Lamtoro

sejenis perdu dari suku Fabaceae (Leguminosae, polong-polongan), yang kerap digunakan dalam penghijauan lahan atau pencegahan erosi.
Revisi sejak 15 Agustus 2017 08.18 oleh Rachmat04 (bicara | kontrib)
Lamtoro
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Divisi:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Subfamili:
Genus:
Spesies:
L. leucocephala
Nama binomial
Leucaena leucocephala
Sinonim
  • Acacia leucocephala, Lam., 1783[2]
  • Mimosa glauca, Linn., 1763[3] (misappl.)
  • Acacia glauca, (Linn.) Willd., 1806[4]
  • Leucaena glauca, (Linn.) Benth., 1842[5]
Lamtoro
Nilai nutrisi per 100 g (3,5 oz)
Energi148 kcal (620 kJ)
26,2 g
0,5 g
10,6 g
VitaminKuantitas
%AKG
Vitamin A equiv.
52%
416 μg
Tiamina (B1)
20%
0.23 mg
Vitamin C
24%
20 mg
MineralKuantitas
%AKG
Kalsium
16%
155 mg

Persen AKG berdasarkan rekomendasi Amerika Serikat untuk orang dewasa.

Lamtoro, petai cina, atau petai selong adalah sejenis perdu dari suku Fabaceae (Leguminosae, polong-polongan), yang kerap digunakan dalam penghijauan lahan atau pencegahan erosi. Berasal dari Amerika tropis, tumbuhan ini sudah ratusan tahun diperkenalkan ke Jawa untuk kepentingan pertanian dan kehutanan,[6] dan kemudian menyebar pula ke pulau-pulau yang lain di Indonesia. Tanaman ini di Malaysia dinamai petai belalang.

Tumbuhan ini dikenal pula dengan aneka sebutan yang lain seperti pĕlĕnding, peuteuy sélong (Sd.); kemlandingan, mètir, lamtoro dan lamtoro gung (lamtoro besar; untuk varietas yang bertubuh lebih besar) (Jw.); serta kalandhingan, lantoro (Md.).[6] Nama-namanya dalam pelbagai bahasa asing, di antaranya: petai belalang, petai jawa (Mly.); lamandro (PNG); ipil-ipil, elena, kariskis (Fil.); krathin (Thai); leucaena, white leadtree (Ingg.); dan leucaene, faux mimosa (Prc.).[7] Nama spesiesnya, leucocephala (='berkepala putih') mengacu kepada bongkol-bongkol bunganya yang berwarna keputihan.[8]

Pengenalan

 
Polong yang mengering.
 
Lamtoro

Pohon atau perdu memiliki tinggi hingga 20m;[9] meski kebanyakan hanya sekitar 2-10 m.[10] Percabangannya rendah dan banyak, dengan pepagan berwarna kecoklatan atau keabu-abuan, berbintil-bintil dan berlentisel. Ranting-rantingnya berbentuk bulat torak, dengan ujung yang berambut rapat.[7]

Daunnya majemuk dan berbentuk menyirip rangkap, siripnya berjumlah 3-10 pasang, kebanyakan dengan kelenjar pada poros daun tepat sebelum pangkal sirip terbawah; daun penumpu kecil, bentuk segitiga. Anak daun tiap sirip 5-20 pasang, berhadapan, bentuk garis memanjang, 6-16(-21) mm × 1-2(-5) mm, dengan ujung runcing dan pangkal miring (tidak sama), permukaannya berambut halus dan tepinya berjumbai.[7][11]

Bunganya majemuk berupa bongkol bertangkai panjang yang berkumpul dalam malai berisi 2-6 bongkol; tiap-tiap bongkol tersusun dari 100-180 kuntum bunga, membentuk bola berwarna putih atau kekuningan berdiameter 12–21 mm, di atas tangkai sepanjang 2-5 cm.[8] Bunga kecil-kecil, berbilangan-5; tabung kelopak bentuk lonceng bergigi pendek, lk 3 mm; mahkota bentuk solet, lk. 5 mm, lepas-lepas. Benangsari 10 helai, lk 1 cm, lepas-lepas.[11]

Buahnya polong berbentuk pita lurus, pipih dan tipis, 14–26 cm × 2 cm, dengan sekat-sekat di antara biji, hijau dan akhirnya coklat kehijauan atau coklat tua apabila kering jika masak, memecah sendiri sepanjang kampuhnya. Buah lamtoro mengandung 15-30 biji yang terletak melintang dalam polongan, berbentuk bulat telur sungsang[10] atau bundar telur terbalik, dengan warna coklat tua mengkilap yang berukuran 6–10 mm × 3-4,5 mm.[7][11] Bijinya mirip petai, namun berukuran lebih kecil dan berpenampang lebih kecil.[12]

Asal usul, anak jenis dan persebaran

 
Bunga, polong dan daun-daun lamtoro. India

Lamtoro berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah, dan dari situ kemudian menyebar luas. Penjajah Spanyol membawa biji-bijinya dari sana ke Filipina pada akhir abad XVI. Dari tempat ini mulailah lamtoro menyebar luas ke pelbagai bagian dunia. Lamtoro ditanam sebagai peneduh tanaman kopi, penghasil kayu bakar, serta sumber pakan ternak yang lekas tumbuh.[13]

Lamtoro mudah beradaptasi, dan dengan cepat tanaman ini menjadi liar di berbagai daerah tropis di Asia dan Afrika; termasuk pula di Indonesia. Ada tiga anak jenis (subspesies)nya, yakni:[8]

  • Leucaena leucocephala ssp. leucocephala; ialah anak jenis yang disebarluaskan oleh bangsa Spanyol. Di Jawa dikenal sebagai lamtoro atau petai cina ‘lokal’, berbatang pendek sekitar 5 m tingginya dan pucuk rantingnya berambut lebat.
  • ssp. glabrata (Rose) S. Zárate. Dikenal sebagai lamtoro gung, tanaman ini berukuran besar (pohon, daun, bunga, buah) dibandingkan anak jenis yang pertama. Lamtoro gung baru menyebar luas di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Serta;
  • ssp. ixtahuacana C. E. Hughes; yang menyebar terbatas di Meksiko dan Guatemala.

Pemanfaatan

 
Pemanfaatan lamtoro sebagai peneduh tanaman coklat (1910)

Sejak lama lamtoro telah dimanfaatkan sebagai pohon peneduh, pencegah erosi, sumber kayu bakar dan pakan ternak. Di tanah-tanah yang cukup subur, lamtoro tumbuh dengan cepat dan dapat mencapai ukuran dewasanya (tinggi 13–18 m) dalam waktu 3 sampai 5 tahun. Tegakan yang padat (lebih dari 5000 pohon/ha) mampu menghasilkan riap kayu sebesar 20 hingga 60 m³ per hektare per tahun. Pohon yang ditanam sendirian dapat tumbuh mencapai gemang 50 cm.[13] Jika ditanam di dekat-dekat pohon lainnya, maka pohon di sampingnya akan kekurangan sinar matahari. Oleh sebab itu, biasanya lamtoro/petai cina ditanam sebagai pohon pelindung/peneduh, dan untuk menanggulangi terjangan angin ribut. Tumbuhan ini juga dapat dipakai untuk pupuk hijau -dengan cara membenamkan daun pangkasnya sebagai pupuk dalam tanah-.[14]

 
Pemanfaatan lamtoro sebagai rambatan hidup tanaman vanili (1920-1930)

Lamtoro adalah salah satu jenis polong-polongan serbaguna yang paling banyak ditanam dalam pola pertanaman campuran (wanatani). Pohon ini sering ditanam dalam jalur-jalur berjarak 3–10 m, di antara larikan-larikan tanaman pokok. Kegunaan lainnya adalah sebagai pagar hidup, sekat api, penahan angin, jalur hijau, rambatan hidup bagi tanaman-tanaman yang melilit seperti lada, vanili, markisa dan gadung, serta pohon penaung di perkebunan kopi dan kakao.[7][15] Di hutan-hutan tanaman jati yang dikelola Perhutani di Jawa, lamtoro kerap ditanam sebagai tanaman sela untuk mengendalikan hanyutan tanah (erosi) dan meningkatkan kesuburan tanah.[16] Perakaran lamtoro memiliki nodul-nodul akar tempat mengikat nitrogen dan banyak menghasilkan daun sebagai sumber organik.[17]

Kayu

 
Batang lamtoro. India.

Lamtoro sangat disukai sebagai penghasil kayu api. Kayu lamtoro memiliki nilai kalori sebesar 19.250 kJ/kg, terbakar dengan lambat serta menghasilkan sedikit asap dan abu. Arang kayu lamtoro berkualitas sangat baik, dengan nilai kalori 48.400 kJ/kg.[7][13]

Kayunya termasuk padat untuk ukuran pohon yang lekas tumbuh (kepadatan 500–600 kg/m³) dan kadar air kayu basah antara 30—50%, bergantung pada umurnya. Lamtoro cukup mudah dikeringkan dengan hasil yang baik, dan mudah dikerjakan. Sayangnya kayu ini jarang yang memiliki ukuran besar; batang bebas cabang umumnya pendek dan banyak mata kayu, karena pohon ini banyak bercabang-cabang. Kayu terasnya berwarna coklat kemerahan atau keemasan, bertekstur sedang, cukup keras dan kuat sebagai kayu perkakas, mebel, tiang atau penutup lantai. Kayu lamtoro tidak tahan terhadap serangan rayap dan agak cepat membusuk apabila digunakan di luar ruangan, akan tetapi mudah menyerap bahan pengawet.[7][8][13] Sebagai kayu, lamtoro juga dimanfaatkan sebagai kayu bakar, arang, dan juga pagar.[17]

Di Jawa Timur, biasanya kayu lamtoro digunakan untuk pembuatan kertas.[9] Lamtoro juga merupakan penghasil pulp (bubur kayu) yang baik, yang cocok untuk produksi kertas atau rayon.[8] Kayunya menghasilkan 50—52% pulp, dengan kadar lignin rendah dan serat kayu sepanjang 1,1—1,3 mm. Kualitas kertas yang didapat termasuk baik.[7]

Daun & bagian lain

Daun-daun dan ranting muda lamtoro merupakan pakan ternak dan sumber protein yang baik, khususnya bagi ruminansia. Daun-daun ini memiliki tingkat ketercernaan 60 hingga 70% pada ruminansia, tertinggi di antara jenis-jenis polong-polongan dan hijauan pakan ternak tropis lainnya. Lamtoro yang ditanam cukup rapat dan dikelola dengan baik dapat menghasilkan hijauan dalam jumlah yang tinggi. Namun pertanaman campuran lamtoro (jarak tanam 5–8 m) dengan rumput yang ditanam di antaranya, akan memberikan hasil paling ekonomis.[13]

 
Lukisan menurut Blanco

Ternak sapi dan kambing menghasilkan pertambahan bobot yang baik dengan komposisi hijauan pakan berupa campuran rumput dan 20—30% lamtoro.[13] Meskipun semua ternak menyukai lamtoro, akan tetapi kandungan yang tinggi dari mimosin dapat menyebabkan kerontokan rambut pada ternak non-ruminansia, seperti kuda dan babi,[10] yang biasanya diberikan dalam bentuk segar.[9] Selain itu, apabila sapi diberi lamtoro selama 6 bulan terus-menerus, maka si sapi yang bersangkutan akan mengalami kehilangan rambut, penurunan fertilitas (kesuburan), gangguan pada kelenjar tiroid, dan katarak.[18] Mimosin, sejenis asam amino, terkandung pada daun-daun dan biji lamtoro hingga sebesar 4% berat kering.[19] Pada ruminansia, mimosin ini diuraikan di dalam lambungnya oleh sejenis bakteria, Synergistes jonesii. Pemanasan dan pemberian garam besi-belerang pun dapat mengurangi toksisitas mimosin.[13]

Daun, tunas bunga, dan polong yang muda biasa dilalap mentah atau dimasak terlebih dahulu.[10][a] Biji-bijinya yang tua disangrai sebagai pengganti kopi, dengan bau harum yang lebih keras dari kopi.[6] Biji-biji yang sudah cukup tua, tetapi belum menghitam, biasa digunakan sebagai campuran pecal dan botok. Buah mudanya juga bisa dimanfaatkan sebagai sayur.[17] Biji lamtoro bisa juga diolah menjadi pengganti kedelai dengan gizi yang hampir menyamai kedelai. Karbohidrat yang terkandung pada gula reduksi adalah 164,29 mg/g sedang patinya 179,50 mg/g. Protein mencapai 208,56 mg/g. Sedangkan, lemaknya mencapai 80,86 mg/g, masih kalah dengan kadar lemak kedelai yang mencapai 141,05 mg/g.[20]

Daun-daunnya juga kerap digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau. Daun-daun lamtoro lekas mengalami dekomposisi.

Produk lain

Lamtoro diketahui menghasilkan zat penyamak dan zat pewarna merah, coklat dan hitam dari pepagan (kulit batang), daun, dan polongnya. Sejenis resin atau gum juga dihasilkan dari batang yang terluka atau yang kena penyakit, terutama dari persilangan L. leucocephala × L. esculenta. Gum ini memiliki kualitas yang baik, serupa dengan gum arab.[7][8][15]

Berbunga sepanjang tahun, lamtoro menyediakan pakan yang baik bagi lebah madu, sehingga cocok untuk mendukung apikultur.[8]

Dari lamtoro, bisa juga dibuat suatu kerajinan kalung (bahan terdiri atas biji lamtoro yang sudah tua, jarum, dan benang). Adapun, biji lamtoro yang digunakan adalah biji yang sudah tua. Direndam terlebih dahulu sampai biji lamtoro tersebut mengembang atau "mekar" dan empuk. Pertama-tama, masukkan benang ke dalam jarum, kemudian barulah tusukkan biji lamtoro ke jarum tersebut. Biji hendaknya bervariasi dalam kerajinan kalung dari biji lamtoro ini.[21]

Obat-obatan

Biji lamtoro terasa pahit dan netral. Tumbuhan ini merupakan peluruh air seni (diuretik) dan cacing usus.[10] Selain mengandung mimosin, leukanin, leukanol, dan protein, daun tumbuhan ini juga mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, dan sejumlah vitamin (A, B1, dan C). Untuk pemakaian sebagai obat, biji dan seluruh bagian tumbuhan ini dipakai. Bijinya dikeringkan dan dijadikan bubuk. Sebanyak 1 sendok teh biji yang direbus dalam 1/2 cangkir panas dapat digunakan untuk obat kencing manis.[10] Oleh suku Sunda di Jawa Barat, kunyahan pucuk muda daun lamtoro bisa digunakan untuk ditempelkan pada luka yang disebabkan oleh benda tajam. Juga, di Cilacap, buah lamtoro yang dicampur dengan kulit batang talas dapat dipergunakan untuk mengobati luka teriris pisau.[22]

Berikut adalah beberapa penelitian di bidang tumbuhan obat mengenai lamtoro:

  • Ekstrak metanol lamtoro dapat menyebabkan berkurangnya berat badan dan panjang fetus (janin) seiring dengan meningkatnya dosis pemberian, tapi tidak bermakna secara statistik.[18]
  • Selain itu juga, telah diteliti pengaruh ekstrak biji Leucaena leucocephala (Lam) de Wit (Mimosaceae) terhadap toleransi glukosa dan kadar glukosa darah tikus diabetes yang diinduksi dengan aloksan tetrahidrat dosis 250 mg/kg bb. Ekstrak yang diberikan secara oral dosis 0,5 g/kg dan 1 g/kg bb (berat badan) menunjukkan penurunan kadar glukosa darah tikus diabetes yang berarti sebesar 27,28 mg/dL dan 43,72 mg/dL, efek penurunan ini lebih kecil dibandingkan terhadap tikus yang diberi gliklazid 7,2 mg/kg bb.[23]
  • Pada tahun 2006, telah dibuktikan bahwasanya ekstrak air dari biji lamtoro dapat bertindak sebagai agen penurun gula darah pada mencit yang pankreasnya itu telah diinduksi oleh streptozotocin. Ditemukan, β-cell dari pankreas juga ikut terlindungi dari efek nekrotik dari biji lamtoro. Pada akhirnya, disimpulkan bahwasanya ekstrak air dari lamtoro menunjukkan efek anti-diabetes yang signifikan setelah diberikan secara oral.[24]

Ekologi dan persebaran

Lamtoro menyukai iklim tropis yang hangat (suhu harian 25-30 °C); ketinggian di atas 1000 m dpl dapat menghambat pertumbuhannya. Tanaman ini cukup tahan kering dan bisa ditanam di mana-mana,[14] termasuk di wilayah dengan curah hujan antara 650—3.000 mm (optimal 800—1.500 mm) pertahun. Namun, tumbuhan ini tidak dapat tumbuh dalam genangan air.[15]

Bisa ditanam dalam keadaan tanah apa saja, mudah beradaptasi dengan iklim setempat, tanaman lamtoro mudah diperbanyak dengan biji[17] yang sudah tua,[12][b] setek batang,[12][14] dan dengan pemindahan anakan. Karena mudah bertumbuh, di banyak tempat lamtoro seringkali merajalela menjadi gulma. Tanaman ini pun mudah tumbuh; setelah dipangkas, ditebang atau dibakar, tunas-tunasnya akan tumbuh kembali dalam jumlah banyak.[8][17][25]

Tidak banyak hama yang menyerang tanaman ini, akan tetapi lamtoro teristimewa rentan terhadap serangan hama kutu loncat (Heteropsylla cubana) dan hama wereng. Serangan hama wereng pernah hampir memusnahkan lamtoro.[12] Selain itu, serangan hama kutu loncat di Indonesia pada akhir tahun 1980-an telah mengakibatkan habisnya jenis lamtoro ‘lokal’ di banyak tempat.[13] Catatan lain mengatakan bahwa lamtoro gung/petai cina ini masuk ke Indonesia setelah lamtoro biasa (Leucaena diversifolia) diserang oleh kutu loncat di Indonesia pada tahun 1980-an.[17]

Selain itu, cendawan yang menyerang lamtoro biasanya adalah Meliola sp. Cendawan ini, selain menyerang lamtoro, juga menyerang melati, teh, dan juga bambu.[26] Adapun, bagian yang diserang adalah daun bagian atas, sehingga ada warna hitam yang berbentuk bintang pada daun. Cendawan ini sulit dikelupas, karena adanya hifodium yang masuk ke dalam daun. Guna dari hifodium untuk menyerap makanan. Sporanya tersebar lewat angin dan aliran air.[26] Sehingga, untuk mencegah dan mengendalikan cendawan ini, cukup membuang dan membakar daun yang terserang dan memakai fungisida yang cocok.[26]

Lamtoro mekar pada malam hari dan menutup daunnya pada siang hari. Tumbuhan ini dapat dipanen setiap 5 bulan sekali agar pohon ini tetap masih rendah, sehingga buahnya mudah diambil.[14]

Referensi

  1. ^ de Wit, H.C.D. 1961. Typification and correct name of Acacia villosa Willd. and Leucaena glauca (L.) Bth. Taxon, 10(2): 54
  2. ^ Lamarck, J.B. 1783. Encycl. Méth. Bot. 1: 12
  3. ^ Linnaeus, C. 1763. Species plantarum: exhibentes plantas ... Ed. 2 T. II: 1504.
  4. ^ Willdenow, C.L. 1806. Species plantarum: exhibentes plantas ... Ed. 4 T. II(2): 1075.
  5. ^ Bentham, G. 1842. Notes on Mimoseae, with a short synopsis of species. The Journal of Botany. v. 4: 416.
  6. ^ a b c Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 2. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 885-887 (sebagai Leucaena glauca Benth.) (versi 1916. De Nuttige Planten ... II: 221)
  7. ^ a b c d e f g h i E-Prosea Detail: Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit
  8. ^ a b c d e f g h ICRAF Agroforestry Tree Database: Leucaena leucocephala
  9. ^ a b c d Sastrapradja, Setijati; Naiola, Beth Paul; Rasmadi, Endi Rochandi; Roemantyo; Soepardijono, Ernawati Kasim; Waluyo, Eko Baroto (Red. S. Sastrapradja) (1980). Tanaman Pekarangan. hal.73. 16. Jakarta:Kerjasama LBN - LIPI dengan Balai Pustaka.
  10. ^ a b c d e f Dalimartha, Setiawan (2009). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. 6. hal. 87-89. Jakarta:Puspa Swara. ISBN 978-979-1480-19-2.
  11. ^ a b c Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 216 (sebagai Leucàena glàuca Bth.).
  12. ^ a b c d "Lamtoro". IPTEKnet. Diakses tanggal 6 April 2013. 
  13. ^ a b c d e f g h FACT Sheet: Leucaena leucocephala - a versatile nitrogen fixing tree. FACT 97-06, September 1997.
  14. ^ a b c d Soeseno, Slamet (1985). Sayur-Mayur Karang Gizi. hal.35-36. Jakarta:Penebar Swadaya.
  15. ^ a b c FAO – AGPC: Leucaena leucocephala - the Most Widely Used Forage Tree Legume
  16. ^ Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan. Manual RTT Tehnis Hutan. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Malang, Oktober 2003.
  17. ^ a b c d e f Purwanto, Iman (2007) [1996]. Mengenal Lebih Dekat Leguminosaseae. hal.84, 86, & 88. Yogyakarta:Kanisius. ISBN 979-21-1470-X.
  18. ^ a b Syamsudin; Rizikiyan, Yayan; Darmono (Juli 2006). "Efek Teratogenik Ekstrak Metanol Biji Petai Cina (Leucaena leucocephala (Lmk.) De Wit) Pada Mencit Hamil". Jurnal Bahan Alam Indonesia. 6 (1): 33 – 37. ISSN 1412-2855. 
  19. ^ Handbook of Energy Crops (Purdue): Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit
  20. ^ Rahayu, Ani; Suranto; Purwoko, Tjahjadi (2005). "Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae" (PDF). Bioteknologi. 2 (1): 14–20. ISSN 0216-6687 Periksa nilai |issn= (bantuan). 
  21. ^ Wan's. Jari-jari Tangan yang Terampil. hal. 17-22. Jakarta:Azka Press. ISBN 979-744-391-4.
  22. ^ Hidayat, Syamsul (2005). Ramuan Tradisional ala 12 Etnis Indonesia. hal. 90 & 226. Jakarta:Penebar Swadaya. ISBN 979-489-944-5.
  23. ^ Hardani, Nina; Soegiarso, N.C.; Ranti, Anna Setiadi (1991). "Pengujian Efek Ekstrak Biji Leucaena leucocephala (Lam) De Wit terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus". Penelitian Obat Bahan Alam - Sekolah Farmasi ITB. Diakses tanggal 19 September 2013. 
  24. ^ Syamsudin, Simanjuntak Darmono; Simanjuntak, Partomuan. "The Effects of Leucaena leucocephala (Lmk) de Wit Seeds on Blood Sugar Levels: An Experimental Study" (PDF). International Journal of Science and Research. 2 (1): 49 – 52. 
  25. ^ Kuo, Y.L. 2003. Ecological Characteristics of Three Invasive Plants (Leucaena Leucocephala, Mikania Micrantha, and Stachytarpheta Urticaefolia) in Southern Taiwan. Food and Fertilizer Technology Center (FFTC)
  26. ^ a b c Tjahjadi, Nur (2001). Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 53. ISBN 978-979-413-009-4.
Catatan bawah
  1. ^ Tulisan asli:..., "sedangkan daun muda, tunas bunga, dan polong bisa dimakan sebagai lalap mentah atau dimasak terlebih dahulu."
  2. ^ Menurut sumber dari LIPI, untuk mempercepat perkecambahan biji lamtoro (di sumber LIPI malah disebut mlanding), biji direndam terlebih dahulu di air panas (80 °C) selama 2-3 menit sebelum disemaikan.[9]

Pranala luar

Templat:Good article