Arsitektur Gereja
Arsitektur Gereja adalah seni bangunan gereja.[1] Arsitektur berasal dari bahasa Yunani: αρχή (arke) yang berarti permulaan dan τεχνή (tekne) yang berarti seni pertukangan.[1] Secara harafiah, arsitektur adalah seni pertukangan yang mula atau dasar.[1] Arsitektur dianggap holistik, yaitu menyangkut hal-hal yang sakral dan profan.[1] Jadi, arsitektur gereja adalah seni pertukangan dari bangunan gedung gereja, sehingga pertimbangan pertama ditinjau dari tujuan dibangunnya gedung itu, yaitu untuk ibadah.[2] Karena gereja adalah perwujudan sejarah dari hidup Kristus, maka nilai-nilai di dalamnya juga harus memiliki kesatuan dengan hati Yesus.[3]
Pentingnya sebuah rancangan yang matang agar gereja benar-benar memperhitungkan aspek-aspeknya; teologis, filosofis dan fisiknya.[4]
Masa-masa Arsitektur Gereja
Masa kebangkitan arsitektur gereja terjadi setelah tahun 600-an, yaitu pada zaman Konstantinus dan Karel Agung yang masuk dalam Abad Pertengahan.[4] Kemudian disusul kebangkitan ekonomi dan perkembangan biara pada sekitar abad 11.[4] Lalu perkembangan bangunan dan kota-kota dengan arsitekturnya.[4]
Basilika
Basilika adalah bangunan Romawi untuk kegiatan umum.[4] Kegiatan itu meliputi pengadilan, perdagangan, dengan tata ruangan tersendiri yang kemudian dipakai juga oleh gereja.[5] Hal ini menggantikan peran katakomba atau kuburan bawah tanah yang menjadi tempat ibadah jemaat Kristen perdana, terlebih ketika mengalami penganiayaan dari penguasa Romawi.[6] Basilika diyakini sebagai bangunan gereja hingga sekitar seribu tahun lamanya dalam sejarah gereja sebelum dimodifikasi untuk keperluan liturgi.[4] Modifikasi itu dilakukan pada pilar, dinding, apsis yang dibuat berhiaskan mosaik dan freska Kristiani.[4] Altar dibuat dari batu, di dalamnya terdapat makam seorang martir sebagai gambaran kesaksian iman.[4] Ruang ibadah dibuat menyerupai bahtera yang disebut naos, gereja menghadap ke Timur sebagai pengharapan kedatangan mesias.[4]
Romanesque
Romanesque adalah arsitektur yang berkembang pada tahun 1050 hingga 1200.[4] Bentuk nyata yang umum disebut orang-orang saat ini adalah Katedral.[4] Ciri yang paling menonjol adalah bangunan yang dilengkapi dengan menara tingginya mencapai 100 meter beratap batu, ruang dalam besar bahkan mampu menampung seribu orang, panjangnya mencapai 190 meter, didingnya dipenuhi ukiran dari cerita-cerita Alkitab untuk mendidik jemaat.[4] Bentuk bangunan jika dilihat dari atas tampak berbentuk salib dengan sayap (transep), bahkan ditemuai di Inggris dalam waktu berikutnya, terdapat naos dengan salib ganda."[4] Gaya Romanesque berprototipe dari bangunan-bangunan pemerintah; memamerkan keunggulan politis, motivasi arsitektur gedung umum yang mengakomodasi kebutuhan praktis pengaman.[4] Gaya romanesque lebih menekankan aspek teologis di bagian eksterior.[4]
Gothik/Gothic
Arsitektur Gotik berkembang dari Prancis sekitar abad 13 hingga 16.[4][5] Cirinya dapat kita kenali salah satunya dari seni atap dengan apsis setengah lingkaran, apsis bertudung di jendela dan pintu mulai dibentuh sehingga mempunyai kuncup seperti bawang.[4] Ciri yang lain adalah bangunan dengan konsep yang memberi keleluasaan cahaya dalam gedung gereja, Allah dipahami hadir di mana saja seperti cahaya.[4] Cahaya dihayati sebagai sifat ilahi.[4] Interior gereja dibuat dengan masuknya cahaya matahari secara estetis dengan sebutan struktur diafan, artinya tembus cahaya (diaphanous = jernih, terang, bening).[4] Yang terindah dari sumbangan Gotik terhadap konsep cahaya adalah pemakaian kaca bergambar yang disebut stained glass sebagai pencerahan mistik.[4] Abas Suger (1081-1151) merupakan salah satu penggagas efek kaca pada benda-benda agar kecerlangan dan kesan dirasakan di dalam gereja.[4]
Contoh di Indonesia adalah GPIB Imanuel Jakarta.[4]
Katedral
Arsitektur Katedral adalah karya seni Gereja terbaik dari arsitektur Gotik yang mengalami puncaknya pada abad ke-12.[5] Kata katedral berasal dari bahasa Latin cathedra yang berarti tahta uskup.[5] Katedral juga paling berkembang di Prancis (Utara) dengan ciri-ciri menara tinggi, diding kaca besar, kubah bergaris dan ditopang oleh sayap.[5]
- Katedral di Spanyol bernama Compostela memiliki naos bersayap atau transep sehingga membentuk salib di ujung dekat katedra.[4]
Di Indonesia kita bisa menemui Arsitektur dengan model Katedral di beberapa kota:
- Katedral Santo Franciscus Regis di Bandung yang dibangun pada tahun 1895.[5]
- Katedral Santo Petrus di Bandung yang dibangun pada tahun 1895.[5]
Neo Gotik
Setelah Zaman Gotik, maka disusul zaman Rennaisance Baroque dan Rococo yang melahirkan arsitektur Neo Gotik.[5] Perbedaan utama langgam Noe Gotik dan Gotik adalah kesederhanaan dekorasi bangunan, terlihat dengan tidak adanya ukiran dan patung yang rumit.[5] Neo Gotik adalah perpaduan dari Gotik, Neo Klasik dan Romantisme.[5] Sedangkan pada zaman modern, bentuk Gotik masih digunakan, tetapi lebih praktis.[5] Gereja Katedral di Jakarta adalah salah satu contoh aliran neo-gothik.[4]
Modern
Arsitektur Gereja Jaman Modern semakin berkembang, memiliki pertimbangan-pertimbangan: kegunaan atau utility, kesederhanaan atau simplicity, Keluwesan atau flexibility, Kedekatan intimacydan keindahan atau beauty.[2] Apek teologis dikonsep secara kreatif, konsep teologis filosofis ini dikembangkan secara baru pula.[4] Walau banyak gereja yang bangunannya pragmatis dan terkesan pamer iman.[4] Kreatifitas yang ada pada gereja modern dapat tampil tetap indah dan bernilai tinggi.[4] Contohnya di Indonesia, GKI Serpong-Tangerang, GKJ Nehemia-Lebak Bulus.[4] Di Filipina terdapat Gereja Saint Andrew di Manila, dengan bentuk stupa pada puncaknya menyerupai kemah, stupa mempunyai dua kaki dan di antara itu terbentang atap model apsis.[4]
Konsep teologis yang terdapat pada gereja modern salah satunya adalah keterbukaan gereja terhadap dunia luar, kepedulian gereja terhadap persoalan sosial yang dimasukkan dari refleksi kisah Yesus yang menyaksikan karya Allah yang mengambil rupa seorang hamba.[4] Filipi 2:6-7 mengajak umat untuk tidak ekslusif dari manusia dan dunia luar.[4]
Arsitektur dipahami bukan sekadar sebentuk estetika, melainkan juga keprihatinan sosial. Pertanggungjawaban moral memaksa para arsitek untuk mencari pemecahan yang adil. Pemecahan yang adil dapat berupa menentang pandangan-pandangan utopis yang tidak adil
Aspek Gereja Modern
Arsitektur Gereja dan Alam
Bangunan dan alam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.[7] Heinz frick dalam bukunya Arsitektur dan Lingkungan berpendapat bahwa peredaran dan struktur alam seperti juga perencanaan bionik ekologik merupakan contoh bangunan manusiawi sekaligus bermanfaat ekologik. Inilah cara yang ‘holistik’ menuju bangunan yang manusiawi..[7]
Di Bandung, Gereja Katedral yang masih utuh saat ini juga mengakomodasi unsur alam yang penuh perhitungan.[5] Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker yang mendekorasi bangunan itu mengeksploitasi cahaya matahari dalam mengolah fasad bagunan.[5] Dengan moulding pada eksterior gereja akan menighasilkan efek bayangan dari pergeseran sinar matahari. Selain itu juga mengakomodasi unsur budaya di mana lekuk-lekuk yang mendominasi pada eksteriornya dibuat mirip candi di Jawa dan India.[5]
Arsitektur Gereja dan Budaya
Takenaka berpendapat bahwa setiap gaya bangunan pada sejarahnya merepresentasikan tanggapan gereja akan zamannya.[3] Sebagaimana periode katakomba, basilika, Byzantine, Romanes, Gotic, bahkan gaya kolonial.[3] Seperti gaya arsitektur Gereja di Romania ortodoks, rata-rata Gereja di sana luas, tetapi juga ada yang berukuran kecil, tetapi keduanya sama-sama saling menyesuaikan dengan lingkungan alam. Gereja di Switzerland yang menggunakan simbol ayam jantan sebagai lambang kebangkitan, dan Gereja di Jepang yang memasukkan unsur Shakkei yang artinya “meminjam pemandangan” adalah sebuah model dari arsitektur yang mempertimbangkan budaya dan alamnya.[3] Hal ini menurut Takenaka adalah respon dari Firman Tuhan pada Alkitab 1 dan 2, yaitu dalam hal menguasai dan memeliharanya.[3] Di Indonesia sendiri terdapat Gereja di Blimbingsari yang membuat gerbangnya sebagai undangan naik ke atas (filosofi Himalaya dan Mt. Meru) sebagai adaptasi dari budaya yang erat dengan masyarakat Hindu, atapnya bisa diterobos udara dan sinar matahari sebagai tanda kedekatan dengan alam. Ketenangan Gereja di Legian yang teduh itu sebagai wujud dari pesan pada Ayub 31:32, yakni memberi sambutan kepada para pejalan, atau pelancong.[3]
Referensi
- ^ a b c d Zahnd. Markus., Pendekatan dalam Seni Arsitektur, Yogyakarta: Kanisius 2009 Hlm. 5 Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Zhand" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b James F., Pengantar Ibadah Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia Hlm. 76-117 Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "White" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b c d e f (Inggris)Masao Takenaka., The Place where God Dwells – An Introduction to Church Architecture in Asia, Christian Conference of Asia 1995
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af Rasid Rachman., Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010
- ^ a b c d e f g h i j k l m n Tim Penulis (Abang Winarwan, Johannes Widodo., Ziarah Arsitektur Katedral Bandung St. Petrus Bandung, Bandung: Foris, 2002
- ^ Jean Comby., How to Read Church History Vol. 1., New York: Crossroad Publishing Company, 1989
- ^ a b (Indonesia)Heinz Frick., Arsitektur dan Lingkungan, Yogyakarta: Kanisius