Sosiologi agama adalah cabang ilmu sosiologi yang mempelajari peran, sejarah, perkembangan dan tema universal dari agama di dalam masyarakat.[1] Dalam sosiologi agama, nilai kebenaran filsafat serta dogma dalam teologi tidak dijadikan sebagai bahan kajian. Sosiologi agama mengkaji tentang kehidupan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat sebagai penggambaran dari keagamaan.[2] Max Weber dan Emile Durkheim menjadi pencetus sosiologi agama sebagai suatu disiplin ilmiah. Karya-karya Weber dan Durkheim menjelaskan tentang sosiologi agama sebagai cara untuk memperoleh keterangan ilmiah tentang masyarakat beragama. Sosiologi agama menggunakan sudut pandang empiris dari ilmu sosial sebagai pendekatan ilmiahnya.[3] Pendekatan sosiologi agama cenderung menggunakan kelebihan dan kekurangan pada suatu agama sebagai objek kajian.[4] Objek kajian utama dalam sosiologi agama ialah hubungan antarindividu dan antarkelompok di dalam organisasi keagamaan serta hubungan antara suatu organisasi keagamaan dengan organisasi keagamaan lainnya.[5] Dalam sosiologi agama, keyakinan kerohanian merupakan struktur sosial yang menciptakan integrasi sosial pada individu-individu di dalam masyarakat.[6]

Ciri khas

sunting

Sepanjang sejarah, peran agama di seluruh masyarakat memiliki penekanan tertentu. Sosiologi agama tidak menilai kebenaran kepercayaan agama, sehingga berbeda dari filsafat agama. Selain itu, proses membandingkan dogma yang saling bertentangan membutuhkan ateisme metodologis yang melekat.[7] Sosiologi agama juga berbeda dengan teologi dalam hal mengasumsikan ketidakabsahan supernatural. Kajian sosiologi lebih menekankan pengamatan terhadap reifikasi sosia teoris cenderung mengakui reifikasi sosial budaya dalam praktik keagamaan.[2]

Sejarah

sunting

Sosiologi akademik modern dimulai dengan analisis agama dalam studi tingkat bunuh diri Durkheim tahun 1897 di antara penduduk Katolik dan Protestan, sebuah karya mendasar dari penelitian sosial yang ditujukan untuk membedakan sosiologi dari ilmu disiplin lain seperti psikologi. Karya Karl Marx dan Max Weber menekankan hubungan antara agama dan ekonomi atau struktur sosial masyarakat. Perdebatan kontemporer lebih memusat pada masalah seperti sekularisasi, agama sipil, dan kepaduan agama dalam konteks globalisasi dan multikulturalisme. Sosiologi agama kontemporer juga dapat mencakup sosiologi ketiadaan agama (contohnya dalam analisis sistem kepercayaan Humanis Sekuler).

Intelektual awal

sunting

Karl Marx

sunting

Marx mulai meninggalkan kajian tentang esensi manusia sejak menulis karyanya yang berjudul Capital. Pusat kajiannya kemudian beralih ke logika sistem kapitalis dalam sejarah. Dalam berbagai teorinya, Marx menjadikan kapitalisme sebagai landasan teori. Berkaitan dengan agama, Marx berpendapat bahwa agama merupakan opium masyarakat yang mampu mengurangi atau menghilangkan frustrasi kelas pekerja. Ketika manusia salah dalam memahami hakikat dirinya sebagai manusia, maka akan terjadi penolakan diri yng berakhir menjadi alienasi. Marx menjelaskan bahwa kesalahpahaman ini berawal dari perasaan gagal dalam memperoleh hasil kerja keras secara mandiri.[8]

Max Weber

sunting

Penjelasan Max Weber tentang esensi agama, berkebalikan dengan penjelasan Karl Marx. Weber memandang agama sebagai pemberi semangat dan sumber inspirasi bagi manusia untuk menjalani kehidupannya. Melalui pendekatan verstehen, Weber melakukan pemaknaan agama oleh individu secara subjektif . Dalam bukunya yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menunjukkan kontribusi agama bagi perkembangan ekonomi masyarakat. Agama menjadi pembentuk citra diri seseorang tentang dunia dan mempengaruhi pandangannya tentang kepentingan-kepentingan ekonomi. Agama memungkinkan manusia terbebas dari penderitaan dan memotivasi dirinya melalui pencarian kekayaan.[9]

Emile Durkheim

sunting

Emile Durkheim menganggap agama sebagai suatu fakta sosial non-material yang menempati posisi sentral di dalam masyarakat. Kajiannya tentang sosiologi agama didasarkan pada perbandingan antara kesederhanaan masyarakat primitif dan kerumitan masyarakat modern. Kesimpulan yang diperolehnya yaitu bahwa agam bersumber dari masyarakat itu sendiri. Sifat sakral dan profan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat dalam totemisme. Ini teramati dalam pendewaan terhadap benda-benda seperti tanaman dan hewan. Totemisme merupakan bentuk dari kesadaran kolektif yang merupakan bagian dari fakta sosial non-material. Durkeim menyimpulkan bahwa kesadaran kolektif yaitu masyarakat dan agama atau lebih umum lagi, adalah satu dan sama. Cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial non-material yaitu melalui agama.[10]

Wilayah Kerja Sosiologi Agama

sunting
  1. Wilayah jelajah sosiologi agama memotret agama yang telah melembaga dalam kehidupan masyarakat suku atau ras tertentu ke kelompok, hingga suatu bangsa.ilmu ini berfokus pada kelompok dan institusi agama atau pembentukan, pemeliharaan, dan kematiannya. Yaitu agama yang telah melembaga dalam kehidupan organisasi sosial ekonomi dan politik. Agama Ma yang terlembaga dalam bentuk mazhab dan denominasi, baik yang transnational maupun yang lokal.
  2. Wilayah kerja sosiologi agama juga bekerja pada perilaku individu dalam kelompok masyarakat atau proses sosialisasi konversi perilaku ritual leadership, Karisma stratifikasi deferensiasi dan lain sebagainya.[11]
  3. Wilayah kerja lainnya adalah melihat dinamika sosial keagamaan seperti:
    • Konflik antar kelompok agama contoh Katolik versus Protestan, Kristen versus muslim, denominasi arus utama versusKultus dan lain-lain.
    • Kohesi dan harmoni sosial
    • Gerakan sosial keagamaan titik isu-isu mengenai fundamentalisme terorisme dan bentuk gerakan lainnya ada dalam wilayah ini.
    • Wilayah jelajah lainnya adalah melihat agama dalam masyarakat Industri Modern titik terutama kaitan agama dengan gerakan kesalehan atau pietisism, komodifikasi agama, dan lain sebagainya.
    • Agama dan hajat hidup masyarakat sebagai agama dan pertanian agama ketahanan pangan, dan lain-lain. Sekali lagi deskripsi wilayah Cilacap hanya untuk memberikan gambaran kajian an sosiologi agama, bahwa para ahli memiliki deskripsi yang lebih jauh sudah barang tertentu itu kabar baik karena kajian sosiologi agama dinamis dan terus berkembang.

Lihat pula

sunting

Studi agama

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Kevin J. Christiano, et al., (2nd ed., 2008), Sociology of Religion: Contemporary Developments, Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 978-0-7425-6111-3
  2. ^ a b Pramono 2017, hlm. 2.
  3. ^ Pramono 2017, hlm. 33.
  4. ^ Pramono 2017, hlm. 5.
  5. ^ Haryanto 2015, hlm. 31.
  6. ^ Haryanto 2015, hlm. 32.
  7. ^ Berger, Peter L. The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (1967). Anchor Books 1990 paperback: ISBN 0-385-07305-4
  8. ^ Haryanto 2015, hlm. 36.
  9. ^ Haryanto 2015, hlm. 36-37.
  10. ^ Pramono 2017, hlm. 49.
  11. ^ https://pintarsosiologi.com/sosiologi-agama/

Daftar pustaka

sunting
  1. Haryanto, Sindung (2015). Sosiologi Agama: Dari Klasik hingga Postmodern (PDF). Sleman: Ar-Ruzz Media. ISBN 978-602-313-028-3. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-12-09. Diakses tanggal 2020-11-29. 
  2. Pramono, M. F. (2017). Sosiologi Agama dalam Konteks Indonesia (PDF). Ponorogo: Unida Gontor Press. ISBN 978-602-60033-8-6. 

Bacaan lanjutan

sunting

Pranala luar

sunting