Niyāma

Hukum impersonal yang mengatur bekerjanya alam semesta dalam Buddhisme
Revisi sejak 26 Mei 2020 12.25 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Lima Hukum Alam atau Lima Hukum Tertib Kosmis (pañcaniyāmadhamma) adalah salah satu konsep dalam ajaran agama Buddha mengenai hukum-hukum yang bekerja di seluruh alam semesta.[1] Pañcaniyāmadhamma terdiri atas kata pañca yang artinya lima, niyāma yang artinya ketentuan atau hukum, dan dhamma yang artinya segala sesuatu. Dengan demikian, pañcaniyāmadhamma berarti lima hukum universal atau hukum segala hal.[2]

Dalam Agama Buddha, alam semesta diatur oleh hukum alam. Pemikiran bahwa alam semesta diatur oleh Dewa Tertinggi merupakan pemikiran yang tidak dibenarkan. (Baca juga: Tuhan dalam agama Buddha)

Agama Buddha tidak membenarkan bahwa alam semesta diatur oleh sesosok dewa tertinggi atau Tuhan. Pañcaniyāmadhamma merupakan hukum abadi yang bekerja dengan sendirinya. Hukum ini bekerja sebagai hukum sebab akibat dan membuat segala sesuatu bergerak sebagaimana dinyatakan oleh ilmu pengetahuan modern, seperti ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi, psikologi, dan sebagainya. Bulan timbul dan tenggelam, hujan turun, tanaman tumbuh, musim berubah disebabkan oleh hukum ini.[3]

Dalam kitab suci Tipiṭaka pada Uppādāsutta bagian Aṅguttara Nikāya 3.136:[4][5]

Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ, ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā aniccā. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe saṅkhārā aniccā’ti.

Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā dukkhā. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe saṅkhārā dukkhā’ti.

Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe dhammā anattā. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe dhammā anattā’”ti.

“Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena terkondisi adalah tidak kekal.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah tidak kekal.’

Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena terkondisi adalah penderitaan.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah penderitaan.’

Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’”

Dalam agama Buddha, kelima hukum tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Utuniyāma, hukum kepastian atau keteraturan musim.
  2. Bijaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan biji.
  3. Kammaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan kamma.
  4. Cittaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan kesadaran.
  5. Dhammaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan dhamma.


Lima Hukum Alam

Utuniyāma

Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan musim. Hukum ini mengatur kepastian pergantian musim dan perubahan-perubahan temperatur di alam semesta.

Bijaniyāma

Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan biji. Hukum ini mengatur kehidupan tumbuh-tumbuhan, yaitu biji-biji tertentu akan menghasilkan tanaman atau buah tertentu; buah-buah tertentu memiliki citarasa tertentu dan lain-lain. Contoh lainnya adalah perkembangan hewan atau tumbuhan, mutasi gen manusia, pembuahan, pertumbuhan biji menjadi tumbuhan, pembentukan janin, pertumbuhan sel, dan sebagainya.

Kammaniyāma

Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan perbuatan (kamma). Hukum ini memastikan bahwa kamma baik akan menghasilkan kebahagiaan, sedangkan kamma tidak baik akan menghasilkan penderitaan. Perbuatan bisa dilakukan melalui pikiran, ucapan, dan tindakan.

Cittaniyāma

Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan kesadaran. Hukum ini mengatur kepastian kemunculan dan kelenyapan kesadaran (citta).

Dhammaniyāma

Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan fenomena (dhamma). Hukum ini mengatur fenomena-fenomena lain yang tidak termasuk di empat hukum di atas. Contohnya kejadian bumi bergetar saat Bodhisatta Gotama lahir, turunnya hujan panas dan dingin untuk memandikan Bodhisatta Gotama ketika terlahir di dunia, dan munculnya gempa bumi yang dahsyat ketika Sang Buddha mengambil keputusan untuk memasuki nibbāna.[6]

Contoh Peristiwa

Dengan begitu, selain hukum kamma (kammaniyāma), terdapat empat hukum lainnya yang berlaku di dunia ini. Menurut agama Buddha, merupakan hal yang tidak wajar jika menyatakan bahwa suatu kejadian disebabkan hanya karena satu hal. Biasanya suatu kejadian terjadi karena banyak hal yang mendukung, contoh peristiwanya adalah seseorang yang tertimpa bencana alam. Hal tersebut tidak sepenuhnya karena akibat karma buruk (kammaniyāma) orang tersebut. Pemikiran bahwa suatu kejadian seluruhnya karena hukum karma adalah kesalahan fatal dalam pandangan seseorang.

Ada kondisi seperti banjir (utuniyāma) yang mendukung dan kondisi-kondisi lainnya dari hukum-hukum lainnya. Kelima hukum alam ini saling berhubungan dan dapat saling memengaruhi satu sama lain. Contohnya, ketika manusia sudah semakin jahat dan tidak menyayangi alam (kammaniyāma), maka akan terjadi perubahan pada alam. Hujan tidak akan turun pada musimnya (utuniyāma), cuaca buruk (utuniyāma), tumbuhan mati (bijaniyāma), terjadi bencana alam (utuniyāma), hingga batin menjadi tidak tenang (cittaniyāma).

Referensi

  1. ^ Hansen, Upa. Sasanasena Seng (September 2008). Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakata: Insight Vidyasena Production. 
  2. ^ Nasiman, Nurwito (2017). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas 10. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 175. ISBN 978-602-427-074-2. 
  3. ^ Nasiman, Nurwito (2017). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas 10. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 176. ISBN 978-602-427-074-2. 
  4. ^ Gautama, Siddharta. "Aṅguttara Nikāya 3.136. Uppādāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 09/05/2020. 
  5. ^ Anggara, Indra. "Aṅguttara Nikāya 3.136. Munculnya". SuttaCentral. Diakses tanggal 09/05/2020. 
  6. ^ Kheminda, Ashin (2020). Kamma: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Jakarta: Dhammavihari Buddhist Studies. hlm. 46.