation. Berkeley: University of California Press.  ISBN 0-520-22551-1.
  • Chou, Hui-Min (2005). Educating urban indigenous students in Taiwan: Six teachers' perspectives (Tesis). http://www.lib.umd.edu/drum/bitstream/1903/3092/1/umi-umd-2903.pdf.  "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2008-09-10. Diakses tanggal 2016-08-06.  (Doctoral Dissertation). Available from the ProQuest Dissertations & Theses (PQDT) database. (UMI Number 3201230).
  • Chu, Jou-juo (2001). Taiwan at the end of The 20th Century: The Gains and Losses. Taipei: Tonsan Publications. 
  • Chuang, Jimmy (Oct 14, 2005). "Tribe wants official recognition". Taipei Times (Taiwan).  Accessed April 21, 2007.
  • Cohen, Marc J. (1988). Taiwan At The Crossroads: Human Rights, Political Development and Social Change on the Beautiful Island. Washington D.C.: Asia Resource Center. 
  • Council Of Labor Affairs, Executive Yuan. (2010). Aboriginal Labor Statistics. Original version; English version Accessed August 28, 2010.
  • Council of Indigenous Peoples. (2004). Table 1. Statistics of Indigenous Population in Taiwan and Fukien Areas for Townships, Cities and Districts [Download file and open as HTML document]. Accessed August 22, 2010.
  • Crossley, Pamela Kyle (1999). A Translucent Mirror: History and Identity in Qing Imperial Ideology. Berkeley: University of California Press. ISBN 0-520-23424-3. 
  • Directorate General of Budget, Accounting and Statistics, Executive Yuan, R.O.C. (DGBAS). (2000). National Statistics, Republic of China (Taiwan). Preliminary statistical analysis report of 2000 Population and Housing Census. Excerpted from Table 29: The characteristics of indigenous population in Taiwan-Fukien Area Accessed March 18, 2007.
  • Diamond, Norma (1995). "Defining the Miao: Ming, Qing and Contemporary Views". Dalam Stevan Harrell. Cultural Encounters of China's Ethic Frontiers. Seattle: University of Washington Press. 
  • Dikotter, Frank (1992). The Discourse of Race in Modern China. Stanford, CA: Stanford University Press. ISBN 0-8047-2334-6. 
  • Duara, Presenjit (1995). Rescuing History from the Nation: Questioning Narratives of Modern China. Chicago, Il: University of Chicago Press. 
  • Ebrey, Patricia (1996). "Surnames and Han Chinese Identity". Dalam Melissa J. Brown. Negotiating Ethnicities in China and Taiwan. Berkeley, CA: University of California Press. ISBN 1-55729-048-2. 
  • Edmondson, Robert (2002). "The February 28 Incident and National Identity". Dalam Stephane Corcuff. Memories of the Future: National Identity Issues and the Search for a New Taiwan. New York: M.E. Sharpe. 
  • Ericsson, Niclas S (2004). Creating "Indian Country" in Taiwan?. Harvard Asia Quarterly. VIII. hlm. 33–44. 
  • Eyton, Laurence (March 3, 2004). "Pan-blues' winning ways". Asia Times Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-18. Diakses tanggal 2016-08-06.  Accessed June 3, 2007.
  • Faure, David (2001). In Search of the Hunters and Their Tribes. Taipei: Shung Ye Museum of Formosan Aborigines Publishing.  ISBN 957-30287-0-0.
  • Gao, Pat (2001). "Minority, Not Minor". Taiwan Review.  Website of Government Information Office, Republic of China. Accessed August 22, 2010.
  • Gao, Pat (April 4, 2007). "The Revitalized Vote". Taiwan review.  Accessed August 22, 2010.
  • Gluck, Caroline (2005). "Taiwan's aborigines find new voice". BBC News Taiwan: July 4.  Accessed March 6, 2007.
  • Gold, Thomas B. (1986). State and society in the Taiwan miracle. Armonk, New York: M.E. Sharpe. 
  • Harrell, Stevan (1996). "Introduction". Dalam Melissa J. Brown. Negotiating Ethnicities in China and Taiwan. Berkeley, CA: Regents of the University of California. hlm. 1–18. 
  • Harrison, Henrietta (2001). "Changing Nationalities, Changing Ethnicities: Taiwan Indigenous Villages in the years after 1946". Dalam David Faure. In Search of the Hunters and Their Tribes: Studies in the History and Culture of the Taiwan Indigenous People. Taipei: SMC Publishing. 
  • Harrison, Henrietta (2001). Natives of Formosa: British Reports of the Taiwan Indigenous People, 1650–1950. Taipei: Shung Ye Museum of Formosan Aborigines Publishing.  ISBN 957-99767-9-1.
  • Harrison, Henrietta (2003). "Clothing and Power on the Periphery of Empire: The Costumes of the Indigenous People of Taiwan". positions. 11 (2): 331–60. doi:10.1215/10679847-11-2-331. 
  • Hattaway, Paul (2003). Operation China. Introducing all the Peoples of China. Pasadena, CA: William Carey Library Pub.  ISBN 0-87808-351-0.
  • Hill, Catherine; Soares, Pedro; Mormina, Maru; Macaulay, Vincent; Clarke, Dougie; Clarke, Petya B. (2007). "A Mitochondrial Stratigraphy for Island Southeast Asia". American Journal of Human Genetics. 291: 1735–1737. 
  • Ho Hi Yan Hits the Airwaves. (2005,May 5). Taipei City Government Accessed March 17, 2007.
  • Hong, Mei Yuan (1997). Taiwan zhong bu ping pu zhu (Plains Tribes of Central Taiwan). Taipei, Taiwan: Academia Historica. 
  • Hsiau, A-chin (1997). "Language Ideology in Taiwan: The KMT's language policy, the Tai-yü language movement, and ethnic politics". Journal of Multilingual and Multicultural Development. 18 (4): 302–15. doi:10.1080/01434639708666322. 
  • Hsiau, A-chin (2000). Contemporary Taiwanese Cultural Nationalism. London: Routledge. 
  • Hsieh, Jolan (2006). Collective Rights of Indigenous Peoples: Identity Based Movements of Plains Indigenous in Taiwan. New York, NY: Routledge, Taylor and Francis Group. 
  • Hsu, Cho-yun (1980). "The Chinese Settlement of the Ilan Plain". Dalam Ronald Knapp. China's Island Frontier: Studies in the Historical Geography of Taiwan. HI: University of Hawaii Press. 
  • Hsu, Wen-hsiung (1980). "Frontier Organization and Social Disorder in Ch'ing Taiwan". Dalam Ronald Knapp. China's Island Frontier: Studies in the Historical Geography of Taiwan. HI: University of Hawaii Press. 
  • Hsu, Mutsu (1991). Culture, Self and Adaptation: The Psychological Anthropology of Two Malayo-Polynesian Groups in Taiwan. Taipei, Taiwan: Institute of Ethnology, Academia Sinica.  ISBN 957-9046-78-6.
  • Kang, Peter (2003). "A Brief Note on the Possible Factors Contributing to the Large Village Size of the Siraya in the Early Seventeenth Century". Dalam Leonard Blusse. Around and About Formosa. Taipei: SMC Publishing. hlm. 111–27. 
  • Ka, Chih-ming (1995). Japanese Colonialism in Taiwan: Land Tenure, Development and Dependency, 1895–1945. Boulder, CO: Westview Press. 
  • Kerr, George H (1965). Formosa Betrayed. Cambridge: The Riverside Press. 
  • Kleeman, Faye Yuan (2003). Under An Imperial Sun: Japanese Colonial Literature of Taiwan and The South. Honolulu, HA: University of Hawaii Press. 
  • Knapp, Ronald G (1980). "Settlement and Frontier Land Tenure". Dalam Ronald G. Knapp. China's Island Frontier: Studies in the Historical Geography of Taiwan. Honolulu: University of Hawaii Press. hlm. 55–68.  ISBN 957-638-334-X.
  • Lamley, Harry J (1981). "Subethnic Rivalry in the Ch'ing Period". Dalam Emily Martin Ahern and Hill Gates. The Anthropology of Taiwanese Society. CA: Stanford University Press. hlm. 283–88. 
  • Lee, Abby (Aug 29, 2003). "Chimo seek recognition of aboriginal status". Taiwan Journal. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-30. Diakses tanggal 2016-08-06.  Accessed August 22, 2010.
  • The Legislative Yuan Republic of China. (2004). Members of the Legislative Yuan Accessed August 22, 2010.
  • Li, Paul Jen-kuei (1992). "History of the Movements of Austronesian Speaking Peoples of Taiwan: An Exploration From Linguistic Data and Phenomena". Newsletter of Taiwan History Field Research. 
  • Li, Paul Jen-kuei (2001). "The Dispersal of The Formosan Aborigines in Taiwan" (PDF). Languages and Linguistics. 2 (1): 271–78. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-10-02. Diakses tanggal 2016-08-06. 
  • Lin, Jean (May 6, 2006). "Resettled Truku blast plans for hotels in Taroko park". Taipei Times (Taiwan). 
  • Liu, Alexandra (Aug 24, 2000). "A New Wave of Indigenous Pop—The Music of Pur-dur and Samingad". Taiwan Panorama. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-26. Diakses tanggal March 17, 2007. 
  • Liu, Tan-Min (2002). ping pu bai she gu wen shu (Old Texts From 100 Ping Pu Villages). Taipei: Academia Sinica.  ISBN 957-01-0937-8.
  • Liu, Tao Tao (2006). "The last Huntsmen's Quest for Identity: Writing From the Margins in Taiwan". Dalam Yeh Chuen-Rong. History, Culture and Ethnicity: Selected Papers from the International Conference on the Formosan Indigenous Peoples. Taipei: SMC Publishing. hlm. 427–30. 
  • Loa, Iok-sin (Jan 27, 2007). "Interview: Aboriginal name activists hopeful". Taipei Times (Taiwan): 2.  Accessed November 13, 2007.
  • Loa, Iok-sin (Aug 8, 2010). "Environmentalists take aim at nuclear industry". Taipei Times (Taiwan): 2. Diakses tanggal August 22, 2010. 
  • Low, Y.F. (Nov 9, 2005). "DPP encourages aborigines to adopt traditional names". Central News Agency — Taiwan. 
  • Mackay, George L. (1896). From Far Formosa. New York: F. H. Revell Co. 
  • Matsuda, Kyoko (2003). "Ino Kanori's 'History' of Taiwan: Colonial ethnology, the civilizing mission and struggles for survival in East Asia". History and Anthropology. 14 (2): 179–96. doi:10.1080/0275720032000129938. 
  • Mendel, Douglass (1970). The Politics of Formosan Nationalism. Berkeley, CA: University of California Press. 
  • Meskill, Johanna Menzel (1979). A Chinese Pioneer Family: The Lins of Wu-Feng, Taiwan 1729–1895. Princeton New Jersey: Princeton University Press. 
  • Meyer, Mahlon (Jan 8, 2001). "The Other Side of Taiwan". Newsweek (Atlantic Edition) Asian section. 
  • Mo, Yan-chih (Mar 21, 2005). "Aboriginal rights advocates blast cultural tourism". Taipei Times (Taiwan). Diakses tanggal April 21, 2007. .
  • Montgomery-McGovern, Janet B. (1922). Among the Head-Hunters of Formosa. Boston: Small Maynard and Co.  Reprinted 1997, Taipei: SMC Publishing. ISBN 957-638-421-4.
  • Pan, Da He (2002). Pingpu bazai zu cang sang shi (The Difficult History of the Pazih Plains Tribe). Taipei: SMC Publishing.  ISBN 957-638-599-7.
  • Pan, Ying (1996). Taiwan pingpu zu shi (History of Taiwan's Pingpu Tribes). Taipei: SMC Publishing.  ISBN 957-638-358-7.
  • Premier apologizes to Tao tribe. (2002, May 24). Taipei Times. Pg. 3 Accessed March 17, 2007.
  • Phillips, Steven (2003). Between Assimilation and Independence: The Taiwanese Encounter Nationalist China, 1945–1950. Stanford California: Stanford University Press. ISBN 9780804744577. 
  • Pickering, W.A. (1898). Pioneering In Formosa. London: Hurst and Blackett.  Republished 1993, Taipei, SMC Publishing. ISBN 957-638-163-0.
  • Rolett, Barry V.; Jiao, Tianlong; Lin, Gongwu (2002). "Early seafaring in the Taiwan Strait and the search for Austronesian origins". Journal of Early Modern History. 4 (1): 307–19. doi:10.1163/156852302322454576. 
  • Rudolph, Michael (2003). "Religion and the Formation of Taiwanese Identities". Dalam Paul R. Katz and Maury Rubinstein. The Quest for Difference Versus the Wish to Assimilate: Aborigines and Their Struggle for Cultural Survival in Times of Multiculturalism. New York: Palgrave MacMillan. 
  • Shepherd, John R. (1986). "Sinicized Siraya Worship of A-li-tsu". Bulletin of the Institute of Ethnology, Academia Sinica No. 58. Taipei: Academia Sinica. hlm. 1–81. 
  • Shepherd, John R. (1993). Statecraft and Political Economy on the Taiwan Frontier, 1600–1800. Stanford, California: Stanford University Press.  Reprinted 1995, SMC Publishing, Taipei. ISBN 957-638-311-0.
  • Shepherd, John Robert (1995). Marriage and Mandatory Abortion among the 17th Century Siraya. Arlington VA: The American Anthropological Association. 
  • Shih, Cheng-Feng (1999). "Legal Status of the Indigenous Peoples of Taiwan".  Paper presented at the June, 1999 International Aboriginal Rights Conference in Taipei. Accessed March 24, 2007.
  • Shih, Hsiu-chuan; Loa, Iok-sin (April 24, 2008). "Sediq recognized as 14th tribe". Taipei Times (Taiwan). Diakses tanggal April 24, 2008. 
  • Simon, Scott (Jan 4, 2006). "Formosa's first Nations and the Japanese: from Colonial Rule to Postcolonial Resistance". The Asia-Pacific Journal: Japan Focus.  Accessed August 22, 2010.
  • Stainton, Michael (1999). "The Politics of Taiwan Aboriginal Origins". Dalam Murray A. Rubinstein. Taiwan: A New History. New York: M.E. Sharpe, Inc. ISBN 9781563248160. 
  • Stainton, Michael (2002). "Presbyterians and the Aboriginal Revitalization Movement in Taiwan". Cultural Survival Quarterly. 26 (2). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-15. Diakses tanggal 2016-08-06.  Accessed August 22, 2010.
  • Stainton, Michael (2006). "Hou Shan/Qian Shan Mugan: Categories of Self and Other in a Tayal Village". Dalam Yeh Chuen-Rong. History, Culture and Ethnicity: Selected Papers from the International Conference on the Formosan Indigenous Peoples. Taipei: SMC Publishing Inc. ISBN 978-957-30287-4-1. 
  • Su, Beng (1986). Taiwan's 400 year History: The Origins and Continuing Development of the Taiwanese Society and People (English Printing). Washington D.C.: Taiwanese Cultural Grass Roots Association. ISBN 9780939367009. 
  • Suenari, Michio (2006). "A Century of Japanese Anthropological Studies on Taiwan Aborigines". History, Culture and Ethnicity: Selected Papers from the International Conference on the Formosan Indigenous Peoples. Taipei: SMC Publishing. 
  • Tai, Eika (1999). "The Assimilationist Policy and the Aborigines in Taiwan under Japanese Rule". Current Politics and Economics of Asia. 6 (4): 265–301. 
  • Takekoshi, Yasaburo (1907). Japanese Rule in Formosa. London: Longmans and Green & Company.  Reprinted 1996, Taipei, SMC Publishing.
  • Tao demand relocation of waste". ( 2003, Jan 02). CNA, Taipei. Page 3 Accessed March 17, 2007.
  • Teng, Emma Jinhua (2004). Taiwan's Imagined Geography: Chinese Colonial Travel Writing and Pictures, 1683–1895. Cambridge MA: Harvard University Press. ISBN 0-674-01451-0. 
  • Tsao, Feng-fu (1999). "The Language Planning Situation in Taiwan". Journal of Multilingual and Multicultural Development. 20 (4,5): 328–48. doi:10.1080/01434639908666383. 
  • Tsuchida, Shigeru (1983). "Austronesian Languages in Formosa". Dalam S.A Wurm and Hiro Hattori. Language Atlas of the Pacific Area. Canberra: Australian Academy of the Humanities. 
  • Tsuchida, S.; Yamada, Y. (1991). "Ogawa's Siraya/Makatao/Taivoan comparative vocabulary". Dalam S. Tsuchida, Y. Yamada & T. Moriguchi. Linguistic Materials of the Formosan Sinicized Populations I: Siraya and Basai. Tokyo: The University of Tokyo, Linguistics Department. 
  • Wilson, Richard W (1970). Learning To Be Chinese: The Political Socialization of Children in Taiwan. Cambridge, MA: Massachusetts Institute of Technology Press.  ISBN 0-262-23041-0.
  • Yeh, Yu-ting (2003). Atayal Narratives and Folktales, in the Formosan Language Archive. Taipei: The Institute of Linguistics, Academia Sinica Accessed April 13, 2007.
  • Zeitoun, Elizabeth; Yu, Ching-Hua (2005). "The Formosan Language Archive: Linguistic Analysis and Language Processing" (PDF). Computational Linguistics and Chinese Language Processing. 10 (2): 167–200. 
  • The Republic of China Yearbook 2014 (PDF). Executive Yuan, R.O.C. 2014. ISBN 9789860423020. Diakses tanggal 2015-02-25. 

Pranala luar

sunting