Subjek (filsafat)

sesuatu yang memiliki kesadaran dan pengalaman unik
Revisi sejak 22 Januari 2018 00.59 oleh Adeninasn (bicara | kontrib) (salah posisi)

Subjek adalah sesuatu yang memiliki kesadaran subjektif atau memiliki pengalaman personal, atau entitas yang memiliki hubungan dengan entitas lainnya yang berada di luar dirinya (atau objek). "Subjek" adalah seorang pengamat dan "Objek" adalah sesuatu yang diamati. Konsep ini penting khususnya dalam filsafat kontinental; di mana 'Subjek' adalah terma sentral yang diperdebatkan dalam otonomi manusia dalam sifat alamiah diri.[1] Perbedaan antara subjek dan objek dipengaruhi filsafat René Descartes, melalui pembedaan antara aktivitas mental dengan realitas badaniah.[1] Descartes mencetuskan tentang otoritas Subjek sebagai pusat dari ide, gagasan, dan pengetahuan dengan penyataannya yang terkenal cogito ergo sum—saya berpikir karenanya saya ada.[2]

Subjektivitas dalam filsafat kontinental

Pemikiran Marx dan Freud memberikan sebuah titik tolak dalam mempertanyakan gagasan "subjek otonom" dan "kesatuan". Pemikiran ini dilihat sebagai dasar teori liberal atas kontrak sosial pada tradisi filsafat kontinental. Para pemikir ini membuka jalan bagi proses dekonstruksi "Subjek" sebagai konsep inti metafisika. Eksplorasi Freud tentang wilayah tidak-sadar menambahkan sebuah dakwaan tentang gagasan subjektivitas pada Masa Pencerahan. Selain itu, Heidegger menawarkan konsep Dasein dalam menggantikan konsep tradisional tentang subjek pribadi. Konsep fenomenologi Heidegger mencoba melampaui dualitas klasik antara subjek dan objek, karena keduanya dihubungkan dengan hubungan yang tak terpisahkan; di mana tidak ada dunia tanpa subjek, atau subjek tanpa dunia.[3] Jacques Lacan yang terinspirasi oleh Heidegger dan Saussure, menggunakan konsep "Subjek terbelah" dalam mengembangkan model psikoanalisis Freud melalui mekanisme keterpisahan diri saat ia meninggalkan tatanan riil, dan memasuki tatanan imajiner (pada proses tahap cermin). Pada tahap ini, diri terpisah dengan Liyan atau sang ibu, saat dia memasuki wilayah bahasa, perbedaan, dan permintaan dalam fase tatanan simbolik atau "Nama-Ayah".[4] Subjek pada pandangan Lacan di sini adalah "subjek maskulin"; di mana Lacan memasukkan pandangan Freud bahwa antara ibu dan anak tercipta suatu korelasi yang berhubungan dengan apa yang disebut falus (bahasa Inggris: phallus). Falus di sini merupakan simbol dari ayah, yang tidak didefinisikan sebagai sekadar organ penis pada pria. Falus menurut Lacan adalah fungsi imajiner dan simbolik dari organ penis. Imajiner falus adalah objek imajiner yang berada antara anak dan ibu. Imajiner falus dipahami oleh seorang anak sebagai objek hasrat dari ibunya yang diingini oleh sang ibu melampaui sang anaknya sendiri, sehingga sang anak mengidentifikasikan dirinya dengan objek ini. Sang ayah hadir dan melakukan kastrasi terhadap sang anak dengan larangan kepada sang anak melalui hukum tersirat dalam menghilangkan harapan untuk menjadi falus ibunya. Dalam hal ini sang anak dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu menaati atau menolak hal tersebut. Dalam proses ini Lacan memperkenalkan istilah “Nama-Ayah” yang digambarkan mewakili hukum dan masyarakat.[5]

Kastrasi yang dimaksud Lacan bukan hanya terjadi pada anak lelaki, melainkan juga pada anak perempuan. Falus terjadi tanpa melihat perbedaan jenis kelamin. Pria mengalami kastrasi jika ia melepaskan falus simboliknya, sedangkan kekurangan wanita terhadap simbolik falus pada dirinya sejenis penguasaan. Kastrasi dipahami sebagai penolakan terhadap apa yang diistilahkan sebagai "jouissance"[a] atau semacam "sengsara-nikmat". Kastrasi juga dipahami memiliki arti yang mirip dengan keterasingan dan keterpisahan. Falus juga dapat dipahami sebagai sebuah penanda; di mana falus adalah penanda dari hasrat akan Liyan, dan juga sebagai penanda bagi jouissance (pemuasan dorongan). Lacan memahami falus sebagai suatu penanda yang istimewa dan berperan dalam ketiga tatanan yang membentuk struktur dasar manusia: tatanan imajiner, tatanan simbolik, dan tatanan riil. Bukan itu saja, falus bahkan menyatukan ketiga tatanan tersebut di dalam dirinya. Falus adalah penanda bagi hasrat, falus juga penanda bagi kekurangan. Selain itu, falus juga penanda bagi kehilangan yang terjadi dalam kastrasi.[5] Lacan membedakan pria dan wanita dalam hubungan yang dibangun dengan tatanan simbolik. Lacan beranggapan bahwa cara pria membangun hubungan dengan tatanan simbolik berbeda dengan cara wanita. Hal ini terlihat dari cara mereka berkata-kata. Pria dan wanita mengalami keterasingan dalam dan melalui bahasa dengan cara yang berbeda.[5] Penemuan Subjek akan bahasa menghasilkan berbagai konsekuensi, yaitu konsekuensi masuknya bahasa ke dalam Subjek. Lacan menghubungkan teori bahasanya dengan subjektivitas. Lacan yakin bahwa Subjek manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa, tetapi Subjek tidak dapat direduksi menjadi bahasa.[7] Lacan menyatakan bahwa kemampuan berbicaralah yang membedakan Subjek. Aspek inilah yang memisahkan dunia sosial dari dunia alamiah. Tidak ada Subjek yang bebas dari bahasa. Keterhubungan antara Subjek dengan bahasa berarti bahwa Subjek diwakili oleh bahasa, oleh objek-objek khusus yang disebut 'kata-kata' atau penanda-penanda. Bagi Lacan, Subjek menggunakan penanda-penanda dalam berbicara, menulis, bahkan ketika bermimpi. Ketika subjek berbicara, menulis, atau bermimpi, ia mewujudkan diri dengan bahasa, yaitu dengan penanda-penanda. Penanda-penanda merupakan satu-satunya cara Subjek itu dapat mewujudkan dirinya. Maka, Lacan menyatakan bahwa komunikasi di antara Subjek tidak bersifat langsung, tetapi selalu diperantarai oleh penanda-penanda. Dengan kata lain, penanda mewujudkan Subjek bagi penanda yang lain.[7]

Catatan

  1. ^ Kata 'jouissance' memiliki makna semacam "sengsara-nikmat" karena terdapat kepuasan yang juga mengandung penderitaan pada saat yang sama.[6] Kata 'jouissance' di sini dipahami sebagai pengganti "kesatuan ibu-anak" yang hilang karena anak membentuk subjektivitasnya sendiri.[5]

Catatan kaki

  1. ^ a b Descartes, René. "LIII". The Principles of Philosophy. Diakses tanggal 21 October 2017. 
  2. ^ Yasraf Amir, Piliang. (2012). Semiotika dan Hipersemiotika : Kode, Gaya & Matinya Makna (edisi ke-Edisi 4). Bandung: Pustaka Matahari. ISBN 9786029876215. OCLC 843123925. 
  3. ^ Farina, Gabriella. (2014). "Some reflections on the phenomenological method" (PDF). 7 (2): 50–62. 
  4. ^ Stewart, Elizabeth.; Jaanus, Maire; Feldstein, Richard (2004). Lacan in the German-Speaking World. Yogyakarta: SUNY Press. hlm. 16. ISBN 0-7914-6087-8. 
  5. ^ a b c d Lukman, Lisa. (2011). Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Jacques Lacan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 9789792130317. 
  6. ^ Polimpung, Hizkia Yosie. (2014). Asal-usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok: Penerbit Kepik. ISBN 9786021426128. 
  7. ^ a b Kurniasih (2006), "Lacan dan Cermin Hasrat Cala Ibi", dalam Adlin, Alfathri, Menggeledah Hasrat : Sebuah Pendekatan Multi Perspektif, Yogyakarta: Jalasutra, ISBN 979368450X 

Pranala luar