Teori mitos Yesus (juga dikenal sebagai teori mitos Kristus atau hipotesis ketidakberadaan Yesus) sebenarnya terdiri dari dua pendapat:[1]

  1. Yesus dari Nazaret bukan tokoh historis yang benar-benar ada, tetapi merupakan karakter mitologis yang diciptakan oleh komunitas Kristen awal, atau
  2. Yesus memang ada, tetapi riwayat hidupnya tidak seperti yang ditulis di dalam Alkitab.
Teori mitos Yesus
Lukisan Kebangkitan Kristus oleh Noel Coypel (1700).
Teorikus mitos Yesus memandangnya sebagai salah satu dari kisah dewa-dewa yang wafat dan bangkit.
DeskripsiYesus dari Nazareth merupakan karakter mitologis yang diciptakan masyarakat Kristen.
Pendukung awalCharles François Dupuis (1742–1809)
Constantin-François Volney (1757–1820)
Bruno Bauer (1809–1882)
Arthur Drews (1865–1935)
John M. Allegro (1923–1988)
Pendukung modernG.A. Wells, Alvar Ellegård, Robert M. Price
SubjekSejarah kuno

Beberapa pendukung teori ini berargumen bahwa peristiwa atau perkataan yang berhubungan dengan figur Yesus dalam Perjanjian Baru mungkin berasal dari gabungan atribut atau cerita dari satu atau lebih tokoh-tokoh lain, baik yang benar ada maupun yang diambil dari mitos lain, untuk membentuk satu rangkaian riwayat hidup Yesus.[2]

Keraguan mengenai cerita hidup Yesus Kristus pernah diutarakan oleh seorang pengarang non-Kristen (pagan) pada awal abad ke-2, Celsus. Sebagai seorang filsuf Yunani, Celcus membandingkan riwayat Yesus dengan riwayat Zalmoxis dan Orpheus. Dengan bangkitnya kekuasaan Gereja Katolik di Kerajaan Romawi dan penghancuran kuil-kuil pagan pada abad ke-4, pemikiran dan keraguan keberadaan Yesus tidak dibicarakan secara terbuka. Malahan banyak cerita karangan ditambahkan, sehingga mengaburkan kenyataan dan khayalan atau mitos.

Sejarah modern mengenai teori mitos Yesus muncul kembali pada abad pencerahan. Pemikir-pemikir pencerahan Prancis seperti Constantin-François Volney dan Charles François Dupuis menyatakan keraguan mereka pada tahun 1790-an. Selanjutnya, muncul tokoh-tokoh yang mendukung teori ini, seperti Bruno Bauer pada abad ke-19, atau Arthur Drews pada abad ke-20. Teori ini menjadi perhatian melalui tulisan tokoh-tokoh Ateis Baru seperti Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan filsuf Prancis Michel Onfray.[3]

Argumen yang digunakan untuk mendukung teori ini adalah:

  • Tidak ditemukan referensi mengenai Yesus pada masa hidupnya.
  • Kurangnya referensi non-Kristen mengenai Yesus pada abad pertama.
  • Hubungan antara tokoh Yesus dengan dewa-dewa Yunani, Mesir, atau lainnya, terutama mengenai dewa yang wafat dan bangkit kembali.

Namun, dalam bidang keilmuan modern, teori mitos Yesus adalah teori yang dikesampingkan dan pada umumnya tidak didukung oleh para ahli.[4][5][6][7] Para ahli sejarah Kristen yang mempelajari sejarah awal Kekristenan meyakini bahwa Yesus ada, meskipun banyak perdebatan mengenai keabsahan bagian Perjanjian Baru dan sumber-sumber Kristen awal lainnya, sehingga perlu ditinjau secara kritis. Beberapa argumen pendukung keberadaan Kristus antara lain adalah:

Mitos

Dalam artian akademik, "mitos" adalah cerita rakyat yang mungkin atau tidak berdasarkan fakta. Definisi yang dipilih oleh para ahli cerita rakyat (Inggris: Folklorists) adalah "cerita yang dipercayai sebagai kisah nyata, biasanya dianggap suci, yang terjadi jauh pada masa lampau atau di dalam alam lain atau di bagian dunia tertentu, dengan sifat-sifat yang melebihi kemampuan manusia biasa atau kepahlawanan yang luar biasa."[8] Namun, bidang-bidang penelitian lain mempunyai definisi sendiri yang tidak sesuai dengan tersebut di atas.[9] Misalnya, cerita Oedipus sering dianggap "mitos" padahal menurut standar para "folklorist" itu dianggap "dongeng rakyat".[9]

Seringkali istilah "mitos" dan "legenda" dipakai bersama-sama, misalnya dalam cerita raja Arthur dan Robin Hood. Juga istilah "mitos" juga dipakai dalam cerita-cerita Inkuisisi Spanyol yang memakai alat-alat siksaan semacam Iron maiden dan Choke pear pada abad pertengahan.

Arti "Mitos" dalam "Mitos Yesus/Kristus"

John Remsburg, mengutip David Strauss dan John Fiske (seorang filsuf), mengatakan dalam bukunya, The Christ (tahun 1909), bahwa ada 3 jenis mitos:

  1. historis (sejarah)
  2. filosofis
  3. puitis

Mitos historis adalah "kejadian nyata yang diwarnai oleh pandangan kuno yang mencampuradukkan manusia dengan dewa, alamiah dengan supra-alamiah. Peristiwanya bisa saja sedikit diwarnai tapi penuturannya benar, atau dibumbui dan diubah dengan begitu banyak legenda sehingga hanya sedikit bagian yang benar dan penuturannya menjadi keliru. Banyak cerita sejarah kuno, termasuk kisah-kisah di Alkitab, dapat digolongkan sebagai mitos historis. Catatan mula-mula dari semua bangsa dan agama kurang lebih adalah mitos."

"Mitos filosofis adalah gagasan yang dibungkus dengan cerita sejarah. Bila gagasan itu ditampilkan dalam bentuk manusia atau dewa, itu disebut mitos murni. Banyak cerita mengenai dewa atau pahlawan kuno adalah mitos murni."

"Mitos puitis adalah campuran historis dan filosofis, dikacaukan dengan daya cipta khayalan. Puisi karya Homer dan Hesiod, yang merupakan kitab suci agama kuno Yunani, dan tulisan puitis di Alkitab yang membantu pembentukan ajaran agama-agama Semitik, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam (Inggris: Mohammedanism), tergolong di sini."

Remsburg menyatakan "Sangatlah sulit, kalau tidak mustahil, untuk membedakan mitos historis dan filosofis. Karena itu terjadi ketidakcocokan di antara pemikir-pemikir bebas (Inggris: Freethinkers) mengenai bentuk mitos Kristus itu. Apakah Kristus merupakan mitos historis atau filosofis? Apakah analisis anggapan riwayat sejarahnya menunjukkan seseorang yang didewakan atau suatu gagasan yang dipersonifikasikan?"

Remsburg menunjuk tulisan Strauss "Leben Jesu" sebagai contoh historis, sedangkan gagasan Thaddeus B. Wakeman sebagai contoh filosofis tentang Yesus.

Archibald Robertson menerbitkan Jesus: Myth or History? (tahun 1946) sebagai buku ke-110 dalam serial Thinker's Library. Di sana Archibald Robertson mendefinisikan "mythicist" hanya sebagai "pendukung teori bahwa Yesus adalah mitos" dan mengakui bahwa dalam buku "Christianity and mythology" (tahun 1900) mythicist "(John M.) Robertson bersedia mengakui kemungkinan historis Yesus memberi sejumlah kontribusi dalam cerita Injil."[10]

Tahun 1989, senior editor majalah Free Inquiry waktu itu, Gorden Stein, menulis "Tidak setiap mythicist saling sepakat tentang pandangan mengenai asal mula Kekristenan dan mitos Yesus. (...) Seorang mythicist menolak aspek supra-alamiah Yesus. Ia mungkin juga menolak aspek "guru moral agung" Yesus. Beberapa mythicist juga mencoba menolak bahwa seorang biasa (mungkin tukang sulap keliling) pernah ada dan menjadi dasar mitos yang mendahuluinya dan kemudian dikembangkan di sekitar Yesus. Para mythicist lain mungkin berpendapat bahwa apakah seorang manusia bernama Yesus pernah ada di zaman mulainya Kekristenan itu mustahil untuk dibuktikan maupun disangkal pada masa ini"[11]

Konteks

Yesus

 
"Cristo crucificado" oleh Diego Velázquez (c. 1632). Yesus dikatakan disalib sekitar tahun 30 M.

Ahli kitab suci L. Michael White menulis bahwa mereka yang berargumen bahwa Yesus pernah ada, menyatakan bahwa ia lahir sebagai seorang Yahudi antara tahun 7 hingga 4 SM (menurut injil Matius dan Lukas, pada masa kekuasaan Herodes Agung, yang meninggal pada bulan Maret tahun 4 SM), dan menduga Yesus meninggal sekitar tahun 30 M, pada masa pemerintahan Pontius Pilatus, gubernur provinsi Iudaea Romawi.[12]

White berpendapat bahwa sejauh ini Yesus tidak menulis apapun, dan [di luar tulisan Injil] tidak ada orang yang memiliki pengetahuan personal mengenainya, tidak ada bukti arkeologis mengenai keberadaannya, tiada catatan kontemporer mengenai kehidupan atau kematiannya selain dari Injil, catatan saksi mata di luar Injil tidak ditemui, dan begitu pula catatan dari tangan pertama. Semua catatan mengenai Yesus muncul beberapa dasawarsa atau abad berikutnya (lihat Injil dan sejarah di bawah). Sumber dari Injil sendiri datang setelah beberapa waktu, meskipun terdapat kemungkinan bahwa injil berisi sumber-sumber awal atau lisan. Ia menduga tulisan pertama mengenai Yesus yang ditemukan dibuat oleh Paulus dari Tarsus, dan ditulis 20-30 tahun sesudah kematian Yesus. Ia berpandangan bahwa Paulus bukan pengiring Yesus, bahkan melihat saja belum pernah.[12]

Beberapa pendapat White sekarang sudah tidak diterima sepenuhnya, karena adanya bukti-bukti sejarah yang dulunya tidak banyak diketahui orang.[13][14][15][16]

Definisi teori

Gagasan bahwa Yesus tidak pernah ada telah dinyatakan melalui berbagai cara dan dengan nama yang berbeda. Filsuf George Walsh berargumen bahwa Kekristenan berasal dari mitos yang dibungkus sebagai sejarah, atau tokoh sejarah yang dimitologisasi: ia sebelumnya menyebutnya sebagai teori mitos Kristus, dan selanjutnya dengan nama teori historis Yesus.[1] I. Howard Marshall, seorang sarjana Alkitab, mendeskripsikan dua pandangan yang bertentangan: satunya menyatakan bahwa kitab suci mendeskripsikan tokoh fiksi, sementara pandangan yang lain menyatakan bahwa setiap peristiwa pada Perjanjian Baru merupakan kebenaran literal.[17] John Dominic Crossan, ahli religius dan bekas pendeta Katolik, lebih senang menyebut teori mitos Yesus sebagai "Jesus-parable" (perumpamaan tentang Yesus), karena kita memiliki Yesus yang sepenuhnya parabolik (suatu perumpamaan), bukan historis.[18]

Paul Eddy, seorang ahli kitab suci, dan Gregory Boyd, seorang teolog dan pastur, memecahkan spektrum opini menjadi empat posisi yang menurut mereka memberikan heuristik yang berguna jika sederhana. Mereka mengelompokan tiga opini pertama menjadi "tesis legenda Yesus", terutama yang menyatakan bahwa penggambaran Yesus pada injil Matius, Markus, dan Lukas, secara historis tidak akurat.[19]

  1. Teori mitos Yesus, atau apa yang disebut oleh Eddy dan Boyd sebagai "tesis mitos Yesus": kitab suci mendeskripsikan tokoh yang secara virtual, atau mungkin sepenuhnya, fiktif. Tidak ada dasar bahwa aspek naratif Yesus berasal dari sejarah. Posisi ini dapat disebut sebagai "agnostisisme Yesus", posisi karena kita kekurangan bukti untuk menentukan apakah Yesus ada atau tidak.[19] Tokoh yang menganut pandangan ini adalah Bruno Bauer, Arthur Drews, dan G.A. Wells.
  2. Terdapat beberapa bukti untuk menyimpulkan bahwa Yesus ada, tetapi laporan-laporan tidak dapat dipercaya sehingga sangat sedikit yang bisa dikatakan tentangnya secara meyakinkan. Pendukung posisi ini adalah Rudolf Bultmann and Burton Mack.[19]
  3. Penelitian historis dapat menunjukkan inti fakta historis mengenai Yesus, tetapi ia sangat berbeda dengan Yesus dalam Perjanjian Baru. Firman dan mukjizatnya merupakan mitos. Eddy dan Boyd menambahkan, posisi ini semakin banyak muncul pada ahli Perjanjian Baru. Tokoh seperti Robert Funk dan Crossan meyakini teori ini.[19]
  4. Akhirnya, posisi ke-4 yang meyakini bahwa injil adalah catatan sejarah yang dapat dipercaya, dan historiografi kritis tidak perlu menyampingkan munculnya peristiwa supernatural. Pandangan ini diyakini oleh John P. Meier dan N. T. Wright.[19]

Tiga pilar teori

Ahli Perjanjian Baru Robert Price menulis bahwa teori mitos Yesus berdasarkan pada tiga pilar:[20]

  • Tidak ada penyebutan Yesus sang pembuat mukjizat dalam sumber sekuler.
  • Surat-surat tulisan Paulus tidak menjadi bukti yang cukup mengenai keberadaan Yesus.
  • Kisah Yesus berhubungan kuat dengan kepercayaan agama-agama Timur Tengah mengenai dewa yang wafat dan bangkit. Robert Price menulis bahwa pembela Kristen mencoba mengurangi hubungan ini.

Pengembangan teori

Abad ke-18 dan 19

Penolakan keberadaan Yesus dalam sejarah (Volney dan Dupuis)

 
Filsuf Prancis Constantin-François Chassebœuf berargumen bahwa figur Yesus berlandaskan pada tokoh sejarah yang tidak jelas dan mitologi matahari.

Keraguan mengenai Yesus muncul ketika pembelajaran kitab suci secara kritis berkembang pada abad pencerahan (Renaissance). Baron d'Holbach (1723-1789) - "Ecce Homo -The History of Jesus of Nazareth, a Critical Inquiry" (1769), pertama menggambarkan kehidupan Yesus sebagai tokoh sejarah belaka, diterbitkan secara anonim di Amsterdam, kemudian oleh George Houston diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Edinburgh, 1799, London, 1813, serta New York in 1827— untuk "blasphemy" ("penghujatan") itu Houston dipenjarakan dua tahun. Konsep ini diteruskan oleh para pelopor teori mitos Yesus yaitu filsuf Prancis Charles François Dupuis (1742–1809) dan Constantin-François Chassebœuf (1757–1820).[21]

 
Napoleon Bonaparte secara pribadi pernah mempertanyakan keberadaan Yesus.[21]

Dupuis menolak keberadaan Yesus dalam sejarah, dan mendasarkannya pada tulisan sejarawan Romawi Tacitus (56–117) mengenai Kristus. Pada tahun 116, Tacitus menyebut Kristus yang telah dihukum oleh Pontius Pilatus tidak lebih dari gema kepercayaan Kristen yang tidak benar pada masa itu. Inilah kutipan surat Tacitus yang mencatat mengenai kebakaran di sebagian besar kota Roma selama 6 hari dalam bulan Juli 64 M, yang diduga oleh banyak orang Roma disulut oleh Kaisar Nero sendiri.[22]

"Akibatnya, untuk menyingkirkan laporan itu, Nero menimpakan kesalahan dan memberikan siksaan yang paling berat untuk suatu kelompok yang dibenci karena ketidaksalehan mereka (terhadap dewa-dewa Romawi), disebut "Kristen" oleh masyarakat. Kristus, orang yang menjadi asal dari nama itu, menderita hukuman ekstrem dalam pemerintahan Tiberius di tangan seorang procurator kita, Pontius Pilatus, dan takhayul yang sangat menyesatkan, seperti telah diteliti saat ini, menyebar lagi tidak hanya di Yudea, sumber pertama kejahatan ini, tetapi juga di Roma, di mana semua hal yang menjijikkan dan memalukan dari berbagai bagian dunia menemukan pusatnya dan menjadi populer. Karenanya, dilakukan penahanan kepada semua yang mengaku bersalah; kemudian, berdasarkan informasi mereka, orang-orang berjumlah banyak didakwa, bukan hanya untuk kejahatan membakar kota, tetapi pula untuk kebencian terhadap manusia. Segala bentuk pengejekan juga ditambahkan kepada kematian mereka. Ditutupi dengan kulit binatang, mereka dicabik-cabik oleh anjing-anjing dan binasa, atau dipakukan di kayu salib, atau dilemparkan ke dalam api dan dibakar, menjadi terang pada waktu malam, ketika hari sudah berakhir."[23]

Dalam Origine de tous les cultes (1795), Dupuis mengidentifikasi ritus pra-Kristen di Siria Raya, Mesir Kuno, dan Persia, sebagai perwakilan kelahiran dewa dari seorang perawan pada titik balik musim dingin, dan berargumen bahwa ritus-ritus tersebut berdasarkan pada kenaikan musim dingin rasi bintang Virgo. Ia meyakini bahwa peristiwa tahunan tersebut dialegorikan sebagai dewa-dewa matahari, seperti Sol Invictus, yang menghabiskan masa kecil mereka dalam ketidakjelasan (ketinggian rendah matahari setelah titik balik), lalu wafat (musim dingin), dan bangkit kembali (musim semi). Dupuis juga menyatakan bahwa injil Yahudi dan Kristen dapat diinterpretasikan sebagai pola matahari: jatuhnya manusia dalam dosa pada Kitab Kejadian merupakan alegori dari kesulitan akibat musim dingin, dan kebangkitan Yesus mewakili meningkatnya kekuatan matahari dalam Aries pada ekuinoks musim semi.[24]

Volney, yang menulis sebelum Dupuis tetapi menggunakan beberapa naskah Dupuis, banyak mengikuti argumen Charles François Dupuis. Pada Les Ruines, ia memiliki pemikiran yang berbeda, bahwa kisah kitab suci bukan sengaja dibuat sebagai alegori yang berlandaskan mitologi matahari, tetapi disusun secara organis ketika pernyataan alegoris sederhana seperti "perawan telah melahirkan" disalahartikan sebagai sejarah. Volney lebih lanjut berpisah dari Dupuis dengan memungkinkan bahwa ingatan tokoh historis mungkin telah berkontribusi terhadap ajaran Kristen ketika mereka terintegrasi dengan mitologi matahari.[24] Napoleon, yang mengenai Volney, kemungkinan mendasarkan opininya dari karya Volney, ketika ia menyatakan secara pribadi pada Oktober 1808 bahwa keberadaan Yesus merupakan pertanyaan terbuka.[21] Kritikus berargumen bahwa Volney dan Dupuis mendasarkan pandangan mereka pada data sejarah yang terbatas.[25]

David Strauss: Mitos Yesus sebagai hasil khayalan

 
David Strauss berargumen bahwa hanya sedikit fakta yang dapat diketahui mengenai Yesus, dan sisanya merupakan mitos.[26]

Teolog Jerman David Strauss (1808–1874) mengakibatkan kehebohan di Eropa karena tulisannya yang berjudul Das Leben Jesu (1835). Ia berargumen bahwa beberapa kisah mengenai Yesus merupakan mitos. David Strauss juga menyimpulkan bahwa masyarakat Kristen awal membuat materi berdasarkan kisah dan konsep Perjanjian Lama. Teolog Thomas L. Thompson menulis bahwa Strauss memandang pengembangan mitos bukan sebagai penipuan, tetapi merupakan hasil dari khayalan.[27]

Thompson menulis bahwa pengaruh Strauss terhadap pembelajaran kitab suci berjangkauan luas.[27] James Beilby dan Paul Eddy menyatakan Strauss tidak berargumen bahwa Yesus merupakan tokoh buatan, tetapi secara historis mungkin hanya ada sedikit fakta yang menerangkan mengenai dirinya. Mereka mencatat bahwa pandangan Strauss sangat kontroversial, dan keyakinan anti-dogmanya sangat jelas.[26]

Bruno Bauer: Yesus sebagai tokoh buatan

 
Pandangan Bruno Bauer dianggap tidak lazim sehingga ia kehilangan kariernya sebagai pengajar di Universitas Bonn tahun 1842.

Sejarawan Jerman Bruno Bauer (1809–1882) mengambil argumen Strauss dan membawanya ke titik yang lebih jauh. Ia berargumen bahwa Yesus merupakan tokoh buatan. Maka Bruno Bauer menjadi salah satu pendukung utama teori mitos Yesus.[26]

Bauer menyatakan bahwa Injil Yohanes bukan catatan sejarah, tetapi merupakan adaptasi gagasan politik dan religius tradisional Yahudi mengenai Mesias dari konsep filosofis Filo mengenai logos. Sedangkan mengenai Injil Matius dan Injil Lukas, Bauer mengikuti pandangan sebelumnya bahwa injil-injil tersebut bergantung pada narasi Markus, sementara menolak pandangan bahwa injil-injil tersebut berasal dari tradisi umum di luar Markus yang dinyatakan hilang oleh para ahli, yaitu sumber Q. Bauer mengesampingkan kemungkinan ini karena kisah mengenai kelahiran Yesus yang "bertentangan" pada Matius dan Lukas, dan juga karena sifat pada materi non-Markus kemungkinan masih berkembang dari gagasan Markus. Bauer menyimpulkan bahwa Matius bergantung pada Lukas untuk isi yang hanya ditemukan pada dua injil tersebut. Maka, karena dalam pandangannya tradisi kitab suci berasal dari satu pengarang (Markus), Bauer merasa bahwa hipotesis karakter buatan sangat mungkin. Ia lebih lanjut meyakini bahwa tidak ada harapan akan datangnya Mesias di antara orang Yahudi pada masa Tiberius, dan penggambaran Markus mengenai Yesus sebagai Mesias merupakan retrojeksi kepercayaan dan praktik Kristen selanjutnya - interpretasi yang dikembangkan Bauer sampai ke beberapa kisah khusus yang diceritakan dalam injil. Meskipun Bauer tetap terbuka pada pertanyaan apakah Yesus ada atau tidak, pandangannya dianggap tidak lazim sehingga pada tahun 1842 ia kehilangan kariernya sebagai pengajar di Bonn.[28]

Dalam A Critique of the Gospels and a History of their Origin yang diterbitkan tahun 1850–1851, Bauer berargumen bahwa Yesus tidak pernah ada. Penjelasan komprehensif Bauer mengenai asal usul Kristen muncul pada tahun 1877 dalam Christ and the Caesars. Ia mengusulkan bahwa agama tersebut adalah perpaduan stoisisme dengan teologi Yahudi Philo yang dikembangkan oleh Yahudi pro-Romawi seperti Flavius Yosefus.[29] Bauer menyimpulkan bahwa asal usul Kekristenan bukan dari Yahudi,[30] dan pergerakan Kristen berasal dari Roma dan Alexandria, bukan Palestina.[28]

Mazhab Belanda radikal: Penolakan pernyataan mengenai Yesus dari surat-surat Paulus

Pada tahun 1870-an dan 1880-an, sekelompok ahli dari Universitas Amsterdam, mengikuti Bauer dengan menolak keabsahan surat-surat Paulus, dan mengambil pandangan negatif terhadap nilai historis kitab suci. Pada kelompok yang dijuluki "mazhab Belanda radikal" ini, keberadaan Yesus ditolak oleh Allard Pierson, pemimpin pergerakan, S. Hoekstra, dan Samuel Adrian Naber. Pada tahun 1881 A. D. Loman berargumen bahwa semua tulisan pada Perjanjian Baru berasal dari abad ke-2, dan meragukan bahwa Yesus adalah tokoh historis, tetapi selanjutnya mengatakan bahwa inti kitab suci memang asli.[31] Pada tahun 1907, G. J. P. J. Bolland menyatakan bahwa Kristen telah berevolusi dari gnostisisme, dan Yesus adalah tokoh yang mewakili gagasan Gnostik mengenai Tuhan.[32]

Abad ke-20

 
Albert Schweitzer (1875–1965) menulis The Quest of the Historical Jesus (1906) untuk pendapatnya bahwa "kehidupan Yesus" pada abad ke-19 dianggap sebagai cerminan konteks sejarah dan sosial masing-masing penulis Injil.

Pada awal abad ke-20, beberapa penulis menulis argumen mereka mengenai keberadaan Yesus, dari segi ilmiah sampai fantasi. Pendukung teori ini mendasarkan pada karya teolog liberal, yang mencoba menampik nilai sumber Yesus di luar Perjanjian Baru, dan membatasi perhatian mereka terhadap Markus dan hipotesis dokumen Q.[31] Mereka juga menggunakan berkembangnya Religionsgeschichte-sejarah agama-yang menemukan sumber gagasan Kristen pada kultus misteri Yunani dan Oriental, daripada di Palestina.[33] Joseph Klausner menulis bahwa ahli kitab suci "mencoba sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu yang bukan Yahudi pada Yesus sebagai tokoh sejarah; tetapi dalam sejarah sesungguhnya, mereka tidak menemukan apa-apa, karena sejarah ini telah dikurangi hingga nol. Maka tidak heran jika pada awal abad ini, bangkit pandangan abad ke-18 dan 19 bahwa Yesus tidak pernah ada."[34]

J.M. Robertson: Yesus menurut kelompok Ebionit atau Nazarene

J. M. Robertson (1856–1933), seorang jurnalis Skotlandia, berargumen pada tahun 1900 bahwa kepercayaan Mesias yang wafat muncul sebelum periode Perjanjian Baru pada sekte yang dikenal sebagai Ebionite atau Nazarene, dan kelompok tersebut telah mengharapkan Mesias bernama Yesus. Dalam pandangannya, dasar tambahan tetapi kurang signifikan bagi kepercayaan Kristen awal mungkin merupakan tokoh Yesus ben Pandera yang dihukum mati. Tokoh ini dicatat pada Talmud sekitar abad ke-3 dan ke-4 M sebagai penyihir dan murid-muridnya memakai namanya untuk menyembuhkan orang.[35]

Robertson menulis bahwa, meskipun surat-surat Paulus dari Tarsus merupakan tulisan Kristen paling awal yang masih ada, surat-surat tersebut lebih banyak berbicara tentang teologi dan moralitas, sementara perihal kehidupan Yesus cenderung diabaikan. Robertson menuduh acuan mengenai dua belas rasul dan Perjamuan Kudus Yesus sebagai interpolasi, dan menyatakan bahwa figur Yesus dalam surat-surat Paulus hanya disebutkan sebagai penyelamat yang disalibkan dan "bukan sebagai guru atau pembawa mukjizat".[36] Maka Robertson menyimpulkan bahwa elemen-elemen injil yang terkait dengan ciri Yesus tersebut berkembang pada masa berikutnya, kemungkinan di antara orang-orang non-Yahudi yang dikristenkan oleh pengabar injil Yahudi seperti Paulus.[37] Kelompok non-Yahudi yang dikristenkan ini menggambarkan penyaliban dan kebangkitan Yesus dalam drama misteri. Dalam drama tersebut, untuk memisahkan pemujaan dari Yudaisme, penghukuman mati Yesus dikaitkan dengan penguasa-penguasa Yahudi, dan pengkhianatan terhadap Yesus oleh seorang Yahudi (Ioudaios, disalahpahami sebagai Yudas). Menurut Robertson, drama semacam itu akan berkembang menjadi injil. Kekristenan akan mencoba memperbesar daya tariknya terhadap orang-orang non-Yahudi dengan menggunakan mitos dalam kultus pagan dengan tambahan Yudaik - contohnya, mukjizat penyembuhan Yesus berasal dari Asclepius, pemberian makan kepada ribuan orang dari Dionysus, ekaristi dari penyembahan Dionysus dan Mithra, dan berjalan di atas air dari Poseidon. Status Yesus sebagai keturunan Daud, dan mukjizatnya yang membangkitkan anak seorang janda dari kematian, adalah untuk menghormati harapan orang Yahudi akan juru selamat. Meskipun penggambaran Yesus sebagai logos dalam injil Yohanes tampak keyahudian, Robertson menyatakan bahwa konsep tersebut berasal dari fungsi Mithra, Thoth, dan Hermes sebagai perwakilan Tuhan tertinggi.[38]

William Benjamin Smith: Penolakan penekanan Yesus sebagai Tuhan

Pada saat yang sama, William Benjamin Smith (1850–1934), seorang professor matematika di Universitas Tulane, New Orleans, menulis dalam buku-bukunya, bahwa sumber-sumber Kristen awal, terutama surat-surat Paulus, menekankan ketuhanan Kristus, dan sama sekali tidak menjabarkan pribadi manusianya, sehingga keberadaan manusia bernama Yesus menjadi tidak masuk akal.[39] Smith meyakini bahwa Kekristenan berasal dari kultus Yesus pra-Kristen, yaitu dalam sekte Yahudi yang telah menyembah tokoh ilahi bernama Yesus ratusan tahun sebelum kelahiran Yesus.[40] Ia berargumen bahwa bukti untuk kultus ini dapat ditemui pada penyebutan Hippolitus mengenai Naassenes dan laporan Epiphanius perihal sekte Nazaret yang mungkin telah ada sebelum Yesus. Maka, detail sejarah dalam Perjanjian Baru dibentuk oleh masyarakat Kristen awal dari cerita-cerita Yesus pra-Kristen.[41] Smith juga membantah nilai historis tulisan penulis non-Kristen mengenai Yesus, terutama Yosefus dan Tacitus.[42]

Arthur Drews: Yesus dari kultus Gnostik Yahudi

 
Menurut The New York Times, debat umum Arthur Drews merupakan salah satu diskusi teologi paling luar biasa semenjak masa Martin Luther.

Arthur Drews (1865–1935), seorang profesor filsafat di Technische Hochschule, Karlsruhe, Jerman, dalam bukunya Mitos Kristus (Die Christusmythe) yang diterbitkan pada tahun 1909, mempertahankan gagasan bahwa Kekristenan merupakan kultus Gnostik Yahudi yang menyebar dengan mengambil aspek-aspek dalam filsafat Yunani dan kisah hidup-mati-bangkit dewa-dewa lain. Drews menulis bahwa tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah tokoh mitos, dan tidak ada alasan untuk menganggap bahwa tokoh tersebut pernah ada.[43]

Karyanya cukup populer hingga teolog dan sejarawan penting menyebut argumennya dalam beberapa jurnal agama.[44] Sebagai tanggapan, Drews ikut serta dalam debat-debat umum. Debat yang paling terkenal berlangsung pada tahun 1910 pada tanggal 31 Januari dan 1 Februari di Taman Zoologi Berlin. Drews berhadapan dengan Hermann von Soden dari Universitas Berlin. Debat tersebut disaksikan oleh 2.000 orang, termasuk teolog-teolog penting.[45] The New York Times menyebutnya sebagai salah satu diskusi teologi paling luar biasa semenjak masa Martin Luther. Koran-koran melaporkan bahwa argumennya sangat grafis hingga beberapa perempuan harus dibawa keluar dari balai karena berteriak histeris, sementara seorang perempuan duduk di kursi dan meminta Tuhan untuk membunuh Drews.[45]

Di Uni Soviet, karya Drews lebih didukung. Beberapa edisi Mitos Kristus diterbitkan di Uni Soviet dari awal tahun 1920-an hingga seterusnya, dan argumennya dimasukkan dalam buku pelajaran sekolah dan universitas.[46] Pemimpin Soviet Vladimir Lenin (1870–1924) mendukung argumen Drews, dan menyatakan bahwa dalam perjuangan melawan obskurantis religius, sangat penting untuk bersatu dengan orang-orang seperti Drews.[47]

Paul-Louis Couchoud: Yesus sebagai imajinasi Paulus

Paul-Louis Couchoud (1879–1959) adalah seorang dokter Prancis yang juga berprofesi sebagai penulis.[48] Ia mengembangkan gagasan mitos Yesus dalam esai-esai dan buku-bukunya, contohnya Enigma of Jesus (1924), The Mystery of Jesus (1925), Jesus the God Made Man (1937), The Creation of Christ (1939), Story of Jesus (1944), dan The God Jesus (1951).[49] Teolog Walter P. Weaver menulis bahwa Couchoud menolak Talmud dan catatan Josephus, Suetonius, dan Tacitus sebagai bukti. Mengenai Perjanjian Baru, ia berargumen bahwa Paulus tidak ada hubungannya dengan Yesus, dan bahwa injil Markus merupakan sumber untuk injil Lukas dan Yohanes. Couchoud menyatakan bahwa injil Markus bukan tulisan sejarah, tetapi merupakan tafsiran terhadap kisah dan ingatan Kristen awal. Ia juga berargumen bahwa afirmasi Paulus akan ketuhanan Yesus bersama dengan Yahweh (Tuhan) merupakan bukti bahwa Yesus tak sungguh ada, karena tidak ada orang Yahudi yang akan melakukannya. Bagi Couchoud, Yesus hanyalah salah satu bagian dari imajinasi Paulus.[48]

Penulis abad ke-20 lain

 
Bertrand Russell meragukan bahwa Yesus pernah ada.

G. J. P. J. Bolland (1854–1922) menyatakan pada tahun 1907 bahwa Kekristenan berkembang dari Gnostisisme, dan bahwa Yesus hanyalah tokoh simbolik yang melambangkan gagasan-gagasan Gnostik mengenai Tuhan.[32] G. R. S. Mead (1863–1933), anggota Theosophical Society, menulis dalam karyanya Did Jesus Live 100 B.C.? (1903), bahwa Yesus adalah tokoh sejarah, tetapi Talmud menekankan bahwa Ia disalibkan sekitar tahun 100 SM, yang berarti bahwa Yesus versi Injil hanyalah gagasan mitos.[50] Filsuf Britania Bertrand Russell (1872–1970) menyatakan dalam ceramahnya pada tahun 1927, "Why I Am Not a Christian", yang disampaikan kepada National Secular Society di Balai Kota Battersea, London, bahwa secara historis keberadaan Yesus cukup meragukan, dan jika Ia memang ada, kita tidak tahu apa-apa mengenai-Nya. Kendati berkata seperti itu, Russell tidak mengembangkan gagasan ini lebih lanjut.[51]

Abad ke-21

G.A.Wells: Yesus menurut motivasi Kristen

Graham Stanton menulis pada tahun 2002 bahwa argumen-argumen yang paling sempurna dan rumit dari para tokoh dikemukakan oleh G. A. Wells, pensiunan professor Jerman di Birkbeck College, London, dan penulis buku Did Jesus Exist? (1975), The Jesus Legend(1996), The Jesus Myth (1999), Can We Trust the New Testament? (2004), dan Cutting Jesus Down to Size (2009).[52] Teolog berkebangsaan Inggris Kenneth Grayston menyarankan para penganut Kristen untuk mengenali berbagai permasalahan yang diangkat oleh Wells, namun Alvar Ellegård mencatat bahwa masih ada sebagian besar pandangan-pandangan Wells yang tidak didiskusikan oleh para teolog.[53]

Wells mendasarkan argumennya pada pandangan sejumlah ahli Perjanjian Baru yang mengatakan bahwa kitab-kitab yang ada merupakan sumber yang ditulis jauh setelah kematian Yesus oleh orang-orang yang tidak mengenalnya secara personal. Sebagai tambahan, Wells menulis, bahwa kalimat-kalimat yang termuat semata-mata termotivasi secara Kekristen dan teologi, juga mengenai orang tua Yesus, tempat lahirnya, pengajarannya, percobaannya, atau penyalibannya.[54] Bagi Wells, sosok Yesus dari Kekristenan paling awal adalah murni sebuah mitos, yang berasal dari spekulasi-spekulasi mistis dimana tradisi Kebijaksanaan Yahudi menjadi sumbernya. Menurut pandangan ini, strata paling awal dari literatur Perjanjian Baru menghadirkan Yesus sebagai "tokoh berbasis supernatural yang samar-samar keberadaannya di bumi sebagai manusia pada suatu periode tidak pasti pada masa lalu".[55]

Dalam The Jesus Myth, Wells mengemukakan bahwa dua narasi Yesus berfusi menjadi satu: Yesus mistis yang diceritakan Paul, dan sedikitnya keberadaan Yesus yang ajaran-ajarannya dipertahankan dalam sumber Q, sumber umum bersifat hipotesis dari injil Matius dan Lukas.[56] Ahli alkitab Robert Van Voorst mengatakan bahwa dengan argumen ini Wells telah melakukan sesuatu yang kontroversial.[57] Wells menulis bahwa dirinya termasuk dalam kategori kelompok yang menyangkal keberadaan Yesus, namun berita-berita tersebut sangat tidak dapat dipercaya sehingga kita hanya dapat mengetahui sedikit ataupun tidak sama sekali mengenai pribadinya.[58] Ia menyangkal, contohnya, bahwa cerita mengenai eksekusi Yesus yang dilakukan Pilatus bukanlah sebuah peristiwa yang ada dalam sejarah.[59] Ia menulis pada tahun 2000: "[J.D.G. Dunn] berkeberatan [pada tahun 1985] bahwa, dalam karya saya yang kemudian diterjemahkan, secara logis saya telah mengasumsikan bahwa selama 30 tahun dalam kitab Paulus telah terjadi evolusi "seperti sebuah kumpulan tradisi mengenai sebuah figur tidak-nyata seperti yang ada dalam sumber kitab-kitab Injil (The Evidence for Jesus, hal.29). Pandangan saya saat ini adalah: kumpulan ini tidak seluruhnya setelah-masa-rasul-Paulus (Q dalam bentuk paling awalnya mungkin dari sekitar abad ke-40 Masehi), dan tidak seluruhnya sersifat mistis. Poin yang penting, dalam pandangan saya, yakni apa yang asli dalam materi ini mengacu pada sebuah tokoh yang tidak diidentifikasikan dengan Kristus yang mati dan bangkit pada kerasulan awal."[55]

Alvar Ellegård: Yesus sebagai fiksi dari Injil

Alvar Ellegård (1919-2008), seorang professor Bahasa Inggris di Universitas Gothenburg, mengembangkan gagasan Wells dan Couchound dalam bukunya Myten om Jesus (1992), mengargumenkan bahwa Yesus pada intinya adalah sebuah mitos dan fiksi dari injil, yang diciptakan untuk memberikan substansi pada cerita-cerita berlebihan dari Paulus dan para rasulnya, dimana Yesus hadir sebagai mesiah. Ia menentang bahwa poin dari surat-surat Paulus kepada Penyebaran Yahudi adalah untuk menunjukkan bahwa Hari Kiamat sudah dekat, cerita ke-mesias-an yang sangat umum dalam komunitas Yahudi pada masa itu. Lama kemudian setelah jelas bahwa Hari Kiamat tidak mendatangi mereka, para pengikut Paulus ingin mengetahui lebih jauh mengenai Yesus, dan karena hanya ada sedikit cerita yang dapat diberikan, injil-injil disatukan untuk melengkapi sbeuah gambaran, menggunakan bagian-bagian dari Perjanjian Lama yang telah lama diinterpretasikan oleh Yahudi sebagai petunjuk akan mesiah.[53]

Ellegård menuliskan bahwa posisinya berbeda dengan Drews dan Couchound. Seperti G.A. Wells, Ia percaya surat-surat Paulus menunjukkan bahwa Paulus dan para pengikutnya mempercayai cerita mengenai seseorang yang pernah ada. Ellegård mengembangkan argumen yang diajukan oleh André Dupont-Sommer dan John Allegro, dan mengidentifikasikan Yesus dalam cerita Paulus sebagai "Guru Kebajikan Essene" yang diungkapkan dalam Naskah Laut Mati, namun ia berargumen bahwa ini bukan sosok Yesus dalam Injil. Bagi Ellegård, sosok yang dibayangkan Paulus adalah pendiri Essene, atau para-Essene, jemaat yang dituju Paulus, seseorang yang kemungkinan hidup pada abad ke-2 atau awal abad ke-1 SM, meskipun Ellegård mengakui tidak ada bukti tentang sesosok Yesus yang cocok dengan deskripsi ini, atau bukti bahwa Guru Kebajikan disalibkan. Ia menuduh para teolog modern telah gagal mengemban tanggungjawab mereka sebagai ahli. Ia berargumen bahwa posisi mereka dogmatis, sering kali disembunyikan "di bawah sampul bahasa yang mebingungkan,"[60] bahwa mereka sering kali terkait dengan gereja-gereja Kristen, dan bahwa telah terjadi kegagalan komunikasi antara mereka dengan para ahli di bidang-bidang lain, yang mana membawa pada pengisoliran penelitian teologi dari debat ilmiah di lain tempat.[53]

Robert M. Price: Yesus sebagai karangan orang Kristen

 
Ahli Perjanjian Baru Robert Price menyatakan bahwa kita tidak akan pernah tahu apakah Yesus sungguh ada atau tidak, kecuali jika buku harian atau tulang belulangnya ditemukan.[61]

Ahli Perjanjian Baru dari Amerika Robert M. Price mempertanyakan historisitas Yesus dalam serangkai buku, termasuk Deconstructing Jesus (2000), The Incredible Shrinking Son of Man (2003), dan Jesus is Dead (2007), serta The Historical Jesus: Five Views (2009). Price merupakan anggota Jesus Seminar, sebuah kelompok penulis dan ahli yang mempelajari historisitas Yesus, yang berargumen bahwa image Kristus dari Kristen merupakan bentuk teologikal yang kedalamnya jejak-jejak Yesus dari Nazaret telah dikarang.[62] Mantan Pastor Gereja Baptis, Price menulis bahwa ia awalnya adalah seorang pembela pada pertanyaan historis-Yesus tetapi menjadi tersadarkan dengan berbagai argumen. Tahun demi tahun, Ia menyadari semakin sulitnya menyingkapkan posisi yang mempertanyakan keberadaan Yesus sepenuhnya. Di luar ini, ia tetap mengambil bagian dalam Ekaristi setiap minggu, menganggap keyakinan Kristus sebagai yang lebih penting karena, menurutnya, mungkin tidak ada yang lainnya.[63]

Price percaya bahwa Kekristenan merupakan sebuah penggabungan mitologi yang disejarahkan terutama dari mitologi Mesir, Yahudi, dan Yunani.[64] Ia menuliskan bahwa semua orang yang menyertai teori mitos Yesus mendasarkan argumen mereka pada tiga point kunci. Pertama, mereka bertanya mengapa tidak pernah disebutkan seorang Yesus pembuat-keajaiban dalam sumber-sumber sekuler. Kedua, mereka berargumen bahwa surat-surat, yang ditulis sebelum injil, tidak memberi bukti nyata sejarah - apa yag dapat ditarik dari surat-surat tersebut, menurutnya, adalah bahwa Yesus Kristus, putra Tuhan, datang ke dunia untuk mati sebagai pengorbanan demi dosa manusia dan diangkat oleh Tuhan serta ditahtakan di surga. Rukun ketiga adalah bahwa naratif Yesus diparalelkan dalam mitos-mitos Timur Tengah tentang dewa-dewa yang matiu dan bangkit. Ia menyebutkan Baal, Osiris, Attis, Adonis, dan Dumuzi/ Tammuz sebagai contoh, yang kesemuanya, Ia menuliskan, berhasil masuk ke dalam periode Helenistik dan Romawi sehingga mempengaruhi Kekristenan awal. Ia menuliskan bahwa pendukung Kristen telah berusaha untuk meminimalisir ke-paralel-an ini.[20] Ia berpendapat bahwa jika metodologi yang tepat diaplikasikan dengan konsistensi yang kejam, maka manusia akan berada dalam pemikiran agnostik sehubungan dengan historisitas Yesus.[61]

Para penulis abad ke-21 lainnya

Thomas L. Thompson, pensiunan professor teologi di University of Copenhagen, berargumen dalam The Messiah Myth (2005) bahwa Yesus dalam injil tidak pernah ada, dan bahwa cerita-cerita yang ada merupakan kombinasi dari mitos wilayah Near East dan cerita mengenai raja dan ketuhanan. Ia berpendapat bahwa para pendengar yang hidup sezaman dengan injil pastilah mengerti, bahwa cerita-cerita tersebut bukan dimaksudkan sebagai sejarah.[65]

 
Richard Dawkins menulis dalam bukunya bahwa terdapat argumen kuat untuk menyangkal bahwa Yesus pernah ada.[66]

Penulis Kanada Earl Doherty dalam The Jesus Puzzle (2005) dan Jesus: Neither God Nor Man—The Case for a Mythical Jesus (2009) berpendapat bahwa Yesus sebenarnya dimaksudkan sebagai sebuah mitos yang berasal dari paham Platonisme Pertengahan dengan sebagian pengaruh mistis Yahudi, dan keyakinan akan keberadaan Yesus muncul hanya di antara komunitas Kristen pada abad ke-2. Ia menuliskan bahwa tidak satupun pengikut sebelum tahun 180, kecuali Justin dan Aristides dari Athena, yang memperhitungkan keberadaan Yesus dalam perjuangan Kekristenan mereka. Malahan para penulis Kristen awal menggambarkan sebuah gerakan Kekristenan yang didasarkan pada filosofi Plato dan Judaisme Helenistik, menyarankan pemujaan akan monoteistik dewa Yahudi dan apa yang disebutnya "Putera bertipe-logos". Doherty berpendapat bahwa Theophilus dari Antiokhia (c. 163–182), Athenagoras dari Athena (c. 133–190), Tatian orang Asiria (c. 120–180), dan Marcus Minucius Felix (penulisan sekitar tahun 150–270) tidak memberikan indikasi bahwa mereka meyakini sesosok figur historis disalibkan dan hidup kembali, dan nama Yesus tidak muncul dalam tulisan manapun.[67]

Acharya S mempertahankan posisi dimana injil kanonik menampilkan kreasi akhir abad ke-2 menggunakan naskah-naskah Perjanjian Lama yang bersifat "ramalan" sebagai cetakbirunya, dikombinasikan dengan penambalan lain yang lebih tua, yakni konsep Pagan dan Yahudi, dan oleh karena itu Kekristenan diciptakan untuk bersaing dengan agama-agama lain yang populer pada masa itu.

Pada tahun 2000-an, sejumlah buku dan film berasosiasi dengan gerakan Ateisme Baru yang mempertanyakan eksistensi Yesus. Di antaranya termasuk buku The God Delusion (2006) karya Richard Dawkins, professor Universitas Oxford di bidang pemahaman umum sains; God: The Failed Hypothesis (2007) karya fisikawan Amerika Victor Stenger; dan God Is Not Great (2007) karya penulis Inggris Christopher Hitchens. Dawkins, mengacu kepada G.A. Wells, menganggap injil sebagai versi pengulangan dari Kitab Ibrani, dan menuliskan bahwa kemungkinan Yesus pernah ada, namun terdapat argumen kuat untuk menyangkal hal tersebut, walaupun bukan yang didukung secara luas.[66] Pendapat Strenger adalah bahwa penulisan injil dipinjam dari beberapa sekte Timur Tengah.[68] Hitchens berpendapat bahwa hanya ada sedikit atau tidak sama sekali bukti kehidupan Yesus, berbeda dengan nabi Muhammad.[69] Beberapa film yang mengacu pada hal ini adalah The God Who Wasn't There (2005), Zeitgeist (2007), dan Religulous (2008).[70]

Argumen-argumen sanggahan

Teori mitos Yesus tidak pernah diterima di kalangan ahli atau sejarawan Alkitab.[13][14][15][16][71][72][73][74][75][76][77][78] Beberapa argumen awal yang menentang teori ini meliputi pendekatan satir oleh Richard Whately dan Jean-Baptiste Pérès — berjudul "Keraguan Historis terhadap Napoleon Bonaparte" (1819) dan "Grand Erratum" (1827) — yang mempertanyakan keberadaan Napoleon, bahkan selama masa hidup sang kaisar.[79]

Pada 1914, Fred C. Conybeare menerbitkan The Historical Christ. Pada karya tersebut ia menentang J.M. Robertson, Arthur Drews, dan William Benjamin Smith.[80] Jejaknya diikuti oleh ahli kitab suci Prancis Maurice Goguel, yang menulis Yesus dari Nazaret: Mitos atau Sejarah? pada tahun 1926. Goguel berpendapat bahwa bukti prima facie untuk Yesus historis berasal dari kesepakatan pada keberadaannya di antara orang-orang Kristen Ortodoks kuno, para Dosetis, dan para penentang Kekristenan. Goguel melanjutkan untuk menguji teologi surat-surat Paulus, surat-surat Perjanjian Baru lainnya, injil-injil, dan Kitab Wahyu, serta kepercayaan pada kebangkitan dan keilahian Yesus, berpendapat bahwa dalam setiap kasus, pandangan Kristen awal adalah paling baik dijelaskan dengan tradisi yang berasal dari sebuah Yesus historis belakangan ini.[81]

Edisi selanjutnya dari The Quest of the Historical Jesus karya Albert Schweitzer berisi bagian panjang tentang teori mitos Yesus, menyimpulkan "bahwa keberadaan Yesus adalah sangat mungkin, sedangkan kebalikannya adalah sangat tidak mungkin."[82] Sanggahan-sanggahan lebih lanjut dihasilkan sepanjang abad ke-20, termasuk Evidence for Jesus (1986) oleh R.T. France, Jesus Outside the New Testament (2000) oleh Robert Van Voorst, dan The Jesus Legend: A Case for the Historical Reliability of the Synoptic Jesus Tradition (2007), oleh Robert Van Voorst dengan dibantu Paul Eddy dan Greg Boyd.

Para pengarang apologetika seperti Josh McDowell, yang menulis buku-buku terkenal "Evidence That Demands A Verdict"[83] dan "More Than A Carpenter",[84] dan Lee Strobel yang menulis "The Case for Christ"[85] dan "The Case for the Real Jesus",[86] tadinya adalah orang-orang yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk membuktikan bahwa Yesus hanya mitos, tetapi data yang mereka peroleh malah membuat mereka sangat yakin bahwa Yesus benar-benar ada seperti yang digambarkan dalam Alkitab.

Beberapa pembuktian

Berbeda dengan pandangan Bruno Bauer, ahli modern percaya bahwa Markus bukan satu-satunya sumber di balik injil sinoptik. Pandangan utama saat ini, yaitu hipotesis dua sumber, mendalilkan bahwa injil Sinoptik didasarkan paling tidak pada dua sumber independen (Markus dan "Q"), dan berpotensi sebagai sebanyak empat sumber (Markus, "Q", "M", dan "L").[87]

Surat-surat Paulus

 
Paulus, 1410 (Tretyakov Gallery, Moscow)

Penyusunan surat-surat Paulus umumnya di antara tanggal 50 dan 64 M, Sekitar dua sampai tiga dekade setelah tanggal konvensional yang diberikan untuk kematian Yesus. Paulus tidak mengenal langsung historis-Yesus. Dia hanya mengaku telah mengenalnya, "sama seperti anak yang lahir sebelum waktunya"[88] yakni ketika Yesus sudah 'bangkit', tapi berhubungan langsung dengan saksi-saksi mata dan murid-murid terdekat Yesus yang masih hidup.[89][90]

Banyak ahli Alkitab mengacu kepada surat-surat Paulus untuk mendukung argumen mereka terhadap Yesus berdasar sejarah.[91] Teolog James D. G. Dunn berpendapat bahwa Robert Price mengabaikan apa yang dianggap data primer oleh orang lain di bidangnya.[92] Ahli Alkitab F. F. Bruce (1910-1990) menulis bahwa, menurut surat-surat Paulus, Yesus adalah

Surat-surat Paulus mengatakan bahwa Paulus mengenal dan bertemu dengan tokoh-tokoh penting dalam pelayanan Yesus, termasuk rasul Petrus dan Yohanes, serta Yakobus saudara Yesus, yang juga disebutkan namanya dalam catatan Flavius Yosefus. Dalam surat-suratnya, Paulus pada kesempatan menyinggung dan mengutip ajaran Yesus, dan dalam 1 Korintus 11 mengisahkan tentang Perjamuan Malam.[93]

Flavius Yosefus

Informasi lebih lanjut: Testimonium Flavianum dan Tulisan Yosefus tentang Yesus

Louis Feldman berpendapat bahwa tulisan-tulisan dari abad pertama sejarawan Yahudi Flavius Yosefus (37 - sekitar 100 M) mengandung dua referensi karakter Yesus. Salah satunya, kiasan Yosefus dalam The Antiquities of the Jews (sekitar 94 M) dengan kematian Yakobus, menggambarkan Yakobus sebagai "saudara Yesus, yang disebut Kristus", memberikan bukti independen dari komunitas Kristen awal.[94] Referensi Yosefus yang lebih lengkap tentang Yesus, yang dikenal sebagai Testimonium Flavianum, dianggap oleh sejumlah pakar mengandung interpolasi, namun diyakini oleh para pakar berisi komentar asli tentang Yesus.[95]

Prinsip permaluan

Filsuf Amerika Will Durant menerapkan kriteria permaluan pada pertanyaan mengenai keberadaan Yesus. Dia berpendapat bahwa jika injil adalah sepenuhnya imajiner, isu-isu tertentu tidak mungkin dimasukkan, seperti persaingan para rasul untuk tempat paling tinggi di dalam Kerajaan Allah, pelarian mereka setelah penangkapan Yesus, penyangkalan Petrus, kegagalan Yesus dalam melakukan mujizat di Nazaret, acuan terhadap kemungkinan ketidakwarasannya, ketidakpastian awal untuk misinya, pengakuan tentang ketidaktahuan akan masa depan, saat-saat yang pahit, dan tangisan putus asa di atas kayu salib. Durant berpendapat bahwa sebuah narasi yang diciptakan secara saksama akan menyajikan Yesus lebih sesuai dengan harapan akan Mesias.[96]

Penolakan terhadap perbandingan mitologis

Beberapa ahli Alkitab menentang gagasan bahwa materi awal yang berhubungan dengan Yesus dapat dijelaskan sesuai referensi kesamaannya dengan mitologi pagan.[97] Paula Fredriksen, misalnya, menulis bahwa tidak ada tempat-tempat yang berarti dari pekerjaan Yesus yang berada di luar dari latar belakang Yudaisme Palestina abad pertama.[98] Pengajaran Alkitab juga umumnya menolak konsep dari kemiripan dengan dewa yang mati dan bangkit kembali, keabsahan yang sering diandaikan oleh pembela teori mitos Yesus, seperti ahli Perjanjian Baru Robert Price. Tryggve Mettinger, mantan profesor Alkitab Ibrani di Universitas Lund, adalah salah satu akademisi yang mendukung konstruksi "dewa yang mati dan bangkit kembali", tetapi ia berpendapat bahwa Yesus tidak cocok dengan pola yang lebih luas.[99]

Edwin Yamauchi berpendapat bahwa upaya yang lalu untuk menyamakan unsur biografi Yesus dengan tokoh-tokoh mitologis tidak cocok dengan perhitungan tanggal serta narasumber mereka.[100] Edwyn R. Bevan dan Chris Forbes berpendapat bahwa para pendukung teori bahkan menciptakan unsur-unsur mitos pagan untuk mendukung pernyataan mereka terhadap paralelisme antara kehidupan Yesus dan kehidupan karakter mitologi pagan.[101] Sebagai contoh, David Ulansey menunjukkan bahwa kesetaraan yang diklaim antara kelahiran Yesus dari perawan dengan asal-muasal Mithras gagal karena Mithras dilahirkan dalam keadaan dewasa, sudah berpakaian sebagian, dan bersenjatakan sebuah batu,[102] yang kemungkinan terjadi segera setelah pembuahannya.[103] S. G. F. Brandon dan lainnya berpendapat bahwa ide mengenai orang-orang Kristen mula-mula akan secara sadar menggabungkan mitos pagan ke dalam agama mereka adalah "secara intrinsik mustahil,"[104] yang dibuktikan dengan pertentangan keras yang dihadapi Paulus dari Kristen lainnya bahkan untuk mendapatkan konsensus kecil bagi orang-orang percaya non-Yahudi.[105]

Injil dan sejarah

Para kritikus Alkitab mengindikasikan bahwa catatan tentang Yesus telah ditambah-tambahi melalui tradisi lisan turun-temurun dan tidak dituliskan hingga sepeninggal para rasul. Maka dari itu para kritikus tersebut mempertanyakan keakuratan penggambaran sosok Yesus yang sesungguhnya.

Di pihak lain, para sejarawan Kristen memberikan bukti-bukti sejarah bahwa Yesus yang digambarkan di dalam Injil dan Alkitab yang ada sekarang ini layak untuk dipercayai. Ada dua pertanyaan yang dijawab, yaitu: Kapan dokumen asli Injil ditulis? Dan siapa yang menulisnya?

Bagian terbesar dalam Perjanjian Baru adalah 13 surat Paulus untuk gereja-gereja muda dan beberapa individu. Surat-surat Paulus, yang ditulis sekitar pertengahan tahun 40 hingga pertengahan tahun 60 (12-33 tahun setelah Kristus) merupakan tulisan-tulisan pertama tentang kehidupan dan pengajaran Yesus. Will Durant menulis tentang pentingnya tulisan-tulisan Paulus dari segi sejarah, "Bukti Kristen tentang Kristus dimulai dari surat-surat yang ditulis oleh Santo Paulus. ... Tidak ada yang pernah mempertanyakan eksistensi Paulus, atau perjumpaannya beberapa kali dengan Petrus, Yakobus, dan Yohanes; dan Paulus mengaku dengan iri bahwa orang-orang tersebut telah mengenal Yesus secara langsung."[106] Surat-surat Paulus dan keempat Injil penuh dengan detail nama orang, nama tempat, dan kejadian dan banyak di antaranya telah dibuktikan oleh sejarawan dan arkeologis. Nama-nama yang dikarang oleh penulis Injil akan dengan mudah ditemukan oleh orang-orang yang menentang mereka, para imam Yahudi dan tentara Romawi.

Kelompok Jesus Seminar, yaitu sekelompok ahli yang mempertanyakan dan memperdebatkan perkataan-perkataan dan tindakan tercatat Yesus dan melakukan pemungutan suara untuk menentukan sejauh apa mereka dapat mempercayai pernyataan-pernyataan di dalam Injil,[107] berpendapat bahwa Injil ditulis paling awal tahun 130 hingga 150 oleh penulis yang tidak diketahui, jika hal tersebut benar, maka ada kira-kira 100 tahun setelah kematian Yesus (oleh sejarawan diperkirakan antara tahun 30-33). Namun hampir semua sejarawan Kristen lainnya telah mencapai konsensus bahwa Injil ditulis oleh para rasul pada abad pertama. Tiga bukti kuat mengenai hal tersebut adalah:

  • Dokumen-dokumen ajaran seperti pengikut Marsion dan Valentinus yang mengutip dari Perjanjian Baru.
  • Dokumen-dokumen yang ditulis oleh sumber sejarah mula-mula, seperti Klementinus dari Roma, Ignatius, dan Polikarpus.
  • Fragmen Injil yang ditemukan dan dengan penanggalan-karbon diperkirakan berasal dari paling akhir tahun 117

Arkeologis Alkitab William Albright menyimpulkan bahwa keseluruhan Perjanjian Baru ditulis "sangat mungkin antara tahun 50 M dan 75 M",[108] sementara tokoh skeptik John A. T. Robinson bahkan memberikan tanggal yang lebih awal daripada kaum konservatif, yaitu sekitar tahun 40 dan 65.[109] Jika benar bahwa Perjanjian Baru ditulis pada pertengahan hingga akhir abad pertama, maka para rasul yang pada saat itu masih hidup dapat membuktikan kebenarannya dan segala kesalahan sejarah akan segera tampak baik oleh para saksi mata maupun penentang orang Kristen.

Tulisan asli para rasul disimpan secara saksama oleh para pemimpin gereja, namun penyimpanan yang paling saksama pun tidak dapat bertahan terhadap pendudukan Romawi, perjalanan waktu selama 2000 tahun, dan proses disintegrasi. Saat ini tidak ada yang tersisa dari tulisan-tulisan asli tersebut. Sama halnya dengan dokumen asli lainnya dari masa itu dan sebelumnya, manuskrip asli Injil semuanya hilang, meskipun para ahli masih berharap suatu ketika kejadian Gulungan Laut Mati terulang kembali. Namun tidak hanya Alkitab yang bernasib demikian; tidak ada dokumen asli lainnya dari zaman kuno yang selamat hingga saat ini. Para sejarawan tidak terganggu dengan hal tersebut asalkan mereka memiliki salinan yang dapat dipercayai.

Lebih dari 5000 manuskrip salinan dalam bahasa Yunani telah ditemukan, dan jika dihitung dalam bahasa-bahasa lain, jumlah tersebut menjadi 24000, semuanya berasal dari abad kedua hingga abad keempat. Selain itu selisih waktu tulisan asli dan salinan paling awal juga tidak begitu jauh. Codex Vaticanus dan Codex Sinaiticus merupakan dua salinan Alkitab yang hampir lengkap dari abad ketiga hingga abad keempat.

Lihat pula

Referensi

Sitasi

  1. ^ a b Walsh, George. The Role of Religion in History. Transaction 1998, hal. 58.
  2. ^ Price, Robert M. "Of Myth and Men" Diarsipkan 2012-12-08 di Wayback Machine., majalah Free Inquiry, Volume 20, Nomor 1, diakses pada 27 September 201.
  3. ^ Dickson, John. "Facts and friction of Easter", The Sydney Morning Herald, 21 Maret 2008.
  4. ^ Van Voorst (2003), hlm. 658, 660.
  5. ^ Fox (2005), hlm. 48.
  6. ^ Burridge & Gould (2004), hlm. 34.
  7. ^ Michael Grant menyatakan bahwa "In recent years, 'no serious scholar has ventured to postulate the non historicity of Jesus' or at any rate very few, and they have not succeeded in disposing of the much stronger, indeed very abundant, evidence to the contrary." dalam Jesus oleh Michael Grant 2004 ISBN 1898799881 hlm. 200
  8. ^ "Defining myth". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-08-07. Diakses tanggal 2011-09-27. 
  9. ^ a b Dunes, Alan. "Madness in Method Plus a Plea for Projective Inversion in Myth". Myth and Method. Ed. Laurie Patton and Wendy Doniger. Charlottesville: University of Virginia Press, 1996.
  10. ^ Robertson, Archibald (1946) Jesus: Myth Or History
  11. ^ Stein, Gordon (1989) An Anthology of Atheism and Rationalism ISBN 978-087975256 pg 182-9
  12. ^ a b White, L. Michael. From Jesus to Christianity. HarperCollins, 2004, hal. 3–4, 12–13, 96.
  13. ^ a b van Voorst, Robert, Jesus Outside the New Testament [2000], halaman 6, 14, 16
  14. ^ a b Stanton, Graham, The Gospels and Jesus (2nd ed.), (Oxford: Oxford University Press, 2002) hal. xxiii
  15. ^ a b Marshall, I. Howard, I Believe in the Historical Jesus, Regent College Publishing, Vancouver (2004) hal. 15
  16. ^ a b Durant, Will, Caesar and Christ. New York, NY: Simon and Schuster, 1944, Chaper XXVI
  17. ^ Marshall, Ian Howard. I Believe in the Historical Jesus. Regent College Publishing, 2004, hal. 24.
  18. ^ Crossan, John Dominic. "Response to Robert M. Price," in James K. Beilby & Paul Rhodes Eddy (eds.) The Historical Jesus: Five Views. InterVarsity, 2009, hal. 85.
  19. ^ a b c d e Eddy, Paul R. and Boyd, Gregory A. The Jesus Legend - a case for the historical reliability of the synoptic Jesus tradition. Baker Academic, 2007, hal. 24–27.
  20. ^ a b Price, Robert M. "Jesus at the Vanishing Point" in James K. Beilby & Paul Rhodes Eddy (eds.) The Historical Jesus: Five Views. InterVarsity, 2009, hal. 55 untuk argumennya bahwa kemungkinan Yesus tidak pernah ada. Lihat hal. 62–64, 75 untuk tiga pilar.
  21. ^ a b c Schweitzer, Albert. The Quest of the Historical Jesus. Fortress, 2001; first published 1913, hal. 355ff.
  22. ^ Catherine M. Murphy, The Historical Jesus For Dummies, Publisher For Dummies, 2007. p 76.
  23. ^ Tacitus, Annals 15.44, dari terjemahan Church dan Brodribb.
  24. ^ a b Wells, G. A. "Stages of New Testament Criticism," Journal of the History of Ideas, volume 30, issue 2, 1969.
  25. ^ Solmsen, Friedrich. "George A. Wells on Christmas in Early New Testament Criticism", Journal of the History of Ideas, volume 31, issue 2, 1970, hal. 277–279.
  26. ^ a b c Beilby, James K. and Eddy, Paul Rhodes. "The Quest for the Historical Jesus", in James K. Beilby and Paul Rhodes Eddy (eds.). The Historical Jesus: Five Views. Intervarsity, 2009, hal. 16. For Strauss's work, see Strauss, David. "The Life of Jesus Critically Examined. Calvin Blanchard, 1860.
  27. ^ a b Thompson, Thomas L. "The Messiah myth: the Near Eastern roots of Jesus and David"], Basic Books, 2005, hal 4.
  28. ^ a b Schweitzer, Albert. The Quest of the Historical Jesus. Fortress, 2001; pertama kali diterbitkan tahun 1913, hal. 124–128, 139–141.
  29. ^ Engels, Frederick. "Bruno Bauer and Early Christianity", Der Sozialdemokrat, Mei 1882.
  30. ^ Fiensy, David A. New Testament Introduction. College Press, 1995, hal. 91.
  31. ^ a b Schweitzer, Albert. The Quest of the Historical Jesus. Fortress, 2001; pertama kali diterbitkan tahun 1913, hal. 356–361, 527 n. 4.
  32. ^ a b Bolland, G. J. P. J. De Evangelische Jozua" Diarsipkan 2011-07-17 di Wayback Machine., 1907.
  33. ^ Arvidsson, Stefan. Aryan Idols: Indo-European Mythology as Ideology and Science. University of Chicago Press, 2006, hal. 116–117.
  34. ^ Klausner, Joseph. Jesus of Nazareth. Bloch, 1989; pertama kali diterbitkan tahun 1925, hal. 105–106.
  35. ^ Robertson, J. M. A Short History of Christianity. Watts, 1902, hal. 6–12, 14–15.
  36. ^ A Short History of Christianity, hal. 2–3.
  37. ^ Robertson, John M. Pagan Christs: Studies in Comparative Hierology. Watts, 1903.
  38. ^ A Short History of Christianity, hal. 21–25, 32–33, 87–89.
  39. ^ Smith, William Benjamin. Der vorchristliche Jesu. Kessinger Publishing, LLC, 2010; pertama kali diterbitkan tahun 1906.
    • Lihat pula Smith, William Benjamin. Ecce Deus: Die urchristliche Lehre des reingöttlichen Jesu. Diederichs, 1911; pertama kali diterbitkan tahun 1894.
    • Smith, William Benjamin. The Birth of the Gospel, 1911.
  40. ^ Case, Shirley Jackson. "The Historicity of Jesus: An Estimate of the Negative Argument"], The American Journal of Theology, volume 15, issue 1, 1911.
  41. ^ Schweitzer, Albert. The Quest of the Historical Jesus. Fortress, 2001; pertama kali diterbitkan tahun 1913, hal. 375ff.
  42. ^ Van Voorst, Robert E. Jesus Outside the New Testament. Eerdmans, 2000, hal. 12.
  43. ^ Weaver, Walter P. The historical Jesus in the twentieth century, 1900-1950. Continuum International Publishing Group, 1999, hal. 300.
    • Lihat pula Wood, Herbert George. Christianity and the Nature of History. Cambridge University Press, 1934, hal. xxxii.
    • Drews, Arthur. Die Christusmythe. Eugen Diederichs, 1910, published in English as The Christ Myth, Prometheus, 1910, hal. 410.
  44. ^ Gerrish, Brian A. Jesus, Myth, and History: Troeltsch's Stand in the 'Christ-Myth' Debate", The Journal of Religion, volume 55, issue 1, 1975, hal 3–4.
  45. ^ a b "Jesus never lived, asserts Prof. Drews", The New York Times, 6 Februari 1910.
  46. ^ Nikiforov, Vladimir. "Russian Christianity" in Leslie Houlden (ed.) Jesus in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia. ABC-CLIO, 2003, hal. 749.
  47. ^ Thrower, James. Marxist-Leninist "Scientific Atheism" and the Study of Religion and Atheism. Walter de Gruyter, 1983, hal. 426.
  48. ^ a b Weaver, Walter P. The historical Jesus in the twentieth century, 1900-1950. Continuum International Publishing Group, 1999, hal. 300ff.
  49. ^ Lihat, sebagai contoh, Couchoud, Paul Louis. Enigma of Jesus, diterjemahkan oleh Winifred Stephens Whale, Watts & co., 1924.
  50. ^ Mead, G. R. S. The Talmum 100 Years B.C. Story of Jesus" Diarsipkan 2015-09-23 di Wayback Machine., "Did Jesus Live 100 B.C.?", 1903.
  51. ^ Russell, Bertrand. "Why I am not a Christian", lecture to the National Secular Society, Battersea Town Hall, 6 Maret 1927, diakses 2 Agustus 2010.
  52. ^ Stanton, Graham. The Gospels and Jesus. Oxford University Press, 2002; first published 1989, hal. 143.
  53. ^ a b c Ellegård, Alvar."Theologians as historians", Scandia, 2008, hal. 171–172, 175ff.
  54. ^ Martin, Michael. The Case Against Christianity. Temple University Press, 1993, hal. 38.
  55. ^ a b Wells, G. A. "A Reply to J. P. Holding's 'Shattering' of My Views on Jesus and an Examination of the Early Pagan and Jewish References to Jesus", The Secular Web, 2000, diakses 3 Agustus 2010.
  56. ^ Wells, G. A. The Jesus Myth. Open Court, 1999.
  57. ^ Van Voorst, Robert E. "Nonexistence Hypothesis," in James Leslie Holden (ed.) Jesus in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia. ABC-CLIO, 2003, hal. 660.
  58. ^ For a statement of his position, Wells refers readers to his article, "Jesus, Historicity of" in Tom Flynn's The New Encyclopedia of Unbelief(2007). See Wells, G. A. CuttingJesus Down to Size. Open Court, 2009, hal. 327–328.
  59. ^ Wells, G.A. in Tom Flynn. The New Encyclopedia of Unbelief. Prometheus Books, 2007, hal. 446ff.
  60. ^ Burton Mack mengutip satu bagian dari pakar Perjanjian Baru, Helmut Koester, sebagai contoh bahasa semacam itu: "Kebangkitan dan penampakan Yesus paling baik dijelaskan sebagai katalis yang menimbulkan reaksi yang menghasilkan aktivitas misionaris dan pendirian gereja-gereja, tetapi juga kristalisasi tradisi tentang Yesus dan pelayanannya. Namun yang terutama, kebangkitan mengganti kesedihan dan kedukaan...menjadi sukacita, kreativitas dan keyakinan iman. Meskipun kebangkitan tidak menunjukkan hal baru, tetap saja membuat sesuatu yang baru bagi orang-orang Kristen mula-mula." Mack menulis tanggapan bahwa bahasa semacam ini tidak bisa dipahami dan jika ahli sejarah tidak tahu bagaimana mengartikannya, tujuannya telah tercapai. Lihat Ellegård, hal. 171.
  61. ^ a b Price, Robert M. The Incredible Shrinking Son of Man. Prometheus, 2003, hal. 351.
    • Lihat juga Jacoby, Douglas A. Compelling Evidence For God and the Bible: Finding Truth in an Age of Doubt. Harvest House Publishers, 2010, hal. 97.
    • Price menulis: "Apakah mungkin di bawah dan di balik tirai kaca-berwarna legenda Kristen berdiri sesosok pendiri kekristenan historis? Ya, mungkin, tetapi lebih mungkin ada daripada historis Musa, dan hampir sama mungkinnya dengan historis Apollonius dari Tyana. Namun, menjadi tidak berdasar untuk berpikir demikian."
  62. ^ Van Biema, David; Ostling, Richard N.; and Towle, Lisa H. "The Gospel Truth?" Diarsipkan 2012-11-05 di Wayback Machine., Time magazine, April 8, 1996
  63. ^ Price, Robert M. "Jesus at the Vanishing Point" in James K. Beilby & Paul Rhodes Eddy (eds.) The Historical Jesus: Five Views. InterVarsity, 2009, hal. 55–56.
  64. ^ Price, Robert M. "Jesus at the Vanishing Point" in James K. Beilby & Paul Rhodes Eddy (eds.) The Historical Jesus: Five Views. InterVarsity, 2009, hal. 55ff.
  65. ^ Thompson, Thomas L. "The Messiah myth: the Near Eastern roots of Jesus and David"], Basic Books, 2005, back cover.
  66. ^ a b Dawkins, Richard. The God Delusion. Houghton Mifflin, 2006, hal. 122.
  67. ^ Doherty, Earl. "The Jesus Puzzle", Journal of Higher Criticism,volume 4, issue 2, 1997.
  68. ^ See Stenger, Victor J. God: The Failed Hypothesis. Prometheus, 2007, hal. 190.
  69. ^ Hitchens, Christopher. God Is Not Great. Twelve Books, 2007, hal. 127.
  70. ^ O'Dwyer, Davin. "Zeitgeist: The Nonsense" Diarsipkan 2010-11-21 di Wayback Machine., The Irish Times, 25 Agustus 2007.
    • Soukup, Elise "Imaginary Friend?", Newsweek, 26 Juni 2005.
    • O'Neil, Tom. [O'Neil, Tom. "Expect 'Religulous' and Bill Maher to Raise Oscars Hell", The Los Angeles Times, 20 Agustus 2008. "Expect 'Religulous' and Bill Maher to Raise Oscars Hell"], The Los Angeles Times, 20 Agustus 2008.
  71. ^ Grant, Michael, Jesus: An Historian's Review of the Gospels [1977], halaman 199-200
  72. ^ Bultmann, Rudolph, Jesus and the Word, [New York: Scribner,] 1958, hal. Perkenalan
  73. ^ Lüdemann, Gerd, What Really Happened to Jesus? trans. John Bowden (Louisville, Kent.: Westminster John Knox Press, 1995), hal. 80.
  74. ^ Wright, N.T., "The Self-Revelation of God in Human History" from There Is A God by Antony Flew and Roy Abraham Varghese [2007]
  75. ^ Johnson, Luke Timothy, The Real Jesus (San Francisco: Harper San Francisco, 1996), hal. 123.
  76. ^ Evans, Craig A., "Life-of-Jesus Research and the Eclipse of Mythology" Theological Studies 54 (1993): 8, 18, 34.
  77. ^ Ehrman, Bart, Apocalyptic Prophet of the New Millennium, (published by Oxford University Press in 1999)
  78. ^ Vermes, Geza, Jesus the Jew, hal. 41.
  79. ^ Whately, Richard. Historic Doubts Relative to Napoleon Buonaparte, Warren F. Draper, 1874; pertama kali diterbitkan tahun 1819.
  80. ^ Conybeare, Frederick Cornwallis. The Historical Christ, or an Investigation of the Views of J. M. Robertson, A. Drews and W. B. Smith. Publisher unknown, 1914.
  81. ^ Goguel, Maurice. Jesus the Nazarene: Myth or History? Diarsipkan 2011-07-17 di Wayback Machine.. T. Fisher Unwin, 1926.
  82. ^ Schweitzer, Albert. The Quest of the Historical Jesus. Fortress, 2001; pertama kali diterbitkan tahun 1913, hal. 435–436.
  83. ^ Josh McDowell, New Evidence That Demands A Verdict,Thomas Nelson; Rev Upd edition (November 23, 1999), ISBN 0-7852-4219-8
  84. ^ Josh McDowell, More Than A Carpenter, Living Books (April 1, 1987), ISBN 0-8423-4552-3
  85. ^ Lee Strobel, The Case for Christ, September 1, 1998, Zondervan, ISBN 0-310-22605-8
  86. ^ Lee Strobel, The Case for the Real Jesus: A Journalist Investigates Current Attacks on the Identity of Christ September 10, 2007, Zondervan, ISBN 0-310-24210-X
  87. ^ Puskas, Charles B. and Crump, David. An Introduction to the Gospels and Acts. Eerdmans, 2008, hal. 53–54.
  88. ^ 1 Korintus 15:8
  89. ^ Johannes Weiss, Earliest Christianity: A History of the Period A.d.30-150, tr. Frederick C. Grant (1937) Harper Torchbooks, 1967 vol. 2, hal. 456
  90. ^ Paul Barnett, Jesus & the Rise of Early Christianity: A History of New Testament Times, InterVarsity Press, 2002 hal.183-184.
  91. ^ Sebagai contoh, Barnett, Paul. Jesus and the Logic of History. InterVarsity, 2001, pp=57–58.
  92. ^ Dunn, James D. G. "Response to Robert M. Price" in James K. Beilby & Paul Rhodes Eddy. The Historical Jesus: Five Views. InterVarsity, 2009, hal. 96.
  93. ^ a b Bruce, F. F. Paul and Jesus SPCK, 1977, hal.19–20.
  94. ^ Feldman, Louis H. "Josephus" in David Noel Freedman (ed.) Anchor Bible Dictionary. Doubleday, 1992, hal. 990–991.
  95. ^ Quoted in Habermas, Gary R. and Licona, Michael R. The Case for the Resurrection of Jesus. Kregel, 2004, hal. 268–269.
  96. ^ Durant, Will. Christ and Caesar. Simon & Schuster, 1972, hal. 557.
  97. ^ Bromiley, Geoffrey W. (ed.) "Jesus Christ," The International Standard Bible Encyclopedia. Eerdmans, 1982, hal. 1034;
    • Lihat pula Dunn, James D. G. "Myth" in Joel B. Green, Scot McKnight, & I. Howard Marshall (ed.) Dictionary of Jesus and the Gospels. InterVarsity, 1992, hal. 566.
  98. ^ Fredriksen, Paula. From Jesus to Christ. Yale University Press, 2000, hal. xxvi.
  99. ^ Smith, Mark S. The Ugaritic Baal Cycle. Brill, 1994, hal. 70; and Mettinger, Tryggve N. D. The Riddle of Resurrection. Almqvist & Wiksell, 2001, hal. 7, 221.
    • For the argument that the Jesus myth theory rests in part on this idea, see Price, Robert M. "Jesus at the Vanishing Point" in James K. Beilby & Paul Rhodes Eddy (eds.) The Historical Jesus: Five Views. InterVarsity, 2009, hal. 75.
  100. ^ Yamauchi, Edwin M. "Easter: Myth, Hallucination, or History?", Christianity Today, March 15 and 29, 1974.
  101. ^ Forbes, Chris. "Zeitgeist: Time to Discard the Christian Story?" Diarsipkan 2009-09-14 di Wayback Machine., Center for Public Christianity, 2009, 2:47 mins, accessed August 4, 2010.
  102. ^ Ulansey, David. The Origins of the Mithraic Mysteries. Oxford University Press, 1991, hal. 35.
  103. ^ Burkert, Walter. Ancient Mystery Cults. Harvard University Press, 1989, p 155 n. 40.
  104. ^ Brandon, S. G. F. "The Ritual Perpetuation of the Past", Numen, volume 6, issue 1, 1959, hal. 128.
  105. ^ Metzger, Bruce M. Historical and Literary Studies, Pagan, Jewish, and Christian. Brill, 1968, hal. 7.
  106. ^ Will Durant, Caesar and Christ, vol. 3 dari The Story of Civilization; New York: Simon & Schuster, 1972; 555.
  107. ^ Menurut situs resmi jesusseminar.org, "Jesus Seminar adalah organisasi di bawah Westar Institute untuk memperbarui misi pencarian Yesus yang ada dalam sejarah. Dalam debat yang berlangsung ketat, Persekutuan dalam Seminar mengadakan pemungutan suara, menggunakan manik-manik bewarna-warni untuk mengindikasikan seberapa jauh keakuratan perkataan atau perbuatan Yesus."
  108. ^ William F. Albright, Towards a More Conservative View, Christianity Today, January 18, 1993, 3.
  109. ^ John A. T. Robinson, Redating the New Testament, dikutip dalam tulisan Norman L. Geisler dan Frank Turek, I Don't Have Enough Faith To Be An Atheist; Wheaton, IL; Crossway, 2004, 243.

Bibliografi

Bacaan lanjutan

Buku
Debat
Pranala luar

Pranala luar