Partai Golongan Karya

partai politik di Indonesia

Partai Golongan Karya (Partai Golkar), sebelumnya bernama Golongan Karya (Golkar) dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai GOLKAR bermula dengan berdirinya Sekber GOLKAR pada masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya 1964 oleh Angkatan Darat untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik. Dalam perkembangannya, Sekber GOLKAR berubah wujud menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu.

Partai Golongan Karya
Ketua umumAburizal Bakrie
(sejak 2015)
Sekretaris JenderalIdrus Marham
(sejak 2015)
Dibentuk20 Oktober 1964
Kantor pusatDKI Jakarta
IdeologiPancasila
Kursi di DPR
91 / 560
Situs web
http://www.golkar.or.id

Dalam Pemilu 1971 (Pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto), salah satu pesertanya adalah Golongan Karya dan mereka tampil sebagai pemenang. Kemenangan ini diulangi pada Pemilu-Pemilu pemerintahan Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kejadian ini dapat dimungkinkan, karena pemerintahan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangan GOLKAR, seperti peraturan monoloyalitas PNS, dan sebagainya.

Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, GOLKAR berubah wujud menjadi Partai GOLKAR, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya pada masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai GOLKAR turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu sebab para pemilih di Pemilu legislatif 2004 untuk kembali memilih Partai GOLKAR, selain partai-partai lainnya seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan lain-lain. Partai GOLKAR menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah.

Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai GOLKAR karena pada Pemilu Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai GOLKAR menduduki peringkat kedua dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah. Sekilas Partai GOLKAR mendapat peningkatan 738.999 suara, tapi dari prosentase turun sebanyak 0,86%.

Perolehan suara

Golkar pada pemilu 1999 memperoleh suara 22% suara. Ini merupakan kemerosotan yang jauh sekali dari pada pemilu-pemilu sebelumnya. Dalam pemilu 1997 Golkar (belum menjadi partai) memperoleh suara sebanyak 70,2%, sedangkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya juga sekitar 60 sampai 70%. Contohnya, dalam pemilu tahun 1987 Golkar dapat menguasai secara mutlak 299 kursi dalam DPR. Selama Orde Baru, DPR betul-betul dikuasai Golkar dan militer.

Pencapaian pada Pemilu Legislatif 2009

Partai Golkar mendapat 107 kursi (19,2%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 15.037.757 suara (14,5%). Perolehan suara dan kursi menempatkannya pada posisi kedua dalam Pemilu ini.

Pencapaian pada Pemilu Legislatif 2014

Partai Golkar mendapat 91 kursi (16,3%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2014, setelah mendapat sebanyak 18.432.312 (14,75%). Perolehan suara dan kursi menempatkannya pada posisi kedua dalam Pemilu ini.

Pencapaian pada Pilkada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) Serentak 2015

Partai Golkar meraih kemenangan 52% di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Pilkada ini sangat mengejutkan karena saat ini dalam tubuh Golkar sedang terjadi konflik antara kubu Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono (Agung). Agung Laksono mengatakan bahwa Partai Golkar adalah partai yang tahan badai dan rintangan apapun. Walaupun terjadi konflik sekalipun Golkar masih mendapat suara 52 % (tertinggi kedua dalam pilkada setelah PDIP). Harus diakui Golkar memang dan PDIP memiliki banyak paslon, yang hebatnya lagi hampir semua daerah kabupaten, minimal memiliki Bupati/Wakil Bupati dari Partai Golongan Karya (Golkar), dan Hampir Semua daerah kota, minimal memiliki Walikota/Wakil Walikota dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Pemilu Total kursi Total pemilihan Persentase Hasil Ketua
1971
236 / 360
34,348,673 62.80% Partai baru Ali Murtopo
1977
232 / 360
39,750,096 62.11%  4 kursi Amir Murtono
1982
242 / 360
48,334,724 64.34%  10 kursi Amir Murtono
1987
299 / 400
62,783,680 73.11%  57 kursi Sudharmono
1992
282 / 400
66,599,331 68.10%  17 kursi Wahono
1997
325 / 400
84,187,907 74.51%  43 kursi Harmoko
1999
120 / 500
23,741,749 22.46%  205 kursi Akbar Tanjung
2004
128 / 550
24,480,757 21.58%  8 kursi Akbar Tanjung
2009
106 / 560
15,037,757 14.45%  22 kursi, Koalisi partai pemerintah (Demokrat-Golkar-PKS-PAN-PPP-PKB) Jusuf Kalla
2014
91 / 560
18,432,312 14.75%  15 kursi, Koaslisi oposisi (Gerindra-Golkar-Demokrat-PPP-PKS-PAN) Aburizal Bakrie

Sejarah

Pada tahun 1964 untuk menghadapi kekuatan PKI (dan Bung Karno), golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).

Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.

Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS dan Front Nasional maka atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya, disingkat Sekber GOLKAR, pada tanggal 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai Ketua Pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.

Pada awal pertumbuhannya, Sekber GOLKAR beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi di antara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:

  1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
  2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
  3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
  4. Organisasi Profesi
  5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
  6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
  7. Gerakan Pembangunan

Untuk menghadapi Pemilu 1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.

Pada Pemilu 1971 ini, Sekber GOLKAR ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan GOLKAR sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik GOLKAR kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR.

Hasilnya di luar dugaan. GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh propinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.

Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR. GOLKAR menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya.

September 1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).

Setelah Peristiwa G30S maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno.

Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.

Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis.

Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa.

Peraturan Monoloyalitas

Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Setelah Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.

Kontroversi

Politisasi Sepak bola

Golkar mengklaim penurunan harga tiket pertandingan final Piala AFF 2010 berkat jasa Golkar.[1] Selain itu, pada deklarasi calon gubernur Sulawesi Tenggara dari Partai Golkar, Nurdin Halid--ketua umum PSSI sekaligus kader Partai Golkar--mengklaim 'sukses' Tim Nasional di kancah Piala AFF adalah karya Partai Golkar.[2]

Dualisme kepemimpinan

Pada awal tahun 2015 terjadi dualisme kepengurusan dalam tubuh Golkar, yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie hasil munas Bali dan Agung Laksono hasil munas Jakarta. Pada awal Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang mensahkan Golkar yang dipimpin oleh Agung Laksono. Pada bulan April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan sela menunda pelaksanaan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono. Pada tanggal 10 Juli 2015, empat hakim yang mengadili kasus tersebut, yaitu Arif Nurdu'a, Didik Andy Prastowo, Nurnaeni Manurung dan Diah Yulidar memutuskan untuk menolak gugatan yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Aburizal Bakrie terkait dualisme kepengurusan partai. Putusan itu diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim PTTUN Jakarta. Dengan dibacakannya putusan PTUN. Selang berapa waktu Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara (Jakut) mengabulkan gugatan pengurus Partai Golkar hasil Munas Bali di bawah pimpinan Aburizal Bakrie (ARB). Hakim memutuskan bahwa pelaksanaan Munas Partai Golkar di Ancol yang dipimpin oleh Agung Laksono tidak sah.

Keputusan pengadilan, menyatakan keputusan majelis berlaku secara serta merta dan dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum lain (banding) yang dilakukan pihak tergugat Munas Ancol, Agung Laksono. Demikian dikemukakan Bendaraha Umum DPP Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo kepada wartawan di Jakarta, Jumat (24/7/2015) usai menghadiri persidangan keputusan PN Jakut terhadap gugatan DPP Partai Golkar Pimpinan Aburizal Bakrie.

Dengan keputusan PN Jakut yang memenangkan Golkar ARB, maka, lanjut Bambang, yang berhak menandatangi pencalonan kepala daerah dalam pilkada serentak mendatang adalah ketua Umum ARB dan Sekjen Idrus Marham hasil Munas Golkar Bali. Kita berharap kubu Ancol tidak ngeyel dan harus patuh pada hukum.

Keputusan pengadilan tersebut selain menghukum Agung Laksono dan Yasona Laoly wajib membayar secara tanggung renteng denda kepada ARB sebesar Rp.100 miliar, juga otomatis memberikan hak pada Munas Golkar Bali untuk menempati kantor DPP Partai Golkar di Slipi Jakarta Barat yang selama ini diduduki secara tidak sah oleh kubu Munas Ancol (AL).

"Alhamdulillah, akhirnya lelucon politik yang selama ini dipertontontan kubu Munas Ancol yang di backingi Menkumham Yasona Laoly berakhir. Menurut Bambang, keputusan Majelis Hakim tersebut jelas, selain telah memberikan rasa keadilan pada pihak yang benar juga telah menyelamatkan demokrasi di tanah air," tambahnya.

Keputusan pengadilan tersebut katanya telah meruntuhkan konspirasi jahat kekuasaan dengan oknum partai Golkar yang ingin menghancurkan Partai Golkar dari dalam melalui politik pecah belah. "Kami memberikan apresiasi dan salut pada majelis hakim yang telah berani melawan konspirasi atau persekongkolan jahat kekuasaan tersebut dengan oknum Partai Golkar melalui keberpihakan kekuasaan pada penyelenggaraan munas Golkar di Ancol yang telah diketahui secara luas penuh rekayasa dan manipulasi," papar Bambang.

Ditegaskan, keputusan PN Jakut di hari kemenangan Idulfitri umat Islam ini juga merupakan berkah dan kemenangan kebenaran atas penzoliman Menteri Hukum dan Ham Yasona Laoly terhadap partai Golkar.

Dengan keputusan pengadilan yang menyatakan keputusan majelis berlaku secara serta merta dan dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum lain (banding) yang dilakukan pihak tergugat Munas Ancol, Agung Laksono dan Kemenkumhan, Yasona Laoly.

Maka, lanjut Bambang, yang berhak menandatangi pencalonan kepala daerah dalam pilkada serentak mendatang adalah ketua Umum ARB dan Sekjen Idrus Marham hasil Munas Golkar Bali. Kita berharap kubu Ancol tidak ngeyel dan patuh pada hukum. Keputusan pengadilan tersebut selain menghukum Agung Laksono dan Yasona Laoly wajib membayar secara tanggung renteng denda kepada ARB sebesar Rp.100 miliar, juga otomatis memberikan hak pada Munas Golkar Bali utk menempati kantor DPP Partai Golkar di Slipi yang selama ini diduduki secara tidak sah oleh kubu Munas Ancol.

Suasana ruang Cakra Pengadilan Negeri Jakarta Utara Jumat (24/7/2015) riuh dengan teriakan dan ucapan syukur kader Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie yang gugatannya dikabulkan majelis hakim.

Sebelumnya diberitakan, Ketua Majelis Hakim Lilik Mulyadi saat membacakan putusan mengatakan, Musyawarah Nasional yang digelar kubu Agung laksono di Ancol tidak sah dan melawan hukum.

Sontak Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali, Nurdin Halid, Sekjen Golkar hasil Munas Bali Idrus Marham langsung maju ke dekat meja majelis hakim. Mereka yang duduk satu baris dengan Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung saling berpeluk dan cipika-cipiki. Sambil mengangkat kedua tanganya, Nurdin Halid pun tak kuasa meneteskan air mata.

Seluruh kader Golkar yang mengenakan kemeja berwarna kuning tersebut bersyukur usai mendengar vonis hakim."Allahuakbar," teriak beberapa kader Golkar. Begitu juga kuasa hukum kubu ARB Yusril Ihza Mahendra yang larut bersama dengan kader Golkar di tengah keramaian ikut mengungkapkan rasa bahagianya. kepengurusan Golkar yang sah saat ini adalah hasil Munas Bali yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie sebagai ketua umum dan Idrus Marhan sebagai sekjen. Sedangan hasil munas Ancol yang di pimpin Agunh Laksono di anggap tidak sah dan harus di bubarkan, sedangkan yang akan ikut Pilkada adalah Kubu Aburizal Bakrie[3][4].

Bacaan

  • David Reeve, Robyn Fallick (Editor), Iskandar P. Nugraha (Editor), Lubabun Ni’am (Editor), Gatot Triwira (Translator) (July 2013). Golkar - Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran dan Dinamika. Depok, Jawa Barat: Komunitas Bambu. ISBN 9786029402308. 
  • Ridwan Saidi. Golkar Pascapemilu 1992 Golkar Pascapemilu 1992
  • Akbar Tandjung. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi
  • Nanang Dwi Prasidi. Golkar Retak? Golkar Retak?
  • Dasman Djamaluddin. Golkar as Alternative Party Golkar as Alternative Party
  • Masashi Nishihara. Golkar and the Indonesian Elections of 1971
  • Rully Chairul Azwar. Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era
  • Leo Suryadinata. Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik
  • Dirk Tomsa. Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era
  • Yohanes Krisnawan. Pers Memihak Golkar?: Suara Merdeka Dalam Pemilu 1992
  • Bambang Cipto. Duel Segitiga PPP, Golkar, Pdi Dalam Pemilu 1997
  • Uziar Fauzan, Hairus H. Salim, Umar Ibnu Sholeh. Tujuh Mesin Pendulang Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999: PAN, PBB, PDIP, Golkar, PK, PKB, PPP.
  • Source Wikipedia. Golkar Politicians: Suharto, Aburizal Bakrie, Bacharuddin Jusuf Habibie, Try Sutrisno, Jusuf Kalla, Sudharmono, Adam Malik.
  • Umar Ibnu Alkhatab. Dari Beringin Ke Beringin: Sejarah, Kemelut, Resistensi, Dan Daya Tahan Partai Golkar.
  • Hendri F. Isnaeni. Partai Demokrat Antek Pendjajah: Golkar Perubahan Dari Gerindra, Palu Arit ALA Pki Dan Prd, ADA Jepang Di Balik Pks, Jepang Juga Bikin Pkb
  • Leo Suryadinata. Military Ascendancy and Political Culture: A Study of Indonesia's Golkar

Referensi

Pranala luar