Koloni Singapura
Koloni Singapura adalah koloni mahkota dari Imperium Britania dari tahun 1946 sampai tahun 1963, ketika Singapura menjadi bagian dari Malaysia. Ketika Kekaisaran Jepang menyerah kepada Sekutu pada akhir Perang Dunia II, pulau itu diserahkan kembali ke Inggris pada tahun 1945. Pada tahun 1946, Negeri-Negeri Selat dibubarkan dan Singapura bersama-sama dengan pulau Cocos-Keeling dan pulau Natal menjadi koloni mahkota yang terpisah. Koloni ini diperintah oleh Imperium Britania sampai koloni ini memperoleh pemerintahan sendiri internal parsial pada tahun 1955.
Koloni Singapura Colony of Singapore | |||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1946–1963 | |||||||||||||||||
Letak Singapura dalam Kepulauan Melayu | |||||||||||||||||
Status | Koloni Mahkota | ||||||||||||||||
Ibu kota | Singapore | ||||||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | |||||||||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||||||||
Penguasa | |||||||||||||||||
• 1936–1952 | George VI | ||||||||||||||||
• 1952–1963 | Elizabeth II | ||||||||||||||||
Gubernur | |||||||||||||||||
• 1946–1952 (first) | Franklin Charles Gimson | ||||||||||||||||
• 1957–1959 (last) | William Goode | ||||||||||||||||
Perdana Menteri | |||||||||||||||||
• 1959–1963 | Lee Kuan Yew | ||||||||||||||||
Era Sejarah | Imperium Britania | ||||||||||||||||
• Pembubaran Negeri-Negeri Selat | 1 April 1946 | ||||||||||||||||
• Kedaulatan Kepulauan Cocos (Keeling) ditransfer ke Australia | 1955 | ||||||||||||||||
• Kedaulatan Pulau Natal ditransfer ke Australia | 1957 | ||||||||||||||||
• Otonomi di dalam Imperium Britania | 1959 | ||||||||||||||||
• Merger dengan Federasi Malaysia | 16 September 1963 | ||||||||||||||||
Luas | |||||||||||||||||
1963[1] | 670 km2 (260 sq mi) | ||||||||||||||||
Populasi | |||||||||||||||||
• 1963[1] | 1795000 | ||||||||||||||||
Mata uang |
| ||||||||||||||||
| |||||||||||||||||
Sekarang bagian dari | |||||||||||||||||
Sejarah
suntingPeriode pascaperang: kembalinya pemerintahan Britania
suntingSetelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, terjadi keadaan anomie di Singapura, karena Inggris belum tiba untuk mengambil kendali, sementara penjajah dari Jepang telah jauh melemah di mata rakyat. Insiden penjarahan dan pembunuhan atas dendam merajalela.
Ketika pasukan Inggris kembali ke Singapura pada bulan September 1945, ribuan warga Singapura berbaris di jalan-jalan untuk menyoraki mereka. Singapura diperintah oleh Administrasi Militer Britania (BMA) antara bulan September 1945-Maret 1946, yang selama ini juga dipakai sebagai markas besar gubernur jenderal Inggris untuk daerah Asia Tenggara. Namun banyak infrastruktur telah hancur, termasuk sistem kelistrikan dan pasokan air, layanan telepon, serta fasilitas pelabuhan di Pelabuhan Singapura.[2]
Terdapat pula kekurangan pangan, termasuk beras, dan hal ini menyebabkan malanutrisi, penyakit, dan maraknya kejahatan dan kekerasan. Pengangguran, harga pangan yang tinggi, dan ketidakpuasan pekerja memuncak dalam serangkaian demonstrasi pada tahun 1947 yang menyebabkan terjadinya mogok massal di sektor angkutan umum dan jasa lainnya. Pada akhir 1947, perekonomian mulai pulih, karena difasilitasi oleh meningkatnya permintaan timah dan karet di seluruh dunia. Tapi masih butuh wakti beberapa tahun lagi sebelum perekonomian pulih kembali ke tingkat sebelum perang.[2]
Pembentukan koloni
suntingPada 1 April 1946, Negeri-Negeri Selat dibubarkan dan Singapura menjadi Koloni Mahkota dengan pemerintahan sipil yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan dipisahkan dari semenanjung Malaya. Pada bulan Juli 1947, Dewan Eksekutif dan Legislatif didirikan secara terpisah dan ketentuan-ketentuan dibuat untuk memungkinkan pemilihan enam anggota Dewan Legislatif pada tahun selanjutnya.[3]
Merger dengan Malaysia
suntingKegagalan Inggris untuk membela Singapura telah menghancurkan kredibilitas mereka sebagai penguasa hebat di mata penduduk setempat di Singapura. Beberapa dekade setelah dan selama perang, telah terjadi kebangkitan politik di antara penduduk setempat dan juga kebangkitan gerakan nasionalis dan anti-kolonial, termasuk seruan untuk merdeka. Inggris telah siap untuk memulai program secara bertahap meningkatkan pemerintahan sendiri untuk Singapura dan Malaya.[2] Koloni mahkota ini dibubarkan pada tanggal 16 September 1963 ketika Singapura menjadi bagian dari Malaysia, mengakhiri 144 tahun pemerintahan Inggris di pulau ini.
Pada 9 Agustus 1965, Singapura dikeluarkan dari Federasi Malaysia dan menjadi Republik Singapura yang merdeka, karena sengketa politik dan ekonomi.
Administrasi
suntingPada 1 April 1946, koloni Singapura dibentuk dengan pulau Cocos-Keeling, pulau Natal, dan Labuan setelah dibubarnya Negeri-Negeri Selat. Sebagai koloni mahkota, Singapura mewarisi struktur organisasi hierarkis dari pemerintahan Negeri-Negeri Selat dengan adanya gubernur, yang didampingi Dewan Penasehat Eksekutif, Dewan Legislatif, dan Dewan Munisipalitas.[4] Pada bulan Juli 1946, Labuan menjadi bagian dari Koloni mahkota Kalimantan Utara.[5] Kedaulatan kepulauan Cocos (Keeling) dipindahkan ke Australia pada tahun 1955. Administrasi pulau Natal juga ditransfer ke Australia pada tahun 1957 atas permintaan dari pemerintah Australia.
Gubernur Singapura (1946-1959)
suntingPara Gubernur Singapura memerintah Singapura. Orang-orang yang memegang posisi ini memerintah Koloni Mahkota Singapura dari tahun 1946 sampai tahun 1959, atas nama Kantor Kolonial sampai Singapura memperoleh pemerintahan sendiri pada tahun 1959 ketika Kantor Gubernur ditiadakan.
Referensi
sunting- ^ "Singapore - Land area". Index Mundi. Diakses tanggal August 27, 2016.
- ^ a b c "Singapore – Aftermath of War". U.S. Library of Congress. Diakses tanggal 18 June 2006.
- ^ "Towards Self-government". Ministry of Information, Communications and the Arts, Singapore. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-07-13. Diakses tanggal 18 June 2006.
- ^ Pemilihan representasi baru Singapura Dewan. (1946, 2 April).
- ^ N. Borneo menjadi sebuah koloni. (1946, juli 16).
Bacaan lanjutan
sunting- Bose, Romen, "The End Of the War: The Liberation of Singapore and the aftermath of the Second World War", Marshall Cavendish, Singapore, 2005