Peternakan

manajemen pemeliharaan dan pengembangbiakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat
Revisi sejak 19 September 2019 08.10 oleh Rahmatdenas (bicara | kontrib) (Menolak perubahan teks terakhir (oleh 157.193.240.113) dan mengembalikan revisi 15582231 oleh HaEr48)

Peternakan adalah kegiatan mengembangbiakkan dan membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dan hasil dari kegiatan tersebut.[1]

Peternakan domba di daerah pegunungan.

Pengertian peternakan tidak terbatas pada pemeliharaaan saja, memelihara dan beternak perbedaannya terletak pada tujuan yang ditetapkan. Tujuan peternakan adalah mencari keuntungan dengan penerapan prinsip-prinsip manajemen pada faktor-faktor produksi yang telah dikombinasikan secara optimal.[1]

Berdasarkan ukuran hewan ternak, bidang peternakan dapat dibagi atas dua golongan, yaitu peternakan hewan besar seperti sapi, kerbau dan kuda, sedang kelompok kedua yaitu peternakan hewan kecil seperti ayam, kelinci dan lain-lain.[2].

Berdasarkan jenisnya, ternak dibagi menjadi ruminansia dan nonruminansia.

Sejarah peternakan

Sistem peternakan diperkirakan telah ada sejak 9.000 SM yang dimulai dengan domestikasi anjing, kambing, dan domba.[3] Peternakan semakin berkembang pada masa Neolitikum, yaitu masa ketika manusia mulai tinggal menetap dalam sebuah perkampungan.[3] Pada masa ini pula, domba dan kambing yang semula hanya diambil hasil dagingnya, mulai dimanfaatkan juga hasil susu dan hasil bulunya (wol).[3] Setelah itu manusia juga memelihara sapi dan kerbau untuk diambil hasil kulit dan hasil susunya serta memanfaatkan tenaganya untuk membajak tanah.[3]Manusia juga mengembangkan peternakan kuda, babi, unta, dan lain-lain.[3]

Ilmu pengetahuan tentang peternakan, diajarkan di banyak universitas dan perguruan tinggi di seluruh dunia.[3]Para siswa belajar disiplin ilmu seperti ilmu gizi, genetika dan budi-daya, atau ilmu reproduksi.[3] Lulusan dari perguruan tinggi ini kemudian aktif sebagai doktor haiwan, farmasi ternak, pengadaan ternak dan industri makanan.[3]

Dengan segala keterbatasan peternak, perlu dikembangkan sebuah sistem peternakan yang berwawasan ekologis, ekonomis, dan berkesinambungan sehingga peternakan industri dan peternakan rakyat dapat mewujudkan ketahanan pangan dan mengantasi kemiskinan.[3]

Aspek-aspek peternakan

Sistem ekstensif dan intensif

Awalnya, peternakan adalah bagian dari kehidupan petani swasembada, dengan tujuan bukan hanya sumber makanan untuk keluarga petani tetapi juga sumber pupuk, pakaian, sarana transportasi, tenaga untuk dimanfaatkan, serta bahan bakar. Awalnya, hewan dimanfaatkan sebisa mungkin selagi hidup untuk menghasilkan telur, susu, wol, bahkan darah (misalnya, oleh suku Maasai), dan memakan hewan itu sendiri bukanlah tujuan utama.[4] Dalam gaya hidup nomaden yang disebut transhumans, manusia dan hewan ternak berpindah antara beberapa kawasan tinggal musiman. Misalnya, di kawasan montane mereka tinggal di gunung pada musim panas dan di lembah pada musim dingin.[5]

Peternakan dapat dilakukan secara ekstensif (di luar) maupun intensif (di kandang). Dalam peternakan ekstensif, hewan dapat berkeliaran, kadang bebas atau kadang diawasi peternak atau penggembala agar dapat dilindungi dari pemangsa. Di Amerika Utara terdapat sistem ranch (Inggris) atau rancho (Spanyol), yaitu lahan besar yang dimiliki umum ataup swasta yang menjadi tempat penggembalaan sapi dalam jumlah besar.[6] Terdapat juga tempat penggembalaan serupa di Amerika Selatan, Australia, atau tempat-tempat lain dengan lahan yang luas dan hujan yang sedikit. Selain untuk sapi, sistem ini dapat digunakan untuk domba, rusa, burung unta, llama, dan alpaka.[7]

Di kawasan tinggi Britania Raya, domba-domba dibawa ke atas pegunungan pada musim semi dan dibiarkan bebas memakan rumput, kemudian dibawa turun mendekati akhir tahun dan diberi makanan tambahan pada musim dingin.[8] Di daerah pedesaan, ternak seperti unggas dan babi dapat hidup dengan mencari sisa-sisa makanan. Di beberapa komunitas Afrika, ayam dapat hidup berbulan-bulan tanpa diberi makan dan masih menghasilkan satu atau dua telur per pekan.[4]

Di sisi lain, hewan juga sering diternakkan secara intensif terutama di negara-negara maju yang menerapkan peternakan pabrik. Sapi perah dikandangkan dan makanannya dibawakan dari luar, sapi potong digemukkan di kandang-kandang khusus dengan kepadatan tinggi.[9] Babi dipelihara di bangunan yang suhunya dikendalikan, dan selama hidupnya tidak pernah berada di luar ruangan.[10] Hewan unggas dipelihara di kandang dan jeruji di dalam ruangan yang penerangannya dikendalikan.

Di antara dua sisi ini ada juga peternakan semi-intensif, yaitu campuran antara peternakan intensif dan ekstensif. Contohnya adalah peternakan keluarga yang hewannya berganti antara memakan dari alam dan memakan pakan yang disiapkan peternak. Kadang hal ini terjadi secara musiman, hewan ternak dibiarkan makan di luar hampir sepanjang tahun, tetapi saat rumput sudah tidak tumbuh lagi hewan diberi makan jerami, pakan, atau bahan-bahan lain yang dibawa dari luar.[11]

Pakan ternak

Kebanyakan hewan ternak adalah herbivor atau pemakan tumbuhan; hewan ternak yang omnivor di antaranya ayam atau babi. Hewan-hewan herbivora ada yang pemakan rumput (seperti sapi), pemakan bahan bernutrisi tinggi seperti biji, buah, dan daun muda, serta pemakan berbagai macam bagian tumbuhan (seperti kambing). Selain itu, beberapa hewan ternak dapat digolongkan sebagai ruminansia atau pemamah biak, seperti sapi, domba, dan kambing. Hewan-hewan ini mencerna makanannya dua kali; pertama dengan mengunyah dan menelan normal, lalu memuntahkannya dalam bentuk mamahan untuk dikunyah lagi, sehingga dapat memaksimalkan gizi yang diserap.[12] Kebutuhan gizi hewan memamah biak dapat dipenuhi sebagian besar dengan memakan rumput. Rumput dapat tumbuh dari pangkalnya, sehingga walaupun banyak dimakan tetap hidup dan tumbuh lagi.[13]

Dalam iklim tertentu, rumput hanya tumbuh dalam sebagian waktu dalam setahun, misalnya hanya dalam musim panas atau dalam musim hujan, sehingga rumput dipangkas dan disimpan untuk kemudian hari, misalnya dalam bentuk jerami (rumput kering) atau silase (rumput terfermentasi).[14] Tanaman hijauan lain juga dapat ditanam dan disimpan sebagai tambahan makanan untuk musim yang minim tumbuhan.[15]

Hewan dalam sistem ekstensif dapat memenuhi nutrisinya hanya dari alam, tetapi hewan ternak intensif biasanya membutuhkan tambahan makanan kaya energi dan protein. Energi biasanya didapat dari serealia seperti padi atau jagung (maupun produk olahannya), lemak, minyak, dan makanan kaya gula. Protein berasal dari pakan berbahan ikan atau daging, produk susu, kacang-kacangan, atau bahan olahan dari tumbuhan.[16] Hewan yang bukan pemamah biak seperti unggas atau babi tidak dapat mencerna selulosa yang ada di rumput, sehingga harus diberi pakan lain, misalnya dari serealia. Pakan ternak dapat ditanam di tempat peternakan ataupun dibeli dalam bentuk produk yang kadang dikhususkan sesuai jenis hewan, masa pertumbuhan, atau kebutuhan gizi khusus. Vitamin dan mineral dapat ditambahkan agar pakan menjadi seimbang.[17]

Pemuliaan ternak

Perkembangbiakan hewan ternak sering tidak terjadi secara spontan tetapi dikendalikan oleh peternak yang ingin agar keturunannya memiliki sifat-sifat tertentu. Contoh sifat yang sering diinginkan adalah ketahanan, kesuburan, kemampuan mengasuh anak, kecepatan tumbuh, konsumsi pakan yang efisien, proporsi tubuh ideal dan kejinakan. Untuk hewan yang diambil produknya (seperti susu atau wol), keunggulan kuantitas dan kualitas produksi juga merupakan sifat yang diinginkan. Selain itu, peternak menghindari sifat-sifat yang tidak diinginkan seperti penyakit atau perilaku agresif.[18][19]

Pemuliaan ternak, yaitu pengembangbiakan ternak untuk mencari sifat yang diinginkan, berperan meningkatkan produksi ternak dengan tajam. Pada 2007, berat ayam pedaging berumur delapan pekan umumnya mencapai 4,8 berat hewan yang sama pada tahun 1957.[18] Dalam waktu 30 tahun hingga 2007, produksi susu sapi di Amerika Serikat meningkat hampir dua kali lipat.[18]

Kesehatan ternak

Faktor penting dalam kesehatan hewan ternak adalah perawatan yang baik, makanan yang tepat serta penjagaan kebersihan. Secara ekonomi, upaya menjaga kesehatan ternak akan menghasilkan keuntungan berupa produksi yang lebih optimal. Jika ternak terkena penyakit, ilmu kedokteran hewan dapat digunakan untuk mengobatinya, baik oleh peternak sendiri ataupun oleh dokter hewan. Di beberapa negara, seperti di Uni Eropa, ketika peternak mengobati ternaknya sendiri, mereka tetap diwajibkan mengikuti aturan yang ada dan mencatat tindakan yang diberikan.[20] Terdapat penyakit yang umum menjangkit hewan ternak. Sebagian hanya menjangkit hewan tertentu, misalnya penyakit kolera babi yang hanya menjangkit babi,[21] atau penyakit mulut dan kuku yang menjangkit berbagai hewan berkuku belah.[22]

Dalam kondisi parah, pemerintah dapat melakukan tindakan dengan membatasi impor atau ekspor, membatasi perpindahan ternak, menerapkan karantina, serta mewajibkan laporan dugaan penyakit. Sebagian penyakit dapat dicegah dengan vaksinasi, dan sebagian dapat diobati dengan antibiotik. Antibiotik pernah ditambahkan ke pakan untuk membantu pertumbuhan, tetapi praktik ini kini dihindari di banyak negara karena meningkatkan risiko resistansi antibiotik.[23]

Hewan dalam sistem peternakan intensif memiliki risiko tinggi terhadap parasit, baik parasit internal maupun eksternal. Contohnya, kutu laut banyak menjangkiti ikan salmon yang diternakkan secara intensif di Skotlandia.[24] Mengurangi atau memberantas parasit pada hewan ternak dapat meningkatkan produktivitas dan keuntungan.[25]

Sebagian penyakit, disebut zoonosis, dapat menular dari hewan ke manusia. Kadang penyakit ini berasal dari hewan liar yang menularkan penyakitnya ke hewan ternak yang memiliki keamanan biologi rendah. Menjangkitnya infeksi virus Nipah di Malaysia pada 1999 berasal dari babi yang mengalami kontak dengan kalong beserta kotoran dan urinnya. Babi ini terkena penyakit yang kemudian menular ke manusia.[26] Penyakit flu burung H5N1 berasal dari populasi burung liar dan dapat menyebar jarak jauh melalui migrasi burung. Virus ini mudah menyebar ke unggas ternak, dan ke manusia yang hidup dekat unggas tersebut. Penyakit-penyakit lain yang dapat menular ke manusia dari hewan ternak maupun liar adalah rabies, leptospirosis, bruselosis, tuberkulosis, dan trikinosis.[27]

Macam-macam hewan ternak

Tidak ada definisi universal yang menentukan hewan apa saja yang dianggap hewan ternak. Berbagai pihak memiliki definisi masing-masing, contohnya pemerintah Indonesia mendefinisikannya sebagai "Hewan piaraan, yang hidupnya yakni mengenal tempatnya, makanannya dan perkembang-biakannya serta manfaatnya, diatur dan diawasi oleh manusia, dipelihara khusus sebagai penghasil bahan-bahan dan jasa-jasa yang berguna bagi kepentingan hidup manusia" dalam Undang-Undang No. 6/1967.[28] Hewan yang hampir selalu dianggap hewan ternak di antaranya sapi (termasuk sapi potong dan perah), kambing, domba, dan unggas (seperti ayam dan itik). Kuda kadang dianggap hewan ternak juga,[29] sedangkan beberapa burung unggas kadang tidak dianggap hewan ternak. Beberapa hewan ternak hanya ada di bagian dunia tertentu, misalnya kerbau atau anggota familia unta di Amerika Selatan seperti llama dan alpaka.[30][31][32] Definisi yang lebih luas lagi juga mencakup peternakan ikan, hewan-hewan kecil seperti kelinci dan tikus belanda, maupun lebah madu dan serangga yang dipelihara untuk dimakan.[33]

Hasil

Hasil utama peternakan di antaranya daging, susu, dan telur, yang menjadi makanan untuk manusia. Hasil peternakan juga dapat dimanfaatkan industri, misalnya wol (untuk pakaian), kulit (untuk sepatu, tas, dan sebagainya), bulu, dan lemak (untuk sabun, mentega).[34] Tulang, tanduk, kuku, dan usus pun dapat digunakan untuk berbagai keperluan.[35] Kotoran hewan dapat digunakan sebagai sumber pupuk, sehingga mengembalikan sebagian mineral dan bahan organik yang dikonsumsi hewan ternak ke sistem dan membantu menumbuhkan kembali makanannya sendiri.[36] Tenaga hewan juga dapat dimanfaatkan, misalnya kuda sebagai sarana transportasi dan kerbau untuk membajak (terutama di negara yang belum banyak menggunakan mesin).[35] Hewan ternak juga dapat digunakan dalam kegiatan rekreasi, misalnya karapan sapi di Madura dan pacu jawi di Tanah Datar.[37] Ada juga hewan ternak yang dipelihara untuk tujuan khusus, misalnya menghasilkan vaksin dan antiserum (yang mengandung antibodi) untuk tujuan pengobatan.[38][39]

Jenis-jenis

Peternakan potong

Peternakan potong menghasilkan daging, yang merupakan salah satu sumber utama protein di seluruh dunia. Rata-rata 8% dari kebutuhan energi manusia berasal dari daging. Jenis hewan yang dimakan tergantung pada preferensi dan kebiasaan setempat, ketersediaan, biaya, dan faktor-faktor lainnya. Sapi, kambing, domba, dan babi adalah spesies-spesies yang paling banyak diternakkan untuk dagingnya. Hewan-hewan ini memiliki kecepatan berkembang-biak yang berbeda. Sapi biasanya hanya melahirkan satu anak dan membutuhkan lebih dari setahun untuk dewasa; kambing dan domba sering memiliki anak kembar dan dapat disembelih sebelum umur satu tahun; babi adalah hewan yang sangat subur dan tiap tahun dapat menghasilkan hingga 11 anak.[40][41] Di kawasan tertentu, kuda, keledai, rusa, kerbau, llama, dan alpaka juga diternakkan untuk diambil dagingnya. Sifat yang diinginkan dari hewan-hewan ternak potong diantaranya kesuburan, ketahanan, kecepatan tumbuh, kemudahan pemeliharaan, dan efisiensi konversi makanan (tingginya hasil daging per pakan yang diberikan). Sekitar setengah dari daging di dunia dihasilkan dari hewan yang dibiarkan bebas di padang rumput atau kandang yang cukup luas, sedangkan setengahnya lagi dihasilkan dari peternakan intensif dengan sistem pabrik, terutama daging sapi, ayam, dan babi. Dalam sistem intensif, hewan-hewan ini dipelihara dalam ruangan dengan kepadatan tinggi.[42]

Peternakan perah

Semua mamalia menghasilkan susu untuk anak-anaknya, tetapi sapi adalah hewan utama yang dijadikan sumber susu untuk konsumsi manusia. Hewan lain juga diambil susunya di berbagai kawasan dunia, termasuk kambing, domba, unta, kerbau, kuda, dan keledai.[43] Hewan-hewan ternak perah telah didomestikasi dari habitat liarnya sejak lama, sehingga telah terjadi banyak pemuliaan sehingga memiliki sifat-sifat seperti kesuburan, produktivitas susu, kejinakan, dan kemampuan hidup di kondisi setempat.[44] Awalnya, dan kini masih dilakukan di berbagai peternakan tradisional, sapi memiliki berbagai fungsi sekaligus. Sapi tidak hanya dipelihara untuk diperah tetapi juga sebagai sumber tenaga (untuk menarik kendaraaan atau membajak sawah), kotorannya digunakan untuk menyuburkan tanah, dan menghasilkan produk lain seperti daging, kulit, atau rambutnya yang dapat dicukur dan dipintal.[43] Dalam peternakan modern, melalui pemuliaan muncul tipe-tepi sapi perah yang menghasilkan susu dalam jumlah sangat besar, seperti ras sapi holstein yang dikenal sangat ekonomis. Peternak dapat melakukan inseminasi buatan untuk mengawinkan hewan-hewan untuk menghasilkan keturunan unggul atau cocok dengan kondisi peternak.[44] Kambing dan domba kadang juga diternakkan untuk menghasilkan susu jika iklim atau kondisi setempat tidak memungkinkan peternakan sapi perah.[43]

Pada zaman modern, tren peternakan perah menunjukkan peralihan dari sistem peternakan keluarga menjadi peternakan besar yang intensif. Dalam peternakan keluarga yang kini mulai ditinggalkan, sapinya makan dari padang rumput dan hanya dibawakan makanan saat musim dingin atau kering. Dalam sistem intensif, sapi dipelihara dalam jumlah besar, hidup di dalam bangunan, dan makanannya dibawakan sepanjang tahun tanpa diberi kesempatan merumput.[45]

Peternakan unggas

Hewan-hewan unggas, seperti ayam, bebek, angsa, dan kalkun diternakkan untuk dagingnya dan telurnya. Ayam adalah hewan utama yang diternakkan untuk telurnya. Metode peternakan unggas bervariasi dari sistem ekstensif yang membebaskan unggas-unggas berkeliaran dan hanya dikandangkan pada malam hari demi keamanan, atau sistem semi-intensif yang memelihara unggas di kandang besar atau pagar yang masih memungkinkan unggas tersebut bergerak atau bertengger, hingga sistem intensif yang memelihara unggas dalam kerangkeng. Salah satu metode yang digunakan dalam peternakan intensif adalah sistem kandang baterai, tempat unggas dikandangkan dalam kerangkeng sempit bertingkat-tingkat dengan sistem khusus untuk memberi makan, minum, dan mengambil telur. Secara ekonomi, metode ini memiliki produksi telur tinggi dan hemat tenaga kerja, tetapi banyak dikritik oleh para pengusung kesejahteraan hewan karena unggas dalam sistem ini tidak dapat mengikuti gaya hidup alamiahnya.[46]

Di negara-negara maju, ayam potong pun sebagian besar dipelihara di dalam ruangan, menggunakan kandang-kandang besar dengan kondisi yang diatur ketat menggunakan peralatan otomatis. Ayam broiler atau ayam ras pedaging biasanya dipelihara dengan cara ini, dan melalui budidaya genetis hewan ini dapat siap potong dalam umur enam atau tujuh pekan. Dalam sistem ini, ayam yang baru menetas dikurung dalam tempat kecil dan diberikan pemanas buatan. Kotoran mereka diserap oleh alas kandang dan tempatnya diperluas seiring tumbuhnya ayam-ayam ini. Pakan dan minuman diberikan secara otomatis dan penerangan dikendalikan secara ketat. Ayam dapat diambil dan disembelih dalam beberapa tahap, atau satu kandang dapat "dibersihkan" secara serentak.[47]

Sistem pemeliharaan serupa juga digunakan untuk kalkun, tetapi kalkun tidak beradaptasi dengan lingkungan ini semudah ayam. Kalkun juga butuh waktu lebih lama untuk tumbuh dan sering dipindahkan ke fasilitas khusus agar menggemuk.[48] Bebek adalah unggas populer di Asia dan Australia, dan dengan sistem komersial dapat dipotong saat berumur tujuh pekan.[49].

Budi daya perairan

Budi daya perairan atau akuakultur dapat meliputi berbagai hewan air (ikan, udang, tiram, dan sebagainya) atau tumbuhan air (misal alga) dengan melibatkan campur tangan manusia untuk pembibitan, pemberian makanan, peningkatan produksi, perlindungan dari predator, dan lain-lain.[50] Budi daya perairan juga melibatkan kepemilikan perorangan atau perusahaan terhadap hewan atau tumbuhan yang dibudidayakan. Dalam prakteknya, budi daya perairan dapat dilakukan di laut ataupun air tawar, dan dapat bersifat ekstensif maupun intensif. Budi daya ekstensif dapat dilakukan di suatu teluk, danau, atau kolam, sedangkan budi daya intensif dapat melibatkan tangki, kerangkeng, jaring, atau karang buatan. Ikan dan udang dapat dibudidayakan di sawah, baik melalui pembibitan atau datang sendiri, sehingga memberi hasil tambahan untuk petani.[51]

Bibit dapat dihasilkan di mesin tetas yang menghasilkan ikan, udang, atau tiram muda yang kemudian dipelihara. Bibit tersebut kemudian dipindahkan ke tangki khusus ketika cukup besar, dan dijual ke pembudi daya ikan untuk diperlihara hingga lebih besar lagi. Spesies yang banyak menggunakan pembibitan di mesin tetas di antaranya udang, ikan salmon, ikan nila, tiram, dan kerang. Fasilitas pembibitan serupa dapat dilakukan untuk memelihara hewan yang akan dibebaskan ke alam, atau mengisi perairan yang digunakan untuk memancing. Aspek peternakan yang penting dalam proses pembibitan di antaranya pemilihan bibit, pengendalian kualitas air, dan pemberian makanan. Di alam, hewan air memiliki tingkat kematian tinggi di usia muda. Tujuan budi daya bibit adalah mengurangi risiko kematian dan memaksimalkan kecepatan pertumbuhan.[52]

Peternakan serangga

Lebah telah dipelihara di sarang lebah buatan sejak masa Dinasti Pertama Mesir Kuno, kira-kira lima ribu tahun yang lalu.[53] Sebelum itu, manusia telah lama mengambil madu dari lebah liar. Sarang buatan dapat dibuat dari berbagai bahan yang ada di berbagai kawasan dunia.[54] Di negara-negara berkembang, budi daya lebah telah menghasilkan jenis lebah yang jinak dan berproduksi tinggi, dan sarang lebah dirancang khusus untuk memudahkan pengambilan madu. Selain menghasilkan madu dan lilin, lebah juga dipelihara dan disalurkan untuk membantu penyerbukan tanaman pertanian maupun tanaman liar.[55]

Peternakan ulat sutra, atau serikultur, telah ada paling tidak sejak Dinasti Shang di Tiongkok.[56] Bombyx mori adalah satu-satunya spesies yang dapat diternakkan secara komersial. Hewan ini menghasilkan benang sutera yang panjang dan tipis saat larvanya membentuk kepompong. Ulat ini memakan daun murbei dan hal ini berarti hanya satu generasi dapat tumbuh per tahun karena tumbuhan ini bersifat musiman. Dua generasi per tahun dapat tumbuh di Tiongkok, Korea, atau Jepang, dan lebih banyak lagi dapat tumbuh di daerah tropis. Saat ini, kebanyakan produksi sutra terjadi di daerah Asia Timur, dan di Jepang pakan sintesis digunakan untuk menumbuhkan ulat sutra.[57]

Berbagai serangga menjadi bahan makanan dalam beberapa budaya.[58] Di Thailand bagian utara, jangkrik diternakkan untuk menjadi makanan sedangkan di bagian selatan negara tersebut ulat sagu diternakkan untuk tujuan serupa. Jangkrik dipelihara di kandang atau kotak dan diberi pakan komersial, sedangkan ulat sagu memakan batang sagu sehingga hanya bisa diternakkan jika tumbuhan tersebut tersedia.[59]

Dampak peternakan

Bagi lingkungan

Peternakan memiliki pengaruh besar bagi lingkungan. Peternakan membutuhkan air sebesar 20% hingga 33% konsumsi air tawar dunia,[60] dan pemeliharaan ternak atau makanan ternak menggunakan sepertiga daratan dunia yang tidak tertutup es.[61] Peternakan menjadi salah satu faktor penyebab kepunahan spesies, penggersangan tanah,[62] dan kerusakan habitat.[63] Peternakan terkait dengan kepunahan spesies melalui beberapa hal. Pembukaan lahan untuk peternakan atau menumbuhkan makanan ternak sering dilakukan dengan cara menebang hutan dan merusak habitat, dan diiringi perburuan terhadap predator atau herbivora yang dianggap mengganggu. Misalnya, peternakan diperkirakan menyebabkan hingga 91% dari seluruh penggundulan hutan di kawasan hutan Amazon..[64] Peternakan juga menghasilkan gas rumah kaca, misalnya sapi menghasilkan sekitar 570 juta meter kubik gas metana (CH4) per hari,[65] yang merupakan 35%–40% dari seluruh emisi metana di bumi.[66] Secara keseluruhan, hewan ternak adalah penyebab 65% emisi gas dinitrogen monoksida (N2O) yang terkait manusia.[66] Alhasil, sebagian pihak mencoba meneliti cara mengurangi efek lingkungan dari peternakan. Strategi yang mulai diajukan di antaranya penggunaan biogas sebagai bahan bakar.[67]

Bagi kesejahteraan hewan

Sejak abad ke-18, mulai muncul kekhawatiran tentang kesejahteraan hewan ternak. Faktor-faktor yang dijadikan tolok ukur kesejahteraan hewan adalah umur, perilaku, fungsi hidup (fisiologi), reproduksi, kebebasan dari penyakit, dan kebebasan dari imunosupresi. Di berbagai belahan dunia muncul standar dan hukum untuk menjamin kesejahteraan hewan. Di Dunia Barat, standar yang berlaku biasanya sesuai dengan prinsip utilitarianisme, yang menganggap peternakan adalah hal yang dapat diterima secara moral asalkan tidak ada penderitaan yang tak perlu, dan manfaat untuk manusia melebihi mudarat untuk hewan ternak. Selain utilitarianisme, ada pula paham yang menganggap hewan memiliki hak asasi. Menurut paham ini, hewan tidak boleh dijadikan hak milik, dan manusia sebenarnya tidak perlu dan tidak boleh memanfaatkannya untuk tujuan sendiri.[68][69][70][71][72]

Dalam budaya

Hewan ternak banyak muncul dalam buku, cerita, dan lagu anak-anak di seluruh dunia. Namun, realitas peternakan sering diubah atau diperlunak sehingga kehidupan di peternakan yang diketahui anak-anak seringkali merupakan fiksi yang benar-benar lepas dari kenyataan. Banyak kisah anak-anak menggambarkan hewan ternak seperti manusia, seperti mengenakan pakaian, memiliki rumah, berjalan tegak, dan melakukan aktivitas layaknya manusia. Kisah-kisah ini juga sering menggambarkan hewan-hewan tersebut bebas berkeliaran di negeri pedesaan yang indah, walaupun gambaran ini tidak sesuai dengan perlakuan terhadap hewan dalam peternakan intensif modern hewan ternak.[73]

Lagu Bahasa Inggris "Old MacDonald Had a Farm" (yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa) menceritakan petani bernama MacDonald yang memiliki berbagai hewan ternak; lagu ini menyanyikan bunyi khas setiap hewan tersebut.[74] Contoh hewan ternak dalam fiksi anak-anak dunia adalah babi, yang muncul di buku anak-anak Inggris oleh Beatrix Potter, atau sebagai Piglet di kisah Winnie the Pooh tulisan A. A. Milne. Beberapa cerita, seperti The Sheep-Pig oleh Dick King-Smith atau Charlotte's Web oleh E. B. White, memberikan sedikit bayangan bahwa babi-babi ini akan dipotong.[75] Secara umum, dalam literatur dunia babi sering menjadi "pembawa keceriaan, kejenakaan, dan keluguan".[73]

Di beberapa daerah perkotaan anak-anak sering tidak pernah melihat hewan ternak secara langsung, sehingga muncul "taman sentuh", "peternakan interaktif", atau "kebun binatang" khusus yang memungkinkan anak-anak berinteraksi dengan hewan ternak yang masih hidup dan menyentuhnya. Di Britania Raya, sekitar lima juta orang mengunjungi taman atau daerah peternakan seperti ini setiap tahunnya. Tempat seperti ini berisiko meyebebkan infeksi, terutama jika anak memegang hewan ternak lalu tidak mencuci tangan; infeksi bakteri Escherichia coli pernah menjangkit 93 orang pengunjung sebuah peternakan interaktif di Britania pada tahun 2009.[76] Di Amerika Serikat, pengunjung dapat menginap di lahan pertanian dan peternakan bersejarah yang sengaja direstorasi untuk tujuan ini. Tempat seperti ini sering menyediakan pengalaman seperti cerita-cerita peternakan masa lalu sebelum zaman industri, dan disindir oleh majalah daring Modern Farmer sebagai "versi pertanian yang benar-benar dikuratori untuk mereka yang mau bayar".[77]

Tujuan

Suatu usaha agribisnis seperti peternakan harus mempunyai tujuan, yang berguna sebagai evaluasi kegiatan yang dilakukan selama beternak salah atau benar [78] Contoh tujuan peternakan yaitu tujuan komersial sebagai cara memperoleh keuntungan.[78] Bila tujuan ini yang ditetapkan maka segala prinsip ekonomi perusahaan, ekonomi mikro dan makro, konsep akuntansi dan manajemen harus diterapkan.[79] Namun apabila peternakan dibuka untuk tujuan pemanfaatan sumber daya, misalnya tanah atau untuk mengisi waktu luang tujuan utama memang bukan merupakan aspek komersial, namun harus tetap mengharapkan modal yang ditanamkan dapat kembali.[79]

Manfaat dan hasil beternak

Manfaat yang dapat diambil dari usaha beternak kambing selain diambil hasil dagingnya, kambing dapat diambil hasil kulitnya, kotorannya dapat dimaanfaatkan untuk pupuk dan hasil tulangnya juga dimanfaatkan.[80] [80] Bahkan jenis-jenis kambing tertentu dapat dimbil hasil susunya, hasil bulunya untuk bahan kain wol.[80].

Manfaat yang dapat diambil dari usaha beternak lebah Apis mellifera yang bibit awalnya didatangkan dari Australia adalah jasanya untuk polinasi (penyerbukan) tanaman, banyak pemilik perkebunan di luar Indonesia yang menyewa koloni lebah dari peternak untuk melakukan penyerbukan tanaman di perkebunannya.[81] Perkebunan yang sering menyewa koloni lebah adalah perkebunan apel.[81]

Beternak kelinci juga banyak memiliki manfaat, diantaranya yaitu daging yang dapat diambil untuk menambah gizi keluarga, penambah penghasilan keluarga, kulit kelinci dapat dijual untuk bahan industri, kotoran serta air kencingnya dapat kita jual untuk dijadikan pupuk tanaman serta untuk bahan bakar biogas.[82]

Manajemen pemeliharaan ternak diperkenalkan sebagai upaya untuk dapat memberikan keuntungan yang optimal bagi pemilik peternakan.[83] Dalam manajemen pemeliharaan ternak dipelajari, antara lain: Seleksi Bibit, Pakan, Kandang, Sistem Perkawinan, Kesehatan Hewan, Tata Laksana Pemeliharaan dan Pemasaran.[83] Pakan yang berkualitas baik atau mengandung gizi yang cukup akan berpengaruh baik terhadap yaitu tumbuh sehat, cepat gemuk, berkembangbiak dengan baik, jumlah ternak yang mati atau sakit akan berkurang, serta jumlah anak yang lahir dan hidup sampai disapih meningkat. Singkatnya, pakan dapat menentukan kualitas ternak.[84] Selain itu berdasarkan penelitian, hasil dari kualitas pupuk dari ternak potong dengan ternak perah berbeda.[85] Ternak yang diberi makanan bermutu (seperti ternak perah)akan menghasilkan pupuk yang berkualitas baik, sebaliknya ternak yang makanannya kurang baik juga akan menghasilkan pupuk yang kualitasnya rendah.[85]

Cara beternak khas di daerah Indonesia

Setiap daerah memiliki budaya ternak sendiri, budaya Timor Tengah Selatan, dalam hal pemeliharaan ternak, umumnya penduduk yang diteliti masih memiliki kecendrungan untuk melepas saja hewan-hewan ternak peliharaan mereka dipadang rumput pada siang hari.[86] Begitu pula di Maluku, bidang peternakan belum menjadi sebuah bidang yang ditekuni oleh masyarakat.[87] Yang ada hanyalah peternakan-peternakan biasa tanpa adanya suatu sistem tertentu.[87] Pada umumnya jenis-jenis hewan ternak yang dipelihara, diantaranya adalah: kambing, ayam dan itik. Hewan-hewan ini dibiarkan bebas berkeliaran tanpa kandang.[87] Di Lampung, hewan-hewan ternak dibiarkan bebas berkeliaran, dan setelah beberapa tahun kemudian, mereka ditangkap dan dimasukkan kedalam kandang, dihitung jumlahnya dan diberi tanda milik pada tubuhnya.[88]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Rasyaf M. 1994. Manajemen Peternakan Ayam Kampung. Yogyakarta: Kanisius.
  2. ^ Sayuti A. 2006. Geografi budaya dalam wilayah pembangunan daerah Sumatra Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
  3. ^ a b c d e f g h i Situs Infoternak
  4. ^ a b Webster, John (2013). Animal Husbandry Regained: The Place of Farm Animals in Sustainable Agriculture. Routledge. hlm. 4–10. ISBN 978-1-84971-420-4. 
  5. ^ Blench, Roger (17 May 2001). 'You can't go home again' – Pastoralism in the new millennium (PDF). London, UK: Overseas Development Institute. hlm. 12. 
  6. ^ Starrs, Paul F. (2000). Let the Cowboy Ride: Cattle Ranching in the American West. JHU Press. hlm. 1–2. ISBN 978-0-8018-6351-6. 
  7. ^ Levinson, David; Christensen, Karen (2003). Encyclopedia of Community: From the Village to the Virtual World. Sage. hlm. 1139. ISBN 978-0-7619-2598-9. 
  8. ^ Rebanks, James (2015). The Shepherd's Life. Penguin: Random House. hlm. 286. ISBN 978-0-14-197936-6. 
  9. ^ Silbergeld, Ellen K; Graham, Jay; Price, Lance B (2008). "Industrial food animal production, antimicrobial resistance, and human health". Annual Review of Public Health. 29: 151–69. doi:10.1146/annurev.publhealth.29.020907.090904. PMID 18348709. 
  10. ^ Meyer, Vernon M.; Driggers, L. Bynum; Ernest, Kenneth; Ernest, Debra. "Swine Growing-Finishing Units" (PDF). Pork Industry handbook. Purdue University Cooperative Extension Service. Diakses tanggal 17 May 2017. 
  11. ^ Blount, W.P. (2013). Intensive Livestock Farming. Elsevier. hlm. 360–62. ISBN 978-1-4831-9565-0. 
  12. ^ Dryden, Gordon McL. (2008). Animal Nutrition Science. CABI. hlm. 1–3. ISBN 978-1-78064-056-3. 
  13. ^ Attenborough, David (1984). The Living Planet. British Broadcasting Corporation. hlm. 113–14. ISBN 978-0-563-20207-3. 
  14. ^ United States Agricultural Research Service. Animal Husbandry Research Division (1959). Hay crop silage. 
  15. ^ Jianxin, Liu; Jun, Guo. "Ensiling crop residues". Animal production based on crop residues. FAO. Diakses tanggal 18 May 2017. 
  16. ^ Dryden, Gordon McL. (2008). Animal Nutrition Science. CABI. hlm. 16–19. ISBN 978-1-84593-412-5. 
  17. ^ "What farm animals eat". Food Standards Agency. Diakses tanggal 18 May 2017. 
  18. ^ a b c Turner, Jacky (2010). Animal Breeding, Welfare and Society. Routledge. hlm. Introduction. ISBN 978-1-136-54187-2. 
  19. ^ Jarman, M.R.; Clark, Grahame; Grigson, Caroline; Uerpmann, H.P.; Ryder, M.L. (1976). "Early Animal Husbandry". Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Series B. 275 (936): 85–97. Bibcode:1976RSPTB.275...85J. doi:10.1098/rstb.1976.0072. 
  20. ^ "Farmers". European Platform for the Responsible Use of Medicines in Animals. 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 May 2017. Diakses tanggal 18 May 2017. 
  21. ^ "Classical swine fever" (PDF). The Center for Food Security and Public Health. Diakses tanggal 20 May 2017. 
  22. ^ "Foot-and-mouth". The Cattle Site. Diakses tanggal 20 May 2017. 
  23. ^ "feed (agriculture) | Antibiotics and other growth stimulants". Britannica.com. Diakses tanggal 29 April 2018. 
  24. ^ Fraser, Douglas (14 February 2017). "Scottish salmon farming's sea lice 'crisis'". BBC. Diakses tanggal 20 May 2017. 
  25. ^ "Parasite control". Animal Health Ireland. Diakses tanggal 20 May 2017. 
  26. ^ Chua, K.B.; Chua, B.H.; Wang, C.W. (2002). "Anthropogenic deforestation, El Niño and the emergence of Nipah virus in Malaysia". The Malaysian Journal of Pathology. 24 (1): 15–21. PMID 16329551. 
  27. ^ Norrgren, Leif; Levengood, Jeffrey M. (2012). Ecology and Animal Health. Baltic University Press. hlm. 103–04. ISBN 978-91-86189-12-9. 
  28. ^ Ni Made Ayu Gemuh Rasa Astiti (2018). Pengantar Ilmu Peternakan (PDF). Denpasar: Penerbit Universitas Warmadewa. hlm. 1. 
  29. ^ "Welcome to Equine Research, Education, and Outreach". University of Kentucky. Diakses tanggal 18 August 2017. 
  30. ^ Ferguson, W.; Ademosun, A.A.; von Kaufmann, R.; Hoste, C.; Rains, A. Blair. "5. Livestock resources and management". Food and Agriculture Organization. Diakses tanggal 24 May 2017. 
  31. ^ "Livestock Species". Texas A&M University Department of Agriculture and Life Sciences. Diakses tanggal 24 May 2017. 
  32. ^ Steinfeld, H.; Mäki-Hokkonen, J. "A classification of livestock production systems". Food and Agriculture Organization. Diakses tanggal 24 May 2017. 
  33. ^ Myers, Melvin L. "Chapter 70 – Livestock Rearing". Encyclopaedia of Occupational Health and Safety. Diakses tanggal 24 May 2017. 
  34. ^ Ni Made Ayu Gemuh Rasa Astiti 2018, hlm. 133–135.
  35. ^ a b Ni Made Ayu Gemuh Rasa Astiti 2018, hlm. 135.
  36. ^ Godinho, Denise. "Animal Husbandry in Organic Agriculture". Food and Agriculture Organization. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-18. Diakses tanggal 25 May 2017. 
  37. ^ Ni Made Ayu Gemuh Rasa Astiti 2018, hlm. 140.
  38. ^ Bae, K.; Choi, J.; Jang, Y.; Ahn, S.; Hur, B. (2009). "Innovative vaccine production technologies: the evolution and value of vaccine production technologies". Arch Pharm Res. 32 (4): 465–80. doi:10.1007/s12272-009-1400-1. PMID 19407962. 
  39. ^ Leenaars, Marlies; Hendriksen, Coenraad F.M. (2005). "Critical Steps in the Production of Polyclonal and Monoclonal Antibodies: Evaluation and Recommendations". ILAR Journal. 46 (3): 269–79. doi:10.1093/ilar.46.3.269. PMID 15953834. 
  40. ^ Aherne, Frank; Kirkwood, Roy (16 February 2001). "Factors Affecting Litter Size". The Pig Site. 
  41. ^ Gregory, Neville G.; Grandin, Temple (2007). Animal Welfare and Meat Production. CABI. hlm. 1–2. ISBN 978-1-84593-216-9. 
  42. ^ Miller, G. Tyler; Spoolman, Scott (2014). Sustaining the Earth. Cengage Learning. hlm. 138. ISBN 978-1-285-76949-3. 
  43. ^ a b c "Dairy animals". Dairy production and products. FAO. Diakses tanggal 23 May 2017. 
  44. ^ a b "Breeding". Dairy production and products. FAO. Diakses tanggal 23 May 2017. 
  45. ^ "Housing in a zero grazing system" (PDF). Republic of Kenya: Ministry of Livestock Development. Diakses tanggal 5 June 2017. 
  46. ^ "About egg laying hens". Compassion in World Farming. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  47. ^ "Growing meat chickens". Australian Chicken Meat Federation. 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-15. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  48. ^ Sherwin, C.M. (2010). "Turkeys: Behavior, Management and Well-Being". In The Encyclopaedia of Animal Science. Wilson G. Pond and Alan W. Bell (Eds). Marcel Dekker. pp. 847–49
  49. ^ "Duck". Poultry Hub. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  50. ^ "Global Aquaculture Production". Fishery Statistical Collections. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  51. ^ "Fish culture in rice fields". Fishery Statistical Collections. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  52. ^ Mosig, John; Fallu, Ric (2004). Australian Fish Farmer: A Practical Guide to Aquaculture. Landlinks Press. hlm. 25–28. ISBN 978-0-643-06865-0. 
  53. ^ "Ancient Egypt: Bee-keeping". Reshafim.org.il. 6 June 2003. Diakses tanggal 22 May 2017. 
  54. ^ "Fixed combs". Bees for Development. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 May 2011. Diakses tanggal 22 May 2017. 
  55. ^ Jabr, Ferris (1 September 2013). "The Mind-Boggling Math of Migratory Beekeeping". Scientific American. Diakses tanggal 22 May 2017. 
  56. ^ Barber, E.J.W. (1992). Prehistoric textiles: the development of cloth in the Neolithic and Bronze Ages with special reference to the Aegean. Princeton University Press. hlm. 31. ISBN 978-0-691-00224-8. 
  57. ^ Hill, Dennis S. (2012). The Economic Importance of Insects. Springer Science & Business Media. hlm. 21–22. ISBN 978-94-011-5348-5. 
  58. ^ Carrington, Damian (1 August 2010). "Insects could be the key to meeting food needs of growing global population". The Guardian. 
  59. ^ Six-legged Livestock: Edible insect farming, collection and marketing in Thailand (PDF). Bangkok: Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2013. ISBN 978-92-5-107578-4. 
  60. ^ Mekonnen, Mesfin M.; Hoekstra, Arjen Y. (2012). "A Global Assessment of the Water Footprint of Farm Animal Products" (PDF). Water Footprint Network. 
  61. ^ "Livestock a major threat to environment". Food and Agriculture Organizations of the United Nations. 
  62. ^ Whitford, Walter G. (2002). Ecology of desert systems. Academic Press. hlm. 277. ISBN 978-0-12-747261-4. 
  63. ^ "Unit 9: Biodiversity Decline // Section 7: Habitat Loss: Causes and Consequences". Annenberg Learner. 
  64. ^ Margulis, Sergio (2003). "Causes of Deforestation of the Brazilian Rainforest". Washington: World Bank Publications. 
  65. ^ Ross, Philip (2013). "Cow farts have 'larger greenhouse gas impact' than previously thought; methane pushes climate change". International Business Times. 
  66. ^ a b Steinfeld H.; Gerber P.; Wassenaar T.; Castel V.; Rosales M.; de Haan C. (2006). "Livestock's Long Shadow: Environmental Issues and Options". FAO. Diakses tanggal 13 December 2017. 
  67. ^ Monteny, Gert-Jan; Andre Bannink; David Chadwick (2006). "Greenhouse Gas Abatement Strategies for Animal Husbandry, Agriculture, Ecosystems & Environment". Agriculture, Ecosystems & Environment. 112 (2–3): 163–70. doi:10.1016/j.agee.2005.08.015. 
  68. ^ Grandin, Temple (2013). "Animals are not things: A view on animal welfare based on neurological complexity" (PDF). Trans-Scripts 3: An Interdisciplinary Online Journal in Humanities And Social Sciences at UC Irvine. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 19 August 2014. 
  69. ^ Hewson, C.J. (2003). "What is animal welfare? Common definitions and their practical consequences". The Canadian Veterinary Journal. 44 (6): 496–99. PMC 340178 . PMID 12839246. 
  70. ^ Broom, D.M. (1991). "Animal welfare: concepts and measurement". Journal of Animal Science. 69 (10): 4167–75. doi:10.2527/1991.69104167x. PMID 1778832. 
  71. ^ Garner, R. (2005). Animal Ethics. Polity Press. 
  72. ^ Regan, T. (1983). The Case for Animal Rights. University of California Press. 
  73. ^ a b Hoult-Saros, Stacy E. (2016). The Mythology of the Animal Farm in Children's Literature: Over the Fence. Lexington Books. hlm. 18–29. ISBN 978-1-4985-1978-6. 
  74. ^ Waltz, Robert B.; Engle, David G. (2016). "Old MacDonald Had a Farm". The Traditional Ballad Index. Diakses tanggal 18 May 2017. 
  75. ^ "Livestock in literature". Compassion in World Farming. 1 October 2015. 
  76. ^ Laurance, Jeremy (15 June 2010). "Children's Petting Farms Face Tough New Rules". The Independent. 
  77. ^ Searle, Sarah (30 June 2014). "Stop Romanticizing Farms". Modern Farmer. 
  78. ^ a b Rasyaf M. 1992. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Kampung. Yogyakarta: Kanisius.
  79. ^ a b Rasyaf M. 1992. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Kampung. Yogyakarta: Kanisius.
  80. ^ a b c Sumaprastowo. 1980. Beternak Kambing yang Berhasil. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
  81. ^ a b Suranto A. 2004. Khasiat dan Manfaat Madu Herbal. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka.
  82. ^ Rochani S. Beternak Kelinci dan Manfaatnya. Jakarta: Ganeca exact.
  83. ^ a b Website Budidaya Hewan Ternak.
  84. ^ Rukmana R. 2005. Budi Daya RUMPUT UNGGUL, Hijauan Makanan Ternak. Yogyakarta: Kanisius.
  85. ^ a b Aak. 1983. Dasar-dasar Bercocok Tanam. Yogyakarta: Kanisius.
  86. ^ Timor Tengah Selatan (Indonesia). 1993. Bingkai budaya Timor Tengah Selatan: suatu hasil penelitian. Timor Tengah Selatan (N.T.T.): Pemerintah Daerah Tingkat II.
  87. ^ a b c Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. Adat istiadat daerah Maluku.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
  88. ^ Anonim.1977. Adat istiadat daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.