Kecambah

Kecambah kacang hijau
(Dialihkan dari Tauge)

Kecambah atau tauge adalah tumbuhan (sporofit) muda yang baru saja berkembang dari tahap embrionik di dalam biji.

Kecambah rumput, dalam rangka waktu 150 menit
Kecambah monokotil (kiri) dan dikotil (kanan).

Tahap perkembangannya disebut perkecambahan dan merupakan satu tahap kritis dalam kehidupan tumbuhan.[1]

Kecambah biasanya dibagi menjadi tiga bagian utama: radikula (akar embrio), hipokotil, dan kotiledon (daun lembaga).[2] Dua kelas dari tumbuhan berbunga dibedakan dari cacah daun lembaganya: monokotil dan dikotil.[3] Tumbuhan berbiji terbuka lebih bervariasi dalam cacah lembaganya.[4] Kecambah pinus misalnya dapat memiliki hingga delapan daun lembaga.[4] Beberapa jenis tumbuhan berbunga tidak memiliki kotiledon, dan disebut akotiledon.[3]

Kecambah sebagai sumber pangan

sunting

Kecambah sering digunakan sebagai bahan pangan dan digolongkan sebagai sayur-sayuran. Khazanah boga Asia mengenal taoge sebagai bagian dari menu yang cukup umum. Kecambah dikatakan makanan sehat karena kaya akan vitamin E namun dikritik pula karena beberapa kecambah membentuk zat antigizi.[3]

Kecambah jelai yang dikenal sebagai malt digunakan sebagai salah satu bahan baku bir. Malt juga digunakan sebagai bagian dari minuman sehat karena mengandung maltosa yang lebih rendah kalori daripada sukrosa.

Berikut adalah beberapa tumbuhan yang kecambahnya biasa dimakan orang:

just for widening coloum just for widening coloum
  • Garden cress
  • Dill
  • Fenugreek
  • Garbanzo
  • Serai
  • Lentil
  • Selada
just for widening coloum just for widening coloum

Produksi kecambah untuk bahan pangan

sunting

Dalam pembuatan kecambah dibutuhkan biji-bijian atau kacang-kacangan yang sehat, tidak busuk, dan bersih dari pestisida serta lingkungan yang optimal berupa ruang gelap, lembap, dan kadar air yang cukup untuk perkecambahan biji-bijian tersebut.[5] Pertama-tama disiapkan wadah berlubang dengan dasar yang datar. Kemudian di bagian dasarnya dilapisi dengan kapas atau kain basah, kemudian dilketakkan alas berupa kain yang merupakan tempat menyebar benih atau biji. Pada tahap awal produksi, dilakukan pencucian dan perendaman benih selama 6-8 jam dengan air kemudian benih yang telah disiapkan akan disebar di alas kain yang telah disiapkan sebelumnya. Setiap 2-3 kali dalam sehari dilakukan penyiraman dengan air bersih. Setelah 3-5 hari, kecambah sudah dapat dipanen. Proses pembuatan kecambah ini dapat dilakukan sepanjang tahun, tidak memerlukan sinar matahari, dan dapat dilakukan pada musim apapun.[5]

Khasiat kecambah sebagai bahan pangan

sunting

Kecambah merupakan pangan yang rendah kadar lemak, kaya vitamin C, serta memiliki folat dan protein yang dapat memperkecil risiko timbulnya penyakit kardiovaskular dan merendahkkan LDL dalam darah.[5] Dalam kecambah, terkandung fitoestrogen yang dapat berfungsi seperti estrogen bagi wanita.[6] Estrogen tersebut dapat meningkatkan kepadatan dan susunan tulang, serta mencegah kerapuhan tulang (osteoporosis) khususnya bagi wanita yang berada pada masa menopause. Konsumsi kecambah juga dapat membantu wanita terhindar dari kanker payudara, gangguan menjelang menstruasi, keluhan semburat panas pada pra-menopause, dan gangguan akibat menopause. Tidak hanya itu, kecambah juga memiliki kemampuan mengurangi risiko terkena artritis, memperlancar pencernaan, reproduksi, dan saluran kelenjar (glandular). Pada beberapa jenis kecambah, terkandung senyawa fitokimia dalam jumlah besar dan salah satunya adalah kanavanin. Senyawa ini banyak ditemukan pada kecambah alfalfa dan bermanfaat untuk mencegah kanker darah, kanker usus besar, dan kanker pankreas.[7] Selain kanavanin, senyawa anti-kanker lain yang terkandung di dalam kecambah adalah daidzein dan ''genistein''.[8] Senyawa genistein secara efektif menghambat pasokan gizi (makanan)untuk sel-sel kanker sehingga membunuh sel kanker dalam tubuh. Selain itu, di dalam kecambah juga terkandung saponin yang dapat meningkatkan imunitas tubuh dengan menstimulasi interferon dan sel limfosit T.[5]

Kecambah sebagai makanan sapihan

sunting

Makanan sapihan adalah makanan yang secara khusus diformulasikan untuk bayi berusia 3-9 bulan yang mengalami masa peralihan dari mengonsumsi susu menjadi mengonsumsi makanan padat.[5] Pada masyarakat tradisional Indonesia, makanan sapihan yang diberikan berupa campuran nasi dan berbagai sayuran seperti bayam dan wortel ataupun ada pula yang hanya menggunakan pisang.[5] Kelemahan dari makanan sapihan tradisional ini adalah kandungan pati yang banyak terdapat di dalamnya menyebabkan pangan tersebut menjadi bulky atau limbak karena sifat pati yang mudah menyerap air dan mengental saat dipanaskan sehingga menyebabkan bayi yang mengonsumsinya sudah merasa kenyang sebelum lambungnya terisi cukup makanan.[5] Selain itu, pati yang merupakan makromolekul tidak dapat dipecah secara sempurna oleh enzim pencernaan bayi yang masih sangat terbatas.[5] Salah satu cara untuk menghasilkan makanan sapihan yang mudah, sehat, dan relatif murah adalah menggunakan tepung kecambah (taoge).[5] Di dalam kecambah, terdapat kandungan enzim amilase yang tinggi.[9] Dengan melakukan pengeringan selama 7-8 jam, enzim amilase pada kecambah akan memecah pati yang dikandungnya menjadi molekul sederhana sehingga tepung kecambah yang dihasilkan tidak mengental bila dipanaskan dan tidak bulky.[9] Tepung kecambah didapatkan dari kecambah kering yang dikuliti, disangrai, digiling, dan disaring.[5] Makanan sapihan untuk bayi sebaiknya dibuat dari campuran tepung kecambah dari dua jenis bahan, seperti taoge kacang hijau dan sorgum sehingga diperoleh campuran dengan kadar protein 10-15% dan energi yang terkandung di dalamnya 370 kkal/100 gram dengan nilai PER (protein efficiency ratio) sekitar 2,35.[5] Umumnya bayi memerlukan 16-18 gram protein per hari dan itu bisa didapatkan dengan konsumsi makanan sapihan sebanyak 80-100 gram per hari.[5] Bila dibandingkan dengan makanan sapihan tradisional, hanya diperlukan 1/3 volume makanan sapihan dari tepung kecambah untuk memenuhi kebutuhan bayi.[5]

Beberapa jenis kecambah bahan pangan

sunting

Kecambah kacang hijau (Taoge)

sunting
 
Taoge dari biji kacang hijau

Taoge adalah sayuran yang merupakan tumbuhan muda yang baru saja berkecambah dan dilindungi dari cahaya. Kata taoge sendiri adalah serapan dari dialek Hokkian, istilah Mandarin-nya adalah douya (豆芽) yang secara harfiah berarti kecambah kacang-kacangan, umumnya berasal dari kacang hijau dan sering disajikan dalam menu makanan dari Asia Timur. Taoge segar sangat kaya akan vitamin E, dan merupakan menu yang banyak dianjurkan untuk dikonsumsi. Taoge membantu memenuhi kebutuhan vitamin E tubuh.[10]

Kecambah kacang kedelai (Soybean sprout)

sunting

Kecambah kacang kedelai memiliki karakteristik berupa ukuran yang lebih besar dari kecambah kacang hijau, memiliki akar yang lebih panjang dan bentuk lebih ramping, serta berwarna kehijau-hijauan.[5] Rasa dari kecambah jenis ini adalah renyah dan terasa agak pahit apabila disantap mentah-mentah. Kecambah dari kedelai memiliki kandungan aroma langu (beany flavor) yang relatif lebih tinggi dibandingkan kecambah kacang hijau, namun memiliki kalori dan protein yang lebih tinggi dibandingkan kecambah lainnya. Bagi seorang vegetarian, kecambah kedelai merupakan salah satu alternatif makanan karena memiliki energi sebesar 86 kkal per cangkir yang dikonsumsi.[5]

Kecambah alfalfa

sunting

Kecambah ini memiliki bentuk yang menyerupai tunas halus berdaun hijau dengan rasa yang renyah dan segar. Keunggulan dari kecambah alfalfa adalah kandungan saponin yang terdapat di dalamnya sangat tinggi.[11] Saponin tersebut merupakan suatu senyawa yang dapat menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL) tanpa mengganggu kolesterol baik (HDL) sehingga mencegah terjadinya stroke dan serangan jantung.[11]

Referensi

sunting
  1. ^ (Inggris) Vahid Jajarmi (2009). "Effect of Water Stress on Germination Indices in Seven Wheat Cultivar" (PDF). World Academy of Science, Engineering and Technology 49: 105–106. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-05-19. 
  2. ^ (Inggris) AgEdLibrary.com (2006). "Parts of the Seed" (PDF): 1–4. 
  3. ^ a b c d (Inggris) (Inggris) Ireland. National Education Board (1899). Fourth book of lessons for the use of schools. Ireland. National Education Board. 
  4. ^ a b Jati, Nyoman (2021). Sutriyanti, Ni Komang, ed. Ensiklopedi Upakara Edisi Lengkap. Bali: Nilacakra. hlm. 290. ISBN 978-623-5609-15-7. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o FG Winarno, Agustinah W, Barus T. (2009). Penuntun praktis usaha mandiri Teknobiologi Pangan. Penerbit Universitas Atma Jaya. 
  6. ^ (Inggris) M.D. Sandra Cabot (1995). Smart Medicine for Menopause: Hormone Replacement Therapy and Its Natural Alternatives. Avery Publishing Group. ISBN 0-89529-628-4. 
  7. ^ (Inggris) Gerald A. Rosenthal, Palesa Nkomo (2000). "The Natural Abundance Of L-Canavanine, An Active Anticancer Agent, in Alfalfa, Medicago Sativa (L.)". Pharmaceutical Biology. 38: 1 – 6. doi:10.1076/1388-0209(200001)38:1;1-B;FT001. 
  8. ^ (Inggris) G. Sarwar Gilani, John Joseph Baxter Anderson (2002). Phytoestrogens and health. AOCS Publishing. ISBN 978-1-893997-32-5. 
  9. ^ a b (Inggris) Emmanuel Ohene Afoakwa‌, Philip Roger Aidoo‌ & Randy Adjonu (2010). "Effect of spontaneous fermentation and amylase-rich flour on the nutritive value, functional and viscoelastic properties of cowpea-fortified nixtamalized maize". International Journal of Food Sciences and Nutrition: 1–16. 
  10. ^ (Inggris) Ann Wigmore (1986). he Sprouting Book: How to Grow and Use Sprouts to Maximize Your Health and Vitality. Avery Trade. ISBN 978-0-89529-246-9. 
  11. ^ a b (Inggris) Jon A Story, Sally L LePage, Marilyn S Petro, Leslie G West, Marie M Cassidy, Fred G Lightfoot, George V Vahouny (1984). "Interactions of alfalfa plant and sprout saponins with cholesterol in vitro and in cholesterol-fed rats" (PDF). The American Journal of Clinical Nutrition. 39: 917–929. 

Pranala luar

sunting