Pengguna:Mdnghtrn/Aftermath (album Rolling Stones)

Aftermath adalah sebuah album studio karya grup musik rok Inggris the Rolling Stones. Album ini direkam di Studio RCA di California pada Desember 1965 dan Maret 1966, selama rehat antara tur konser internasional grup tersebut. Dirilis pada 15 April 1966 di Britania Raya oleh Decca Records dan pada akhir Juni atau awal Juli 1966 di Amerika Serikat oleh London Records, album ini merupakan album studio keempat grup tersebut di Inggris dan yang keenam di Amerika. Aftermath dirilis menyusul kesuksesan serangkaian singel hit internasional yang membantu the Stones mencapai kekayaan dan ketenaran baru yang menyaingi rival mereka, the Beatles.

Album ini dianggap oleh para sarjana musik sebagai terobosan artistik bagi the Rolling Stones. Ini adalah album pertama mereka yang sepenuhnya berisi komposisi asli, yang seluruhnya digubah oleh Mick Jagger dan Keith Richards. Brian Jones kembali tampil sebagai kontributor kunci dan mencoba memainkan instrumen yang tidak familier dalam musik populer, termasuk sitar, dulsimer Apalacchia, koto Jepang, dan marimba, di samping gitar dan harmonika. Selain tekstur instrumental Jones, the Stones juga mengikutsertakan jangkauan akor yang lebih luas dan elemen gaya yang melampaui pengaruh blues Chicago dan R&B mereka, seperti musik pop, rakyat, country, psikedelik, Barok, dan Timur Tengah. Terinspirasi oleh asmara yang intens dan jadwal tur yang padat, Jagger dan Richards menulis album ini di seputar tema psikodramatis cinta, seks, gairah, kekuasaan dan dominansi, kebencian, obsesi, masyarakat modern, dan kebintangan rok. Perempuan tampil sebagai karakter utama dalam lirik mereka yang gelap, sarkastis, dan menghina.

Perilisan album ini sempat tertunda akibat kontroversi mengenai ide pengemasan dan judul awalnya – Could You Walk on the Water? – sebab label mereka yang khawatir judulnya akan menyinggung penganut Kristen di AS dengan implikasinya akan Yesus berjalan di atas air. Akibat kurangnya kontrol kreatif dan ketiadaan gagasan lain untuk judulnya, the Stones dengan enggan menetapkan tajuk Aftermath, dan dua foto berbeda untuk kedua edisi albumnya. Perilisan UK album ini berdurasi lebih dari 52 menit, LP musik populer terpanjang hingga saat itu. Edisi Amerikanya dirilis dengan daftar lagu yang lebih singkat, menambahkan singel "Paint It Black"[a] sebagai ganti empat lagu dari versi Inggrisnya, mengikuti preferensi industri untuk LP yang lebih singkat di pasar AS pada masanya.

Aftermath lekas meraih kesuksesan komersial baik di UK maupun AS, dengan memuncaki tangga album Inggris selama delapan minggu beturut-turut dan menerima sertifikasi platina dari Asosiasi Industri Rekaman Amerika Serikat (RIAA). Sebagai salah satu perilisan perdana pada era album dan sebuah pesaing dampak kontemporer dari Rubber Soul (1965) karya the Beatles, album ini mencerminkan budaya masa muda dan nilai Swinging London 1960-an serta perkembangan kontra-kebudayaan, sementara menarik ribuan penggemar baru the Rolling Stones. Aftermath turut dinikmati oleh para kritikus, meski sejumlah pendengar tersinggung oleh sikap yang menghina perempuan dalam lagu-lagu tertentu. Musik di dalamnya yang subversif mengukuhkan citra the Stones sebagai pemberontak rok selagi memelopori isi psikologis dan sosial yang akan dijelajahi oleh glam rock dan punk rock Inggris pada 1970-an. Aftermath telah dianggap sebagai salah satu musik terpenting dari masa awal the Stones dan karya klasik pertama mereka, kerap hadir dalam daftar-daftar profesional untuk album terbaik.

Latar belakang

sunting

Pada tahun 1965, kepopuleran the Rolling Stones meningkat drastis dengan serangkaian singel hit internasional yang ditulis oleh penyanyi utama dan gitaris mereka, Mick Jagger serta Keith Richards.[2][3] Kesuksesan ini menarik perhatian Allen Klein, seorang pebisnis Amerika yang menjadi perwakilan grupnya di AS pada bulan Agustus,[4] sementara Andrew Loog Oldham, manajer mereka, melanjutkan perannya sebagai promotor dan produser rekaman.[5] Salah satu tindakan pertama Klein atas nama grupnya adalah memaksa Decca Records memberikan royalti muka $1,2 juta kepada the Stones, menunjukkan pertanda pertama kekayaan keuangan bagi para anggota dan membolehkan mereka membeli rumah dan mobil baru.[6] Tur konser mereka pada Oktober hingga Desember 1965 di Amerika Utara merupakan yang keempat dan terbesar untuk the Stones pada saat itu.[7] Menurut penulis biografi Victor Bockris, melalui keterlibatan Klein, rangkaian konser tersebut memberikan grupnya "publisitas yang lebih banyak, proteksi yang lebih ketat, dan bayaran yang lebih tinggi".[8]

Sejak saat itu, the Rolling Stones mulai merespons musik the Beatles yang kian rumit.[3] Keduanya telah dibandingkan sebab Oldham mempromosikan the Stones sebagai alternatif yang lebih kasar dari the Beatles.[9] Dengan kesuksesan singel-singel tulisan Jagger–Richards – "(I Can't Get No) Satisfaction" (1965), "Get Off of My Cloud" (1965), dan "19th Nervous Breakdown" (1966)" – grupnya makin menyaingi pengaruh musik dan kebudayaan the Beatles.[10] Sikap the Stones yang terus terang nan masam dalam lagu-lagu seperti "Satisfaction" mengalienasi para establishment pencela musik rok, yang, seperti sejarawan musik Colin King jelaskan, "hanya menjadikan grupnya lebih menarik bagi para putra dan putri yang mendapati diri mereka terasingkan dari kemunafikan dunia dewasa – sebuah elemen yang akan berkembang menjadi kontra-kebudayaan yang makin militan dan kecewa sementara dekadenya berlalu."[11] Layaknya artis rok Inggris dan Amerika sejawat lainnya, the Stones mencoba untuk menciptakan album sebagai sebuah pernyataan artistik dengan Aftermath, terinspirasi oleh prestasi the Beatles dengan perilisan Desember 1965 mereka, Rubber Soul – sebuah LP yang Oldham anggap telah "mengubah dunia musik yang kita tinggali dahulu menjadi yang masih kita tempati sekarang".[12][13]

Pada tahun 1966, terinspirasi oleh para wanita berkuasa di sekeliling mereka, didorong oleh mesin kembar ambisi dan narkoba, the Rolling Stones melanjutkan serangkaian singel hit visioner dan mulai merilis album-album yang berdiri sebagai karya krusial pada masanya. Pengaruh dari energi baru wanita yang kuat terhadap the Stones tak dapat disangkal ... Pada saat yang bersamaan, ini merupakan era "Stupid Girl" dan "Under My Thumb", lagu-lagu misoginis tentang dominansi dilatari oleh musik the Stones yang tergelap, paling bergairah.

Stephen Davis (2001)[14]

Ketegangan sudah biasa terjadi di antara the Stones, sebab Brian Jones terus dipandang oleh para penggemar dan pers sebagai pemimpin grupnya,[15] suatu situasi yang dibenci oleh Jagger dan Oldham.[16] Dinamika grup ini juga dipengaruhi oleh hubungan percintaan beberapa anggotanya.[17] Hubungan Jones bersama model Jerman Anita Pallenberg yang mengambil aspek sadomasokis mendorong Jones untuk memperbarui kepercayaan dirinya serta bereksperimen secara musik, sementara inteligensi dan kerumitan Pallenberg mengintimidasi sekaligus membangkitkan kecemburuan anggota the Stones yang lain.[18] Jagger lalu memandang pacarnya, Chrissie Shrimpton, sebagai tak cukup jika dibandingkan;[15] sementara Jagger mencari pendamping yang lebih glamor sepadan dengan kekayaannya, aura di sekeliling Jones dan Pallenberg menjadi salah satu alasan berakhirnya hubungan mereka yang kian rongseng.[19] Hubungan Richards dengan Linda Keith turut memburuk akibat penyalahgunaan narkoba sang pacar yang meninggi hingga melibatkan Mandrax dan heroin.[20] Penulis biografi Stephen Davis menggambarkan situasi ini sebagai sebuah "revolusi yang tengah berjalan di antara the Stones", menambahkan bahwa "Anita Pallenberg mengembalikan Brian Jones yang bimbang ke tempatnya dalam grup dan dalam mitos the Rolling Stones. Keith Richards turut jatuh cinta kepadanya, dan cinta segitiga mereka pun mengembalikan poros politik the Stones yang sedang genting."[17]

Penulisan dan perekaman

sunting

Aftermath adalah LP the Stones pertama yang seluruhnya terdiri atas bahan asli karya grupnya.[21] Semua lagunya, atas anjuran Oldham, ditulis oleh kemitraan penulisan lagu Jagger dan Richards.[22] Keduanya menulis kebanyakan lagu selama tur Oktober–Desember 1965 mereka dan perekaman langsung dimulai selepas turnya rampung. Menurut pemain bas Bill Wyman, dalam buku Rolling with the Stones, mereka awalnya membayangkan Aftermath sebagai sebuah lagu tema untuk film terencana, Back, Behind and in Front.[b] Rancangan ini dibatalkan setelah Jagger bertemu sang calon sutrdara, Nicholas Ray, dan tidak menyukainya.[25] Sesi perekaman berlangsung di Studio RCA di Los Angeles pada 6–10 Desember 1965 dan dilanjutkan pada 3–12 Maret 1966 menyusul promosi singel "19th Nervous Breakdown" dan sebuah tur Australasia.[26] Charlie Watts, pemain drum grupnya, mengatakan kepada pers bahwa mereka telah menyelesaikan sepuluh lagu dari blok sesi pertama; menurut buku Wyman, sekitar 20 lagu direkam pada bulan Maret.[27] Di antara lagu-lagu tersebut ialah empat lagu yang dirilis sebagai singel pada paruh pertama tahun 1966, dengan sisi A "19th Nervous Breakdown" dan "Paint It Black".[a] "Ride On, Baby" dan "Sittin' on a Fence" juga direkam selama sesi-sesi tersebut,[28] tetapi tidak kunjung dirilis hingga album AS tahun 1967 mereka, Flowers.[29]

Merujuk kepada suasana di RCA, Richards mengatakan kepada majalah Beat Instrumental pada Februari 1966: "Sesi kami sebelumnya selalu terburu-buru. Kali ini kami bisa sedikit santai, tanpa tergesa-gesa."[30] Rekayasawan utama untuk album ini, Dave Hassinger, berperan penting dalam membuat para anggota nyaman selama sesi perekaman, dengan membiarkan mereka bereksperimen dengan instrumental serta bergabung dengan musisi sesi seperti Jack Nitzsche untuk meragamkan bunyi mereka. Wyman mengingat Nitzsche dan Jones mengambil alat musik yang ada di studio dan bereksperimen dengan bunyi untuk setiap lagu. Menurut Jagger, Richards menulis berbagai melodi dan grupnya tampil dengan cara berbeda yang dipertimbangkan di studio.[31] Dalam ingatan rekayasawan Denny Bruce, lagu-lagunya kerap dikembangkan melalui Nitzsche yang mengorgansisasikan gagasan musik dengan piano.[32] Wyman kemudian mengkritik Oldham atas melatih Jagger dan Richards sebagai penulis lagu dan mengasingkan anggota yang lain.[33] Sang pemain bas juga mengeluhkan bahwa kredit penulisan "Paint It Black" seharusnya diberikan kepada nama samaran grupnya, Nanker Phelge, alih-alih kepada Jagger–Richards, sebab lagunya yang berasal dari sebuah improvisasi studio oleh Wyman sendiri, Jones, dan Watts,[34] dengan Jones menyumbangkan baris melodinya.[35]

Jones terbukti penting dalam pembentukan nada dan aransemen albumnya, karena ia yang mencoba instrumen yang tidak biasa dalam musik populer, seperti marimba, sitar, dan dulsimer Appalachia. Davis mengutip "perumpamaan masam dan pengaruh eksotis" dalam Rubber Soul, terutama penggunaan sitar India George Harrison dalam "Norwegian Wood", sebagai inspirasi eksperimen Jones dengan alat musik tersebut pada Januari 1966: "Suatu malam George meletakkan sitar besar tersebut di tangan Brian, dan selama satu jam Brian mulai mengerjakan melodi-melodi kecil." Menurut Nitzsche, Jones layak menerima kredit penulisan untuk "Under My Thumb", yang Nitzsche ingat merupakan sebuah urutan tiga akor tak orisinal hingga Jones menemukan sebuah marimba Meksiko yang tertinggal dari sesi sebelumnya, dan mengubah potongan tersebut dengan menyediakan riff pusatnya. Wyman setuju, mengatakan, "Ya, tanpa bagian marimbanya, itu bukanlah sebuah lagu, betul?"

Selama sesi perekaman, Richards dan Oldham menolak minat Jones dalam menggunakan instrumentasi eksotis sebagai sebuah lagak. Menurut jurnalis musik Barbara Charone, menulis pada tahun 1979, semua orang yang berkaitan dengan the Stones memberikan kredit kepada Jones atas "sungguh mengubah rekaman tertentu dengan instrumen yang aneh nan ajaib". Sementara Nitzsche terkejut melihat sekejam apa mereka memperlakukan Jones, ia kemudian mengatakan bahwa Jones terkadang absen atau dilumpuhkan oleh narkoba. Hassinger mengingat melihat Jones kerap "berbaring di lantai, mabuk atau berhalusinasi" dan tak mampu tampil, serta bahwa rekan anggotanya akan menunggu dirinya pergi daripada berargumen layaknya grup lain.

Akibat distraksi Jones, Richards akhirnya memainkan sebagian besar bagian gitar untuk Aftermath, menjadikannya salah satu album pertama yang berisi permainan gitarnya. Richards kemudian mengatakan bahwa ia mendapati tantangannya menguntungkan secara musik, tetapi membenci Jones atas sikapnya yang tak profesional ketika grupnya berada di bawah tekanan ekstrem untuk merekam dan mempertahankan jadwal tur yang padat. Dalam beberapa lagu, Richards mendukung barisan bas Wyman dengan sebuah bagian fuzz bass, yang diduga oleh sejarawan musik Phillipe Margotin dan Jean-Michel Guesdon diperngaruhi oleh penggunaan Paul McCartney dalam lagu "Think for Yourself" dari Rubber Soul. Aftermath juga merupakan LP pertama the Stones yang kebanyakan lagunya dirilis dalam stereo sejati, alih-alih stereo yang dibuat ulang secara elektronik.

Gaya musik

sunting

Menurut musikolog David Malvinni, Aftermath adalah puncak perkembangan gaya the Rolling Stones dari tahun 1964, sebuah sintesis bunyi blues, rock and roll, rhythm and blues, soul, folk rock, dan balada pop yang telah dijelajahi sebelumnya. Margotin dan Guesdon melanjutkan dengan mengatakan bahwa album ini menunjukkan the Stones terbebas dari pengaruh yang telah membanjiri musik awal mereka, terutama akar blues Chicago grupnya. Sebagai gantinya, mereka menyatakan, rekaman ini menampilkan gaya art rock asli yang dihasilkan dari eksperimen musikal Jones dan menarik tidak hanya pengaruh musik blues dan rok, tetapi juga pop, R&B, country, Barok, klasik, dan dunia. Nada musik dan tangga nada dari lagu lute Inggris dan musik Timur Tengah tampil di antara musik rok dan blues (dalam bentuk baik country maupun urban) berbasis riff dalam Aftermath. Sementara masih menganggapnya sebuah karya blues rock, Tom Moon menyamakan musiknya dengan sebuah kolaborasi antara grup musik art rock the Velvet Underground dan grup Stax Records. Jagger menyetujui sentimen-sentimen tersebut dalam sebuah wawancara tahun 1995 bersama Rolling Stone, memandang Aftermath sebagai sebuah karya yang beragam gayanya dan tonggak pencapaian untuknya yang "akhirnya berhenti merasakan keharusan mengkover lagu-lagu R&B lama – yang sejujurnya kami tidak lakukan sebagaimana seharusnya".

Bersama tindak lanjut 1967-nya, Between the Buttons, Aftermath dikutip oleh Malvinni sebagai bagian dari masa pop-rok the Rolling Stones karena berisi jangkauan akor yang lebih beragam dan inklusif akor minor dibandingkan rekaman berbasis blues mereka. Menurut Kevin Courrier, the Stones menggunakan aransemen yang "lembut nan rumit", memberikan rekamannya "ambiens menggoda" yang mirip dengan Rubber Soul, terutama dalam "Lady Jane", "I Am Waiting", "Under My Thumb", dan "Out of Time". Dua lagu terakhir, di antara tajuk pop-rok yang lebih standar dalam Aftermath, adalah contoh menonjol dari Jones yang menganyam instrumen inkonvensional dan bunyi eksentrik ke dalam karakter sonik albumnya; penggunaan marimba olehnya tampil dalam keduanya. Menurut pendapat Philip Norman, kontribusi beragam Jones memberikan Aftermath baik "warna bunglon" yang dikaitkan dengan mode Swinging London maupun sebuah "kualitas visual" yang berbeda dari album the Stones lainnya. Robert Christgau mengatakan bahwa tekstur hard rock hasil turunan blues milik the Stones kini "diperkaya secara permanan" karena Jones "melumurinya dengan warna instrumental yang mistis", Watts "melembutkan potongan jazz menjadi bentuk rok", Richards "terus berdansa dengan kasar", dan grupnya "secara keseluruhan belajar untuk menghormati (tak pernah menakzimkan) nuansa studio"; permainan Wyman dalam album ini digambarkan oleh Moon sebagai yang paling eksentrik dalam sebuah LP stone.

Mengutip lagu-lagu individual, Rolling Stone menggambarkan Aftermath sebagai sebuah "koleksi ekspansif riff yang tangguh ('It's Not Easy') dan blues akustik yang lebih tangguh lagi ('High and Dry'); psikedelia yang laju ('Paint It Black'), keperkasaan baroque-folk ('I Am Waiting') dan groove apik ('Goin' Home' yang berdurasi sebelas menit)". Jon Savage juga menyorot keberagaman gaya dalam album ini, mengatakan bahwa ia "menjangkau madrigal modern ('Lady Jane'), raga balai musik ('Mother's Little Helper'), dirge yang aneh bagai kutukan ('I Am Waiting'), dan pop ceria ('Think') hingga mutasi blues yang begitu kering ('High and Dry', 'Flight 505', [dan] 'Goin' Home')". Empat lagu pertama edisi AS Aftermath – "Paint It Black", "Stupid Girl", "Lady Jane", dan "Under My Thumb" – diidentifikasi oleh akademikus musik James Perone sebagai percobaan albumnya yang paling eksplisit untuk melamapui konvensi rock and roll berbasis blues the Stones yang lampau. Ia juga mencatat bagaimana riff dan bagian solo gitar Richards dalam "Under My Thumb" begitu "minimalis, dalam tesitura yang agak rendah dan secara relatif tak beremosi" dibandingkan dengan lagu hit the Stones sebelumnya, seperti "Satisfaction", "Get Off of My Cloud", dan "19th Nervous Breakdown".

Lirik dan tema

sunting

Hampir seperti perempuan dalam kemanusiaan mereka yang bertentangan menyimbolkan kondisi kehidupan yang merupakan target akhir kemarahan the Stones.

—Seorang kritikus musik anonim (ca 1966)

Gaya musik Aftermath yang beragam kontras dengan tema gelap yang dijelajahi dalam lirik Jagger dan Richards, yang kerap mencemooh kekasih wanita. Margotin dan Guesdon mengatakan bahwa Jagger, yang telah dituduh atas misogini sebelum album ini, tengah membalas ketidakadilan kehidupan nyata melalui lagu-lagunya, menggunakan "bahasa dan perumpamaan yang menyakiti". "Stupid Girl", yang menyerang "ketamakan dan ketentuan sederhana terduga dari wanita", diduga oleh para penulis sebagai sebuah kritik terhadap Shrimpton. "High and Dry" mengekspresikan pandangan sinis terhadap koneksi romantis yang terputus, sementara "Under My Thumb", "Out of Time", dan "Think" menunjukkan bagaimana "pembalasan dendam seorang pria terhadap wanita simpanannya (atau mungkin istri) menjadi sumber kenikmatan yang nyata". Shrimpton hancur ketika mendengar lirik "Out of Time", yang berisi Jagger menyanyikan, "You're obsolete, my baby, my poor old-fashioned baby" ("Kau usang sayangku, kasihan sayangku yang kuno"). Savage mengatakan bahwa lagu-lagu serupa "membangkitkan kejijikan citra the Rolling Stones yang terkonstruksi" dalam bentuk lirik dengan mengambil antipati Jones terhadap Shrimpton, yang digambarkan olehnya sebagai "gadis kelas menengah atas yang bersemangat dan membalas dengan sepadan". Mengaku bahwa sauvinisme pria menjadi tema kunci lirik the Stones mulai akhir 1965, Richards kemudian memberitahu Bockris: "Semua itu adalah sempalan dari lingkungan kami ... hotel dan terlalu banyak gadis bodoh. Tidak semuanya bodoh, tidak sama sekali, tetapi salah satunya jadi begitu. Kau benar-benar terputus."

Menurut pandangan Margotin dan Guesdon, the Stones mengekspresikan sikap yang lebih berbelas kasihan terhadap perempuan dalam "Mother's Little Helper", yang meneliti ketergantungan seorang ibu rumah tangga akan obat farmasi dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya, dan dalam kisah pacaran romantis dari "Lady Jane". Sebaliknya, Davis menulis Aftermath berisi "serangan yang jelas terhadap keibuan" dan menyatakan bahwa "Mother's Little Helper" membicarakan "para ibu rumah tangga pinggir kota yang ditenangkan". Menurut Hassinger, istrinya, Marie, memberikan inspirasi untuk "Mother's Little Helper" ketika ia menawarkan beberapa depresan kepada seorang staf studio sesuai permintaannya. Davis menyamakan "Lady Jane" dengan sebuah lagu cinta Tudor dengan lirik yang terinspirasi oleh surat cinta Henry VIII untuk Lady Jane Seymour. Sejumlah pendengar berasumsi bahwa lagu tersebut berisi tentang teman masyarakat tinggi Jagger, Jane Ormsby-Gore, putri dari David Ormsby-Gore, Baron Harlech ke-5. Dalam apa yang disebut sebagai klaim "tak tulus" oleh jurnalis musik Chris Salewicz, Jagger memberitahukan Shrimpton bahwa "Lady Jane" ditulis untuknya.

Secara keseluruhan, tema-tema di dalamnya yang lebih gelap menyebabkan Margotin dan Guesdon menyebut Aftermath sebuah "album sendu berisi lagu-lagu yang menggemakan kehampaan, paranoia, dan frustrasi". Menurut kritikus Steven Hyden, penulisan lagu Jagger menjelajahi "seks sebagai kenikmatan, seks sebagai kekuasaan, cinta disamarkan sebagai kebencian dan kebencian disamarkan sebagai cinta". Moon meyakini bahwa ideologi flower power pada masanya dirombak dalam kegelapan melalui "lagu-lagu ini yang tangguh, ramping, [dan] putus asa nan kesepian", sementara Norman menyebut mereka "lagu-lagu kemenangan pria muda" yang di dalamnya berisi Jagger menampilkan pesona kanak-kanak dan cemoohan misoginis secara alternatif. Sementara lagu-lagu seperti "Stupid Girl" dan "Under My Thumb" mungkin misoginis, mereka juga ditafsirkan sebagai representasi gelap maskulinitas penuh kebencian dari sang narator. Misogini, seperti dalam "Under My Thumb", "mungkin hanya merupakan cara untuk mengembalikan narsisme rapuh dan kesombongan sang narator", sarjana musik Norma Coates mempertimbangkan. Merujuk kepada versi AS album ini, Perone mengidentifikasi berbagai fitur musik dan lirik di dalamnya memberikan Aftermath kohesi konseptual yang, walau tidak menjadikannya sebuah album konsep, membolehkan rekamannya dianggap sebagai sebuah "psikodrama seputar tema cinta, gairah, dan obsesi yang tidak pernah begitu berhasil". LP tersebut dapat pula dimengerti sebagai "sebagian dunia fantasi gelap pria, mungkin dibangun sebagai cara menghadapi kesepian yang diakibatkan oleh ... keruntuhan serangkaian hubungan dengan wanita". Seperti yang dijelaskan oleh Perone:

Lagu-lagu individualnya tampak memantul bolak-balik di antara tema cinta/gairah untuk wanita dan keinginan untuk mengendalikan wanita serta misogini belaka. Namun, grupnya menggunakan koneksi musik antara lagu-lagunya serta subtema berkelana, penggunaan metafora licik untuk wanita, dan koneksi lirik lainnya untuk mengisyaratkan bahwa para karakter yang digambarkan oleh penyanyi utama Mick Jagger sepanjang albumnya adalah satu dan mungkin timbul dari istirahat psikenya.

Menurut sejarawan musik Simon Philo, layaknya seluruh perilisan 1966 the Stones, Aftermath juga mencerminkan "keterlibatan" grupnya dengan Swinging London, sebuah panggung yang mengizinkan citra dekaden mereka memberikan sebuah peran utama dengan mengambil cita meritokrat dari masa muda, penampilan, dan kekayaan di atas kelas sosial. Pengarang Ian MacDonald mengatakan bahwa, seperti dalam Between the Buttons, the Stones tampil dalam album ini sebagai pencerita dari panggung tersebut dan menghasilkan sejenis musik pop "subversif" yang sebanding dengan grup sejawat the Kinks. Menurut pengamatan Greil Marcus, protagonis dalam lagu-lagunya dapat ditafsirkan sebagai bohemian London yang secara ekstrem menghina kenyamanan borjuis, mengedepankan "duel antara seks" serta menggunakan humor dan cemooh sebagai senjata. Courrier menambahkan bahwa, sebagai "kembaran jahat" Rubber Soul, Aftermath mengambil "skeptisisme romantis" album itu dan kembali membingkainya menjadi sebuah narasi "pemberontakan kelas bawah".

Baik "Mother's Little Helper" maupun "What to Do" menghubungkan masyarakat modern dengan perasaan tidak bahagia. Keprihatinan grupnya mengenai kebintangan rok juga turut disebutkan, termasuk tur konser yang padat dalam "Goin' Home" dan para penggemar yang meniru mereka dalam "Doncha Bother Me", yang berisi Jagger menyanyikan, "The lines around my eyes are protected by copyright law" ("Garis di sekitar mataku dilindungi oleh hukum hak cipta"). Savage memandang lirik yang sama, didahului oleh baris "All the clubs and the bars / And the little red cars / Not knowing why, but trying to get high" ("Semua klub dan bar / Dan mobil-mboil kecil merah / Tak tahu mengapa, tetapi mencoba mabuk"), sebagai pendapat sinis the Stones terhadap Swinging london pada masa ketika fenomena tersebut menerima perhatian internasional dan ditampilkan sebagai sebuah objek wisata. Menurut Perone, "I Am Waiting" mengisyaratkan paranoia naratornya dan bahwa kekuatan masyarakat adalah penyebabnya, biarpun lagunya menampilkan derajat kepasrahan dibandingkan komentar-komentar lain dalam albumnya mengenai masyarakat yang terfokus kepada kelas dan konsumen.

Judul dan pengemasan

sunting

Selama perekaman, Oldham ingin menggunakan Could You Walk on the Water? sebagai judul albumnya. Pada pertengahan Januari 1966, pers Inggris mengumumkan bahwa sebuah LP baru the Rolling Stones dengan tajuk tersebut akan dirilis pada 10 Maret. Dalam Rolling with the Stones, Wyman menyebut pengumuman tersebut "kelancangan" dari sisi Oldham, meski ia menduga bahwa Could You Walk on the Water? merupakan judul terencana untuk album kompilasi bulan Maret mereka, Big Hits (High Tide and Green Grass), dan bukan untuk Aftermath. Pada saat itu, Richards mengeluhkan bahwa Oldham terus-menerus mencoba untuk "terlibat dalam aksinya", dan the Stones "telah secara praktik menjadi sebuah proyeksi egonya sendiri". Seorang juru bicara Decca mengatakan bahwa perusahaannya tidak akan menerbitkan sebuah album dengan judul serupa "berapa pun harganya"; gagasan Oldham mengecewakan para eksekutif distributor Amerika perusahaan tersebut, London Records, yang khawatir singgungannya terhadap Yesus berjalan di atas air akan menyebabkan tanggapan negatif dari para penganut Kristen.

Kontroversi judulnya menyangkutkan the Stones dalam sebuah konflik dengan Decca, menunda perilisan Aftermath dari Maret menjadi April 1966. Oldham juga telah mengajukan ide memproduksi gatefold menampilkan enam halaman foto berwarna menunjukkan tur Amerika the Stones dan sebuah sampul menggambarkan grupnya berjalan di atas sebuah reservoir di California dengan lagak "mesias pop di Danau Galilea", menurut gambaran Davis. Juga ditolak oleh Decca, kemasan tersebut justru digunakan untuk versi AS Big Hits, walaupun dengan sebuah sampul menunjukkan grupnya di atas ujung reservoirnya. Menurut Davis, "dengan kepahitan (atas kekurangan kendali akan karya mereka) setelahnya, album tersebut dijuduli Aftermath sebab keinginan untuk konsep lain". Rolling Stone menduga sebuah koneksi antara judul akhirnya dengan tema yang dijelajahi dalam musiknya: "Akibat dari apa? Dari topan ketenaran yang menyebabkan perilisan lima album dalam dua tahun, untuk satu sisi .. Dan dari wanita munafik." Menurut pandangan Norman, sebuah "akibat" dari "rujukan asusila kepada mukjizat Kristus yang paling spektakuler" dari judul awalnya adalah "hal yang paling dibutuhkan bos mereka yang takut akan Tuhan untuk menyelamatkan mereka", secara efektif menghindari kemarahan seluruh dunia yang disebabkan oleh komentar John Lennon pada bulan Maret, bahwa the Beatles "lebih populer daripada Yesus".

Gambar sampul depan untuk perilisan Inggris Aftermath diambil oleh Guy Webster dan didesain oleh Oldham, dengan nama samaran "Sandy Beach". Sebagai ganti esai rumit yang biasa Oldham ikutsertakan dalam album the Stones, catatan albumnya ditulis oleh Hassinger dan berisi komentar lurus mengenai musiknya. Sebagian tulisan Hassinger berbunyi: "Begitu hebat bagi saya untuk bisa bekerja bersama the Stones, yang, tidak seperti ejekan pelawak di seluruh dunia, profesional, dan begitu menyenangkan dalam bekerja." Untuk gambar sampulnya, portet wajah anggota grupnya diposisikan secara diagonal di depan sebuah latar belakang berwarna murah muda dan hitam, dan judulnya ditulis terpenggal dalam dua baris. Bagian belakang LP-nya menampilkan empat foto hitam putih grupnya yang diambil oleh Jerry Schatzberg di studio fotografi miliknya di New York pada Februari 1966. Jones menyatakan pertidaksetujuannya atas desain Oldham dalam sebuah wawancara bersama Melody Maker pada bulan April.

Untuk sampul edisi Amerika, David Bailey mengambil sebuah foto berwarna dari Jones dan Richards di depan Jagger, Watts, dan Wyman, serta melatarinya dengan latar hitam yang kabur. Menurut Margotin dan Guesdon, gambar tersebut sengaja dikaburkan sebagai "singgungan terhadap gerakan psikedelik" dan sebab gambar tersebut "lebih terhubung dengan arah artistik the Stones yang baru".

Pemasaran dan penjualan

sunting

Perilisan Aftermath didahului oleh sebuah tur selama dua minggu di Eropa, yang dimulai pada 25 Maret 1966. Decca menerbitkan albumnya di Britania Raya pada 15 April dengan sebuah siaran pers yang menyatakan: "Kita menghadap Shakespeare dan Dickens dan Chaucer untuk catatan pada masa lainnya dalam sejarah kita, dan kami merasa bahwa esok hari kita akan sering kali menengok rekaman gramofon the Rolling Stones ... yang bertindak sebagai sebuah cermin pemikiran, tindakan, dan peristiwa hari ini." Pada hari yang sama, majalah Time mempublikasikan sebuah karangan khas berjudul "London: A Swinging City", mengakui fenomena Swinging London terlambat setahun selepas puncaknya. Edisi Inggris Aftermath menampilkan durasi 52 menit dan 23 detik, yang terpanjang untuk sebuah LP musik populer pada masanya. Rekaman ini dicetak dengan volume yang lebih kecil akibat panjangnya yang tak biasa. Di Belanda, Phonogram Records tergesa-gesa merilis album tersebut pada 14 Mei merespons permintaan yang tinggi dari pengecer musik di Belanda.

Di AS, London menunda perilisan albumnya untuk memasarkan kompilasi Big Hits terlebih dahulu, walau menerbitkan "Paint It Black" sebagai sebuah singel pada bulan Mei. Lagu tersebut awalnya dirilis sebagai "Paint It, Black", dengan komanya merupakan galat oleh Decca, yang menuai kontroversi atas dugaan konotasi rasial. Grupnya memulai tur konser Amerika Utara kelima mereka pada 24 Juni untuk mendukung Aftermath; tur tersebut merupakan tur berpenghasilan tertinggi mereka pada masanya dan, menurut Richards, awal periode pengembalian kedekatan antara Jones, Jagger, dan dirinya sendiri. Pada akhir Juni atau awal Juli, London merilis edisi Amerika album tersebut dengan "Paint It Black" menggantikan "Mother's Little Helper", yang dirilis pada saat yang sama di AS sebagai sebuah singel dengan "Lady Jane" sebagai sisi B. "Out of Time", "Take It or Leave It", dan "What to Do" turut dipotong dari daftar lagu LP edisi AS-nya guna mempersingkat durasi secara signifikan, mengikuti kebijakan industri dalam menebritkan album yang lebih singkat dan memaksimalkan jumlah perilisan LP untuk artis populer. Aftermath adalah album studio keempat the Rolling Stones di Inggris dan yang keenam di Amerika.

Di UK, Aftermath memuncaki tangga LP Record Retailer (selanjutnya diadaptasi sebagai UK Albums Chart) selama delapan minggu berturut-turut, menggantikan album lagu tema film 1965 The Sound of Music di nomor satu. Album ini berhasil bertahan selama 28 minggu di tangga LP tersebut. Aftermath menjadi album terlaris keempat tahun 1966 di UK, dan salah satu dari 10 besar rekaman terlaris di Belanda. Di AS, album ini memasuki Billboard Top LPs di nomor 117 pada 2 Juli, entri baru tertinggi di tangga album tersebut pekan itu. Sejak 13 Agustus, Aftermath telah naik menuju nomor dua di bawah Yesterday and Today (1966). Pada bulan itu, Asosiasi Industri Rekaman Amerika Serikat (RIAA) menyertifikasi emas album ini atas pengiriman 500.000 kopi; sertifikasinya meningkat menjadi platina untuk satu juta salinan pada tahun 1989.

Menurut sejarawan pop Richard Havers, performa Aftermath di tangga musik AS dibantu oleh kesuksesan "Paint It Black", yang memuncaki Billboard Hot 100 selama dua minggu pada bulan Juni. "Mother's Little Helper" turut meraih kepopuleran di Hot 100 dengan memuncak di nomor delapan. Lagu-lagu dari albumnya pun terbukti disukai di antara artis rekaman lainnya, dengan "Mother's Little Helper", "Take It or Leave It", "Under My Thumb", dan "Lady Jane" dikover setelah sebulan perilisan Aftermath. Menambahkan kesuksesan Jagger dan Richards sebagai penulis lagu, Chris Farlowe memuncaki tangga lagu UK dengan versi "Out of Time" miliknya pada bulan Agustus.

Penerimaan kritis

sunting

Aftermath menerima ulasan-ulasan yang amat menyukai dari pers musik. Album ini dirilis hanya beberapa bulan sebelum Blonde on Blonde karya Bob Dylan dan Revolver karya the Beatles, album-album oleh para artis yang dibandingkan dengan Jagger dan Richards sementara Oldham mempromosikan kedewasaan artistik grupnya. Di antara kritikus Inggris, Richard Green dari Record Mirror, pada April 1966, memulai ulasannya dengan mengatakan: "Baik mereka menyadarinya maupun tidak – dan saya pikir Andrew Oldham sadar – the Rolling Stones kini memegang LP tersukses tahun ini dengan Aftermath", menambahkan bahwa akan memerlukan usaha keras untuk melampaui prestasi mereka. Green mengatakan bahwa musiknya jelas merupakan rock and roll serta ia terkesan terutama oleh permainan drum Watts. Keith Altham dari New Musical Express (NME) menyerukan the Stones sebagai "dalang di balik mesin elektrik" yang telah merekam sebuah LP "dengan nilai harga terbaik sepanjang masa". Ia menggambarkan "Goin' Home" sebagai sebuah "improvisasi R&B yang fantastis" dan mengatakan bahwa "Lady Jane", "Under My Thumb", serta "Mother's Little Helper" berpotensi menjadi singel-singel hebat. Aftermath dianggap oleh Melody Maker sebagai LP terbaik grupnya yang akan "menerjang Inggris dengan mudah". Pengulas dari majalah tersebut mengelukan fokus albumnya terhadap "ketukan dan kekuatan yang besar, dan 'bunyi' yang menarik", mencatat bagaimana penggunaan dulsimer, sitar, organ, harpsichord, marimba, dan fuzz box menciptakan "keragaman atmosfer dan nada yang berlimpah".

Sementara sikap liriknya yang menghina wanita menyinggung sejumlah pendengar, aspek ini menuai sedikit perhatian dari pers pop Inggris maupun keluhan dari para penggemar wanita. Dalam jurnal kebudayaan New Left Review, Alan Beckett menulis bahwa lirik grupnya hanya dapat sepenuhnya diapresiasi oleh audiens yang familier dengan kehidupan kota modern, terutama London. Ia mengatakan bahwa "gadis arketipe" the Stones, seperti pertama kali dikenalkan dalam lagu 1965 mereka, "Play with Fire", "kaya, manja, bingung, lemah, menggunakan narkoba, dll.", menambahkan bahwa: "Semua orang yang telah berada di sekitar Chelsea atau Kensington dapat menamai setidaknya satu orang dengan karakter tersebut." Merespons dalam publikasi yang sama, sejarawan cendekiawan Perry Anderson (menggunakan nama samaran Richard Merton) membela pesan grupnya sebagai sebuah ekspose pemberani nan satiris mengenai kesenjangan seksual. Ia mengatakan bahwa melalui lagu-lagu seperti "Stupid Girl" dan "Under My Thumb", the Stones telah "menentang tabu utama dari sistem sosial" dan bahwa mereka telah "melakukannya dengan cara yang paling radikal dan tak dapat diterima: dengan merayakannya".

Sejumlah penulis feminis membela "Under My Thumb". Camille Paglia menganggap lagu tersebut sebuah "karya seni" meski liriknya yang seksis, dan Aftermath sebagai sebuah "album yang hebat" dengan "kemerduan yang kaya". Dalam sebuah artikel 1973 untuk Creem, Patti Smith menceritakan responsnya terhadap album ini pada tahun 1966: "Album Aftermath merupakan langkah sejati. Wanita bermuka dua. Jangan kau ganggu saya. Sang penyanyi menampilkan penghinaan terhadap wanitanya. Ia berada di puncak dan itulah yang saya suka. Kemudian ia mengangkat sang wanita sebagai ratu. Obsesinya adalah ia. 'Goin' Home'. Lagu yang luar biasa ... musik Stones tengah mengacak-acak musik."

Di antara komentator AS, Bryan Gray menulis dalam Deseret News: "Album ini melakukan kerja terbaik dalam mengalienasi yang berusia lebih dari dua puluhan. Alasannya – mereka mencoba bernyanyi." Panel ulasan Record World memilih album tersebut sebagai salah satu dari tiga "Album Terbaik Pekan Ini", memprediksi kesuksesan besar untuk albumnya sementara menyorot "Paint It Black" sebagai "hanya awal dari serangkaian [lagu-lagu] hebat". Pengulas Billboard memprediksi Aftermath akan menjadi satu lagi hit untuk the Stones, mengutip "Paint It Black" sebagai titik pusat album hard rock tersebut dan menghormati Oldham atas produksinya. Cash Box begitu terkesan dengan LP-nya dan turut memprediksi keuksesan tangga musik untuknya, mengatakan bahwa terutama "Lady Jane" dan "Goin' Home" akan menarik perhatian signifikan. Menulis dalam Esquire, Robert Christgau mengatakan bahwa rekaman the Stones mempersembahkan satu-satunya tantangan yang mungkin untuk posisi Rubber Soul sebagai "album yang inovasi, ketetatan, dan inteligensi liriknya" telah jauh melampaui karya mana pun dalam musik populer. Sekitar dua tahun setelahnya, dalam Stereo Review, ia mengikutsertakan versi Amerika Aftermath dalam "perpustakaan" rok biasa yang berisi 25 album dan mengaitkan kesenian the Stones sebagian besar kepada Jagger, "yang kekuatan, kelembutan, dan ketajamannya tak tertandingi dalam musik populer kontemporer". Sementara menyiratkan bahwa Jagger dan Richards berdiri di belakang John Lennon dan Paul McCartney sebagai komponis melodi rok, Chirstgau tetap menganggapnya sebagai album terbaik dalam segala kategori dan menulis:

Para pencandu rok mengategorikan the Stones dengan the Beatles, tetapi mungkin mereka belum menarik audiens yang lebih luas sebab kesetiaan mereka kepada musik itu murni; Hollywood Strings tidak akan pernah merekam sebuah album berisi melodi Jagger–Richards. Namun, untuk siapa pun yang bersedia menghapus prekonsepsi [Jagger], Aftermath adalah sebuah pengalaman yang hebat, sebuah inti sari dari semua tentang rok dan blues.

Dampak dan peninggalan

sunting

Aftermath dianggap sebagai yang terpenting di antara album awal the Rolling Stones. Album tersebut merupakan perilisan perdana pada era album, yang menyaksikan LP menggantikan singel sebagai produk dan bentuk utama dalam ekspresi musik populer. Layaknya Rubber Soul, kesuksesan komersial Aftermath menggagalkan percobaan industri musik dalam mendirikan kembali pasar LP sebagai domain pembeli rekaman yang lebih kaya dan dewasa – sebuah rencana yang didorong oleh pertidaksetujuan industri akan citra kasar terkait Jagger dan keyakinan mereka bahwa pembeli rekaman muda lebih tertarik dengan singel. Menurut pendapat Malvinni, Aftermath merupakan "langkah krusial dari kekuasaan the Stones akan dunia pop" serta tanggapan mereka terhadap Rubber Soul, yang juga merangkul kemunculan budaya masa buda dalam musik populer selama pertengahan 1960-an. Dengan kesuksesan mereka yang berkesinambungan, the Stones bergabung bersama the Beatles dan the Who sebagai salah satu dari sedikit artis rok yang mampu mengikuti arah seni mereka sendiri dan meluruskan diri mereka dengan panggung bohemian London tanpa mengalienasi audiens muda yang lebih luas atau tampak berkompromi dengan nilai kelas pekerja mereka. Berbicara mengenai dampak perilisan Aftermath di Inggris pada tahun 1966, Margotin dan Guesdon mengatakan bahwa album tersebut, "dari satu sisi, lagu tema Swinging London, sebuah hadiah kepada para pemuda hip" dan "salah satu bintang terterang dari budaya baru (atau kontra-kebudayaan) yang akan mencapai zenitnya setahun kemudian pada Summer of Love".

Aftermath langsung menyusul trilogi lagu-lagu the Stones' yang didasarkan dari Pengalaman Amerika mereka: "(I Can't Get No) Satisfaction", "Get Off of My Cloud", dan "19th Nervous Breakdown", menanamkan bahwa mereka telah cukup percaya diri dengan keterampilan penulisan mereka untuk mempersembahkan sebuah album berisi bahan asli. Walaupun mungkin mereka tidak sadar tentang hal tersebut pada masanya, tendangan andrenalin mereka (yang telah mempertahankan mereka selama tiga tahun) hampir saja habis. Namun, momentum belaka dari perjuangan mereka meraih supremasi di Amerika menjadikan grupnya mampu melancarkan coup de grâce tanpa menunjukkan tanda-tanda kekakuan artistik.

Roy Carr (1976)

Aftermath telah dipandang sebagai pembentuk utama dari karya awal the Rolling Stones. Bunyi baru mereka dalam album tersebut membantu memperluas pengikut mereka secara signifikan, sementara isinya mengukuhkan citra gelap mereka. Seperti yang Ricthie Unterberger amati, perspektifnya yang menghina terhadap masyarakat dan wanita berpengaruh besar akan reputasi grupnya sebagai "para bad boy" musik rok. Menurut John Mendelsohn dari PopMatters, komentar sosial terutama dalam "Mother's Little Helper" membantu "menguatkan reputasi mereka sebagai sebuah kekuatan kultural yang subversif", sebab lagu tersebut membeberkan kemunafikan budaya arus utama yang mengasosiasikan penyalahgunaan psikotropika dengan para pencandu dan bintang rok. Jazz Monroe dari NME menulis bahwa Aftermath menyangkal sekaligus membayangkan kembali tradisi rok dan mengangkat the Stones hingga setara dengan the Beatles selamanya. Menulis untuk The A.V. Club, Hyden menggambarkan albumnya sebagai sebuah "templat untuk setiap album klasik the Stones yang menyusulnya", mengaitkan lagu-lagu yang "sarkastis, gelap, dan mengejutkan" di dalamnya dengan mengenalkan tema-tema yang akan Jagger jelajahi lebih dalam pada masa depan melalui "persona kompleks nan licin" yang membolehkannya menjadi "baik dan buruk, pria dan wanita, tangguh dan lembut, korban dan pelaku". Citra yang secara sengaja "mencengangkan dan rumit" ini membantu membuat Jagger salah satu musisi utama yang paling menarik dalam rok, Hyden menyimpulkan.

Album ini terbukti berpengaruh dalam pengembangan musik rok. Isi gelap di dalamnya memelopori tema-tema psikologis dan sosial dari glam rock serta punk rock Inggris pada 1970-an. Sejarawan musik Nicholas Schaffner, dalam The British Invasion: From the First Wave to the New Wave (1982), mengakui the Stones dalam album tersebut sebagai artis rekaman pertama untuk melibatkan tema seks, narkoba, dan budaya rok "dengan baik ukuran inteligensi maupun kurangnya sentimentalitas yang terkait atau bahkan romatisisme". Sikap dari lagu-lagu seperti "Paint It Black" memengaruhi pandangan nihilis dari musik punk. Beberapa elemen blues berorientasi rok dalam Aftermath mengilhami musik blues-rok akhir 1960-an. Schaffner menyriratkan bahwa "Goin' Home" mengantisipasi tren panjang improvisasi musikal oleh grup rok profesional, sementara Rob Young dari Uncut mengatakan bahwa lagu tersebut menandakan "gelombang psikedelis mendatang" dengan cara yang sama seperti Rubber Soul. Meringkas dampak Aftermath pada tahun 2017, penulis budaya pop Judy Berman menggambarkan "Paint It Black" sebagai "hit rok paling nihilis hingga kini", dan menyimpulkan bahwa, "dengan Jones meningglkan gitarnya untuk berbagai alat musik eksotis dan grupnya menyalurkan kerinduan mereka dengan rumah setelah tur dalam lagu blues sebelas menit yang membubung, 'Goin' Home', mereka juga telah mendorong maju musik rok."

Penilaian kembali

sunting

Aftermath kerap dipertimbangkan sebagai album klasik pertama the Rolling Stones. Menurut Stephen Davis, pendiriannya sebagai koleksi asli perdana Jagger–Richards menjadikannya, "untuk para penggemar serius, album sejati Rolling Stones pertama". Schaffner mengatakan bahwa album tersebut adalah yang "paling kreatif" dan dapat dibilang yang terbaik di antara album dari "lima tahun pertama", sementara Hyden mengutip albumnya sebagai "mahakarya paripurna" pertama mereka. Menulis untuk Uncut, Ian MacDonald mengakuinya sebagai "puncak awal" dalam karier the Stones, dan Jody Rosen, dalam sebuah karangan khas untuk Blender, mengikutsertakannya sebagai salah satu album "esensial" grupnya. Alexis Petridis dari The Guardian menjulukinya sebagai rekaman terbaik kelima karya the Stones, sementara Graeme Ross dari The Independent mendaftarnya di nomor enam dan menyatakan bahwa album tersebut berdiri di sebuah tingkat bersama sesama LP tolok ukur dari 1966, termasuk Blonde on Blonde, Revolver, dan Pet Sounds karya the Beach Boys. Dalam The Rolling Stone Illustrated Histroy of Rock & Roll (1976), Christgau menamai Aftermath pemimpin serangkaian LP the Stones – termasuk Between the Buttons, Beggars Banquet (1968), Let It Bleed (1969) – yang bertahan "di antara album rok terbaik". Dalam MusicHound Rock, Greg Kot menyorot kontribusi instrumental Jones yang "lihai" sementara mengidentifikasi Aftermath sebagai album yang mengubah the Stones dari "tradisionalis" blues Inggris menjadi artis kanonis dari era album-rok, bersama the Beatles dan Bob Dylan. Dalam sebuah ulasan retrospeksi untuk AllMusic, Unterberger mengelukan penggunaan pengaruh Dylan dan psikedelia dalam "Paint It Black", sementara memuji "Under My Thumb", "Lady Jane", dan "I Am Waiting" sebagai mahakarya.

Pada tahun 2002, kedua versi Aftermath secara digital dimaster ulang sebagai bagian dari kampanye perilisan ulang ABKCO Records untuk album 1960-an the Rolling Stones. Mengulas perilisan ulang tersebut untuk Entertainment Weekly, David Browne menyarankan versi UK-nya lebih dari yang AS, sementara Tom Moon, dalam penilaiannya untuk The Rolling Stone Album Guide (2004), lebih memilih edisi AS-nya atas penggantian "Mother's Little Helper" dengan "Paint It Black" dan menyorot lirik Jagger yang cerdik. Colin Larkin, yang menilai versi Inggrisnya lebih tinggi dalam Encyclopedia of Popular Music (2011) miliknya, menggambarkan Aftermath sebagai sebuah "karya terobosan pada tahun krusial" dan sebuah rekaman yang menunjukkan kelenturan penulisan dan gaya musik grupnya serta "pertanda akan misogini tetap" mereka. Dalam buku mereka, The Beatles vs. the Rolling Stones: Sound Opinions on the Great Rock 'n' Roll Rivalry (2010), Jim DeRogatis dan Kot setuju bahwa Aftermath adalah "album Stones pertama yang sungguh hebat dari awal hingga akhir", dengan DeRogatis yang secara spesifik terkesan dengan paruh pertama edisi Inggrinya.

Pengarang budaya pop Shawn Levy, dalam buku tahun 2002-nya, Ready Steady Go!: Swinging London and the Invention of Cool, mengatakan bahwa, tidak seperti tiga album the Stones sebelumnya, Aftermath menampilkan "tujuan" dalam pengurutannya dan sebuah "nalar nyata bahwa visi yang koheren tengah dikerjakan" layaknya Rubber of Soul milik the Beatles. Namun, ia menambahkan bahwa dengan perilisan Agustus 1966 Revolver, Aftermath tampak "pincang, jinak, [dan] basi". Young meyakini bahwa album ini tidak layak menerima reputasinya sebagai sebuah karya yang setara dengan Rubber Soul sebab kualitas setiap lagunya tidak konsisten, dan produksi di dalamnya "relatif lurus" serta pendekatan gayanya yang terpilih menguatkan kekurangannya akan aspek pemadu yang terdapat dalam LP besar dari periode yang sama. Mendiskusikan peninggalan kritis dari album ini untuk PopMatters, Mandelsohn dan Eric Klinger menggemakan sentimen tersebut sementara setuju bahwa albumnya lebih seperti sebuah karya transisi untuk the Stones dan tidak setara dengan album dari "tahun emas" mereka selanjutnya – Beggars Banquet, Let It Bleed, Sticky Fingers (1971), dan Exile on Main St. (1972). Dalam sebuah artikel Clash memperingati 40 tahun setelah dirilisnya Aftermath, Simon Harper mengakui bahwa pendirian artistiknya bersama karya kontemporer the Beatles mungkin dapat diperdebatkan, tetapi, "sebagai kelahiran kembali grup rock and roll terbesar di dunia, keutamaannya tak terbantahkan."

Sejumlah penilaian retrospeksi album ini kritis terhadap perlakuan kepada wanita yang kasar di dalamnya. Seperti Schaffner berkomentar, "dorongan brutal dari lagu-lagu pendek seperti 'Stupid Girl', 'Under My Thumb', dan 'Out of Time', sejak itu, tentu saja, telah menyebabkan puncak kemarahan di antara para feminis". Young menarik kesimpulan bahwa prinsip tema lirik albumnya kini membangkitkan sebuah "sensasi yang agak kuno akan misogini yang brengsek nan berbatu", menampilkan karakter wanita sebagai "ibu rumah tangga pengguna pil ... jalang yang bodoh ... boneka mode yang 'usang' ... atau benda seksual yang terdominasi". Berman juga menunjuk aspek ini dalam penilaiannya, mengatakan bahwa albumnya "memuaskan misogini the Stones dalam 'Stupid Girl' yang menggerutu dan menjinakkan seekor celurut dalam 'Under My Thumb', sebuah karya seni yang menjijikkan". Unterberger mengekspresikan keseganan serupa mengenai substansi di balik lagu-lagu seperti "Goin' Home", mendapati "Stupid Girl" tidak dewasa.

Catatan

sunting
  1. ^ a b Lagu ini awalnya dirilis sebagai "Paint It, Black" akibat galat tipografi.[1]
  2. ^ Film tersebut diumumkan pada 17 Desember 1965, dan the Rolling Stones dilaporkan akan membintanginya.[23] Produksinya secara resmi dibatalkan pada bulan Mei tahun berikutnya, ketika sebuah siaran pers menyatakan bahwa grupnya dijadwalkan untuk merekam sebuah adaptasi layar dari novel Only Lovers Left Alive karya Dave Wallis.[24]

Referensi

sunting
  1. ^ Greenfield 1981, hlm. 172.
  2. ^ Perone 2012, hlm. 91.
  3. ^ a b Erlewine, Stephen Thomas. "The Rolling Stones Biography". AllMusic (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Maret 2023. Diakses tanggal 2 Juni 2023. 
  4. ^ Charone 1979, hlm. 75–76.
  5. ^ Bockris 1992, hlm. 69; Norman 1993, hlm. 140.
  6. ^ Davis 2001, hlm. 133–134.
  7. ^ Wyman 2002, hlm. 208.
  8. ^ Bockris 1992, hlm. 69.
  9. ^ Simonelli 2013, hlm. 44–45; Philo 2015, hlm. 71.
  10. ^ Williams, Richard (11 Oktober 2002). "The Loudest Thing We'd Ever Heard". The Guardian (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 November 2022. Diakses tanggal 2 Juni 2023. 
  11. ^ King 2002, hlm. 68.
  12. ^ Simonelli 2013, hlm. 96.
  13. ^ Kubernik, Harvey (Desember 2015). "Rubber Soul 50 Years On" . Rock's Backpages (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2 Juni 2023. 
  14. ^ Davis 2001, hlm. 155.
  15. ^ a b Salewicz 2002, hlm. 98.
  16. ^ Trynka 2014, hlm. 180.
  17. ^ a b Davis 2001, hlm. 155–156.
  18. ^ Davis 2001, hlm. 147, 155–156.
  19. ^ Norman 1993, hlm. 156, 159.
  20. ^ Salewicz 2002, hlm. 99.
  21. ^ Jagger dkk. 2003, hlm. 108.
  22. ^ Margotin & Guesdon 2016, hlm. 138.
  23. ^ Bonnano 1990, hlm. 48.
  24. ^ Bonnano 1990, hlm. 54.
  25. ^ Wyman 2002, hlm. 232.
  26. ^ Bonnano 1990, hlm. 49–50, 52.
  27. ^ Wyman 2002, hlm. 212, 222.
  28. ^ Margotin & Guesdon 2016, hlm. 140.
  29. ^ Davis 2001, hlm. 212.
  30. ^ Wyman 2002, hlm. 213.
  31. ^ Jagger dkk. 2003, hlm. 100.
  32. ^ Trynka 2014, hlm. 177.
  33. ^ Charone 1979, hlm. 84.
  34. ^ Wyman 2002, hlm. 234.
  35. ^ Trynka 2014, hlm. 187.

Daftar pustaka

sunting