Setra (Aksara Bali: ᬲᬾᬢ᭄ᬭ, disebut juga Tunon atau sema) adalah istilah yang digunakan umat Hindu Bali untuk menyebut kuburan. Setra adalah tempat pemakaman sementara bagi masyarakat Hindu untuk menunggu waktu yang tepat dalam melaksanakan upacara pembakaran mayat yang disebut dengan upacara Ngaben. Setra juga merupakan tempat dilaksanakannya seluruh rangkaian kegiatan upacara pembakaran mayat yang lainnya.

Etimologi

sunting

Kata "setra" berasal dari bahasa Sanskerta "kesetra," yang berarti padang yang luas, seperti dalam istilah "Kuru Kesetra" dalam kisah perang Bharatayudha. Meskipun setra digunakan untuk mengubur mayat, namun tidak bisa disamakan dengan pengertian kuburan dalam bahasa Indonesia.

Ida Bagus Made Bhaskara dari Griya Sunia Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, menjelaskan bahwa setra juga disebut "semasana." Kata ini juga berasal dari bahasa Sanskerta, di mana "sema" berkaitan dengan sawa (mayat) dan "sana" berhubungan dengan "sayana," yang berarti berbaring.

Dengan demikian, semasana berarti tempat pembaringan mayat. Selain dimaknai dengan dua istilah di atas, sema juga dapat berarti pancaka, yang berasal dari kata "panca" yang berarti lima.[1]

Sejarah

sunting

Dalam teks Purwa Gama Sesana dan lontar Boda Kecapi, dikisahkan bahwa ketika Ida Bhatara Durga berstana di setra dan setelah mendapat anugerah dari Bhatara Brahma, ia memiliki kemampuan untuk memanggil empat saudara beliau yang ada di Surga. Mereka turun ke kuburan untuk memberikan cobaan dan penyakit kepada orang yang tidak taat beragama. Keempat saudara tersebut bersama Ida Bhatara Durga berubah menjadi Panca Durga, sehingga setra juga disebut pancaka.

Dalam Lontar Indik Ngewangun Setra dijelaskan bahwa salah satu tahapan penting dalam membuat setra adalah pada caru pangeruwak yang dilakukan sebelum proses Pembangunan. Dalam beberapa teks disebutkan banyak Rsi yang beryoga di setra, misalnya mpu Barang dalam teks Tantu Barang beryoga di setra. Danghyang Astapaka leluhurnya Bodawangsa juga melaksanakan yoga di setra.

Fungsi

sunting
  1. Setra berfungsi sebagai pralinam, yaitu tempat untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur panca maha buta ke asalnya, terutama manusia ke sumber asalnya.
  2. Setra berfungsi sebagai prayoga, yaitu tempat untuk melakukan yoga samadi. Setra dianggap ideal untuk melaksanakan ajaran-ajaran kewisesaan. Dalam beberapa teks, disebutkan bahwa setra adalah tempat yang baik untuk melakukan dan mempraktikkan ajaran-ajaran kiri tantrik..
  3. Setra juga digunakan sebagai tempat untuk memohon kesembuhan. Dalam teks Usada Pemupug, disebutkan bahwa jika seseorang sakit dan tidak kunjung sembuh meskipun sudah diobati dengan cara medis maupun non-medis (lara tan keneng tinamban), maka pengelukatan dilakukan di tengah setra, di kaki Bhatara Siwa atau kaki kala dan nini Durga.
  4. Setra selalu berkaitan dengan mandala dan desa pakraman. Jika desa pakraman dianalogikan dengan tubuh manusia, maka pura desa dan pura puseh identik dengan kepala (ulu), pura Dalem dengan badan, dan setra dengan perut. Oleh karena itu, setra seharusnya berada di wilayah desa pakraman. Di setra terdapat pelinggih yang disebut uluning setra, seperti Prajapati, Dalem pengulun setra, atau sedahan atma. [2]

Lihat juga

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Mardika, I. Putu. "Makna Kesakralan dari Setra Dibangun dengan Caru Pengruwak, Bisa menjadi tempat Memohon Kesembuhan - Bali Express - Halaman 2". Makna Kesakralan dari Setra Dibangun dengan Caru Pengruwak, Bisa menjadi tempat Memohon Kesembuhan - Bali Express - Halaman 2. Diakses tanggal 2024-12-05. 
  2. ^ Suyatra, I. Putu. "Setra Itu Suci, Bukan Tempat Kotor - Bali Express". Setra Itu Suci, Bukan Tempat Kotor - Bali Express. Diakses tanggal 2024-12-05.