Pengguna:Anantagita/trans/Hati nurani

Status List
Bagian Status
0 Lede Sudah dikerjakan diperiksa
1 Views Sudah dikerjakan diperiksa
1.1 Religious 1 pass
1.2 Secular Sudah dikerjakan diperiksa
1.2.1 Conscience as society-forming instincts Sudah dikerjakan diperiksa
1.2.2 Evolutionary biology and physics Sudah dikerjakan diperiksa
1.2.3. Neuroscience and artificial conscience Sudah dikerjakan diperiksa
1.3 Philosophical 1 pass
1.3.1 Medieval 1 pass
1.3.2 Modern 1 pass
2 Conscientious acts and the law untranslated
3 World conscience untranslated
4 Notable examples of modern acts based on conscience untranslated
5 In literature, art, film, music untranslated


Vincent van Gogh, 1890. Museum Kröller-Müller. Orang Samaria yang Baik Hati (berdasarkan karya Delacroix).

Hati nurani adalah suatu proses kognitif yang menghasilkan perasaan dan pengaitan secara rasional berdasarkan pandangan moral atau sistem nilai seseorang. Hati nurani berbeda dengan emosi atau pikiran yang muncul akibat persepsi indrawi atau refleks secara langsung, seperti misalnya tanggapan sistem saraf simpatis. Dalam bahasa awam, hati nurani sering digambarkan sebagai sesuatu yang berujung pada perasaan menyesal ketika seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai moral mereka. Nilai moral seorang individu serta ketidaksesuaiannya dengan penafsiran pemikiran moral keluarga, sosial, budaya, maupun sejarah, dipelajari dalam studi relativisme budaya dalam bidang dan praktik psikologi. Sejauh mana peran hati nurani dalam menggerakkan penilaian moral seseorang sebelum bertindak dan apakah penilaian moral tersebut memang atau sebaiknya didasarkan pada akal budi, telah memercik perdebatan yang sengit antara filsafat Barat melawan teori-teori romantisme dan gerakan reaksioner lainnya setelah berakhirnya Abad Pertengahan.

Pandangan keagamaan tentang hati nurani umumnya mengatakan bahwa hati nurani terkait dengan suatu moralitas yang melekat dalam diri semua manusia, melekat dengan sebuah alam semesta yang baik, atau melekat kepada pengada yang bersifat ketuhanan. Berbagai sifat agama, yaitu sifat ritualistis, mitis, doktrinal, legal, institusional, dan material, mungkin tidak selalu sejalan dengan pertimbangan pengalaman, emosional, spiritual, atau kontemplatif mengenai asal mula dan cara kerja hati nurani.[1] Pandangan sekuler atau ilmiah umumnya menyatakan bahwa hati nurani mungkin ditentukan secara genetis, sementara subjek-subjek hati nurani kemungkinan dipelajari atau merupakan hasil imprinting sebagai bagian dari budaya.[2]

Metafora yang biasanya digunakan untuk hati nurani adalah "suara hati", sementara Sokrates bergantung kepada sesuatu yang disebut oleh orang-orang Yunani Kuno dengan nama "suara daimonik", yakni semacam suara hati yang menjauhkan diri (ἀποτρεπτικός, apotreptikos) dari kesalahan dan hanya terdengar saat ia akan membuat kesalahan.[3] Hati nurani, sebagaimana digambarkan dalam artikel di bawah ini, adalah sebuah konsep dalam hukum nasional dan internasional,[4] semakin sering dianggap sebagai konsep yang berlaku di seluruh dunia,[5] serta telah mendorong banyak tindakan terkenal yang dilakukan demi kebaikan bersama.[6] Hati nurani juga merupakan topik bahasan dalam berbagai karya sastra, musik, dan film.[7]

Pandangan

sunting

Meskipun belum ada kesepakatan mengenai definisi hati nurani atau peranannya dalam pembuatan keputusan etis, ada tiga pendekatan yang mencoba menjelaskan hati nurani:[8]

  1. Pendekatan keagamaan
  2. Pendekatan sekuler
  3. Pendekatan filosofis
 
Buddha dalam posisi duduk, Gandhara, abad ke-2 M. Buddha mengaitkan hati nurani dengan kasih sayang bagi pihak-pihak yang harus mengalami keinginan dan penderitaan duniawi sampai perbuatan benar muncul dalam pengertian dan pemikiran benar.

Dalam tradisi kesusastraan Upanisad, Brahma Sutra dan Bhagawadgita, hati nurani adalah sebuah label yang diberikan untuk sikap-sikap yang mendirikan pengetahuan tentang baik dan buruk, yang diterima jiwa setelah menyelesaikan tindakan dan penumpukan karma selama berkali-kali masa hidup.[9] Menurut Adi Shankara dalam Vivekachudamani, aksi yang benar secara moral (yang dicirikan dengan melakukan kewajiban primer, yaitu kebaikan kepada pihak lain tanpa pamrih material atau spiritual, dengan rendah hati dan penuh kasih sayang) dapat "menyucikan hati" dan memberikan ketenangan jiwa. Akan tetapi, ini saja tidak cukup untuk memberikan kita "persepsi langsung akan Realitas".[10] Untuk mengetahui Realitas, seseorang perlu membedakan antara yang abadi dan nonabadi, dan pada akhirnya menyadari, dalam kontemplasi, bahwa diri yang nyata bersatu di dalam sebuah jagad raya kesadaran murni.[11]

Dalam agama Zoroastrian, setelah kematian, jiwa harus mengalami pengadilan di Jembatan Pemisah; di jembatan itu, orang-orang jahat akan disiksa karena mereka menyangkal sifat yang lebih tinggi (dengan kata lain, hati nurani); dan "mereka akan selamanya menjadi tamu di Istana Kebohongan."[12]

Konsep Tionghoa mengenai Ren menunjukkan bahwa hati nurani, begitu pun dengan etika sosial dan hubungan yang benar, dapat membantu manusia untuk mengikuti "Jalan" (Tao), yaitu mode kehidupan yang mencerminkan kapasitas implisit manusia untuk bertindak baik dan harmonis.[13]

 
Fragmen tembaga Marcus Aurelius, Louvre, Paris: "Lakukanlah tindakan tidak egois terus menerus, dengan Tuhan di dalam hatimu. Di sana, engkau akan menemukan kesukaan dan ketenangan hati."

Hati nurani juga merupakan topik yang penting dalam Buddhisme.[14] Misalnya, dalam naskah Pali, Buddha mengaitkan aspek positif "hati nurani" dengan hati yang suci dan pikiran yang tenang dan terarah dengan baik. Hati nurani dianggap sebagai kekuatan spiritual dan merupakan salah satu "Penjaga Dunia". Buddha juga mengasosiasikan hati nurani dengan rasa kasih sayang untuk mereka yang harus mengalami keinginan dan penderitaan duniawi sampai perilaku benar muncul dalam pemikiran benar dan pengertian benar.[15] Shantideva (685–763 M) menulis dalam Bodhicaryavatara (yang ditulis dan disampaikannya di universitas Buddhis besar di India Utara, Universitas Nalanda), tentang perlunya seseorang menyempurnakan kebajikan seperti kebaikan hati, kesabaran, dan melatih kesadaran agar menjadi seperti "sepotong kayu" ketika tertarik dengan keburukan-keburukan seperti rasa besar hati dan nafsu, agar seseorang dapat terus maju menuju pemahaman benar dalam meditasi.[16] Hati nurani, dengan demikian, dalam Buddhisme, muncul sebagai semacam cinta yang tidak egois untuk seluruh makhluk hidup, yang secara perlahan menguat dan bangkit menjadi kesadaran yang murni,[17] tempat pikiran menjauh dari ketertarikan indrawi dan menyadari dirinya sebagai satu kedirian yang tunggal.[18]

Kaisar Romawi, Marcus Aurelius, menulis dalam Meditasi bahwa hati nurani adalah kapasitas manusia untuk hidup dengan prinsip rasional yang kongruen dengan sifat pikiran yang sebenarnya, yaitu tenang dan harmonis. Dengan demikian, pikiran menjadi kongruen dengan Alam Semesta: "Lakukanlah tindakan tidak egois terus menerus, dengan Tuhan di dalam hatimu. Di sana, engkau akan menemukan kesukaan dan ketenangan hati ... satu-satunya kebaikan yang ada dalam eksistensi kita di alam semesta ini adalah karakter yang tidak terkompromi dan tindakan yang tidak egois."[19]

 
Halaman terakhir otobiografi Ghazali, MS Istanbul, Shehid Ali Pasha 1712, tertanggal A.H. 509 = 1115–1116 M. Krisis skeptisisme epistemologis Ghazali diselesaikan dengan "cahaya yang disampaikan Allah Yang Maha Besar ke dalam hati saya ... kunci hampir seluruh pengetahuan."

Konsep takwa dalam Islam erat kaitannya dengan hati nurani. Dalam Al-Qur'an ayat 2:197 dan 22:37, takwa merujuk pada "perbuatan benar" atau "iman, menjaga diri sendiri, atau menjaga dari kejahatan".[20] Qur’an surat 47:17 mengatakan bahwa Allah adalah sumber utama ketakwaan seseorang, yang bukan merupakan hasil sederhana keinginan seorang individu, tetapi harus dimunculkan dengan hidayah dari-Nya.[21] Qur’an Surah 91:7–8 menunjukkan cara Allah SWT menyempurnakan ruh dan hati nurani, serta mengajarkan ruh yang buruk (fujur) dan yang benar (takwa). Kesadaran akan baik dan buruk sudah inheren di dalam ruh, dan dengan demikian ruh berada di dunia ini untuk diuji secara adil, dan kemudian diadili di hari kiamat untuk tanggung jawabnya terhadap Allah dan seluruh manusia.[22]

 
Quran surat 49. Surat al-Hujurat, 49:13 : "... Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa."

Quran surat 49:13: "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti." Dalam Islam, menurut teolog terkemuka seperti Al-Ghazali, meskipun peristiwa sudah ditakdirkan (dan ditulis Allah di dalam Loh Mahfuz), manusia tetap memiliki kehendak bebas untuk memilih antara yang benar dan yang salah, dan dengan demikian bertanggung jawab untuk perilakunya sendiri. Hati nurani adalah koneksi pribadi seseorang dengan Allah yang bersifat dinamis dan ditingkatkan dengan pengetahuan, praktik rukun Islam, tindakan iman, pertobatan, disiplin diri, dan ibadah; sebaliknya, hati nurani rontok, dan secara metaforis tertutup di bawah kegelapan, dengan tindakan dosa.[23]

 
The Awakening Conscience (bahasa Indonesia: Kebangkitan Hati Nurani, Holman Hunt, 1853

Dalam tradisi Kristen Protestan, Martin Luther dalam Dewan Worms menekankan bahwa hati nuraninya disandera Kata Tuhan, dan tidak aman maupun benar untuk melawan hati nurani. Bagi Luther, hati nurani masuk ke dalam pertimbangan etis dan bukan religius.[24] Yohanes Calvin mengibaratkan hati nurani sebagai sebuah zona perang: "[...] musuh yang bangkit di dalam hati nurani kita, melawan Kerajaan-Nya dan hukum-hukum-Nya, membuktikan bahwa Takhta Tuhan belum benar-benar ajeg di dalamnya."[25] Banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa menuruti hati nurani sepenting, atau bahkan lebih penting, daripada menuruti otoritas manusia.[26] Pandangan Kristen fundamentalis mengenai hati nurani, mungkin dapat disimpulkan seperti ini: 'Tuhan memberikan kita hati nurani agar kita tahu saat kita melawan hukum-Nya; rasa bersalah yang kita rasakan ketika kita melakukan sesuatu yang tidak benar, mengatakan pada kita bahwa kita perlu bertobat.'[27] Hal ini kadang-kadang (seperti misalnya dalam konflik antara William Tyndale dan Thomas More mengenai penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Inggris) berakhir dalam pertanyaan moral: "Apakah saya menuruti sepenuhnya pemimpin Gereja/pendeta/militer/politis saya, ataukah saya mengikuti kata hati nurani saya yang menunjukkan yang benar dan yang salah, sebagaimana disingkap oleh doa dan pembacaan kitab?"[28] Ada pula gereja Kristen dan kelompok agama yang percaya bahwa ajaran moral Sepuluh Perintah Tuhan atau Yesus adalah otoritas tertinggi dalam situasi apa pun, tidak peduli seberapa jauh ajaran moral tersebut termaktub di dalam hukum.[29] Dalam Injil Yohanes (7:53–8:11, Versi Raja James), Yesus menantang orang-orang yang menuduh seorang perempuan yang dituduh pezina, dengan mengatakan: ""Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua." Dalam Injil Lukas (10:25–37), Yesus menyampaikan cerita tentang seorang Samaritan yang dibenci dan berdosa, yang membantu seorang asing di pinggir jalan (termotivasi dengan kasih sayang dan hati nurani). Orang ini lebih berpotensi masuk kehidupan abadi daripada pendeta yang sedang lewat di seberang jalan.[30]

 
Nikiforos Lytras, Antigone di depan almarhum Polinikos (1865), lukisan minyak di atas kanvas, Galeri Nasional Yunani - Museum Aleksandros Soutzos.

Dilema antara menuruti hati nurani atau menuruti hukum negara atau hukum ilahi ditampilkan secara dramatis dalam perlawanan Antigone terhadap perintah Raja Kreon untuk mengubur saudaranya, seorang pengkhianat negara. Antigone menolak, menyatakan ia lebih sudi mengikuti "hukum yang tidak tertulis", dan bahwa ia "lebih setia kepada orang yang sudah mati daripada kepada orang yang masih hidup."[31]

Teologi Katolik memandang hati nurani sebagai "penilaian praktis terakhir, yang pada saat yang tepat, menarik [seseorang] untuk melakukan hal yang baik dan menolak hal yang buruk."[32] Konsili Vatikan Kedua menggambarkan: "Jauh di dalam hati nuraninya, manusia menemukan hukum yang belum ia berikan pada dirinya sendiri, namun harus diturutinya. Suara hukum itu selalu memanggilnya untuk mencintai, untuk melakukan hal yang baik dan menjauhi hal yang buruk; mengatakan kepadanya, dari dalam: lakukan ini, jauhi itu. Di dalam hatinya, manusia memiliki hukum yang sudah ditanamkan Tuhan. Harga dirinya tergantung pada apakah ia menaati hukum ini, dan pada ketaatan itulah ia akan diadili. Hati nurani seseorang adalah rahasia intinya yang terdalam dan juga kuil dalam dirinya. Di sana ia sendiri dengan Tuhan, yang suara-Nya menggema di relung terdalam hatinya."[33] Dengan demikian, hati nurani bukanlah kehendak dan bukan pula kebiasaan seperti kesabaran, melainkan "ruang interior tempat kita dapat mendengarkan kebenaran, kebajikan, suara Tuhan. Tempat terdalam hubungan kita dengan Tuhan, yang berbicara kepada hati kita dan membantu kita membedakan, memahami jalur yang harus kita ambil, dan begitu keputusan itu kita buat, untuk bergerak maju dan tetap kukuh dalam iman."[34] Dalam hal logikanya, hati nurani dapat dipandang sebagai kesimpulan praktis sebuah silogisme moral, yang premis mayornya adalah norma objektif dan premis minornya adalah kasus atau situasi tertentu ketika norma itu diaplikasikan. Maka, penganut Katolik diajarkan untuk mendidik diri mereka sendiri dengan hati-hati tentang norma yang diwahyukan dan norma yang dapat diambil dari norma yang diwahyukan, agar terbentuk hati nurani yang benar. Penganut Katolik juga diwajibkan memeriksa hati nurani mereka setiap hari, dan dengan perhatian khusus sebelum melakukan penebusan dosa. Ajaran Katolik mengajarkan bahwa "Manusia berhak bertindak menurut hati nuraninya dan berhak atas kebebasan untuk membuat pilihan moral secara personal. Ia tidak boleh dipaksa untuk bertindak berlawanan dari hati nuraninya. Ia juga tidak boleh dirintangi saat bertindak sesuai dengan hati nuraninya, terutama dalam hal-hal keagamaan."[35] Hak atas hati nurani ini tidak mengizinkan seseorang untuk berselisih secara sembarangan dengan ajaran Gereja dan mengklaim bahwa seseorang sedang bertindak sesuai dengan hati nuraninya. Hati nurani yang bersih memerlukan pencarian kebenaran moral dari sumber otentik, yaitu mencoba mengamalkan kebenaran moral dengan cara mendengarkan otoritas yang didirikan Kristus. Namun demikian, meskipun seseorang sudah mencoba dengan seluruh kemampuannya, "tetap saja dapat terjadi bahwa hati nurani moral tetap berada dalam kebodohan dan membuat penilaian yang salah mengenai tindakan-tindakan yang akan dilakukan atau telah terjadi ... Kesalahan ini dapat dipersalahkan (imputed) ke tanggung jawab pribadi ... Dalam kasus demikian, seseorang berdosa untuk kesalahan yang dilakukannya."[36] Maka, apabila seseorang menyadari bahwa ia telah membuat penilaian yang salah, hati nurani seseorang dikatakan dapat keliru dan dianggap bukan merupakan sumber aksi yang valid. Seseorang harus pertama-tama menghilangkan terlebih dahulu sumber kesalahan tersebut dan mencoba dengan sekuat tenaga untuk mencapai penilaian yang benar. Di sisi lain, apabila seseorang tidak menyadari kesalahannya, atau apabila ia telah berusaha sekuat tenaga namun masih juga tidak dapat menghilangkan kesalahan penilaiannya dengan belajar atau mencari nasihat, maka hati nurani orang itu mungkin dikatakan keliru sampai tidak dapat diperbaiki kembali. Hal ini bersifat mengikat karena seseorang memiliki kepastian subjektif bahwa ia benar. Tindakan yang muncul sebagai hasil dari hati nurani yang keliru sampai tidak dapat diperbaiki kembali tentunya tidak baik, tetapi tindakan merugikan atau dosa melawan perintah Tuhan dan norma objektif ini tidak dipersalahkan kepada orangnya. Ketaatan formal yang diberikan kepada penilaian hati nurani demikian bersifat baik. Beberapa penganut Katolik mengikuti hati nurani untuk menjustifikasi perbedaan pendapat, bukan dalam tingkatan hati nurani sebagaimana biasanya dipahami, tetapi dalam tingkatan prinsip dan norma yang seharusnya menjadi basis hati nurani. Misalnya, ada pendeta yang menggunakan solusi forum internal (yang tidak secara langsung diizinkan oleh Magisterium) untuk menjustifikasi tindakan atau gaya hidup yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja, misalnya larangan Kristus untuk menikah ulang setelah perceraian, atau aktivitas seksual di luar pernikahan. Gereja Katolik memperingatkan bahwa "penolakan otoritas dan ajaran Gereja ... dapat menjadi sumber kesalahan dalam penilaian tindakan moral."[37]

Sebuah contoh seseorang yang mengikuti hati nuraninya hingga menerima konsekuensi dihukum mati adalah Sir Thomas More (1478-1535).[38] Thomas More adalah seorang teolog yang menulis tentang perbedaan 'rasa kewajiban' dan 'rasa moral' sebagai dua aspek hati nurani. John Henry Cardinal Newman berpendapat bahwa 'rasa kewajiban' adalah semacam perasaan yang hanya dapat dijelaskan dengan keberadaan seorang Pemberi Hukum yang bersifat ilahiah.[39] Thomas More konon pernah berkata bahwa ia akan memberikan salut pertama-tama pada hati nuraninya, baru kemudian pada Paus; karena hati nuraninya mengantarkannya kepada otoritas Paus.[40]

Yudaisme dapat dikatakan tidak mewajibkan ketaatan yang tanpa kompromi pada otoritas religius. Dalam sejarah Yahudi, banyak rabi yang mengakali aturan yang menurut mereka tidak sesuai dengan hati nurani, misalnya hukuman mati.[41] Lebih lanjut, meskipun takdir nasional dianggap sentral bagi agama Yahudi (lihat Zionisme), banyak peneliti (termasuk Moses Mendelssohn) yang menyatakan bahwa hati nurani, sebagai wahyu personal, sama pentingnya dengan tradisi Talmudik.[42][43] Konsep cahaya dalam di Komunitas Pertemanan Religius atau di kaum Quaker, berhubungan erat dengan hati nurani.[44] Organisasi Freemasonry menggambarkan dirinya sendiri sebagai organisasi yang memberikan anjuran di samping agama, dan simbol yang dapat ditemukan dalam sebuah Loji Freemason adalah kotak baja dan kompas yang menyimbolkan ajaran bahwa kaum Mason perlu "mengotakkan tindakan mereka dalam kotak hati nurani", serta belajar untuk "mencari jalan untuk menghindari keinginan mereka dan menjaga agar gairah mereka tetap bertanggung jawab kepada seluruh kemanusiaan."[45] Sejarawan Manning Clark memandang hati nurani sebagai salah satu penenang yang ditempatkan agama antara manusia dan kematian, namun juga sebuah bagian penting dalam pencarian kasih yang dianjurkan oleh Kitab Ayub dan Kitab Pengkhotbah. Di sini terdapat sebuah paradoks: manusia berada paling dekat dengan kebenaran justru ketika manusia menyadari bahwa hal yang paling penting dalam hidup tidak akan dapat terjadi.[46] Leo Tolstoy, setelah mempelajari masalah ini selama satu dekade, menekankan bahwa satu-satunya kekuatan yang mampu melawan kejahatan yang dikaitkan dengan materialisme dan haus kuasa sosial institusi agama, adalah kapasitas manusia untuk meraih kebenaran spiritual secara individual, melalui akal budi dan hati nurani.[47] Banyak karya religius mengenai hati nurani juga memiliki komponen filosofis yang signifikan: contohnya karya Al-Ghazali,[48] Ibnu Sina,[49] Aquinas,[50] Joseph Butler[51] dan Dietrich Bonhoeffer[52].

Sekuler

sunting
 
Ilustrasi François Chifflart (1825–1901) untuk puisi La Conscience karya Victor Hugo
 
Charles Darwin berpendapat bahwa binatang apa pun yang memiliki insting sosial yang tampak jelas, pada akhirnya akan memiliki rasa moral atau hati nurani, karena kemampuan intelektualnya mendekati manusia.

Christopher Hitchens dalam buku God is Not Great menyampaikan argumen sederhana bahwa "Bahasa sehari-hari pada masa modern menggambarkan hati nurani (...) sebagai apapun itu yang membuat kita bertindak baik ketika tidak ada yang melihat ... Orang-orang yang percaya bahwa keberadaan hati nurani merupakan bukti perancangan ilahi sedang mengajukan argumen yang tidak bisa dibuktikan salah karena tidak ada bukti yang mendukung ataupun membantahnya."[53] Sementara itu, dari sudut pandang keilmuwan, terdapat berbagai pandangan yang menggunakan pendekatan sekuler, antara lain pandangan psikologis, fisiologis, sosiologis, humanitarian, dan otoritarian.[54] Lawrence Kohlberg berpendapat bahwa hati nurani kritis adalah tahapan psikologis yang penting dalam perkembangan moral manusia, yang terkait dengan kemampuan untuk menilai prinsip-prinsip pertanggungjawaban dengan rasional, yang paling baik ditumbuhkan ketika masih sangat muda, dengan menampilkan tokoh-tokoh lucu (misalnya Jimmy Jangkrik dalam kisah Pinokio) dan kemudian saat masa remaja dengan perdebatan mengenai dilema moral yang terkait dengan individu yang bersangkutan.[55] Erik Erikson menempatkan perkembangan hati nurani ke dalam fase 'pra-sekolah' dalam teori delapan tingkat perkembangan kepribadian manusia normal.[56] Psikolog Martha Stout berpendapat bahwa hati nurani adalah "sebuah rasa kewajiban yang mencampuri tindakan kita berdasarkan ikatan emosional kita."[57] Dengan demikian, hati nurani yang baik berkaitan dengan perasaan integritas, keutuhan psikologis, dan rasa damai, serta sering digambarkan dengan kata sifat seperti "tenang", "jelas", dan "mudah".[58]

Sigmund Freud merasa bahwa hati nurani secara psikologis berasal dari pertumbuhan peradaban yang secara teratur mengganggu penyampaian agresi ke luar diri. Impuls agresi kemudian dipaksa untuk mencari alternatif lain yang lebih sehat, dan mengarahkan energinya sebagai superego melawan ego, atau melawan egoisme seseorang.[59] Menurut Freud, tidak mengikuti hati nurani dapat menimbulkan rasa bersalah, yang kemudian menjadi faktor dalam perkembangan neurosis. Freud mengklaim bahwa baik superego budaya maupun individual menetapkan tuntutan-tuntutan ideal terkait dengan aspek-aspek moral keputusan tertentu. Apabila tuntutan ini tidak dituruti, maka akan timbul 'ketakutan dari hati nurani' (bahasa Inggris: fear of conscience).[60]

Antonio Damasio memandang hati nurani adalah aspek kesadaran terluaskan, yang berada di luar jangkauan kecenderungan yang terkait dengan upaya untuk mempertahankan diri. Termasuk di dalamnya adalah pencarian kebenaran dan keinginan untuk membangun norma dan teladan sempurna untuk perilaku seseorang.[61]

Hati nurani sebagai insting pembangun masyarakat

sunting
 
Jeremy Bentham: "Fanatikisme tidak pernah tidur ... tidak pernah dihentikan oleh hati nurani; karena fanatikisme telah menekan hati nurani untuk menuruti perintahnya."

Michel Glautier berargumen bahwa hati nurani adalah salah satu insting dan dorongan yang membuat manusia mampu membangun masyarakat. Kelompok manusia yang tidak memiliki dorongan tersebut, atau yang kadarnya kurang, tidak akan mampu membangun masyarakat dan tidak bisa berkembang biak sebaik kelompok manusia yang mampu membangun masyarakat.[62]

 
Penjahat perang Adolf Eichmann dalam paspor yang digunakannya untuk masuk ke Argentina. Hati nuraninya berbicara dengan "suara yang patut dihormati" masyarakat Jerman saat perang yang terindoktrinasi, yang waktu itu berada di sekelilingnya.

Charles Darwin berpendapat bahwa hati nurani berevolusi dalam spesies manusia untuk menyelesaikan konflik antara impuls alamiah yang saling bersaing. Beberapa impuls ini terkait dengan pertahanan diri, tetapi ada pula yang terkait dengan keselamatan keluarga dan masyarakat. Menurut pandangan Darwin, hati nurani muncul dari "durasi kesan insting sosial yang lebih panjang" dalam perjuangan untuk bertahan hidup; misalnya, jika seseorang melukai masyarakatnya karena rasa lapar atau takut, insting sosial akan tetap bertahan di dalam benaknya, sementara hasrat-hasrat seperti rasa lapar akan sirna begitu saja. Dengan ini ia akan merenungkan apa yang telah dilakukan dan kemudian menyesali perbuatannya. Maka dari itu, menurut Darwin, hati nurani adalah kemampuan untuk melihat ke belakang dan menghakimi perbuatan-perbuatan pada masa lalu, yang akan menghasilkan rasa penyesalan di benak seseorang.[63]

Suatu hal yang penting mengenai pandangan hati nurani ini adalah bahwa manusia menganggap dirinya berada dalam suatu hubungan sosial dengan sesuatu "yang lain". Misalnya, nasionalisme dihadirkan dalam hati nurani untuk menghindari konflik kesukuan, dan konsep Persaudaraan Manusia dihadirkan untuk menghindari konflik nasional. Akan tetapi, tekanan-tekanan eksternal seperti itu tidak hanya mengganggu, tetapi juga akan mendefinisikan ulang, hati nurani individual. Friedrich Nietzsche mengatakan bahwa "solidaritas komunal akan hilang dengan keinginan tertinggi dan terkuat yang, ketika disampaikan dengan amat bergairah, dapat membawa seorang individual lebih jauh daripada tingkatan 'hati nurani gerombolan' yang biasanya berada di tingkatan rendah."[64] Jeremy Bentham mencatat: Fanatikisme tidak pernah tidur ... tidak pernah dihentikan oleh hati nurani; karena fanatikisme telah menekan hati nurani untuk menuruti perintahnya."[65]

Hannah Arendt, dalam penelitiannya mengenai pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem, mencatat bahwa Eichmann, sama seperti rekanan Jermannya yang lain, telah lupa akan hati nurani mereka sampai benar-benar tidak mampu mengingatnya kembali. Hal ini tidak disebabkan karena mereka sudah terbiasa dengan kekerasan atau mengalihkan setiap perasaan kasihan yang muncul secara alamiah dalam diri mereka karena harus menjalankan tugas yang begitu tidak mengenakkan, melainkan karena fakta bahwa pada saat itu, setiap orang yang hati nuraninya mengalami keraguan tidak mampu melihat bahwa orang lain memiliki keraguan yang sama. "Eichmann tidak perlu menutup telinganya untuk mendengar suara hati nurani ... bukan karena ia tidak punya hati nurani, melainkan karena hati nuraninya berbicara dengan "suara yang patut dihormati", suara masyarakat Jerman yang patut dihormati yang berada di sekitarnya."[66]

Sir Arthur Keith, di tahun 1948, mengembangkan kompleks pertemanan-permusuhan. Manusia berevolusi dalam kelompok kesukuan yang dikelilingi musuh. Sebagai hasilnya, hati nurani memiliki dua peran, yaitu kewajiban untuk menyelamatkan dan melindungi anggota kelompok (bahasa Inggris: in-group), dan kewajiban untuk membenci dan bersifat agresif terhadap yang berada di luar kelompok (bahasa Inggris: out-group).

Riset menarik terkait konteks ini adalah tentang kemiripan hubungan kita dan hubungan antarbinatang. Binatang yang dimaksud di sini adalah binatang yang berada dalam masyarakat manusia (binatang peliharaan, binatang kerja, bahkan binatang yang dibesarkan sebagai sumber makanan) atau binatang liar.[67] Salah satu pendapat adalah ketika manusia menyadari hubungan sosial yang penting untuk dijaga, hati nuraninya mulai menghormati hal yang tadinya ia anggap berbeda itu, dan mulai bertindak untuk menjaganya.[68][69] Dengan cara yang sama, masyarakat burung yang kompleks dan berkembang biak secara kooperatif, misalnya magpie Australia, memiliki etiket, aturan, hierarki, permainan, nyanyian dan negosiasi. Dalam masyarakat seperti ini, perilaku melawan aturan kadang-kadang ditoleransi, dan hal ini tidak langsung terkait dengan perilaku bertahan hidup kelompok atau individu, tetapi menunjukkan perilaku yang tampaknya penuh kasih sayang dan kelembutan.[70]

Biologi evolusioner

sunting

Para ilmuwan dalam bidang biologi evolusioner mencoba menjelaskan hati nurani sebagai fungsi otak yang berevolusi untuk menghasilkan altruisme di dalam diri manusia.[71] Seperti yang diungkapkan oleh Richard Dawkins di dalam bukunya yang berjudul The God Delusion, rasa benar atau salah di dalam diri manusia dihasilkan oleh proses evolusi yang didorong oleh seleksi alam. Menurutnya hal ini dapat dijelaskan dengan konsep "evolusi yang berpusat kepada gen", karena satuan seleksi alam bukanlah organisme, tetapi gen yang "egois", dan gen-gen dapat tetap bertahan di alam salah satunya dengan mendorong organisme untuk bertindak secara altruistik terhadap kerabat mereka, sehingga meningkatkan kesempatan bagi gen yang serupa untuk menyebar luas.[72]

Neurosains dan hati nurani buatan

sunting

Berbagai studi kasus tentang kerusakan otak menunjukkan bahwa kerusakan area otak (misalnya korteks prefrontal anterior) mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya kendali diri secara sosial, yang diiringi oleh perubahan perilaku secara radikal.[73] Ketika kerusakan ini terjadi pada orang dewasa, mereka mungkin masih bisa melakukan penilaian moral, tetapi jika kerusakan ini terjadi pada anak-anak, mereka mungkin tidak akan pernah mengembangkan kemampuan itu.[74][75]

Ilmuwan neurosains telah mencoba mencari kehendak bebas di dalam otak; konsep tersebut dirasa perlu agar hati nurani dapat mencampuri proses mental yang tak sadar. Kesadaran akan niatan untuk melakukan sesuatu dapat diukur secara ilmiah dan baru muncul 350–400 mikrodetik setelah tertembaknya impuls listrik yang dikenal dengan sebutan 'potensial kesiapan'.[76][77][78]

Jacques Pitrat mengklaim bahwa hati nurani buatan dapat berguna bagi sistem kecerdasan buatan untuk meningkatkan performa jangka panjang serta mengarahkan pemrosesan introspektif mereka.[79]

Filosofis

sunting

Kata Inggris untuk hati nurani, conscience, diambil dari kata Latin, conscientia, yang berarti "rahasia ilmu pengetahuan" atau "bersama-ilmu pengetahuan".[80] Kata bahasa Inggris tersebut mengimplikasikan adanya kesadaran internal mengenai standar moral terkait dengan kualitas niatan seseorang, serta adanya kesadaran atas tindakan seseorang.[81] Dengan demikian, secara filosofis, conscience dapat diartikan (dan mungkin ini artian paling umum) sebagai semacam "perasaan" atau "rasa bersalah yang halus" yang belum diketahui maksudnya apa, mengenai sesuatu yang harusnya terjadi atau harusnya dilakukan. Dalam makna ini, hati nurani tidak mesti merupakan hasil dari pertimbangan rasional mengenai aspek moral sebuah situasi (atau prinsip, aturan, dan hukum normatif) dan dapat timbul dari indoktrinasi orang tua, teman seumuran, agama, negara, atau korporasi; dan hati nurani versi ini bisa jadi saat ini tidak berterima secara sadar kepada orang yang bersangkutan ("hati nurani tradisional").[82] Hati nurani dapat didefinisikan sebagai akal budi praktis, yang digunakan seseorang ketika menekankan keyakinan moral terhadap sebuah situasi ("hati nurani kritis").[83] Menurut para mistikus yang diketahui dewasa secara moral dan telah mengembangkan kemampuan ini melalui kontemplasi atau meditasi harian, digabungkan dengan pelayanan tanpa pamrih kepada orang lain, hati nurani kritis bisa ditimbulkan dengan semacam "percikan" wawasan intuitif atau wahyu (disebut makrifat dalam tradisi Sufi, dan sinderesis dalam filsafat moral skolastik Kristen).[84][85] Dalam keduanya, hati nurani didampingi dengan semacam kesadaran akan 'cahaya hati' dan menghilangnya 'kegelapan hati'. Setelah itu, muncullah perlawanan atau persetujuan terhadap sebuah hal atau kewajiban.[86]

Abad Pertengahan

sunting

Ilmuwan Islam Abad Pertengahan, Al-Ghazali, membagi konsep nafs (jiwa atau diri) ke dalam tiga kategori yang berdasarkan Qur'an:[48]

  1. Nafs Ammarah (QS 12:53) yang "mengajak seseorang untuk memuaskan kehendak hawa nafsu dan berlaku buruk"
  2. Nafs Lawammah (QS 75:2) yaitu "hati nurani yang mengantarkan manusia pada kebaikan atau keburukan"
  3. Nafs Mutmainnah (QS 89:27) yaitu "diri yang telah mencapai kedamaian utama"

Filsuf dan tabib Persia Abad Pertengahan, Muhammad bin Zakariya ar-Razi, berpendapat bahwa ada hubungan erat antara hati nurani atau integritas spiritual dengan kesehatan jasmani. Ia berpendapat bahwa manusia harus menghindari pemuasan diri, mengejar ilmu, menggunakan kecerdasannya, dan menegakkan keadilan.[87] Filsuf Islam Abad Pertengahan Ibnu Sina, ketika dipenjara di Kastil Fardajan di dekat Hamadhan, menuliskan eksperimen pikiran deprivasi sensori tentang "Seorang Pengambang" yang terisolasi tetapi sadar, untuk menjelajahi ide-ide tentang kesadaran diri manusia dan substansialitas jiwanya. Ia berhipotesa bahwa Tuhan menyampaikan kebenaran kepada pikiran atau hati nurani manusia melalui kecerdasan, terutama inteligensia aktif.[49] Menurut para Sufi, Allah mengantarkan manusia menuju makrifat — kedamaian atau "cahaya di dalam cahaya" yang dialami ketika seorang Muslim beribadah dan jiwanya terasa meleleh dalam pengetahuan akan Tuhan — melalui hati nurani.[88]

 
Mistikus dari Fleming, Jan van Ruysbroek, berpendapat bahwa sebuah hati nurani yang murni dapat membantu "menghilangkan diri dalam objek abadi itu yang merupakan pemberkatan yang tertinggi dan utama."

Beberapa kaum skolastik Kristen Abad Pertengahan, seperti Bonaventura, membedakan antara hati nurani sebagai fakultas rasional pikiran (akal budi praktis) dengan kesadaran internal, semacam "percikan" intuitif untuk berlaku baik, yang disebut sinderesis dan muncul dari pemahaman yang menyisa tentang kebaikan absolut. Ketika kesadaran ini disangkal secara sadar (misalnya untuk melakukan perilaku buruk), orang yang menyangkal itu akan merasa tersiksa dari dalam.[85] Teolog modern awal seperti William Perkins dan William Ames mengembangkan sebuah pemahaman silogistik mengenai hati nurani; hukum Tuhan menjadi terma pertama, tindakan yang akan dinilai terma kedua, dan tindakan hati nurani (sebagai fakultas rasional) menghasilkan penilaiannya. Dengan cara ini, hati nurani dapat diajarkan dan diperbaiki.[89]

 
Filsuf Persia Abad Pertengahan, Ibnu Sina, mengembangkan sebuah eksperimen pikiran deprivasi sensori untuk menjelajahi hubungan antara hati nurani dan Tuhan.

Di abad ke-13, St. Thomas Aquinas memandang bahwa hati nurani adalah aplikasi pengetahuan moral pada situasi tertentu.[90] Dengan demikian, hati nurani dianggap sebagai tindakan atau penilaian akal budi praktis yang bermula dengan sinderesis, perkembangan kesadaran menyisa internal kita tentang kebaikan absolut; dan kita akhirnya menjadi terbiasa menerapkan prinsip moral.[50] Menurut Singer, Aquinas berpendapat bahwa hati nurani dianggap sebagai proses penilaian taksempurna yang diterapkan pada aktivitas karena pengetahuan akan hukum alami (dan semua tindakan terkait kebajikan alami yang implisit di dalamnya) tidak diketahui kebanyakan orang sebagai akibat dari pendidikan dan adat yang lebih mengedepankan pamrih daripada gotong-royong (Summa Theologiae, I–II, I).[91] Aquinas juga membahas kaitan hati nurani dengan kebijaksanaan untuk menjelaskan mengapa ada orang-orang yang tampaknya kurang "tercerahkan secara moral" daripada orang lain. Kehendak mereka tidak mampu menyeimbangkan kebutuhan mereka sendiri dengan kebutuhan orang lain.[92]

Aquinas berpikir bahwa melawan hati nurani adalah tindakan buruk, akan tetapi hati nurani yang keliru hanya dapat dipersalahkan apabila hati nurani tersebut merupakan hasil dari ketidaktahuan yang patut dicela, yakni ketidaktahuan atas hal-hal yang patut diketahui seseorang.[91] Aquinas juga berargumen bahwa hati nurani perlu dididik agar mampu bertindak ke arah kebaikan nyata (dari Tuhan), yang dapat memajukan manusia, dan bukan hanya sekadar kebaikan yang tampak, yakni rasa enak secara indrawi.[91] Dalam Komentar-nya terkait dengan Etika Nikomakea karya Aristoteles, Aquinas mengklaim bahwa kehendak yang lemah dapat menciptakan manusia yang tidak bijak lebih memilih untuk mencari rasa nyaman daripada melakukan tindakan yang memerlukan penguasaan diri berdasarkan moral.[93]

Thomas A Kempis dalam karya kontemplatif klasik Abad Pertengahan, Imitasi Kristus (kira-kira 1418) mengatakan bahwa keutamaan manusia baik adalah kepatuhan terhadap hati nurani yang baik. "Jagalah hati nurani yang tenang, maka Anda akan selalu mengalami kebahagiaan. Hati nurani yang tenang dapat membantu Anda bersabar dan tetap berbahagia di bawah deraan masalah; sebaliknya, hati nurani yang jahat selalu dilingkupi rasa takut dan gelisah."[94] Penulis Abad Pertengahan yang tidak diketahui namanya, yang menulis karya mistis Kristen berjudul Awan Ketidaktahuan, juga menyampaikan pandangan yang mirip, bahwa dalam kontemplasi yang mendalam dan panjang, jiwa dapat mengeringkan "akar dan tanah" dosa yang selalu ada, bahkan setelah melakukan pengakuan dosa dan setelah melakukan hal-hal keagamaan: "maka, siapa pun yang ingin menjadi kontemplatif, harus pertama-tama membersihkan hati nuraninya."[95] Mistikus Abad Pertengahan dari Flandria, Jan van Ruysbroeck, juga menilai bahwa hati nurani yang benar memiliki empat aspek yang diperlukan untuk menjadikan manusia adil dalam hidup yang aktif dan kontemplatif: "jiwa bebas, yang menyukai dirinya sendiri karena cinta"; "inteligensi yang dicerahkan dengan kasih"; "kebahagiaan yang menghasilkan dorongan"; "diri sendiri yang hilang di dalam rengkuhan ... objek abadi itu, yang merupakan pemberkatan paling tinggi dan utama ... orang-orang bijaksana memahami hal ini, dan memasukkan diri mereka ke dalam sebuah benda tertentu yang tidak berbatas."[96]

Modern

sunting
 
Schopenhauer berpendapat bahwa perasaan baik yang kita dapatkan setelah berperilaku tanpa pamrih menunjukkan bahwa diri kita yang sesungguhnya ada di luar tubuh fisik.
 
Baruch Spinoza: masalah moral dan respons emosional kita pada masalah tersebut harus didasarkan pada perspektif keabadian.
 
Immanuel Kant: hukum moral di dalam diri kita memiliki ketakterhinggaan yang sesungguhnya.

Baruch Spinoza, dalam karyanya Etika yang diterbitkan setelah kematiannya di tahun 1677, mengatakan bahwa kebanyakan orang, bahkan orang-orang yang menyatakan diri mereka berkehendak bebas, tetap membuat keputusan berdasarkan pada informasi sensori yang taksempurna dan dengan pemahaman mengenai pikiran, kehendak, dan perasaan yang tidak cukup. Dalam pandangan ini, perasaan dianggap sebagai hasil keberadaan fisik tubuh dan bentuk pemikiran yang keliru, yang muncul terutama karena diganggu keinginan untuk mempertahankan diri.[97] Menurut Spinoza, kesalahan ini dapat diperbaiki dengan perlahan-lahan meningkatkan kemampuan berpikir kita demi mengubah bentuk pikiran yang diproduksi oleh emosi. Lebih lanjut, kita harus suka menyelesaikan masalah yang memerlukan penyelesaian moral melalui perspektif keabadian.[98] Menurut Spinoza, untuk hidup dengan hati nurani yang damai, seseorang perlu menggunakan akal budi untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang layak, yang memandang seluruh dunia dan konfliknya serta keinginan dan gairah manusia dengan cara sub specie aeternitatis, yaitu tanpa mereferensikan waktu.[99]

Karya Filsafat Pikiran Hegel, yang sulit dibaca dan mistis, berargumen bahwa "hak kebebasan hati nurani absolut" menganugerahkan pemahaman manusia dengan kesatuan yang merangkul semua hal, sebuah absolut yang rasional, real, dan nyata.[100] Namun demikian, Hegel berpikir bahwa sebuah Negara yang berfungsi dengan baik selalu menginginkan untuk menyangkal hati nurani sebagai sebentuk pengetahuan subyektif, mirip seperti bagaimana sains secara umum menolak opini non-objektif yang mirip dengan hati nurani.[101]

Gagasan yang idealis seperti demikian juga dapat ditemukan dalam tulisan Joseph Butler, yang mengatakan bahwa hati nurani diberikan oleh Tuhan, harus selalu dituruti, bersifat intuitif, dan harus dipandang sebagai "raja konstitusional" dan "fakultas moral universal": "hati nurani tidak hanya memberikan dirinya sendiri kepada kita untuk memperlihatkan kepada kita jalur yang mesti kita lewati. Lebih daripada itu, hati nurani juga memiliki otoritas."[102] Butler mengedepankan spekulasi etis; ia menekankan bahwa kedua prinsip regulatif dalam sifat manusia, yakni "cinta diri" (pencarian kebahagiaan individual) dan "kebaikan" (kasih sayang dan pencarian kebahagiaan untuk pihak lain), berada di dalam hati nurani (hal ini juga terkait dengan agape dalam etika situasional).[51] Butler berpikir bahwa hati nurani cenderung lebih otoritatif dalam penilaian moral; hal ini disebabkan karena hati nurani lebih mungkin bersikap jelas dan pasti (berbanding terbalik dengan nafsu pribadi, yang cenderung berubah-ubah dan mudah tiba pada kesimpulan yang berbeda-beda).[103] John Selden dalam Table Talk menyampaikan pandangan bahwa hati nurani yang sadar, namun terlalu penasaran atau tidak dilatih dengan baik, dapat merintangi seseorang melakukan tindakan praktis dan solutif. Selden mengibaratkan dengan kuda: "seperti kuda yang tidak dilatih dengan baik, kuda itu akan mengejar semua burung yang keluar dari semak."[104]

Di abad ke-18 dan 19, terjemahan Jerman tulisan suci filsafat Hindu dan Buddhis kuno mulai tersedia dan mulai memengaruhi filsuf seperti Schopenhauer. Schopenhauer berpendapat bahwa di dalam pikiran yang sehat, yang mengganggu hati nurani adalah tindakan, bukan keinginan atau pikiran: "hanya tindakan kita yang membuat kita bercermin diri". Menurut Schopenhauer, hati nurani yang baik akan kita alami setelah setiap perbuatan tanpa pamrih muncul dari kesadaran langsung mengenai kedirian internal kita di hadapan fenomena orang lain. Dengan perbuatan tanpa pamrih tersebut, kita menjadi sadar bahwa "kedirian nyata kita tidak hanya hadir dalam diri fisik saja, yakni manifestasi ini; akan tetapi juga di dalam semua makhluk yang hidup. Dengannya, hati ini terasa lebih luas; egoisme membuatnya menjadi sempit."[105]

Immanuel Kant, figur utama Abad Pencerahan, mengklaim bahwa ada dua hal yang mengisi pikirannya dengan kekaguman dan ketakjuban, dan ia semakin kagum dan takjub semakin sering dan semakin dalam ia pikirkan: "langit berbintang di atas saya, dan hukum moral di dalam saya ... hukum moral bermula dari diri saya yang tidak tampak, dari kepribadian saya, dan menunjukkan saya di sebuah alam semesta yang tidak terbatas, tempat saya menyadari bahwa diri saya sendiri hadir dalam sebuah hubungan yang universal dan penting (dan, untuk langit berbintang, diperlukan)."[106] "Hubungan universal" yang dimaksud di sini adalah imperatif kategoris Kant: "bertindaklah sesuai dengan maksim yang pada waktu yang sama dapat Anda inginkan sebagai hukum universal."[107] Kant merasa bahwa hati nurani kritis adalah semacam pengadilan internal, yang di dalamnya pikiran kita menyetujui atau menyalahkan satu sama lain. Ia mengakui bahwa orang-orang yang dewasa secara moral sering kali menggambarkan rasa cukup atau kedamaian dalam jiwa setelah mengikuti hati nuraninya untuk melakukan sebuah kewajiban. Di sisi lain, Kant juga berargumen bahwa agar aksi-aksi tersebut memproduksi kebajikan, motivasi awalnya harus merupakan kewajiban saja, dan seseorang tidak bisa mengharapkan perasaan menyenangkan atau damai tersebut.[108] Rousseau mengedepankan pandangan yang sama, bahwa hati nurani dengan cara tertentu menghubungkan manusia dengan sebuah kesatuan metafisis yang lebih besar. John Plamenatz, dalam pembacaan kritisnya terhadap karya Rousseau, berpendapat bahwa hati nurani dalam karya-karya tersebut dipandang sebagai suatu perasaan yang menyemangati diri kita, meskipun diterpa gairah untuk melakukan hal yang berlawanan, menuju dua harmoni: harmoni pertama yakni antara pikiran dan gairah kita, dan harmoni kedua antara masyarakat dan anggotanya: "kaum lemah dapat meminta hati nurani kaum kuat, dan permintaan ini, meskipun kadang tidak berhasil, akan selalu mengganggu yang kuat. Akan tetapi, sejauh mana pun kita telah rusak oleh kekuasaan dan kekayaan, baik sebagai pemilik maupun sebagai korban, ada sesuatu di dalam diri kita yang mengingatkan kita bahwa kerusakan ini melawan alam."[109]

 
John Locke menganggap bahwa keberadaan hati nurani yang meluas di masyarakat sebagai justifikasi hak alami.
 
Adam Smith: hati nurani menunjukkan apa yang berhubungan dengan kita dalam bentuk dan dimensinya yang tepat.
 
Samuel Johnson (1775) mengatakan: "Tidak ada hati nurani siapa pun yang dapat menyatakan hak orang lain."

Filsuf lain menyampaikan pandangan yang lebih skeptis dan pragmatis terkait cara kerja "hati nurani" di masyarakat.[110] John Locke dalam Esai Mengenai Hukum Alam berargumen bahwa keberadaan hati nurani yang meluas menunjukkan bahwa seorang filsuf dapat menginferensikan perlunya keberadaan hukum moral objektif yang mungkin dapat berlawanan dengan hukum negara.[111] Locke mengedepankan masalah metaetika mengenai apakah pernyataan seperti "ikutilah hati nurani-mu" lebih condong ke konsepsi subjektivis atau objektivis, yakni hati nurani sebagai pedoman moralitas konkret atau suatu penyingkapan spontan prinsip-prinsip yang abadi dan tidak dapat diubah bagi sang individu.[112] Thomas Hobbes juga secara pragmatis menunjukkan bahwa opini yang terbentuk atas dasar hati nurani, dengan keyakinan penuh dan jujur, tetap harus diterima dengan rasa rendah hati karena bisa saja salah, dan belum tentu merupakan pengetahuan atau kebenaran absolut.[113] William Godwin menyampaikan pandangan bahwa hati nurani adalah konsekuensi yang mudah diingat mengenai "persepsi manusia setiap kelompok ketika mereka masuk ke dalam adegan kehidupan yang sibuk", bahwa mereka memiliki kehendak bebas.[114] Adam Smith menganggap bahwa kita dapat melihat apa yang berhubungan dengan kita dalam bentuk dan ukuran tepatnya hanya melalui perkembangan hati nurani kritis. Selain itu, kita juga hanya dapat membuat penilaian yang baik antara kepentingan kita dan orang lain melalui hati nurani kritis.[115] John Stuart Mill percaya bahwa idealisme mengenai peran hati nurani di pemerintahan harus digabungkan dengan kesadaran praktis bahwa hanya sedikit orang di masyarakat yang mampu mengarahkan pikiran atau niatan mereka terhadap sesuatu yang jauh di masa depan atau tidak jelas hasilnya; terhadap perhatian tanpa pamrih bagi orang lain; dan terutama, pada masa depan mereka sendiri — baik agar terkenal, untuk negara, atau untuk kemanusiaan, dan dilakukan baik karena simpati maupun karena hati nurani.[116] Mill berpendapat bahwa mungkin ada sejumlah hati nurani atau jiwa publik tanpa pamrih yang dapat dilihat dalam warga masyarakat yang sudah matang untuk mencapai pemerintahan representatif, akan tetapi kita "tidak bisa mengharapkan bahwa hati nurani, digabungkan dengan kecerdasan intelektual sedemikian rupa, menjadi bukti bahwa kepentingan kelas berada di bawah keadilan dan kebaikan publik."[116]

Josiah Royce (1855–1916) berangkat dari pandangan idealisme transendental tentang hati nurani. Ia beranggapan bahwa hati nurani adalah ideal kehidupan yang membentuk kepribadian moral kita dan rencana kita untuk menjadi diri sendiri, serta merupakan hal yang membuat keputusan etis masuk akal. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa pendapat tersebut hanya benar apabila hati nurani kita setia terhadap "sebuah diri yang lebih tinggi atau lebih dalam".[117]

Dalam tradisi Kristen modern, pendekatan ini diekspresikan oleh Dietrich Bonhoeffer, yang mengatakan bahwa pada saat ia dipenjara Nazi di Perang Dunia II, baginya hati nurani bersifat lebih daripada sekadar pemikiran praktis. Menurutnya, hati nurani, pada saat itu, datang dari "sebuah kedalaman yang berada jauh dari kehendak dan kecerdasan seseorang; kedalaman ini terdengar sebagai panggilan eksistensi manusia untuk menyatu dengan dirinya sendiri."[118] Bagi Bonhoeffer, hati nurani yang merasa bersalah (guilty conscience) timbul sebagai kesadaran akan hilangnya kesatuan ini, dan sebagai peringatan agar seseorang tidak kehilangan dirinya sendiri. Dorongan ini utamanya bukan menyuruh kita untuk melakukan sesuatu hal, akan tetapi menyuruh kita untuk menjelma suatu hal. Dorongan ini memprotes tindakan yang mengganggu kesatuan manusia dengan dirinya sendiri.[52] Bagi Bonhoeffer, hati nurani, berbeda dengan rasa malu, tidak memberikan penilaian bagi moralitas kehidupan pemiliknya. Hati nurani hanya bertindak pada aksi-aksi jelas tertentu: "hati nurani dapat mengingat yang sudah lama hilang, dan menggambarkan ketercerabutan ini sebagai sesuatu yang sudah terjadi dan tidak dapat diperbaiki kembali."[119] Menurutnya, seseorang dengan hati nurani bergumul sendirian dengan "kekuatan situasi yang tidak bisa dihindari dan kuat sekali" yang mengharuskan pilihan moral, meskipun tetap ada kemungkinan terjadinya konsekuensi buruk baginya.[119]Simon Soloveychik juga pernah mengatakan bahwa kebenaran yang ada di dunia, sebagai pernyataan terkait dengan harga diri manusia serta afirmasi batasan antara yang baik dan buruk, hidup di dalam diri manusia sebagai hati nurani.[120]

Di sisi lain, sebagaimana ditunjukkan Hannah Arendt — mengikuti jejak sang utilitarian, John Stuart Mill: hati nurani yang buruk belum tentu berarti seseorang memiliki sifat yang buruk. Malah, hanya orang-orang yang berkomitmen memberikan penilaian moral yang akan merasa menyesal, malu, dan bersalah, karena merasa dirinya memiliki hati nurani yang buruk dan perlu menaklukkan kembali integritas dan kesatuan diri mereka.[121][122] Arendt menggambarkan jiwa atau diri nyata sebagai rumah, dan ia menganalogikan bahwa "hati nurani adalah penantian seorang teman — kapankah dan akankah kau kembali pulang?"[123] Arendt percaya bahwa orang-orang yang tidak terbiasa bercermin secara kritis mengenai apa yang mereka katakan dan lakukan, tidak akan takut untuk melakukan sebuah aksi immoral atau kriminal, karena mereka "bisa percaya bahwa aksi itu akan segera terlupakan". Orang jahat justru tidak penuh dengan penyesalan.[123] Arendt juga menulis dengan sangat jelas mengenai masalah bahasa yang membedakan kesadaran dengan hati nurani. Salah satu alasannya adalah hati nurani, sebagaimana dipahami dalam bidang moral dan legal, adalah sesuatu yang seharusnya bersifat selalu ada di dalam diri kita, persis seperti kesadaran. "Hati nurani ini juga harusnya memberi tahu kita tentang apa yang harusnya kita lakukan, dan haruskah kita bertobat; sebelum menjadi lumen naturale atau akal budi praktis Immanuel Kant, hati nurani adalah suara Tuhan."[124]

 
Albert Einstein mengasosiasikan hati nurani dengan pikiran, perasaan, dan aspirasi suprapersonal.

Albert Einstein, sebagai seseorang yang menyatakan menganut humanisme dan rasionalisme, juga beranggapan bahwa seseorang yang tercerahkan secara agama adalah orang yang "sekuat tenaganya berupaya untuk membebaskan diri dari rantai keinginan egois dan memiliki pikiran, perasaan, dan perasaan, yang dipegangnya karena nilai suprapersonal."[125] Einstein sering menggambarkan "suara dalam diri" sebagai sumber pengetahuan moral dan fisik: "Mekanika kuantum memang sangat menarik. Akan tetapi, ada suara di dalam diri saya yang mengatakan bahwa mekanika kuantum bukanlah hal yang sesungguhnya. Ada banyak yang berhasil diberikan teori itu kepada kita, tetapi kita tidak semakin dekat dengan rahasia Yang Tua. Saya yakin sekali bahwa Ia tidak bermain dadu."[126]

Simone Weil, yang ikut berjuang dalam perlawanan Prancis, menuliskan dalam buku terakhirnya The Need for Roots: Prelude to a Declaration of Duties Towards Mankind (Kebutuhan Akar Budaya: Sebuah Tulisan Pendahulu Deklarasi Kewajiban terhadap Kemanusiaan) bahwa agar masyarakat bisa lebih adil dan dapat lebih menjaga kebebasan, filsafat politik harus mendahulukan kewajiban daripada hak. Kebangkitan spiritual juga harus turut muncul dalam hati nurani masyarakat. Dengan demikian, secara perlahan kewajiban sosial akan dianggap memiliki sumber yang transendental dan pemenuhan kewajiban sosial akan memberikan dampak positif pada karakter manusia.[127][128] Simone Weil dalam karya yang sama juga menyampaikan penjelasan psikologis mengenai kedamaian mental yang dikaitkan dengan hati nurani yang baik: "Kebebasan manusia yang berhati nurani baik, meskipun tindakan yang dapat dilakukannya terbatas, sudah cukup dalam lingkup hati nurani tersebut. Mereka telah memasukkan aturan ke dalam jiwa mereka, dan segala kemungkinan tindakan yang dilarang itu tidak lagi penting, dan pembatasan ini tidak perlu dilawan."[129]

Pandangan selain opini metafisis dan idealis mengenai hati nurani muncul dari perspektif realis dan materialis, misalnya yang disampaikan oleh Charles Darwin. Darwin berpendapat bahwa "binatang apa pun, yang memiliki insting sosial yang dapat disaksikan dengan jelas (termasuk afeksi orang tua dan persaudaraan), pada akhirnya akan mencapai rasa moral atau hati nurani, apabila kapasitas intelektualnya telah atau hampir mencapai tingkat perkembangan kecerdasan manusia."[130] Émile Durkheim berpendapat bahwa jiwa dan hati nurani adalah bentuk-bentuk prinsip impersonal yang tersebar di sebuah kelompok tertentu dan dikomunikasikan melalui upacara totemis.[131] AJ Ayer lebih bersikap realis; ia berpendapat bahwa eksistensi hati nurani adalah sebuah pertanyaan empiris yang bisa dijawab dengan riset sosiologis mengenai kebiasaan moral seseorang atau sebuah kelompok manusia, dan apa yang menyebabkan kebiasaan moral dan perasaan-perasaan tersebut. Pertanyaan riset seperti itu, menurutya, sudah masuk ke dalam ilmu sosial yang sudah ada.[132] George Edward Moore menjembatani sudut pandang idealistis dan sosiologis mengenai hati nurani 'kritis' dan 'tradisional'. Ia mengatakan bahwa ide mengenai 'kebenaran' abstrak dan berbagai tingkatan perasaan tertentu yang muncul karena ide tersebut, bagi kebanyakan orang disebut sebagai 'sentimen moral' atau hati nurani. Di sisi lain, bagi orang lain, sebuah tindakan tampaknya dapat disebut 'benar secara internal' hanya karena mereka telah memandangnya sebagai suatu hak. Ide 'kebenaran' di sini muncul ke dalam pikiran mereka, tetapi belum tentu muncul sebagai motif yang dibangun secara sengaja.[133]

Filsuf Prancis, Simone de Beauvoir, dalam karyanya Kematian yang Amat Lembut (Une mort très douce, 1964) merefleksikan hati nuraninya sendiri mengenai keinginan ibunya untuk mengembangkan simpati moral dan pemahaman terkait orang lain.[134]

"Melihatnya menangis membuat saya sedih, tetapi saya segera sadar bahwa ia menangis karena kegagalannya sendiri, dan ia tidak peduli apa yang bergejolak di dalam diri saya ... Kami mungkin tetap bisa berdamai, hanya saja dia harus berhenti meminta semua orang mendoakan saya dan mulai memberikan saya rasa percaya diri dan simpati. Saya baru sadar tentang hal yang membuatnya tidak bisa melakukan hal itu: ia punya terlalu banyak hutang, terlalu banyak luka yang harus diobati, agar bisa memasukkan kakinya dalam sepatu orang lain. Dalam tindakan, ia banyak berkorban, tetapi perasaannya tidak membawa dirinya keluar dari diri sendiri. Lagipula, apakah dia akan mampu memahami saya jika dia menghindari melihat ke dalam hatinya sendiri?"

— Simone de Beauvoir. A Very Easy Death. Penguin Books. London. 1982. p. 60.

Michael Walzer mengklaim bahwa pertumbuhan toleransi beragama di negara Barat timbul karena beberapa hal, antara lain timbulnya kesadaran umum bahwa hati nurani pribadi menandakan suatu keberadaan ilahiah di dalam diri, terlepas dari apa pun agama yang disampaikan kepada pihak lain; serta dari kehormatan, keimanan, pengendalian diri, dan disiplin sektarian yang ditunjukkan kebanyakan orang yang membela hati nurani.[135] Walzer juga berpendapat bahwa percobaan pengadilan untuk mendefinisikan hati nurani hanya sebagai kode moral pribadi atau sebagai kepercayaan belaka dapat menimbulkan anarki egotisme moral, kecuali kode moral atau motif semacam itu dibantu dengan pengetahuan moral yang dimiliki semua orang, misalnya yang diambil dari koneksi individu dengan kesatuan spiritual yang lebih besar atau dari prinsip umum yang dimiliki orang-orang yang tidak egois.[136] Ronald Dworkin mengatakan bahwa perlindungan konstitusi atas kebebasan hati nurani bersifat sentral bagi demokrasi, akan tetapi menciptakan kewajiban pribadi untuk menggunakan kebebasan tersebut: "Kebebasan hati nurani mengasumsikan bahwa kita bertanggung jawab untuk melakukan refleksi diri. Maknanya menjadi hilang ketika tanggung jawab tersebut tidak dilakukan. Hidup yang baik tidak perlu terlalu banyak refleksi; kebanyakan hidup yang terbaik hanya dihidupi saja, tidak pernah dipelajari. Akan tetapi, ada kalanya kita harus menekankan kedirian kita, ketika penerimaan begitu saja atas takdir atau pembuatan kebijakan secara mekanis hanya karena mau menghormati orang lain atau sekadar mau hidup mudah menjadi pengkhianatan: pengkhianatan terhadap harga diri, yang ditukar dengan kemudahan."[137] Edward Conze mengatakan, agar kondisi moral seorang individu atau sebuah kolektif dapat berkembang, kita perlu menyadari ilusi bahwa hati nurani kita sepenuhnya terletak di dalam tubuh. Hati nurani dan kebijaksanaan kita muncul saat kita bertindak tanpa pamrih, dan sebaliknya, "kasih sayang yang ditekan memunculkan rasa bersalah yang dialami secara taksadar."[138]

 
Peter Singer: membedakan antara hati nurani "tradisional" yang belum dewasa dan hati nurani "kritis" yang sangat kompleks

Filsuf Peter Singer mengatakan bahwa, biasanya ketika kita secara kritis menggambarkan bahwa sebuah tindakan dilakukan atas hati nurani yang baik, penggambaran itu kita lakukan demi menyangkal bahwa agen yang bersangkutan sebenarnya termotivasi oleh keinginan-keinginan egois, seperti ketamakan atau ambisi, atau hanya sekadar keinginan atau impuls belaka.[139]

Kaum antirealis moral berdebat mengenai apakah fakta moral yang diperlukan untuk mengaktivasikan hati nurani terjadi setelah fakta alamiah, dengan keharusan a priori; atau sebaliknya, muncul secara a priori karena fakta moral memiliki niatan primer dan dunia-dunia alami yang sama bisa dikatakan identik secara moral.[140] Juga terdapat argumen bahwa ada sejenis keberuntungan moral dalam cara situasi menciptakan rintangan yang harus dihadapi hati nurani untuk mengaplikasikan prinsip moral dan hak asasi manusia. Lebih lanjut, hak properti dan rule of law, akses pelayanan kesehatan universal dan ketiadaan mortalitas dewasa dan bayi yang tinggi dari penyakit seperti malaria, TBC, HIV/AIDS dan kelaparan, telah memastikan bahwa orang-orang yang hidup dalam negara-negara maju dan kaya telah dijauhkan dari kesakitan hati nurani yang berkaitkan dengan keperluan fisik untuk mencuri makanan, menyuap inspektur pajak atau polisi, dan membunuh orang di perang gerilya melawan kekuatan pemerintah yang korup atau tentara pemberontak.[141] Scrutton juga mengklaim bahwa pemahaman sebenarnya mengenai hati nurani dan hubungannya dengan moralitas menjadi dirintangi dengan kepercayaan "dini" bahwa pertanyaan filsafat dapat diselesaikan analisis bahasa, dan hal ini terjadi di tempat-tempat yang memerlukan ketidakjelasan, yaitu ketika kejelasan mengancam kepentingan sebelumnya.[142] Susan Sontag juga mengatakan bahwa ketidakmampuan untuk menyadari bahwa kebanyakan orang yang tidak dewasa secara moral mampu mengalami sebentuk perasaan enak ketika menembus suatu tabu secara erotis, atau ketika menonton kekerasan, penderitaan dan rasa sakit dikenakan kepada pihak lain, adalah suatu gejala ketidakdewasaan psikologis.[143] Jonathan Glover menulis bahwa kebanyakan dari kita "tidak menghabiskan hidup untuk menjaga taman hati secara terus-menerus" dan hati nurani kita sepertinya tidak dibentuk oleh perjuangan heroik, melainkan oleh pemilihan pasangan, teman, karier, dan juga pemilihan tempat hidup.[144] Garrett Hardin dalam sebuah artikel terkenal berjudul tragedi kepemilikan bersama berargumen bahwa ketika masyarakat meminta seorang individual yang sedang mengeksploitasi suatu hal yang dimiliki bersama agar berhenti demi kepentingan umum - dengan alasan hati nurani - saat itulah masyarakat yang sama menciptakan suatu sistem yang justru menghilangkan hati nurani dari masyarakat. Hal ini terjadi karena sistem tersebut memindahkan kekuasaan masyarakat dan sumber daya fisik kepada orang-orang yang tidak memiliki hati nurani, sambil menciptakan rasa bersalah, misalnya kegelisahan mengenai kontribusi individual orang yang memiliki hati nurani tersebut terkait dengan overpopulasi.[145][146]

 
John Ralston Saul: para konsumen berisiko sedang memberikan hati nurani mereka kepada ahli teknis dan ideologi pasar bebas.

John Ralston Saul menyampaikan pandangannya dalam Peradaban Taksadar bahwa dalam bangsa-bangsa maju kontemporer, banyak orang telah menyerahkan rasa benar atau salah mereka, hati nurani kritis mereka, kepada para ahli teknis. Mereka secara sadar mengikat kebebasan pilihan mereka sendiri pada aksi-aksi konsumeris yang terbatas dan dipimpin logika ideologi pasar bebas. Di sisi lain, partisipasi masyarakat dalam urusan publik menjadi terbatas hanya dalam tindakan terisolasi, yaitu pemilihan umum. Pada akhirnya, lobi swasta pun mampu mendorong para wakil rakyat yang dipilih untuk melawan kepentingan publik.[147]

Beberapa pihak menggunakan dasar religius atau filosofis untuk berargumen bahwa aksi melawan hati nurani dapat dipersalahkan bahkan jika penilaian hati nurani tersebut lebih mendekati kekeliruan (mungkin karena belum mendapatkan informasi yang cukup atau tidak sadar mengenai norma (humanis atau religius), profesional, etis, legal, atau hak asasi manusia yang sudah berlaku).[148] Ketidakmampuan menyadari dan menerima bahwa penilaian hati nurani mungkin keliru bisa membuat hati nurani seseorang dimanipulasi orang lain agar menjustifikasi tindakan-tindakan egois dan tidak bijak. Apabila dilakukan hanya untuk mengglorifikasi hal-hal yang sifatnya ideologis dan dengan kesetiaan ideologis tingkat tinggi, tanpa diberikan justifikasi eksternal yang altruistik dan memperhatikan norma, hati nurani bisa saja menjadi buta moral dan berbahaya bagi individu yang bersangkutan dan kemanusiaan secara umum.[149] Langston berargumen bahwa filsuf etika kebajikan selama ini mengabaikan hati nurani secara tidak perlu karena hati nurani yang sudah dilatih agar berpendapat bahwa prinsip dan aturan yang digunakannya adalah aturan dan prinsip yang harus digunakan semua orang, dalam praktiknya kemudian aturan dan prinsip tersebut menjadi bertumbuh dan berkembang di dalam masyarakat itu. Di dalam komunitas yang dianggap sebuah masyarakat sebagai perkembangan moral tertinggi, memang terjadi sedikit sekali perdebatan mengenai cara bertindak.[8] Emmanuel Levinas beranggapan bahwa hati nurani adalah sebuah pertemuan ilahiah dengan perlawanan terhadap egoisme diri kita. Dengannya, kita mengembangkan moralitas dengan cara mempertanyakan rasa kebebasan kehendak kita yang naif dalam menggunakan kekuasaan atau kekerasan. Semakin kita ingin mengendalikan diri, proses ini pun menjadi semakin sulit.[150] Dengan kata lain, penerimaan sang Liyan, bagi Levinas, adalah esensi hati nurani yang benar. Dengan penerimaan ini, ego kita dapat menerima bahwa kita pun dapat salah saat menilik orang lain. Kita juga menjadi sadar bahwa kebebasan kehendak yang egois itu "tidak bersifat mengikat" dan kesadaran akan hal ini memiliki tujuan yang transenden: "Saya tidak sendirian ... dalam hati nurani, saya memiliki pengalaman yang tidak berhubungan dengan wahana a priori apa pun, sebuah pengalaman yang tidak berkonsep."[150]

  1. ^ Ninian Smart. The World's Religions: Old Traditions and Modern Transformations. Cambridge University Press. 1989. hlm. 10–21.
  2. ^ Peter Winch. Moral Integrity. Basil Blackwell. Oxford. 1968
  3. ^ Ioanes Rakhmat. Sokrates Dalam Tetralogi Plato. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2009. hlm. 15.
  4. ^ United Nations. Universal Declaration of Human Rights, G.A. res. 217A (III), U.N. Doc A/810 at 71 (1948). http://www.un.org/en/documents/udhr/ diakses 22 Oktober 2009.
  5. ^ Booth K, Dunne T and Cox M (eds). How Might We Live? Global Ethics in the New Century. Cambridge University Press. Cambridge 2001 hlm. 1.
  6. ^ Amnesty International. Ambassador of Conscience Award. Diakses 31 Desember 2013.
  7. ^ Wayne C Booth. The Company We Keep: An Ethics of Fiction. University of California Press. Berkeley. 1988. hlm. 11 dan Bab. 2.
  8. ^ a b Langston, Douglas C. Conscience and Other Virtues. From Bonaventure to MacIntyre. The Pennsylvania State University Press, University Park, Pennsylvania, 2001. ISBN 0-271-02070-9 p. 176
  9. ^ Ninian Smart. The World's Religions: Old Traditions and Modern Transformations. Cambridge University Press. 1989. p. 382
  10. ^ Shankara. Crest-Jewel of Discrimination (Veka-Chudamani) (trans Prabhavananda S and Isherwood C). Vedanta Press, Hollywood. 1978. hlm. 34–36, 136–37.
  11. ^ Shankara. Crest-Jewel of Discrimination (Veka-Chudamani) (trans Prabhavananda S and Isherwood C). Vedanta Press, Hollywood. 1978. p. 119.
  12. ^ John B Noss. Man's Religions. Macmillan. New York. 1968. p. 477.
  13. ^ AS Cua. Moral Vision and Tradition: Essays in Chinese Ethics. Catholic University of America Press. Washington. 1998.
  14. ^ Jayne Hoose (ed) Conscience in World Religions. University of Notre Dame Press. 1990.
  15. ^ Ninian Smart. The Religious Experience of Mankind. Fontana. 1971 p. 118.
  16. ^ Santideva. The Bodhicaryavatara. trans Crosby K and Skilton A. Oxford University Press, Oxford. 1995. hlm. 38, 98
  17. ^ Lama Anagarika Govinda in Jeffery Paine (ed) Adventures with the Buddha: A Buddhism Reader. WW Norton. London. hlm. 92–93.
  18. ^ Ajahn Thate. Steps Along the Path. Thanissaro Bhikkhu (trans) Theravada Library 1994. http://www.accesstoinsight.org/lib/thai/thate/stepsalong.html (last accessed 11 May 2013)
  19. ^ Marcus Aurelius. Meditations. Gregory Hays (trans). Weidenfeld and & Nicolson. London. 2003 hlm. 70, 75.
  20. ^ Sachiko Murata and William C. Chittick. The Vision of Islam. I. B. Tauris. 2000. ISBN 1-86064-022-2 hlm. 282–85
  21. ^ Ames Ambros and Stephan Procházka. A Concise Dictionary of Koranic Arabic. Reichert Verlag 2004. ISBN 3-89500-400-6 hlm. 294.
  22. ^ Azim Nanji. 'Islamic Ethics' in Singer P (ed). A Companion to Ethics. Blackwell, Oxford 1995. hlm. 108.
  23. ^ John B Noss. Man's Religions. The Macmillan Company, New York. 1968 Ch. 16 hlm. 758–59
  24. ^ Tillich, Paul (1963). Morality and Beyond. New York: Harper & Row, Publishers. hlm. 69. 
  25. ^ Calvin, Institutes of the Christian religion, Book 2, chapter 8, quoted in:Wogaman, J. Pilip (1993). Christian ethics: a historical introduction. Louisville, Kentucky: Westminster/John Knox Press. hlm. 119, 340. ISBN 0-664-25163-3. [...] the enemies who rise up in our conscience against his Kingdom and hinder his decrees prove that God's throne is not firmly established therein. 
  26. ^ Ninian Smart. The World's Religions: Old Traditions and Modern Transformations. Cambridge University Press. 1989. p. 376
  27. ^ Ninian Smart. The World's Religions: Old Traditions and Modern Transformations. Cambridge University Press. 1989. p. 364
  28. ^ Brian Moynahan. William Tyndale: If God Spare My Life. Abacus. London. 2003 hlm. 249–50
  29. ^ Ninian Smart. The World's Religions: Old Traditions and Modern Transformations. Cambridge University Press. 1989. p. 353
  30. ^ Guthrie D, Motyer JA, Stibbs AM, Wiseman DLJ (eds). New Bible Commentary 3rd ed. Inter-Varsity Press, Leicester. 1989. p. 905.
  31. ^ Robert Graves. The Greek Myths: 2 (London: Penguin, 1960). p. 380
  32. ^ Catechism of the Catholic Church – English translation (U.S., 2nd edition) (English translation of the Catechism of the Catholic Church: Modifications from the Editio Typica, copyright 1997, United States Catholic Conference, Inc. – Libreria Editrice Vaticana) (Glossary and Index Analyticus, copyright 2000, U.S. Catholic Conference, Inc.). ISBN 1-57455-110-8 paragraph 1778
  33. ^ Vatican Council II: The Conciliar and Post Conciliar Documents. Collegeville: The Liturgical Press 1992. Gaudium and Spes 16. Cfr. Joseph Ratzinger, On Conscience, San Francisco: Ignatius Press 2007
  34. ^ Pope Francis "Jesus Always Invites Us. He Does Not Impose." Sunday, June 30, 2013 Whispers From The Loggia http://whispersintheloggia.blogspot.com.au/2013/06/jesus-always-invites-us-he-does-not.html (accessed 11 Dec 2013)
  35. ^ Catechism of the Catholic Church, paragraph 1782
  36. ^ Catechism of the Catholic Church, paragraph 1790–91
  37. ^ Catechism of the Catholic Church, paragraph 1792
  38. ^ Samuel Willard Crompton, "Thomas More: And His Struggles of Conscience" (Chelsea House Publications, 2006); Marc D. Guerra, 'Thomas More's Correspondence on Conscience', in: Religion & Liberty 10(2010)6 (https://acton.org/thomas-mores-correspondence-conscience); Prof. Gerald Wegemer, "Integrity and Conscience in the Life and Thought of Thomas More" [21 aug. 2006](http://thomasmoreinstitute.org.uk/papers/integrity-and-conscience-in-the-life-and-thought-of-thomas-more/); http://sacredheartmercy.org/wp-content/uploads/2013/10/A-Reflection-on-Conscience.pdf
  39. ^ Cfr. his Essay in Aid of a Grammar of Assent [1870], p. 105-106; 109vv. (https://archive.org/details/a599830700newmuoft)
  40. ^ Cfr. his Letter to the Duke of Norfolk (1874), part 5: "Conscience" (http://www.newmanreader.org/works/anglicans/volume2/gladstone/section5.html)
  41. ^ Harold H Schulweis. Conscience: The Duty to Obey and the Duty to Disobey. Jewish Lights Publishing. 2008.
  42. ^ Ninian Smart. The Religious Experience of Mankind. Collins. NY. 1969 hlm. 395–400.
  43. ^ Levi Meier (Ed.) Conscience and Autonomy within Judaism: A Special Issue of the Journal of Psychology and Judaism. Springer-Verlag. New York ISBN 978-0-89885-364-3.
  44. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama autogenerated2000
  45. ^ Gilkes, Peter (July 2004). "Masonic ritual: Spoilt for choice". Masonic Quarterly Magazine (10). Diakses tanggal 7 May 2007. 
  46. ^ Manning Clark. The Quest for Grace. Penguin Books, Ringwood. 1991 p. 220.
  47. ^ Aylmer Maude. Introduction to Leo Tolstoy. On Life and Essays on Religion (A Maude trans) Oxford University Press. London. 1950 (repr) pxv.
  48. ^ a b Najm, Sami M. (1966). "The Place and Function of Doubt in the Philosophies of Descartes and Al-Ghazali". Philosophy East and West. 16 (3–4): 133–41. doi:10.2307/1397536. 
  49. ^ a b Nader El-Bizri. "Avicenna's De Anima between Aristotle and Husserl" in Anna-Teresa Tymieniecka (ed) The Passions of the Soul in the Metamorphosis of Becoming. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht 2003 hlm. 67–89.
  50. ^ a b Henry Sidgwick. Outlines of the History of Ethics. Macmillan. London. 1960 hlm. 145, 150.
  51. ^ a b Rurak, James (1980). "Butler's Analogy: A Still Interesting Synthesis of Reason and Revelation," Anglican Theological Review 62 (October) hlm. 365–81
  52. ^ a b Dietrich Bonhoeffer. Ethics. Eberhard Bethge (ed.) Neville Horton Smith (trans.) Collins. London 1963 hlm. 24
  53. ^ C. Hitchens. God is Not Great. Allen & Unwin NY (2007) hlm. 309.
  54. ^ May, L. (1983). "On Conscience". American Philosophical Quarterly. 20: 57–67. 
  55. ^ Lawrence Kohlberg. "Conscience as principled responsibility: on the philosophy of stage six" in Zecha G and Weingartner P (Eds). Conscience: An Interdisciplinary View. D. Reidel, Dordrecht. 1987 ISBN 90-277-2452-0 hlm. 3–15.
  56. ^ Wurgaft, LD. (1976). "Erik Erikson: from Luther to Gandhi". Psychoanalytic review. 63 (2): 209–33. PMID 788015. 
  57. ^ Lihat Martha Stout. The Sociopath Next Door: The Ruthless Versus The Rest of Us. Broadway Books. ISBN 0-7679-1581-X. ISBN 978-0-7679-1581-6. 2005.
  58. ^ Childress JF. Appeals to Conscience. Ethics 1979; 89: 315–35.
  59. ^ Erich Fromm. Greatness and Limitations of Freud's Thought. Jonathan Cape, London. 1980. hlm. 126–27.
  60. ^ Lihat Sigmund Freud. "The Cultural Super-Ego" dalam P Singer (ed). Ethics. Oxford University Press. NY 1994
  61. ^ Damasio, Antonio (1999). The Feeling of What Happens. Harcourt. ISBN 0-15-100369-6. 
  62. ^ Michel Glautier. The Social Conscience. Shepheard-Walwyn, London. 2007. ISBN 978-0-85683-248-2
  63. ^ James Rachels, How Different are Humans from Other Animals?, dalam David Inglis, John Bone, Rhoda Wilkie (ed.), Nature: The Nature of Human Nature. Routledge, Abingdon. 2005. hlm. 64
  64. ^ Friedrich Nietzsche "The Origins of Herd Morality" in P Singer (ed). Ethics. Oxford University Press. NY 1994
  65. ^ Jeremy Bentham. Introduction to the Principles of Morals and Legislation. (Burns JH and Hart HLA eds), Athlone Press. London. 1970 Ch 12 p. 156n.
  66. ^ Hannah Arendt. Eichmann in Jerusalem. Penguin Books, New York. 1994 ISBN 0-14-018765-0. hlm. 95, 103, 106, 116, 126.
  67. ^ Anonymous. "Wild Justice and Fair Play: Animal Origins of Social Morality" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 28 June 2007. Diakses tanggal 16 January 2007. 
  68. ^ Linden, Eugene (2000). The Parrot's Lament: And Other True Tales of Animal Intrigue, Intelligence, and Ingenuity. New York: Plume. ISBN 0-452-28068-0. 
  69. ^ Von Kreisler, Kristin (1999). The Compassion of Animals: True Stories of Animal Courage and Kindness. Rocklin, Calif.: Prima. ISBN 0-7615-1808-8. 
  70. ^ Gisela Kaplan. Australian Magpie: Biology and Behaviour of an Unusual Songbird. CSIRO Publishing, Collingwood. 2004. hlm. 83, 124.
  71. ^ Susan Greenfield. The Quest For Identity in the 21st Century. Sceptre. London. 2008 hlm. 223.
  72. ^ Richard Dawkins. The God Delusion. Bantam Press. London 2006 hlm. 215-216.
  73. ^ Tranel, D. 'Acquired sociopathy': the development of sociopathic behavior following focal brain damage. Prog. Exp. Pers. Psychopathol. Res. 1994; 285–311.
  74. ^ Greene, J. D., Nystrom, L. E., Engell, A. D., Darley, J. M. & Cohen, J. D. The neural bases of cognitive conflict and control in moral judgment. Neuron 2004; 44, 389–400.
  75. ^ Jorge Moll, Roland Zahn, Ricardo de Oliveira-Souza, Frank Krueger & Jordan Grafman. The Neural Basis of Human Moral Cognition Diarsipkan 22 August 2006 di Wayback Machine.. Vision Circle 10 Oktober 2005 diakses 18 Oktober 2009.
  76. ^ Libet B, Freeman A and Sutherland K (eds). The Volitional Brain: Towards a Neuroscience of Free Will. Imprint Academic. Thorverton. 2000.
  77. ^ AC Grayling. "Do We Have a Veto?" Times Literary Supplement. 2000; 5076 (14 July): 4.
  78. ^ Batthyany, Alexander: Mental Causation and Free Will after Libet and Soon: Reclaiming Conscious Agency. In Batthyany und Avshalom Elitzur. Irreducibly Conscious. Selected Papers on Consciousness, Universitätsverlag Winter Heidelberg 2009, hlm. 135ff
  79. ^ Pitrat, Jacques (2009). Artificial Beings: The Conscience of a Conscious Machine). Wiley. ISBN 978-1-84821-101-8. 
  80. ^ Oxford English Dictionary, second edition, 1989.
  81. ^ Little, W, Fowler HW, Coulson J, Onions CT. The Shorter Oxford English Dictionary On Historical Principles. 3rd ed. Vol 1 Clarendon Pres. Oxford. 1992. hlm. 402–03.
  82. ^ Peter Singer. Practical Ethics. 2nd ed. Cambridge University Press, Cambridge. 1993 hlm. 292–95.
  83. ^ Peter Singer. Democracy and Disobedience. Clarendon Press. Oxford. 1973. p. 94
  84. ^ Ninian Smart. The Religious Experience of Mankind. Collins. New York 1969 hlm. 511–12.
  85. ^ a b Langston, Douglas C. Conscience and Other Virtues: From Bonaventure to MacIntyre. The Pennsylvania State University Press, University Park, Pennsylvania, 2001. ISBN 0-271-02070-9 p. 34
  86. ^ Campbell Garnett A. "Conscience and Conscientiousness" in Feinberg J (ed) Moral Concepts. Oxford University Press, Oxford. 1969 hlm. 80–92
  87. ^ A.J. Arberry (transl.). The spiritual Physik of Rhazes (London, John Murray 1950).
  88. ^ Ninian Smart. The Religious Experience of Mankind. Collins. New York. 1969. hlm. 511–12
  89. ^ Ceri Sullivan. The Rhetoric of the Conscience in Donne, Herbert, and Vaughan. Oxford University Press, Oxford. 2008 ISBN 978-0-19-954784-5
  90. ^ (Summa Theologiae, I, q. 79, a. 13)
  91. ^ a b c Thomas Aquinas. "Of the Natural Law" in P Singer (ed). Ethics. Oxford University Press. NY 1994 hlm. 247–49.
  92. ^ Saarinen, R. Weakness of the Will in Medieval Thought From Augustine to Buridan. Brill, Leiden. 1994
  93. ^ Brain Davies. The Thought of Thomas Aquinas. Clarendon Press. Oxford. 1992
  94. ^ Thomas A Kempis. "The Imitation of Christ". Leo Sherley-Price (trans) Penguin Books. London. 1965 Bk II, bab 6 On The Joys of a Good Conscience. hlm. 74.
  95. ^ Anonymous. The Cloud of Unknowing. Clifton Wolters (trans.) Penguin Books. London 1965 bab 28 hlm. 88
  96. ^ John of Ruysbroeck. The Kingdom of the Lovers of God. Kegan Paul. London. 1919. bab III hlm. 14–15 and ch XLIII hlm. 214
  97. ^ Spinoza. Ethics. Everyman's Library JM Dent, London. 1948. Part 2 proposition 35. Part 3 proposition 11.
  98. ^ Spinoza. Ethics. Everyman's Library JM Dent, London. 1948. Part 4 proposition 59, Part 5 proposition 30
  99. ^ Roger Scruton. "Spinoza" in Raphael F and Monk R (eds). The Great Philosophers. Weidenfeld & Nicolson. London. 2000. p. 141.
  100. ^ Richard L Gregory. The Oxford Companion to the Mind. Oxford University Press. Oxford. 1987 p. 308.
  101. ^ Georg Hegel. Philosophy of Right. Knox TM trans, Clarendon Press, Oxford. 1942. para 137.
  102. ^ Joseph Butler "Sermons" in The Works of Joseph Butler. (Gladstone WE ed), Clarendon Press, Oxford. 1896, Vol II p. 71.
  103. ^ Henry Sidgwick. Outlines of the History of Ethics. Macmillan, London. 1960 hlm. 196–97.
  104. ^ John Selden. Table Talk. Garnett R, Valee L and Brandl A (eds) The Book of Literature: A Comprehensive Anthology. The Grolier Society. Toronto. 1923. Vol 14. p. 67.
  105. ^ Arthur Schopenhauer. The World as Will and Idea. Vol 1. Routledge and Kegan Paul. London. 1948. hlm. 387, 482. "Saya percaya bahwa pengaruh sastra Sansakerta akan mempenetrasi setidaknya sejauh ketika sastra Yunani dihidupkan kembali di abad ke-15." hlm. xiii.
  106. ^ Kant I. "The Noble Descent of Duty" in P Singer (ed). Ethics. Oxford University Press. NY 1994 p. 41.
  107. ^ Kant I. "The Categorical Imperative" in P Singer (ed). Ethics. Oxford University Press. NY 1994 p. 274.
  108. ^ Kant I. "The Doctrine of Virtue" in Metaphyics and Morals. Cambridge University Press. Cambridge. 1991. hlm. 183 and 233–34.
  109. ^ John Plamenatz. Man and Society. Vol 1. Longmans. London. 1963 p. 383.
  110. ^ Hill T Jr "Four Conceptions of Conscience" in Shapiro I and Adams R. Integrity and Conscience. New York University Press, New York 1998 p. 31.
  111. ^ Roger Woolhouse. Locke: A Biography. Cambridge University Press, Cambridge. 2007. p. 53.
  112. ^ John Locke. An Essay Concerning Human Understanding. Dover Publications. New York. 1959. ISBN 0-486-20530-4. Vol 1. ch II. hlm. 71-72fn1.
  113. ^ Thomas Hobbes. Leviathan (Molesworth W ed) J Bohn. London, 1837 Pt 2. Ch 29 p. 311.
  114. ^ William Godwin. Enquiry Concerning Political Justice. Codell Carter K (ed), Clarendon Press. Oxford. 1971 Appendix III 'Thoughts on Man' Essay XI 'Of Self Love and Benevolence' p. 338.
  115. ^ Adam Smith. The Theory of Moral Sentiments. Part III, section ii, Ch III in Rogers K (ed) Self Interest: An Anthology of Philosophical Perspectives. Routledge. London. 1997 p. 151.
  116. ^ a b John Stuart Mill. "Considerations on Representative Government". Ch VI. In Rogers K (ed) Self Interest: An Anthology of Philosophical Perspectives. Routledge. London. 1997 hlm. 193–94
  117. ^ John K Roth (ed). The Philosophy of Josiah Royce. Thomas Y Crowell Co. New York. 1971 hlm. 302–15.
  118. ^ Dietrich Bonhoeffer. Ethics. (Eberhard Bethge (ed) Neville Horton Smith (trans) Collins. London 1963 p. 242
  119. ^ a b Dietrich Bonhoeffer. Ethics. (Eberhard Bethge (ed) Neville Horton Smith (trans) Collins. London 1963 p. 66
  120. ^ Simon Soloveychik. Parenting For Everyone. Ch 12 "A Chapter on Conscience" Diarsipkan 16 May 2007 di Wayback Machine.. 1986. Retrieved 23 October 2009.
  121. ^ Hannah Arendt. Crises of the Republic. Harcourt, Brace, Jovanovich. New York. 1972 hlm. 62.
  122. ^ John Stuart Mill. "Utilitarianism" and "On Liberty" in Collected Works. University of Toronto Press. Toronto. 1969 Vols 10 and 18. Ch 3. hlm. 228–29 and 263.
  123. ^ a b Hannah Arendt. The Life of the Mind. Harcourt Brace Jovanovich, New York. 1978. hlm. 191.
  124. ^ Hannah Arendt. The Life of the Mind. Harcourt Brace Jovanovich, New York. 1978. p. 190.
  125. ^ Einstein, A. (1940). "Science and religion". Nature. 146 (3706): 605–07. Bibcode:1940Natur.146..605E. doi:10.1038/146605a0. 
  126. ^ Quoted in Gino Segre. Faust in Copenhagen: A Struggle for the Soul of Physics and the Birth of the Nuclear Age. Pimlico. London 2007. p. 144.
  127. ^ Simone Weil. The Need For Roots: Prelude to a Declaration of Duties Towards Mankind. Routledge & Kegan Paul. London. 1952 (repr 2003). ISBN 0-415-27101-0 hlm. 13 et seq.
  128. ^ Hellman, John. Simone Weil: An Introduction to Her Thought. Wilfrid Laurier, University Press, Waterloo, Ontario. 1982.
  129. ^ Simone Weil. The Need For Roots: Prelude to a Declaration of Duties Towards Mankind. Routledge & Kegan Paul. London. 1952 (repr 2003). ISBN 0-415-27101-0 hlm. 13.
  130. ^ Charles Darwin. "The Origin of the Moral Sense" in P Singer (ed). Ethics. Oxford University Press. NY 1994 hlm. 44.
  131. ^ Émile Durkheim. The Elementary Forms of the Religious Life. The Free Press. New York. 1965 hlm. 299.
  132. ^ AJ Ayer. "Ethics for Logical Positivists" in P Singer (ed). Ethics. Oxford University Press. NY 1994 hlm. 151.
  133. ^ GE Moore. Principia Ethica. Cambridge University Press. London. 1968 hlm. 178–79.
  134. ^ Simone de Beauvoir. A Very Easy Death. Penguin Books. London. 1982. ISBN 0-14-002967-2. hlm. 60
  135. ^ Michael Walzer. Obligations: Essays on Disobedience, War and Citizenship. Clarion-Simon and Schuster. New York. 1970. p. 124.
  136. ^ Michael Walzer. Obligations: Essays on Disobedience, War and Citizenship. Clarion-Simon and Schuster. New York. 1970. p. 131
  137. ^ Ronald Dworkin. Life's Dominion. Harper Collins, London 1995. hlm. 239–40
  138. ^ Edward Conze. Buddhism: Its Essence and development. Harper Torchbooks. New York. 1959. hlm. 20 and 46
  139. ^ Peter Singer. Democracy and Disobedience. Clarendon Press. Oxford. 1973. p. 94.
  140. ^ David Chalmers. The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory. Oxford University Press. Oxford. 1996 hlm. 83–84
  141. ^ Nicholas Fearn. Philosophy: The Latest Answers to the Oldest Questions. Atlantic Books. London. 2005. hlm. 176–177.
  142. ^ Roger Scrutton. Modern Philosophy: An Introduction and Survey. Mandarin. London. 1994. hlm. 271
  143. ^ Susan Sontag. Regarding the Pain of Others. Hamish Hamilton, London. 2003. ISBN 0-241-14207-5 hlm. 87 and 102.
  144. ^ Jonathan Glover. I: The Philosophy and Psychology of Personal Identity. Penguin Books, London. 1988. p. 132.
  145. ^ Garrett Hardin, "The Tragedy of the Commons", Science, Vol. 162, No. 3859 (13 December 1968), hlm. 1243–48. Also available here and here.
  146. ^ Scott James Shackelford. 2008. "The Tragedy of the Common Heritage of Mankind". Retrieved 30 October 2009.
  147. ^ John Ralston Saul. The Unconscious Civilisation. Massey Lectures Series. Anansi Pres, Toronto. 1995. ISBN 0-88784-586-X hlm. 17, 81 and 172.
  148. ^ Alan Donagan. The Theory of Morality. University of Chicago Press, Chicago. 1977. hlm. 131–38.
  149. ^ Beauchamp TL and Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 4th ed. Oxford University Press, New York. 1994 hlm. 478–79.
  150. ^ a b Emmanuel Levinas. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority. Lingis A (trans) Duquesne University Press, Pittsburgh, PA 1998. hlm. 84, 100–01