Ritual pembunuhan Toa Payoh

Seri pembunuhan dan pemerkosaan di Singapura tahun 1981

Ritual pembunuhan Toa Payoh terjadi di Singapura pada tahun 1981. Pada tanggal 25 Januari, mayat seorang anak perempuan berusia sembilan tahun ditemukan tergeletak di sebelah lift di suatu blok apartemen di distrik Toa Payoh dan—dua minggu kemudian—seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun ditemukan tewas tak jauh dari tempat tersebut. Anak-anak tersebut merupakan korban pembunuhan, yang diduga telah dijadikan tumbal bagi dewi Hindu Kali. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh Adrian Lim, seorang cenayang gadungan, yang menipu sejumlah wanita dengan mengaku sebagai orang berkekuatan gaib. Korbannya dimintai uang dan pelayanan seksual dengan iming-iming obat, kecantikan, dan keberuntungan. Dua wanita korbannya menjadi asisten setianya; Tan Mui Choo menikah dengan Lim, dan Hoe Kah Hong menjadi salah satu "istri suci"-nya. Ketika pihak polisi menyelidiki suatu tuduhan pemerkosaan yang dilaporkan oleh salah satu korban Lim, ia menjadi gusar dan memutuskan untuk membunuh anak-anak demi mengalihkan perhatian polisi. Pada setiap kesempatan, Hoe memancing anak-anak untuk masuk ke apartemen Lim agar dapat diberi obat penghilang kesadaran, kemudian dibunuh oleh Lim dan asistennya. Lim juga melakukan serangan seksual pada anak perempuan sebelum membunuhnya. Ketiganya ditangkap setelah polisi menemukan jejak bercak darah yang mengarah ke apartemen mereka. Walaupun nama kasus ini memiliki sebutan pembunuhan ritualistis,[1][2] para terdakwa mengaku bahwa mereka tidak melakukan persembahyangan, membakar hio, membunyikan lonceng, atau ritus apapun ketika melakukan pembunuhan.[3]

Pas foto dari seorang pria: ia memiliki dagu yang gemuk serta kumis dan jenggot pendek. Rambutnya disisir ke belakang.
Adrian Lim menipu banyak wanita agar memberinya uang dan pelayanan seksual, serta membunuh anak-anak demi mengalihkan penyelidikan polisi terhadap dirinya.

Persidangan yang memakan waktu selama 41 hari itu merupakan persidangan terlama kedua yang diselenggarakan di pengadilan Singapura pada waktu itu. Tiada terdakwa yang membantah kesalahan mereka. Agar terhindar dari hukuman mati, tim pembela mengajukan pertimbangan bahwa para terdakwa mengidap masalah mental dan tidak dapat bertanggung jawab sepenuhnya atas pembunuhan tersebut. Untuk mendukung pernyataan itu, para dokter dan ahli psikologi didatangkan untuk menganalisis terdakwa dan membuat kesimpulan bahwa terdakwa mengidap skizofrenia, depresi kejiwaan, dan hipomania. Namun, jaksa menyanggah keterangan tersebut dan berpendapat bahwa para terdakwa berada dalam kondisi sadar sepenuhnya ketika merencanakan dan menjalankan pembunuhan. Para hakim sepakat dengan gugatan jaksa sehingga mereka bertiga dijatuhi hukuman mati. Setelah menerima keputusan hukuman mati, istri Lim mengajukan banding kepada Dewan Penasihat di London dan memohon pengampunan dari Presiden Singapura, namun tidak berhasil. Sementara itu, Lim tidak mencari pengampunan apapun. Sebaliknya, dia menerima nasibnya dan tersenyum saat menanti hukuman mati. Ketiganya digantung pada tanggal 25 November 1988.

Ritual pembunuhan Toa Payoh mengegerkan publik di Singapura, karena tindakan mengejutkan semacam itu telah terjadi di lingkungan mereka. Berita aksi ketiganya dan proses pengadilan tersebut terus terbayang-bayang dalam ingatan warga Singapura selama beberapa tahun. Sebanyak dua kali, rumah produksi film mencoba untuk memanfaatkan sensasi berita itu dengan membuat film berdasarkan pembunuhan tersebut; namun, para kritikus menyatakan bahwa kedua film yang diproduksi terlalu mengumbar adegan hubungan seks dan kekerasan, dan tidak berhasil meraup untung di pasaran. Tindakan dan perilaku tiga pembunuh tersebut telah dikaji oleh para mahasiswa dalam bidang psikologi kriminal, dan hukum yang ditetapkan oleh mahkamah menjadi studi kasus lokal dalam hal diminished responsibility.

Masyarakat Singapura pada tahun 1980-an

Siapa pun yang berkata bahwa Singapura membosankan dan terlalu bersih akan mengabaikan kejahatan menggegerkan yang dilakukan oleh penjahat yang tiada duanya seperti ... perwujudan kejahatan itu sendiri — Adrian Lim ...

Sonny Yap, The Straits Times, 15 Juli 1995.[4]

Awal abad ke-19, imigran membanjiri Semenanjung Malaysia, menduduki Negeri-Negeri Selat termasuk kota-pulau Singapura. Warga pendatang dan pribumi memiliki kepercayaan yang berbeda, namun seiring berjalannya waktu, perbedaan antar-kepercayaan tersebut kian memudar. Sebagian penduduk percaya akan roh-roh yang menghuni hutan-hutan, serta yakin bahwa dewa dan setan berkeliaran di sekitar mereka, yang dianggap dapat berbuat baik atau jahat terhadap manusia. Orang-orang tertentu mengklaim bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan para makhluk gaib tersebut. Melalui beberapa ritus yang melibatkan tarian dan pemanggilan, orang-orang yang memiliki kekuatan cenayangtang-kee dan bomoh—mengundang makhluk gaib tersebut agar merasuki tubuh mereka untuk memberikan wejangan, berkat, dan bahkan kutukan, yang dilakukan demi orang-orang yang percaya kepada mereka. Seiring waktu berjalan dan kota-kota makin berkembang, banyak lahan hutan dibabat untuk pendirian bangunan beton sehingga praktik cenayang menjadi makin terdesak jauh ke tengah masyarakat.[5]

Pada tahun 1980, 75% warga Singapura tinggal di rumah susun.[6] Apartemen bertingkat tinggi yang dibangun pemerintah tersebar di pusat kota, dan distrik Toa Payoh adalah salah satunya. Meskipun setiap blok padat penduduk, banyak para penghuninya yang menutup diri, menjaga privasi mereka, dan cenderung tidak memedulikan apa yang terjadi di sekitar tempat tinggal mereka.[7][8] Pada saat itu, masyarakat Singapura relatif damai, kontras dengan prevalensi perkumpulan rahasia, triad, dan pertikaian antar-geng pada saat pra-kemerdekaan. Tingkat kejahatan yang rendah, dikarenakan oleh hukum yang ketat dan penegakan yang tangguh,[9] memberikan rasa aman bagi para warga.[10] Meskipun demikian, pemerintah memperingatkan masyarakat agar tidak cepat puas dan memberi penyuluhan dalam kampanye lokalnya, bahwa "tingkat kejahatan yang rendah bukan berarti tidak ada kejahatan".[11] Pada tahun 1981, tiga warga Singapura melakukan sebuah kejahatan yang menggegerkan negara tersebut.

Dua pembunuhan, tiga penangkapan

 
Apartemen Lim (ditandai dengan warna merah) berada di Blok 12 (kanan), Toa Payoh Lorong 7. Pada tahun 2008, bangunan yang ada di dekatnya yakni Blok 10 dan 11 (tengah dan kiri) telah diganti dengan bangunan yang lebih tinggi.

Selama beberapa tahun, seorang cenayang di Blok 12, Toa Payoh Lorong 7, kerap melakukan ritus yang bising pada tengah malam. Penduduk sekitar mengeluhkan hal tersebut sehingga melapor kepada pihak berwajib beberapa kali, tetapi praktik ritual tersebut dilanjutkan kembali dalam waktu singkat.[12] Pada sore hari, tanggal 24 Januari 1981, seorang anak berusia 9 tahun bernama Agnes Ng Siew Hock (Hanzi sederhana: 黄秀叶; Hanzi tradisional: 黃秀葉; Pinyin: Huáng Xìuyè) menghilang setelah mengikuti pelajaran agama di suatu gereja di Toa Payoh. Beberapa jam kemudian, mayatnya ditemukan terbungkus tas di luar lift di Blok 11, kurang dari satu kilometer (⅝ mil) dari gereja. Gadis tersebut didapati tewas karena kehabisan napas. Hasil penyelidikan mengungkapkan adanya luka pada alat kelaminnya, dan air mani pada duburnya. Walaupun polisi telah melakukan penyelidikan intensif—menanyai lebih dari 250 orang di sekitar tempat kejadian—mereka gagal untuk memperoleh petunjuk apapun. Pada tanggal 7 Februari, seorang anak berusia sepuluh tahun bernama Ghazali bin Marzuki ditemukan meninggal di bawah pohon antara Blok 10 dan 11. Ia telah menghilang sehari sebelumnya, setelah terlihat menaiki taksi dengan seorang wanita yang tak dikenal. Tim forensik di tempat kejadian memperkirakan penyebab kematiannya adalah tenggelam. Tidak ada tanda-tanda serangan seksual, tetapi terdapat luka bakar di punggung dan bekas tusukan di lengannya. Unsur obat tidur ditemukan di dalam darahnya.[13]

Polisi menemukan bercak darah berceceran yang menuju ke lantai tujuh Blok 12. Saat menelusuri koridor setelah menaiki tangga, Inspektur Pereira mendapati simbol-simbol religius yang eklektik (salib, cermin, dan sebilah pisau) pada pintu masuk flat pertama (unit nomor 467F). Pemilik apartemen, Adrian Lim, menyambut sang inspektur dan memperkenalkan dirinya. Ia memberi tahu Pereira bahwa ia tinggal dengan istrinya, Tan Mui Choo, dan teman wanitanya, Hoe Kah Hong. Setelah Lim mengizinkan Inspektur Pereira untuk memeriksa kediamannya, akhirnya polisi menemukan bercak darah. Pada mulanya, Lim menjelaskan bahwa bercak tersebut berasal dari lelehan lilin, tetapi setelah didesak, ia menjelaskan bahwa bercak tersebut adalah darah ayam.[14] Setelah polisi menemukan potongan kertas yang mengandung informasi pribadi anak-anak yang telah tewas, Lim berusaha menghilangkan kecurigaan dengan berdalih bahwa Ghazali pernah datang ke apartemen tersebut untuk meredakan mimisan.[15] Secara diam-diam, Lim menyingkirkan sejumput rambut di bawah karpet dan mencoba untuk membuangnya ke toilet, tetapi polisi menghalanginya. Tim forensik melakukan pengujian dan menyimpulkan bahwa rambut tersebut adalah rambut Agnes Ng.[16] Saat mengorek informasi pribadi Lim, Inspektur Pereira mendapat info dari polisi setempat bahwa Lim adalah orang yang sedang didakwa atas kasus pemerkosaan pada saat itu. Lim mendengar percakapan para polisi dan menjadi gelisah, kemudian ia berteriak di hadapan para aparat. Aksinya ditiru oleh Hoe dengan cara mengamuk dan berteriak kepada para aparat. Tindakan tersebut menguatkan kecurigaan bahwa mereka telah terlibat dalam suatu pembunuhan. Akhirnya pihak polisi mengumpulkan bukti, menutup kediaman Lim sebagai tempat kejadian perkara, dan menahan Lim serta dua wanita tersebut untuk diinterogasi.[17]

Pelaku

Adrian Lim

Lahir pada tanggal 6 Januari 1942, Adrian Lim (Hanzi sederhana: 林宝龙; Hanzi tradisional: 林寶龍; Pinyin: Lín Bǎolóng) adalah putra sulung dari keluarga kelas menengah.[18] Ia dideskripsikan oleh saudara perempuannya sebagai anak yang pemarah.[19] Ia berhenti dari sekolah menengah dan bekerja singkat sebagai pemberi informasi untuk Departemen Keamanan Internal, bergabung dengan organisasi radio kabel Rediffusion Singapura pada tahun 1962. Selama tiga tahun, dia mengabdi di Rediffusion sebagai teknisi, sebelum dinaikkan pangkat menjadi pemungut cukai.[18] Pada bulan April 1967, Lim menikahi teman masa kecilnya dan memiliki dua anak. Ia menjadi umat Katolik karena pernikahannya.[20] Awalnya, Lim dan keluarganya tinggal di bilik sewaan, hingga akhirnya mampu membeli apartemen tiga ruang—unit lantai tujuh (unit nomor 467F) Blok 12, Toa Payoh—pada tahun 1970.[20]

Lim bekerja paruh waktu sebagai cenayang sejak tahun 1973. Ia menyewa sebuah ruangan tempat bertemu dengan para wanita pelanggannya—sebagian besar adalah perempuan bar, penari-penghibur, dan wanita tuna susila—yang diperkenalkan oleh induk semangnya.[21] Pelanggan Lim juga berasal dari kalangan pria dan ibu-ibu yang memercayai takhayul, yang ia tipu demi mendapatkan uang.[22] Ia mempelajari pekerjaan tersebut dari seorang bomoh yang dipanggil "Paman Willie", serta memuja para dewa dari berbagai agama meskipun telah dibaptis secara Katolik. Dewi India Kali, serta "Phragann"[a]—yang Lim anggap sebagai dewa seksualitas Siam[23]—adalah beberapa nama entitas spiritual yang ia panggil dalam ritualnya.[24] Lim menipu kliennya dengan beberapa trik konfidensi. Tipuannya yang paling efektif, yang dikenal sebagai trik "jarum dan telur", mampu menipu banyak orang agar memercayainya sebagai orang yang memiliki kekuatan supernatural. Setelah menghitamkan jarum menggunakan jelaga dari pembakaran lilin, secara hati-hati Lim memasukkannya ke dalam telur mentah dan menutup lubangnya dengan tepung. Dalam ritualnya, ia memberikan telur tersebut kepada kliennya setelah merapalkan jampi-jampi dan menyuruh kliennya untuk memecahkan telur tersebut. Tanpa mengetahui bahwa telur telah dimodifikasi, klien akan yakin bahwa jarum hitam di tengah telur tersebut merupakan bukti keberadaan roh-roh jahat yang mengganggu.[25]

Lim cenderung menjerat korban dari kalangan perempuan lugu yang memiliki masalah pribadi yang mendalam. Ia berjanji bahwa ia dapat membuang kesialan dan meningkatkan kecantikan mereka melalui ritus pemijatan. Setelah Lim dan kliennya menanggalkan pakaian, ia akan melakukan pemijatan di seluruh bagian tubuh—termasuk bagian kemaluan—dengan memakai boneka Phragann, lalu berhubungan intim dengan kliennya.[26] Lim juga mengadakan terapi elektro-syok yang berdasarkan pada alat untuk penderita gangguan mental. Setelah kaki kliennya direndam dalam ember dan pelipisnya ditempeli kabel, kemudian Lim mengalirkan listrik tegangan rendah.[27] Ia meyakinkan kliennya bahwa setrum yang diterima akan menyembuhkan sakit kepala dan mengusir roh jahat.[28]

Tan Mui Choo

 
Tan Mui Choo membantu Lim dalam praktik cenayangnya demi mendapatkan keuntungan.

Catherine Tan Mui Choo (Hanzi sederhana: 陈梅珠; Hanzi tradisional: 陳梅珠; Pinyin: Chén Méizhū) bertemu dengan Lim setelah diperkenalkan oleh temannya yang bekerja di bar, yang mengklaim bahwa Lim dapat menyembuhkan penyakit dan depresi.[29] Pada waktu itu, Tan bersedih atas kematian neneknya. Hubungan dengan orang tua yang renggang semakin mengganggu pikirannya. Ia pernah dimasukkan ke sebuah lembaga kejuruan pada usia 13 tahun (sebuah tempat yang banyak menampung anak-anak yang melakukan kenakalan remaja), sehingga merasa bahwa keberadaannya tidak diharapkan oleh orang tuanya sendiri.[30] Setelah Tan berkunjung ke tempat Lim sesering mungkin, hubungan mereka semakin akrab.[31] Pada tahun 1975, ia pindah ke apartemen Lim setelah Lim mendesaknya, meski saat itu Lim sudah beristri. Untuk menghilangkan kecurigaan atas dugaan perselingkuhan, Lim menyangkal dan bersumpah kepada istrinya di hadapan gambar Yesus Kristus. Namun, kebohongan Lim akhirnya terbongkar sehingga sang istri memutuskan untuk pindah tempat tinggal bersama anak-anaknya, lalu mereka bercerai pada tahun 1976.[32] Kemudian, Lim berhenti bekerja dari Rediffusion untuk fokus sebagai seorang cenayang sepanjang hari. Ia menikmati bisnis cepat,[33] dan pada suatu kesempatan meraup pendapatan S$6,000–7,000 (AS$2,838–3,311)[b] dalam satu bulan dari seorang klien.[35] Pada bulan Juni 1977, Lim dan Tan mendaftarkan pernikahan mereka.[36]

Lim menindas Tan dengan pemukulan, ancaman, dan kebohongan.[37] Lim juga membujuknya untuk menjual diri demi menambah penghasilan mereka.[38] Lim meyakinkan istrinya bahwa dirinya perlu berzina dengan wanita muda agar tetap sehat, sehingga Tan mau membantu bisnis suaminya, dan bersedia untuk menyiapkan klien demi kesenangan Lim.[39] Sugesti Lim terhadap Tan sangat kuat. Setelah Lim menganjurkan bahwa hubungan badan dengan pria yang lebih muda dapat mempertahankan kemudaan, maka Tan berhubungan badan dengan seorang remaja Melayu, dan bahkan dengan adik laki-lakinya sendiri.[36] Pemuda tersebut bukanlah satu-satunya kerabat yang dipengaruhi oleh Lim. Sebelumnya, cenayang tersebut merayu adik perempuan Tan dan menyuruhnya untuk menjual diri.[40] Meskipun teraniaya, Tan betah tinggal bersama Lim. Ia berbelanja pakaian dan produk kecantikan, serta mengikuti kursus pelangsingan dengan anggaran dari pendapatan mereka.[41]

Hoe Kah Hong

 
Hoe Kah Hong sangat memercayai "kesaktian" Lim, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintahnya.

Lahir pada tanggal 10 September 1955, Hoe Kah Hong (Hanzi sederhana: 何家凤; Hanzi tradisional: 何家鳳; Pinyin: Hé Jiāfèng) masih berumur delapan tahun ketika ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian tinggal bersama neneknya sampai berumur lima belas tahun. Ketika tinggal kembali bersama ibu dan saudaranya, ia merasa kerap diminta mengalah dari kakak perempuannya yang bernama Lai Ho. Karena menganggap ibunya lebih memanjakan kakaknya, maka Hoe menjadi tidak puas dan sering menunjukan kekesalannya.[42] Pada tahun 1979, ibunya mengantar Lai ke tempat Lim untuk mendapatkan pengobatan, dan terkesima akan kekuatan Lim setelah menyaksikan trik "jarum dan telur". Karena percaya bahwa sifat pemarah Hoe pasti dapat disembuhkan oleh Lim, maka Hoe pun diantar ke tempat Lim.[43] Setelah menyaksikan trik yang sama, Hoe pun menjadi pengikut setia Lim.[44][c] Lim ingin Hoe menjadi salah satu "istri suci"-nya, meskipun saat itu Hoe sudah menikah dengan Benson Loh Ngak Hua. Untuk mencapai tujuannya, Lim berusaha menjauhkan Hoe dari keluarganya dengan menceritakan sebuah kebohongan. Ia menyatakan bahwa keluarga Hoe adalah orang-orang tidak bermoral yang melakukan perselingkuhan, dan bahwa Loh adalah seorang pria yang tak dapat dipercaya yang akan memaksa Hoe menjadi pelacur. Hoe percaya akan perkataan Lim, dan setelah melalukan ritus, ia dinyatakan sebagai "istri suci" sang cenayang. Ia tidak lagi memercayai suami dan keluarganya, dan bersikap ketus terhadap ibunya. Tiga bulan setelah pertama kali bertemu dengan Lim, Hoe pindah dari rumahnya untuk menetap bersama Lim.[46]

Loh mencari istrinya di apartemen Lim dan mendapati bahwa istrinya sedang mendapatkan perawatan. Akhirnya ia dibujuk untuk mengikuti terapi elektro-syok. Pada pagi hari tanggal 7 Januari 1980, Loh duduk bersama Hoe, dengan lengan yang sama-sama terikat dan kaki terendam dalam ember yang berbeda. Lim mengalirkan listrik tegangan tinggi kepada Loh, yang berujung pada kematian, sementara Hoe tak sadarkan diri. Ketika terbangun, Lim menyuruh Hoe untuk berbohong kepada polisi mengenai kematian Loh. Hoe pun memberikan keterangan palsu dari cerita yang direka Lim, dengan menyatakan bahwa suaminya tersetrum di kamar tidur saat mencoba untuk menyalakan kipas angin listrik dalam kondisi gelap gulita.[47] Koroner pun mencatat keputusan terbuka,[48] dan polisi tidak melakukan investigasi lebih lanjut.[49]

Meskipun bersikap antipati terhadap Loh, Hoe bersedih atas kematian suaminya. Kewarasannya pun mulai hilang. Ia mulai mendengar suara-suara dan berhalusinasi tentang sosok suaminya yang sudah meninggal. Pada akhir Mei, ia dirawat di Rumah Sakit Woodbridge. Di sana, psikolog menyatakan bahwa Hoe menderita skizofrenia sehingga ia pun diberikan penanganan yang sesuai. Hoe kemudian pulih dengan sangat cepat. Pada minggu pertama di bulan Juli, ia keluar dari rumah sakit. Ia melakukan pemeriksaan rutin di rumah sakit tersebut, dan pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan bahwa dia berada dalam keadaan pemulihan. Sikap Hoe terhadap ibu dan anggota keluarganya yang lain mulai membaik setelah mendapat perawatan di rumah sakit, meskipun ia memutuskan untuk tetap tinggal bersama Lim dan Tan.[50]

Pemerkosaan dan balas dendam

Lim melanjutkan bisnis haramnya, dengan Hoe dan Tan sebagai asisten. Ia menipu banyak wanita agar mendapatkan uang dan pelayanan seksual.[49] Pada saat ditangkap atas kasus pembunuhan, Lim memiliki 40 "istri suci".[51] Sebelumnya, pada akhir 1980, Lim pernah ditangkap dan didakwa atas kasus pemerkosaan. Pelapornya adalah Lucy Lau, seorang pedagang kosmetik keliling, yang bertemu dengan Lim ketika menawarkan produk kecantikan kepada Tan. Pada tanggal 19 Oktober, Lim berkata kepada Lau bahwa sesosok hantu sedang menggentayangi perempuan tersebut, namun bisa diusir asalkan Lau mau melakukan ritus seksual. Lim meyakinkan Lau dengan menggebu-gebu, meskipun perempuan tersebut bersikap skeptis. Secara diam-diam, Lim mencampur dua kapsul Dalmadorm (sebuah obat penenang) dalam segelas susu dan menawarkannya kepada Lau, dengan klaim bahwa itu adalah obat suci. Setelah meminumnya, Lau menjadi mabuk, sehingga memberi kesempatan bagi Lim untuk melakukan kejahatan.[49] Selama beberapa minggu berikutnya, Lim terus merogol Lau dengan memakai obat-obatan atau ancaman. Pada bulan November, setelah Lim memberikan pinjaman kepada orang tua Lau dalam jumlah yang lebih kecil daripada yang diminta, Lau membuat laporan ke polisi terkait perlakuan buruk yang diberikan oleh Lim. Lim ditangkap atas tuduhan pemerkosaan, sedangkan Tan ditangkap karena bersekongkol dengannya. Atas sebuah jaminan, Lim membujuk Hoe agar membuat kesaksian palsu bahwa Hoe hadir pada hari saat dugaan pemerkosaan terjadi, tapi tidak melihat adanya aksi kejahatan apapun. Usaha ini gagal menghentikan penyelidikan polisi. Lim dan Tan harus memperpanjang jaminan pereka, secara pribadi, di kantor polisi setiap dua minggu.[52]

 
Lim berdoa (di altar ini) kepada Buddha, Phragann, Kali, dan berbagai dewa-dewa.

Karena frustrasi, Lim berencana untuk mengalihkan perhatian polisi dengan serangkaian kasus pembunuhan anak-anak.[53] Di samping itu, ia percaya bahwa dengan mengorbankan anak-anak kepada Dewi Kali, maka dirinya akan diberi kekuatan untuk menjauhkan perhatian polisi. Lim berpura-pura dirasuki oleh Dewi Kali, dan meyakinkan Tan dan Hoe bahwa dewi tersebut ingin mereka membunuh anak-anak untuk membalas dendam kepada Lau.[54] Dia juga berkata bahwa Phragann mewajibkannya untuk berhubungan intim dengan korban berjenis kelamin perempuan.[55]

Pada tanggal 24 Januari 1981, Hoe melihat gadis kecil bernama Agnes di dekat sebuah gereja dan membujuknya untuk masuk ke apartemen Lim. Ketiganya memberikan makanan dan minuman yang dicampur dengan Dalmadorm. Setelah Agnes mabuk lalu tertidur, Lim memerkosa anak tersebut. Pada saat hampir tengah malam, ketiganya mencekik Agnes dengan sebuah bantal, lalu mengambil darahnya, meminumnya, dan mengoleskannya pada lukisan Kali. Setelah itu, mereka membenamkan kepala gadis tersebut ke dalam seember air.[56] Terakhir, Lim menggunakan alat terapi elektro-syok miliknya untuk "memastikan bahwa korbannya telah meninggal".[57] Mereka memasukkan tubuh Agnes ke dalam sebuah tas dan membuangnya di dekat sebuah lift Blok 11.[56]

Ghazali mengalami nasib yang sama ketika dibawa oleh Hoe ke apartemen Lim pada tanggal 6 Februari. Namun, ketika diberikan obat penenang, anak tersebut membutuhkan waktu lama untuk tertidur. Lim mengikat anak tersebut untuk berjaga-jaga, namun anak tersebut malah terbangun dan memberontak. Karena panik, ketiganya melakukan tebasan karate ke leher Ghazali sampai anak tersebut pingsan. Mereka membenamkan korban ke dalam air setelah mengambil darahnya. Ghazali sempat memberontak, muntah, dan kehilangan kesadaran lalu meninggal. Darah terus mengucur dari hidungnya, bahkan setelah kematiannya. Kemudian, Tan membereskan apartemen, sementara Lim dan Hoe pergi membuang jenazah korbannya. Ketika Lim melihat bercak darah bertebaran dari arah apartemen, ia dan rekannya berusaha untuk membersihkan noda tersebut sedapat mungkin sebelum matahari terbit.[58] Namun, noda yang tidak berhasil dihilangkan menyebabkan polisi berhasil melacak jejak mereka sehingga mereka pun ditangkap.

Pengadilan

Dua hari setelah tertangkap, Lim, Tan, dan Hoe didakwa di pengadilan daerah atas kasus pembunuhan dua anak-anak. Ketiganya diinterogasi lebih lanjut oleh polisi, dan menjalani pemeriksaan medis oleh para dokter lapas. Pada 16–17 September, kasus mereka dibawa ke pengadilan untuk prosedur berkomitmen. Untuk membuktikan keterlibatan para terdakwa atas kasus tersebut, maka Jaksa Penuntut Umum Glenn Knight memanggil 58 saksi dan menyusun 184 lembar bukti sebelum diserahkan kepada hakim. Tan dan Hoe membantah tuduhan pembunuhan tersebut, sedangkan Lim mengaku bersalah dan bersedia bertanggung jawab sendirian atas perbuatannya. Hakim memutuskan bahwa kasus yang melibatkan terdakwa cukup kuat untuk dibawa ke Pengadilan Tinggi. Lim, Tan, dan Hoe mendekam dalam tahanan selama pemeriksaan lebih lanjut.[59]

Perkara, tuntutan, dan pembelaan

 
Kasus pembunuhan tersebut diacarakan di Ruang Dewan No. 4 Gedung Mahkamah Agung lama.

Pengadilan Tinggi diselenggarakan di Gedung Mahkamah Agung pada tanggal 25 Maret 1983.[60] Kasus ini dipimpin oleh dua hakim: Hakim Thirugnana Sampanthar Sinnathuray (hakim yang melangsungkan pengadilan terhadap pembunuh berantai John Martin Scripps 13 tahun kemudian[61]) dan Hakim Frederick Arthur Chua (pada waktu itu menjadi hakim yang menjabat paling lama di Singapura).[62] Knight terus mengusut kasus tersebut dengan mengumpulkan bukti melalui jasa detektif. Foto-foto TKP serta keterangan para saksi dapat membantu pengadilan untuk memberi gambaran peristiwa yang mengarah pada kejahatan tersebut. Bukti-bukti lain—sampel darah, objek keagamaan, obat-obatan, dan sebuah catatan dengan nama Ng dan Ghazali—memperkuat bukti keterlibatan terdakwa. Knight tidak berhasil mendapatkan saksi mata pembunuhan tersebut. Bukti yang diperolehnya bersifat tidak langsung, tapi ia berkata di hadapan pengadilan, "Masalahnya adalah [terdakwa] sengaja membekap dan menenggelamkan kedua anak tak bersalah sampai menyebabkan kematian, sehingga aksi tersebut layak disebut pembunuhan. Dan inilah yang akan kita buktikan untuk mengatasi semua keraguan."[63]

Tan—atas izin Lim dan polisi—menggunakan $10,000 dari $159,340[64] (AS$4,730 dari AS$75,370) yang diambil dari apartemen mereka untuk membayar J. B. Jeyaretnam sebagai pengacara.[65][66] Hoe harus menerima tawaran pengadilan dengan menerima Nathan Isaac sebagai pembelanya. Sejak penangkapannya, Lim menolak untuk didampingi kuasa hukum. Ia membela dirinya sendiri di sidang pengadilan daerah,[67] namun tidak dapat terus demikian ketika kasus itu dibawa ke Pengadilan Tinggi. Hukum Singapura mensyaratkan bahwa dalam setiap perkara kejahatan, terdakwa harus dibela oleh seorang ahli profesional. Maka dari itu, Howard Cashin diangkat sebagai pengacara Lim,[68] meskipun Lim menolak untuk bekerja sama dengannya.[69] Tiga pengacara memutuskan untuk tidak membantah bahwa klien mereka telah membunuh anak-anak. Dengan mengacu pada kaidah tindakan yang tak dapat dipertanggungjawabkan, mereka meyakinkan pengadilan bahwa pikiran para terdakwa sedang tidak terkendali saat pembunuhan berlangsung sehingga tidak dapat bertanggung jawab sepenuhnya atas aksi tersebut.[70] Jika pembelaan ini berhasil, para terdakwa akan lolos dari hukuman mati dan menghadapi hukuman penjara seumur hidup, atau hukuman 10 tahun penjara.[71]

Jalan pengadilan

Setelah Jaksa Knight memperlihatkan bukti tuntutan, pengadilan mendengarkan kesaksian tentang kepribadian dan keburukan watak terdakwa, dari keluarga dan kenalan terdakwa. Rincian hidup para terdakwa diungkapkan oleh salah satu "istri suci" Lim. Praktisi medis Dr. Yeo Peng Ngee dan Dr. Ang Yiau Hua mengaku bahwa merekalah yang menyediakan obat yang dipakai Lim, dan memberikan obat tidur serta obat penenang tanpa pertanyaan pada saat berkonsultasi.[72][d] Polisi dan tim forensik membeberkan hasil investigasi mereka; Inspektur Suppiah, petugas yang bertanggung jawab dalam penyelidikan, membacakan pernyataan para terdakwa semasa mereka ditahan. Dalam pernyataan tersebut, Lim mengaku bahwa ia membunuh untuk balas dendam, dan ia telah menyodomi Ng. Terdakwa juga mengonfirmasi bahwa masing-masing dari mereka terlibat aktif dalam pembunuhan tersebut.[75] Ada banyak kontradiksi antara pernyataan tersebut dengan pengakuan yang diungkapkan di pengadilan, namun Hakim Sinnathuray menyatakan bahwa meskipun bukti-bukti bertentangan, "fakta-fakta utama dari kasus ini tidak dapat diragukan lagi".[76] Keterlibatan Lim dalam kejahatan itu dibuktikan oleh seorang saksi yang bersumpah bahwa pada tengah malam tanggal 7 Februari 1981, di lantai dasar Blok 12, ia melihat Lim dan seorang wanita berjalan dengan seorang anak laki-laki berkulit gelap.[77]

Terdakwa Lim
Tidak ada komentar.
Hakim Sinnathuray
Tidak, tidak. Tidak, Adrian Lim. Anda tidak boleh terus berkata seperti itu pada saya. (Kepada Cashin) Orang ini saksi Anda.
Pengacara Cashin
Yang Mulia, sekarang Anda tahu bahwa betapa sulitnya berurusan dengan saksi yang satu ini.

Catatan pengadilan menggambarkan kefrustrasian pengadilan terhadap perilaku Lim[69]

Pada 13 April, Lim akhirnya memberikan pernyataan. Dia menyatakan bahwa dirinyalah pelaku kejahatan tunggal.[78] Ia membantah telah memerkosa Lucy Lau atau Ng, dan mengklaim bahwa pernyataan sebelumnya hanya dibuat untuk memuaskan para penyelidik.[79][80] Lim bersikap selektif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh pengadilan; ia tidak bertele-tele dalam menjawab orang-orang yang mendukung pendiriannya, dan menolak untuk mengomentari hal yang lain.[78] Ketika pengadilan meragukan kebenaran dari pengakuannya yang terbaru, Lim mengklaim telah terikat oleh kewajiban agama dan moral untuk berkata sejujurnya.[81] Namun, Knight menyatakan bahwa Lim adalah seorang pria pembohong yang mengacuhkan sumpah. Lim telah berbohong kepada istrinya, pelanggannya, para polisi, dan psikiater. Knight mengklaim bahwa sikap Lim di pengadilan merupakan pengakuan langsung bahwa ia sengaja berbohong dalam pernyataannya sebelumnya.[82] Tan dan Hoe bersikap lebih kooperatif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pengadilan. Mereka membantah cerita Lim, dan menjamin kebenaran laporan pernyataan mereka yang telah diberikan kepada polisi.[83] Mereka menceritakan bagaimana mereka hidup dalam ketakutan dan kekaguman atas Lim. Mereka percaya bahwa Lim memiliki kekuatan gaib, dan mereka mengikuti setiap perintahnya tanpa memiliki kehendak bebas.[84] Setelah Knight bertanya, akhirnya Tan mengakui bahwa Lim telah menipu pelanggannya, dan ia dengan sengaja membantu Lim melakukan aksi kejahatan.[85] Knight mendapati pengakuan yang kondusif dari kesaksian Hoe, bahwa mereka sadar akan tindakannya pada waktu pembunuhan terjadi.[86]

Pertikaian para psikiater

Tidak ada yang menyangkal bahwa Lim, Tan, dan Hoe telah membunuh anak-anak. Para pengacara mereka meyakinkan para hakim bahwa secara medis, para terdakwa tidak sadar sepenuhnya saat melakukan kejahatan. Oleh karena itu, jalannya persidangan menjadi ajang pertikaian antara saksi-saksi ahli yang dipanggil oleh kedua belah pihak. Dr. Wong Yip Chong—seorang psikiater senior yang membuka praktik swasta—percaya bahwa Lim menderita gangguan mental pada saat melakukan kejahatan. Dengan klaim bahwa "dilihat dari garis besarnya, tanpa ambil pusing tentang hal-hal yang bertentangan",[87] ia berkata bahwa nafsu seksual Lim yang tinggi dan kepercayaan delusif pada Dewi Kali adalah karakteristik dari seorang hipomaniak. Dokter tersebut juga berkata bahwa hanya orang tidak waras yang mau membuang mayat di dekat rumahnya jika ia berencana untuk mengalihkan perhatian polisi.[88] Klaim tersebut dibantah oleh seorang saksi ahli yang dipanggil oleh jaksa penuntut, Dr. Chee Kuan Tsee, seorang psikiater di Rumah Sakit Woodbridge.[89] Ia berkata bahwa Lim "benar-benar merencanakan aksinya, berhati-hati dalam tindak-tanduknya, dan bersikap persuasif dalam penampilannya demi pencitraan dan kesenangan pribadi".[90] Menurut opini Dr. Chee, Lim kecanduan seks karena perannya sebagai cenayang telah memberinya pasokan wanita yang bersedia untuk diajak berhubungan badan. Selain itu, keyakinannya pada Kali adalah sikap religius yang alami, bukan sikap delusif. Pemanfaatan agama untuk kepentingan pribadi merupakan indikasi bahwa Lim benar-benar sadar akan tindakan yang dilakukannya. Terakhir, Lim pernah berkonsultasi pada dokter dan mengambil obat penenang untuk mengobati insomnianya, suatu kondisi yang menurut Dr.Chee tidak mungkin dilakukan oleh seorang penderita hipomania.[91]

Dr.R. Nagulendran, seorang psikiater konsultan, bersaksi bahwa Tan mengalami gangguan mental depresi kejiwaan relatif. Menurutnya, Tan mengalami depresi sebelum bertemu Lim yang disebabkan oleh latar belakang keluarganya. Kekerasan fisik dan ancaman dari Lim telah memperdalam depresinya; penyalahgunaan obat-obatan membuatnya berhalusinasi dan memercayai kebohongan Lim.[90] Dr.Chee tidak sependapat; ia berkata bahwa Tan mengaku cukup senang dengan gaya hidup mewah yang diberikan Lim kepadanya, serta menikmati pakaian bagus dan mendapatkan perawatan di salon kecantikan. Seorang penderita depresi psikotik reaktif tidak akan memerhatikan penampilannya sebagaimana yang dilakukan Tan. Selain itu, Tan pernah mengaku bahwa ia sudah tahu Lim adalah seorang penipu, namun mengubah pendiriannya di pengadilan dengan mengklaim bahwa ia bertindak di bawah pengaruh Lim. Meskipun dalam pertimbangannya Dr.Chee mengabaikan kekerasan yang diterima Tan, ia secara tegas berpendapat bahwa Tan bermental sehat pada saat kejahatan terjadi.[92] Dr. Nagulendran dan Dr.Chee bersepakat bahwa Hoe menderita skizofrenia berkepanjangan sebelum bertemu Lim, dan perawatan di Rumah Sakit Woodbridge telah membantu pemulihan dirinya. Dr.Nagulendran yakin bahwa Hoe mengalami kambuh pada saat terjadinya pembunuhan anak-anak, namun Dr.Chee menunjukkan bahwa tiada satu pun dokter Woodbridge yang melihat tanda-tanda kambuh selama enam bulan masa pemeriksaan lanjut (16 Juli 1980 – 31 Januari 1981).[93][94] Jika Hoe benar-benar mengalami gangguan karena kondisi kesehatannya — sebagaimana penjelasan Dr.Nagulendran — maka dia adalah seorang penderita cacat mental. Sebaliknya, secara cerdik ia menculik anak-anak dan sudah membantu Lim membunuh anak-anak pada dua kesempatan.[93] Pada akhir pernyataannya, Dr.Chee menyatakan bahwa perkara ini luar biasa karena tiga orang dengan penyakit mental yang berbeda dapat mengalami delusi yang sama tentang titah dewa untuk membunuh orang.[95]

Pernyataan akhir

Dalam penuturan akhir mereka, para pengacara mencoba untuk memperkuat gambaran bahwa klien mereka merupakan individu yang mengalami gangguan mental. Pengacara Cashin mengatakan bahwa Lim adalah seorang pria normal, sampai perkenalannya pada dunia okultisme, dan menambahkan bahwa Lim telah menjauhkan diri dari kenyataan ketika memasuki "dunia mengerikan yang tidak masuk akal", bertindak menurut delusinya sendiri untuk membunuh anak-anak atas nama Kali.[96] Pengacara Jeyaretnam mengatakan bahwa akibat depresi dan pelecehan yang dilakukan oleh Lim, maka Tan menjadi "sebuah robot", melaksanakan perintah tanpa berpikir.[97] Pengacara Isaac hanya menyimpulkan, "pikiran skizofrenia [Hoe] menganggap bahwa jika anak-anak dibunuh, maka mereka akan masuk surga dan tidak tumbuh menjadi orang jahat seperti ibunya dan orang lain."[98] Pengacara pun mengkritik Dr. Chee karena gagal mengenali gejala klien mereka.[90][98]

Jaksa memulai pidato penutupnya dengan menggarisbawahi cara "kejam dan penuh perhitungan" yang digunakan untuk membunuh anak-anak tersebut.[99] Jaksa Knight juga berpendapat bahwa para terdakwa tidak mengalami delusi yang sama, hanya mengarang cerita tersebut pada saat pengadilan berlangsung.[98] Tindakan "licik dan penuh perhitungan" dalam aksi kejahatan mereka tidak mungkin dilakukan oleh orang yang mengalami delusi.[99] Tan membantu Lim karena "dia cinta [padanya]", dan Hoe hanya mengalami kesesatan sehingga mau membantu kejahatan tersebut.[100] Agar hakim mempertimbangkan konsekuensi keputusan mereka, Knight menyatakan: "Yang Mulia, dapat dikatakan bahwa Lim tidak lebih dari seorang pengecut yang mengincar anak kecil karena mereka tidak dapat melawan; membunuh mereka dengan harapan dapat memperoleh kekuatan atau kekayaan dan tidak menganggapnya sebagai pembunuhan, adalah tindakan tak masuk akal dari segi hukum pembunuhan. Ini akan mendukung tumbuhnya kepercayaan terhadap hal mistis dan sihir yang telah ditimbulkannya melalui praktik untuk menakut-nakuti, mengintimidasi, dan membujuk orang-orang yang percaya takhayul, lemah, dan mudah tertipu agar berpartisipasi dalam tindakan yang sangat cabul dan tidak senonoh."[101]

Keputusan hakim

Pada tanggal 25 Mei 1983, banyak orang berkerumun di luar gedung untuk menunggu hasil persidangan. Karena keterbatasan tempat duduk, hanya beberapa orang yang diizinkan untuk mendengarkan keputusan yang dibacakan Hakim Sinnathuray selama 15 menit. Dua hakim tidak yakin bahwa terdakwa sedang tidak waras saat melakukan kejahatan. Mereka membuktikan Lim sebagai orang "kejam dan bejat" dalam menjalankan aksinya.[102] Dengan mempertimbangkan wawancara dengan saksi ahli sebagai pengakuan bersalah,[103] Sinnathuray dan Chua membuktikan Tan sebagai "orang terampil dan jahat", dan "bersedia [turut serta] membantu tindakan keji dan memuakkan [Lim]".[104] Hakim membuktikan Hoe sebagai orang berpikiran "sederhana" dan "mudah dipengaruhi".[104] Meskipun Hoe menderita skizofrenia, mereka menggarisbawahi bahwa dia berada dalam keadaan remisi selama pembunuhan tersebut, maka dia juga harus bertanggung jawab penuh atas tindakannya.[105] Ketiganya dinyatakan bersalah atas pembunuhan tersebut dan dijatuhi hukuman gantung. Dua wanita terdakwa hanya membisu setelah mendengar keputusan hakim. Sementara itu, Lim berseri-seri dan berseru, "Terima kasih, Yang Mulia!", seraya dibawa keluar.[106]

Lim menerima nasibnya, sedangkan dua terdakwa lainnya tidak, sehingga mereka mengajukan banding atas keputusan hakim. Tan menyewa Francis Seow untuk mengajukan banding, sementara pengadilan sekali lagi menugaskan Isaac untuk membantu Hoe.[107] Para pengacara meminta pengadilan untuk mempertimbangkan keadaan mental klien mereka pada saat pembunuhan tersebut, dan menyatakan bahwa hakim pengadilan mengabaikan pertimbangan akan hal ini saat membahas perkara.[92] Pengadilan Tinggi Kejahatan mengumumkan keputusan mereka pada bulan Agustus 1986.[108] Para hakim banding menguatkan keputusan pengadilan, menggarisbawahi bahwa sebagai pencari fakta, hakim berhak untuk mengabaikan hasil medis bila ada bukti dari sumber lain.[109][e] Ajuan banding Tan dan Hoe kepada Dewan Penasihat London dan Presiden Singapura Wee Kim Wee juga mengalami kegagalan yang serupa.[111]

Setelah semua jalan untuk meminta pengampunan telah habis, Tan and Hoe bersikap tenang dalam menghadapi nasib mereka. Sambil menunggu hukuman mati, ketiganya diberikan nasihat oleh pendeta dan suster Katolik. Terlepas dari reputasi yang dimiliki Lim, Pastor Brian Doro menyebut pembunuh tersebut sebagai "orang yang agak bersahabat".[112] Menjelang hari eksekusi, Lim meminta Pastor Doro untuk memberi pengampunan dan perjamuan kudus. Demikian juga Tan dan Hoe dengan Suster Gerard Fernandez sebagai penasihat spiritual mereka. Sang suster mengonversi dua narapidana tersebut ke agama Katolik, dan mereka pun menerima pengampunan dan perjamuan kudus selama hari-hari terakhir mereka.[113] Pada tanggal 25 November 1988, ketiganya diberi makanan untuk terakhir kalinya sebelum menuju tali gantung. Lim tersenyum saat berjalan untuk yang terakhir kalinya. Setelah eksekusi selesai, ketiga pembunuh tersebut mendapatkan misa pemakaman secara singkat yang dipimpin oleh Pastor Doro,[114] kemudian dikremasi pada hari yang sama.[115]

Dampak dari kasus yang terjadi

 
Warga Singapura memadati halaman Dewan Subordinat (gambar) dan gedung pengadilan lainnya untuk melihat sekilas para pembunuh tersebut.

Sidang terhadap kasus pembunuhan di Toa Payoh ini diikuti oleh warga Singapura. Kerumunan orang terus memadati halaman sekitar gedung pengadilan, berharap dapat melihat sekilas wajah Adrian Lim. Surat kabar setempat yang melaporkan detail aksi berdarah dan seksual yang dilakukan Lim telah menyinggung kepekaan beberapa pihak; Kanon Frank Lomax, Vikaris Gereja Anglikan Santo Andreas, mengeluhkan bahwa pemberitaan oleh The Straits Times memiliki efek merusak bagi kaum muda. Keluhannya mendapat dukungan dari beberapa pembaca. Namun, yang lainnya menyambut baik keterbukaan berita tersebut, mengingat bahwa hal itu dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya kewaspadaan, bahkan di kota dengan tingkat kejahatan yang rendah.[116] Buku-buku yang membahas pembunuhan dan pengadilan tersebut laris di pasaran pada saat perilisannya.[117][118]

Keputusan dari pengadilan tersebut membuat Lim dicap sebagai orang jahat di benak masyarakat Singapura.[4] Beberapa warga tidak percaya bahwa ada yang rela membela orang seperti itu. Mereka menunjukkan kemarahan kepada Cashin, mantan pengacara Lim; bahkan beberapa di antaranya mengeluarkan ancaman pembunuhan.[119] Di sisi lain, nama Knight menjadi terkenal di kalangan warga Singapura sebagai orang yang mengusut Adrian Lim ke pengadilan, sehingga kariernya meningkat. Ia menangani banyak kasus tingkat tinggi, dan menjadi direktur Departemen Urusan Komersial pada tahun 1984. Ia terus mempertahankan reputasi baiknya, sampai tindak pidana korupsi yang dilakukannya tujuh tahun kemudian.[61]

Lim bahkan dibenci di penjara. Tahanan lain menindas dan memperlakukannya sebagai orang buangan.[120] Pada tahun-tahun setelah kejahatan tersebut diusut, kenangan tetap segar dalam ingatan orang-orang yang mengikuti kasus ini. Wartawan menulis bahwa sidang itu adalah sidang paling sensasional pada tahun 80-an, sebagai "buah bibir dari kota mencekam tempat kasus penyimpangan seksual, aksi minum darah manusia, kerasukan roh jahat, eksorsisme, dan kekejaman tak pandang bulu yang dibeberkan selama sidang 41 hari".[121] Lima belas tahun setelah sidang berakhir, sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh The New Paper melaporkan bahwa 30 persen dari respondennya memilih ritual pembunuhan Toa Payoh sebagai kejahatan yang paling mengerikan, meskipun di angket tertulis agar respoden menunjuk kejahatan yang terjadi pada tahun 1998.[122] Lim telah menjadi tolok ukur kejahatan di negerinya; pada tahun 2002, Subhas Anandan menggambarkan kliennya, Anthony Ler, seorang pembunuh istri sebagai "orang yang lebih tampan, atau versi ganteng dari pelaku pembunuhan di Toa Payoh yang terkenal".[123]

Pada tahun 1990-an, industri film di Singapura memproduksi dua film berdasarkan kasus tersebut. Yang pertama adalah Medium Rare. Film yang diproduksi pada tahun 1991 ini memiliki keterlibatan dengan pihak asing; sebagian besar pemain dan kru adalah orang Amerika atau Inggris. Skenarionya ditulis secara lokal dan dimaksudkan untuk mengeksplorasi "sisi kejiwaan tiga karakter utama".[124] Namun, sutradaranya lebih fokus pada adegan hubungan seks dan kekerasan, sehingga film tersebut dicemooh oleh penonton saat pemutarannya pada tengah malam.[124] Film ini berhasil meraup keuntungan sebesar $130,000 (AS$75,145) selama 16 hari pemutaran,[125][f] dan seorang wartawan menyebutnya "lebih aneh daripada cerita seksual tak lazim dan praktik okultisme yang terkait dengan kisah Adrian Lim".[127] Film kedua, God or Dog yang diluncurkan pada tahun 1997, juga memperoleh pendapatan yang suram,[128] meskipun tanggapan masyarakat lebih positif.[129] Dua film tersebut mengalami kesulitan dalam mencari aktor lokal untuk pemeran utamanya; Zhu Houren menolak atas dasar bahwa kepribadian Adrian Lim terlalu rumit untuk diperankan oleh seorang aktor secara akurat,[130] sementara Xie Shaoguang menolak tawaran karena kurangnya "faktor penebusan" yang dilakukan pembunuh tersebut.[131] Di televisi, kasus pembunuhan tersebut menjadi episode pembuka untuk True Files, sebuah program tahun 2002 khusus kasus kejahatan. Namun, masyarakat mengeluh bahwa trailer-nya terlalu mengerikan dengan tayangan reka ulang aksi ritual dan pembunuhan tersebut, sehingga perusahaan media MediaCorp terpaksa merombak jadwal penayangannya. Episode ritual pembunuhan Toa Payoh digantikan oleh sebuah episode yang kurang sensasional sebagai pembuka, dan ditayangkan ulang dengan jatah waktu untuk pemirsa yang lebih dewasa, menyiratkan betapa mengerikannya kejahatan yang dilakukan oleh Lim, Tan, dan Hoe.[132]

Catatan kaki

  1. ^ Lim menggunakan patung Phragann berukuran kecil dalam ritualnya, dan menggantungnya di pinggang pada saat berhubungan intim. Dua sumber utama menyebut objek ini dengan nama yang berbeda. John menyebutnya Pragngan, sementara Narayanan, yang mengutip laporan polisi, menyebutnya Phragann.
  2. ^ Nilai tukar 2.11, berdasarkan pada rata-rata 12 bulan dari nilai tukar pada tahun 1981.[34]
  3. ^ Hoe sangat yakin terhadap keabsahan trik dan kemampuan Lim, sampai akhirnya Tan mengungkapkan cara kerja trik tersebut saat mereka diinterogasi di kantor polisi.[45]
  4. ^ Usaha praktik kedua dokter tersebut ditertibkan oleh Dewan Medis Singapura pada tahun 1990 karena tindakan mereka; Yeo keluar dari Perkumpulan Medis, dan Ang diskors selama tiga bulan.[73] Namun, Yeo berhasil memulihkan usahanya pada tahun berikutnya.[74]
  5. ^ Dewan Penasihat juga memberikan keputusan yang sama dalam peninjauan ulang terhadap Walton v. the Queen, sebuah pengadilan terhadap pembunuhan di Britania pada tahun 1989.[110]
  6. ^ Sebagai perbandingan, film komedi laris pada tahun 1996 berjudul Army Daze meraup keuntungan sebesar $500,000 (AS$289,017) selama empat hari pertama.[126] Kurs 1.73 rata-rata berasal dari 12 bulan pada tahun 1991.[34]

  1. ^ Sit 1989 a, hlm. xiii.
  2. ^ Sit 1989 b, hlm. xiii.
  3. ^ John 1989, hlm. 187, 202.
  4. ^ a b Yap 15 Juli 1995.
  5. ^ DeBernadi 2006, hlm. 1–14.
  6. ^ Thung 1977, hlm. 229.
  7. ^ Trocki 2006, hlm. 146.
  8. ^ Thung 1977, hlm. 231–232.
  9. ^ Rowen 1998, hlm. 116–117.
  10. ^ Quah 1987, hlm. 49.
  11. ^ Naren 2000, hlm. 24.
  12. ^ John 1989, hlm. 9.
  13. ^ John 1989, hlm. 2–3.
  14. ^ Kutty 1989, hlm. 166–167.
  15. ^ John 1989, hlm. 7–8.
  16. ^ Kutty 1989, hlm. 9.
  17. ^ John 1989, hlm. 8.
  18. ^ a b John 1989, hlm. 10.
  19. ^ John 1989, hlm. 162.
  20. ^ a b Kutty 1989, hlm. 80.
  21. ^ John 1989, hlm. 17–19.
  22. ^ John 1989, hlm. 18, 34.
  23. ^ John 1989, hlm. 12–13.
  24. ^ Kutty 1989, hlm. 86, 89.
  25. ^ Kutty 1989, hlm. 30–31.
  26. ^ John 1989, hlm. 19–20.
  27. ^ Kutty 1989, hlm. 46–47.
  28. ^ Kok 1990, hlm. 70.
  29. ^ John 1989, hlm. 28.
  30. ^ John 1989, hlm. 26–27.
  31. ^ John 1989, hlm. 29–31.
  32. ^ Kutty 1989, hlm. 113–114.
  33. ^ John 1989, hlm. 33–35.
  34. ^ a b Economagic.com
  35. ^ John 1989, hlm. 37.
  36. ^ a b John 1989, hlm. 36.
  37. ^ John 1989, hlm. 34.
  38. ^ John 1989, hlm. 32.
  39. ^ John 1989, hlm. 170–171.
  40. ^ John 1989, hlm. 171.
  41. ^ John 1989, hlm. 186.
  42. ^ John 1989, hlm. 40–41.
  43. ^ John 1989, hlm. 37–38.
  44. ^ John 1989, hlm. 40–42.
  45. ^ John 1989, hlm. 196.
  46. ^ John 1989, hlm. 43–45.
  47. ^ John 1989, hlm. 46–48.
  48. ^ Kutty 1989, hlm. 111.
  49. ^ a b c John 1989, hlm. 48.
  50. ^ Kok 1990, hlm. 44.
  51. ^ Kutty 1989, hlm. 6.
  52. ^ John 1989, hlm. 49.
  53. ^ John 1989, hlm. 61.
  54. ^ John 1989, hlm. 84.
  55. ^ Kutty 1989, hlm. 45.
  56. ^ a b John 1989, hlm. 92–94.
  57. ^ John 1989, hlm. 94.
  58. ^ John 1989, hlm. 95–97.
  59. ^ John 1989, hlm. 51–52.
  60. ^ John 1989, hlm. 52.
  61. ^ a b Tan 7 Oktober 1997.
  62. ^ John 1989, hlm. x.
  63. ^ John 1989, hlm. 55.
  64. ^ John 1989, hlm. 56.
  65. ^ Kutty 1989, hlm. 28.
  66. ^ John 1989, hlm. 67.
  67. ^ John 1989, hlm. 51.
  68. ^ John 1989, hlm. 117.
  69. ^ a b John 1989, hlm. 127.
  70. ^ Kutty 1989, hlm. 155.
  71. ^ Tan April 1997.
  72. ^ John 1989, hlm. 107–116.
  73. ^ Fernandez 25 Juni 1990.
  74. ^ Lim 10 Oktober 1991.
  75. ^ John 1989, hlm. 61–70.
  76. ^ John 1989, hlm. 198.
  77. ^ John 1989, hlm. 56–60.
  78. ^ a b John 1989, hlm. 121.
  79. ^ John 1989, hlm. 132–133.
  80. ^ John 1989, hlm. 154–156.
  81. ^ John 1989, hlm. 155.
  82. ^ John 1989, hlm. 157–158.
  83. ^ John 1989, hlm. 168, 198.
  84. ^ John 1998, hlm. 164–165, 203.
  85. ^ John 1989, hlm. 180–181.
  86. ^ John 1989, hlm. 202–203.
  87. ^ John 1989, hlm. 208.
  88. ^ Kok 1990, hlm. 71.
  89. ^ John 1989, hlm. 204.
  90. ^ a b c Kok 1990, hlm. 72.
  91. ^ John 1989, hlm. 209.
  92. ^ a b Kok 1990, hlm. 73.
  93. ^ a b Kok 1990, hlm. 45.
  94. ^ John 1989, hlm. 202.
  95. ^ John 1989, hlm. 217.
  96. ^ John 1989, hlm. 218.
  97. ^ John 1990, hlm. 218.
  98. ^ a b c John 1989, hlm. 219.
  99. ^ a b John 1989, hlm. 220.
  100. ^ John 1989, hlm. 221.
  101. ^ John 1990, hlm. 221.
  102. ^ John 1989, hlm. 224–225.
  103. ^ Kok 1994, hlm. 53.
  104. ^ a b John 1989, hlm. 225.
  105. ^ Kok 1994, hlm. 94.
  106. ^ John 1989, hlm. 226.
  107. ^ John 1989, hlm. 227.
  108. ^ John 1989, hlm. 228.
  109. ^ Kok 1990, hlm. 73–74.
  110. ^ Kok 1990, hlm. 74.
  111. ^ John 1990, hlm. 228.
  112. ^ Davie 24 November 1989.
  113. ^ Kutty 1989, hlm. 14–15.
  114. ^ Kutty 1989, hlm. 14.
  115. ^ John 1989, hlm. 229.
  116. ^ John 1989, hlm. 116–118.
  117. ^ Khor 13 September 1989.
  118. ^ Khor 16 Oktober 1989.
  119. ^ John 1990, hlm. 117.
  120. ^ Yaw 10 September 1991.
  121. ^ Davidson 2 Januari 1990.
  122. ^ Low 19 Desember 1998.
  123. ^ Vijayan 14 Desember 2002.
  124. ^ a b Uhde 2000, hlm. 109–110.
  125. ^ Uhde & 2000 110.
  126. ^ Uhde 2000, hlm. 114.
  127. ^ Guneratne 2003, hlm. 172.
  128. ^ Millet 2006, hlm. 96.
  129. ^ Uhde 2000, hlm. 115.
  130. ^ Lee 4 Juni 1996.
  131. ^ Lee 9 Mei 1996.
  132. ^ Tan 24 April 2002.

Daftar pustaka

Buku
Artikel surat kabar
Internet

Pranala luar

Koordinat: 1°20′13″N 103°51′26″E / 1.33694°N 103.85722°E / 1.33694; 103.85722