Wali Sanga
Artikel ini ditulis seperti opini yang menulis pendapat penulis Wikipedia mengenai suatu topik, daripada menuliskannya menurut pendapat para ahli mengenai topik tersebut.. |
Keseluruhan atau sebagian dari artikel ini membutuhkan perhatian dari ahli subyek terkait. Jika Anda adalah ahli yang dapat membantu, silakan membantu perbaiki kualitas artikel ini. |
Wali Sanga (lebih dikenal sebagai Wali Songo, bahasa Jawa: ꦮꦭꦶꦱꦔ; Wali Songo, "Sembilan Wali" merupakan tokoh Islam yang dihormati di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, karena peran historis mereka dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.
Walisongo merupakan para pendakwah Islam yang hadir di Pulau Jawa sejak akhir abad 15 M hingga abad 16 M. Ada cukup banyak literatur yang membahas Walisongo. Di antara paling populer adalah Babad Tanah Jawa, yang ditulis era Pakubuwana (abad 19 M), dan literatur yang jauh lebih tua, Kitab Walisana yang bersumber pada literatur Kedatuan Giri (abad 16 M). Sementara pendekatan arkeologis dan filologis membuktikan Islam sudah datang di Pulau Jawa sejak abad 11 M, jauh sebelum era Walisongo.
Karya sastra Babad Tanah Jawa menyebut bahwa anggota Walisongo yang berdakwah di Pulau Jawa berjumlah sebanyak sembilan orang. Sebab, Songo berarti sembilan. Di antara anggota Walisongo yang berdakwah di Pulau Jawa pada abad 15 - 16 M versi Babad adalah; (1) Sunan Ampel, (2) Sunan Bonang, (3) Sunan Giri, (4) Sunan Gunung Jati, (5) Sunan Kalijaga, (6) Sunan Drajat, (7) Sunan Udung, (8) Sunan Muria, dan (9) Syaikh Maulana Maghribi.
Secara literatur, istilah Walisongo muncul pertamakali pada Babad Tanah Jawa. Pakem standar yang menyebut jumlah Wali ada sembilan orang, sumber paling tua adalah karya Babad Tanah Jawa di era Pakubuwana tersebut. Sebelum era sastra Babad Tanah Jawa (abad 19 M), tak ditemui istilah Walisongo, yang ada adalah Walisana.
Sementara literatur-literatur yang menginduk pada Babad Tanah Jawa seperti Babad Kartasura, Serat Ronggowarsito, Serat Centhini, Babad Bandawasa, Babad Pathi, Babad Ajisoko, Babad Brawijaya, Babad Trunojoyo, Babad Mataram dan Babad-babad lainnya, menginformasikan perihal tak jauh berbeda dari sumber utamanya, yaitu Babad Tanah Jawa (abad 19 M).
Jumlah Wali sebanyak sembilan orang yang dipakemkan Babad Tanah Jawa, berdampak negatif pada terjadinya kesalahan logika periodisasi. Misalnya, Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik digolongkan kedalam generasi Sunan Ampel. Padahal, Syekh Maulana Malik Ibrahim sudah wafat, bahkan ketika Sunan Ampel belum memulai gerakan dakwah (Sunyoto, 2012).
Banyak yang menyamakan tokoh Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik dengan Maulana Ibrahim Asmoroqondi Tuban (ayah Sunan Ampel). Padahal, keduanya dua tokoh yang berbeda. Keduanya juga hidup di zaman yang berbeda. Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik jauh lebih dulu datang ke Pulau Jawa, sebelum Maulana Ibrahim Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel).
Ada cukup banyak Wali yang tidak terakomodir Babad Tanah Jawa. Namun memiliki jejak literatur dan arkeologis jelas. Seperti Fatimah binti Maimun (abad 11 M), Syekh Syamsuddin al Wasil (abad 12 M), Sultan Malik As-Shalih (abad 13 M), Syekh Maulana Malik Ibrahim (akhir abad 13 M), Syekh Jumadil Kubro (abad 14 M), Syekh Maulana Ibrahim Asmoroqondi (akhir abad 14 M), Syekh Siti Jenar (abad 15 M), hingga Wali Tembayat (abad 16 M).
Dalam Kitab Walisana, literatur ilmiah yang jauh lebih tua dan lebih dipercaya dibanding sastra Babad Tanah Jawa, memberi informasi berbeda. Literatur yang ditulis pada awal abad 16 M tersebut tidak menyebut Walisongo, tapi Walisana. "Sana" merupakan bahasa Jawa kuno yang berarti tempat atau daerah. Walisana berarti Wali di suatu daerah.
Berdasar Kitab Walisana, jumlah Wali pada awal abad 16 M sebanyak delapan orang. Yaitu; (1) Sunan Ampel di Surabaya (2), Sunan Gunung Jati di Cirebon, (3) Sunan Ngudung di Jipang, (4) Sunan Giri di Gresik, (5) Sunan Bonang di Tuban, (6) Sunan Alim di Majagung, (7) Sunan Mahmud di Drajat, dan (8) Sunan Kali.
Istilah Walisana berkonsep Wali Wolu Siji Tinari. Setiap zaman dan era selalu memunculkan tokoh-tokoh yang berbeda, berbasis titik kewilayahan dakwahnya. Walisana tidak berbasis pakem nama seperti Babad Tanah Jawa, tapi berbasis kewilayahan dakwah. Dalam konsep Walisana, memungkinkan cukup banyak nama Wali di tiap kewilayahan dan zaman.
Arti Wali Sanga
suntingAda sejumlah pendapat tentang makna Walisongo. Pendapat pertama mengatakan, Walisongo berarti Wali Sembilan. Sebab, Songo memiliki arti sembilan. Sumber paling tua yang mengutarakan argumentasi ini adalah sastra Babad Tanah Jawa yang ditulis pada abad 18 M oleh Pakubuwana.
Sementara pendapat kedua adalah Walisana. Sana di sini bukan Bahasa Arab "tsana", tapi Bahasa Jawa Kuno "Sana", yang memiliki makna tempat atau daerah atau wilayah. Walisana berarti Wali di suatu daerah. Walisana merupakan konsep "Wali Wolu Siji Tinari" yang merupakan konsep kuno dari Jawa. Argumen ini bersumber dari Kitab Walisana yang ditulis abad 16 M.
Sementara Konsep Walisanga atau Wali Sembilan dalam kosmologi Islam, sumber utamanya dapat dilacak pada konsep kewalian yang secara umum oleh kalangan penganut sufisme diyakini meliputi sembilan tingkat kewalian. Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Araby atau Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah memaparkan tentang sembilan tingkat kewalian dengan tugas masing-masing sesuai kewilayahan. Kesembilan tingkat kewalian itu:
1) Wali Aqthab atau Wali Quthub, yaitu pemimpin dan penguasa para wali di seluruh alam semesta.
2) Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali Aqthab dan menggantikan kedudukannya jika wafat.
3) Wali Autad, yaitu wali penjaga empat penjuru mata angin.
4) Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim.
5) Wali Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat.
6) Wali Nujaba, yang setiap masa berjumlah delapan orang.
7) Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama, baik pembelaan dalam bentuk argumentasi maupun senjata.
8) Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya muncul setiap bulan Rajab.
9) Wali Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan umat Islam.[1]
Nama para Wali Sanga
suntingNama para Wali Sanga tersebut yaitu:
|
|
|
Tokoh pendahulu Wali Sanga
suntingAsal usul Wali Sanga
suntingTeori keturunan Hadramaut
suntingSejumlah argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam buku Thariqah Menuju Kebahagiaan menyebut dan mendukung bahwa Wali Sanga adalah keturunan Hadramaut (Yaman). Namun, pendapat ini dirasa lemah karena mayoritas literatur ilmiah Delpher menyebut, orang-orang Hadramaut baru datang ke Pulau Jawa atas lisensi Belanda pada abad 19 M. Tepatnya periode Pasca Perang Jawa (1825-1830 M). Orang Hadramaut yang datang ke Pulau Jawa, bergelar Habib dan menampakkan "marga" di belakang namanya. Tradisi marga di belakang nama, menurut Agus Sunyoto (2012), hanya ada di Hadramaut, dan tidak ditemui pada tradisi para Sayyid yang berasal dari Hijaz maupun Maroko.
Pendapat bahwa Walisongo keturunan Sadah Maroko jauh lebih kuat. Baik secara literatur maupun tradisi. Mayoritas catatan dari abad 18 hingga 19 M, baik berupa naskah Babad ataupun Manuskrip, tak ada satupun yang menyebut kata Habib. Mayoritas menyebut kata Sayyid atau Makhdum. Penyebutan namanya pun tanpa disertai "marga" seperti umumnya tradisi Hadramaut.
Agus Sunyoto menyebut, pada abad 14 M, para pemuka Islam dari Iran, Maroko, dan Uzbekistan, yang leluhurnya berasal dari Hijaz, sudah berdatangan ke Nusantara dalam rangka persebaran Islam. Mereka keluarga Hasan dan Husain. Ada yang berasal dari jalur Al Kazimi Al Husaini, ada pula yang berasal dari keluarga Al Jailani Al Hasani. Satu ciri paling kuat dari kedatangan mereka adalah, mayoritas bergelar Makhdum dan tidak ada satupun yang memakai "marga" di belakang namanya.
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Wali Sanga adalah keturunan Tionghoa Muslim.[2] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Wali Sanga adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[butuh rujukan]
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Wali Sanga berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.[3]
Teori keturunan Dinasti Ayubiyah/Fatimiyah
suntingTeori lain adalah dinasti Ayubiyah/Fatimiyah. Teori ini khususnya bagi Walisongo di Jawa Timur. Hal ini diperkuat dengan keberadaan makam Fatimah binti Maimun yang kemungkinan merupakan nama seorang bangsawan dari dinasti Fatimiyah.
Teori Mekah
suntingTeori Mekah adalah teori yang dikemukakan oleh Buya Hamka. Buya Hamka dengan sangat detail menyebut Islam datang dari Hijaz. Dari negeri-negeri Islam seperti Maroko dan Uzbekistan yang leluhurnya berasal dari Hijaz (Makkah). Teori ini sekaligus mengkritisi teori Hadramaut. Teori Makkah memperkuat bahwa para Wali Songo berasal dari Iran, Maroko, Uzbekistan yang leluhurnya berasal dari Hijaz. Bahkan, Buya Hamka tak menyebut Yaman sebagai bagian dari asal-usul kedatangan Islam di Jawa.
Sumber tertulis tentang Wali Sanga
sunting- Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Wali Sanga, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Wali Sanga karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
- Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan di antaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
- Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Referensi
sunting- ^ Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka Iman, 2016, 135.
- ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. LkiS. hlm. xxvi + 302 hlm. ISBN 9799798451163.
- ^ Russell Jones, review on Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries written by H. J. de Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M. C. Ricklefs, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 50, No. 2. (1987), hlm. 423-424.
Pusat Inspirasi
sunting- Sembilan Wali (Wali Sanga) (Film tahun 1985 produksi Soraya Intercine Films)
- Wali Sanga (Serial televisi tahun 2003 produksi Genta Buana Paramita)
- Kisah Sembilan Wali (Serial televisi tahun 2013 produksi Genta Buana Paramita)
- Kisah 9 Wali (Serial televisi tahun 2015 produksi Genta Buana Paramita)