Mazhab Hambali
Bagian dari seri |
Islam |
---|
Mazhab Hambali atau Al-Hanabilah (bahasa Arab: الحنابلة, translit. al-ḥanābilah) adalah mazhab fikih dalam Islam yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Ahmad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad Asj Sjaibany Al-Maruzy atau Imam Hambali.[1]
Metodologi
Pada dasarnya prinsip-prinsip dasar dalam mazhab Hambali hampir sama dengan mazhab Syafi'i, hal ini dikarenakan Imam Hambali berguru pada Imam Syafi'i. Mazhab Hambali memiliki 5 dasar yang utama, yaitu:[2]
- Nash Al-Qur'an dan Hadis marfu'.[3][4] Bila Imam Hambali mendapatkan suatu hadis, beliau kemudian berfatwa (beriftâ) dengan tidak memperdulikan keterangan-keterangan yang menyalahinya. Hal tersebut dilakukan Imam Hambali karena beliau memilih untuk mengabaikan perbuatan-perbuatan yang menyalahi hadis. Imam Hambali juga tidak mendahulukan suatu pendapat, baik qiyas ataupun perkataan sahabat diatas kedudukan hadis yang shahih.[2]
- Fatwa Sahabat. Bila Imam Hambali mendapat fatwa atau perkataan dari seorang sahabat Rasul, dan beliau tidak mengetahui pendapat sahabat lain yang bertentangan dengannya, maka beliau jadikan fatwa sahabat itu sebagai hujjah.[2]
- Pendapat Sahabat. Bila Imam Hambali mendapati adanya pendapat dari para sahabat Rasul, maka beliau memilahnya dengan mempertimbangkan mana yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan Hadis. Imam Hambali juga tidak meninggalkan perkataan para Sahabat untuk membuat ijtihad sendiri. Jika ada pendapat para Sahabat yang tidak sesuai atau kurang sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis, maka Imam Hambali akan menerangkan kekhilafan atau kekeliruan dengan tidak menegaskan pendapat mana yang akan diambil.[2]
- Hadis mursal dan hadis dhaif.[5][6] Imam Hambali tetap mempertimbangkan hadis mursal dan hadis dhaif apabila tidak didapati keterangan-keterangan yang menolak hadis tersebut. Bagi Imam Hambali berhujjah dengan hadis dhaif tidak masalah, selama hadis dhaif tersebut tidak bathil, tidak munkar, dan tidak ada perawi-perawinya yang dituduh dusta. Bagi Imam Hambali melihat dan merujuk pada hadis mursal dan hadis dhaif lebih utama dari qiyas.[2]
- Qiyas. Imam Hambali menggunakan qiyas bila dalam keadaan mendesak atau darurat saja. Kondisi darurat yang dimaksud adalah ketika beliau tidak mendapati hadis (baik hadis shahi, hadis mursal, dan hadis dhaif) atau perkataan sahabat yang bisa dipakai. Imam Hambali juga tidak menggunakan qiyas bila dalil-dalil yang didapatnya saling bertentangan satu sama lain.[7]
Perkembangan
Mazhab Hambali pertama kali berkembang di Bagdad, Irak yang mana disanalah tempat asal Imam Hambali. Pada awal abad ke-4 mazhab Hambali mulai menyebar ke kawasan Nejd, lalu kemudian ke Mesir.[1]
Menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy yang mengutip dari para ulama-ulama Tasjrie', mazhab Hambali kurang banyak pengikutnya dan kurang luas persebarannya. Hal ini dikarenakan Imam Hambali begitu tegas bepegang tegus pada riwayat dan tidak mau berfatwa jika tidak berlandaskan pada nash Al-Qur'an dan Hadis marfu'. Selain itu, Imam Hambali juga sangat sedikit melakukan ijtihad, beliau juga menggunakan qiyas hanya ketika terpaksa saja.[1]
Murid-Murid Imam Hambali
Meskipun tidak berkembang di wilayah yang luas, Imam Hambali tetap memiliki banyak murid. Beberapa murid Imam Hambali yang termahsyur antara lain:[1]
- Ishâq At-Tamimy, yang terkenal dengan nama Abu Ya'kub Al-Kausadj.
- Muhammad Ibn 'Abdullah Al-Baghdady, yang terkenal dengan nama Hamdan.
- Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hani 'Ath Thâiy, yang terkenal dengan nama Abu Bakar Al-Atsram.
- Ahmad Ibn Muhammad Ibn Al-Hadjdjadj Al-Mawarzy.
- Ishâq Ibn Ibrahim, yang terkenal dengan nama Ibn Rahawaih Al-Mawarzy.
Para murid Imam Hambali juga memiliki murid-murid yang tersohor, dua diantaranya adalah; 'Umar Ibn Al-Husain atau yang dikenal dengan nama Abul Qâsim Al-Chiraqy dan Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hârun yang dikenal juga dengan nama Abu Bakr Al-Challâal.[1]
Kitab-Kitab
Sebenarnya Imam Hambali melarang murid-muridnya untuk mencatat fatwa-fatwa yang beliau katakan, hal ini dikarenakan Imam Hambali khawatir fatwanya akan menjadi panduan fikih yang umum dan tetap untuk segala zaman. Imam Hambali juga khawatir jika diantara fatwa-fatwa beliau ada yang keliru dan sudah diubah dengan fatwa-fatwa yang lain.
Meskipun melarang muridnya untuk mencatat perkataannya, Imam Hambali tetap menulis kitab hadis yang diberinama Al-Musnad atau yang dikenal juga dengan nama Musnad Ahmad. Kitab tersebut berisi 40.000 hadis.[8] Imam Hambali berkata dalam musnadnya:
"Aku telah kumpulkan dalam Musnad ini segala hadis Nabi. Tidak ada di dalam kitabku, hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah."[8]
Al-Musnad ini adalah kitab hadis yang terbesar diantara kitab-kitab fikih mazhab lainnya. Selain itu kitab Al-Musnad ini juga adalah kitab hadis terbesar yang masuk dalam percetakan modern.[8]
Catatan Kaki
- ^ a b c d e Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 67.
- ^ a b c d e Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 84.
- ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 85.
- ^ a b c Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 77.
Daftar Pustaka
- Ash' Shiddieqy, M. Hasbi. Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Islam. 1962.
- Al-Qaththan, Syaikh Manna'. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2013.