Pernikahan

upacara yang mengikatkan orang dalam hubungan nikah
Revisi sejak 21 Oktober 2011 08.32 oleh Idioma-bot (bicara | kontrib) (r2.6.3) (bot Menambah: sn:Muchato)

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi antar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.

Pernikahan Louis XIV dari Perancis (1682-1712)

Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.

Etimologi

Pernikahan adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari Bahasa Arab yaitu kata nikkah (bahasa Arab: النكاح ) yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam Bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: نكاح) yang berarti persetubuhan.[1][2]

Pernikahan menurut agama


Pada dasarnya manusia adalah mahluk “Zoon Politicon” artinya manusia selalu bersama manusia lainnya “”dalam pergaulan hidup dan kemudian bermasyarakat. Hidup bersama dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa bagi manusia dan hanya manusia yang memiliki kelainan saja yang ingin hidup mengasingkan diri dari orang lain. Salah satu bentuk hidup bersama yang terkecil adalah keluarga. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang terbentuk karena perkawinan.

Perkawinan dalam Islam merupakan fitrah manusia agar seorang muslim dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang paling besar di dalam dirinya terhadap orang yang paling berhak mendapat pendidikan dan pemeliharaan. Di samping itu perkwinan memiliki manfaat yang paling besar terhadap kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketentraman jiwa.

Selain memiliki faedah yang besar, perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sesuai dengan rumusan itu, perkawinan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbutan itu menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya. Sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.

Dari segi agama Islam misalnya, syarat sahnya perkawinan penting sekali terutama untuk menentukan sejak kapan sepasang pria dan wanita itu dihalalkan melakukan hubungan kelamin sehingga terbebas dari dosa perzinaan. Zina merupakan perbuatan yang sangat kotor dan dapat merusak kehidupan manusia. Oleh sebab itu dalam agama Islam zina adalah perbuatan dosa besar yang bukan saja menjadi urusan pribadi yang bersangkutan dengan Tuhan belaka tetapi juga termasuk kejahatan (pidana) di mana negara melindungi dan wajib memberi sanksi-sanksi terhadap yang melakukannya. Apalagi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam maka hukum Islam sangat memengaruhi sikap moral dan kesadaran hukum masyarakatnya.

Faktor di atas antara lain yang menjadikan agama Islam menggunakan azas atau tata cara perkawinan yang sederhana, dengan tujuan agar seseorang tidak terjebak atau terjerumus ke dalam perzinaan. Tata cara yang sederhana itu nampaknya sejalan dengan Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila di lakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dari pasal tersebut sepertinya memberi peluang-peluang bagi anasir-anasir hukum adat untuk mengikuti dan bahkan berpadu dengan hukum Islam dalam perkawinan. Selain itu disebabkan oleh kesadaran masyarakatnya yang menghendaki demikian. Salah satu tata cara perkawinan adat yang masih kelihatan sampai saat ini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang atau disebut sebagai perkawinan sirri. Perkawinan ini hanya dilaksanakan di depan penghulu atau Kyai dengan memenuhi syariat Islam sehingga perkawinan ini tidak sampai dicatatkan di kantor yang berwenang untuk itu.

Perkawinan sudah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Bertemunya rukun dengan syarat inilah yang menentukan syahnya suatu perbuatan secara sempurna. Adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan adalah sebagai berikut:

  • Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah yaitu mempelai pria dan wanita
  • Adanya aqad (sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau wakilnya (ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (qabul).
  • Adanya wali dari calon istri
  • Adanya dua orang saksi

Apabila salah salah satu rukun itu tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan dianggap tidak pernah ada perkawinan. Oleh karena itu diharamkan baginya yang tidak memenuhi rukun tersebut untuk mengadakan hubungan seksual maupun segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian apabila keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang dilakukan sudah dianggap sah.

Memang model perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, namun tidaklah demikian apabila perkawinan tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 2 itu berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Jelaslah bahwa sahnya suatu perkawinan itu haruslah didaftarkan dan dicatatkan di kantor pencatat nikah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi dalam kenyataannya, kebanyakan dari masyarakat Indonesia belum sadar hukum tentang pelaksanaan perkawinan. Sehingga masih ada beberapa warga masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan sirri tanpa menyadari akibar yang ditimbulkan dari perkawinan yang mereka lakukan itu. Selain hal tersebut di atas menurut pengamatan sementara yang dilakukan oleh peneliti, beberapa dari masyarakat di desa Wanayasa tersebut melakukan kawin sirri dikarenakan mereka ingin berpoligami. Karena dengan melakukan kawin sirri ini memberikan kemudahan kepada seorang laki-laki untuk melakukan poligami tanpa harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Ada juga sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa dengan kawin sirri ini prosedur pelaksanaannya lebih mudah dan biayanya lebih murah. Selain itu, dari segi kultur pendidikan warga masyarakat desa tersebut masih cukup rendah sehingga pengetahuan warga masyarakatnya pun terbatas. Dari beberapa uraian di atas timbul problematika yang harus dijawab dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan sirri dan akibat hukum yang ditimbulkannya. Karena setiap perbuatan hukum pastilah menimbulkan akibat hukum. Begitu pula perkawinan sirri yang merupakan perbuatan hukum pasti menimbulkan akibat-akibat hukum. Akibat hukum tersebut misalnya bagi pasangan suami istri, status anak yang dilahirkan, dan juga terhadap harta benda dalam perkawinan.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ fadelput (2010-02-25), Nikah, Scribd, hlm. 1, diakses tanggal 2010-03-28 
  2. ^ Badawi, El-Said M.; Haleem, M. A. Abdel (2008), Arabic-English dictionary of Qur'anic usage, Brill Academic Publishers, hlm. 962, ISBN 9789004149489, diakses tanggal 2010-03-28 

Pranala luar