Deklarasi Hak-Hak Anak

Revisi sejak 4 Agustus 2021 06.21 oleh Elicefa (bicara | kontrib)

Deklarasi hak-hak anak atau yang dikenal sebagai Deklarasi Jenewa adalah suatu gagasan pernyataan hak-hak anak yang diusulkan oleh aktivis perempuan-perempuan pada akhir Perang Dunia I termasuk Eglanty Jebb, yang kemudian mengembangkan rancangan gagasan deklarasi hak-hak anak tersebut hingga diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1924 dan Majelis Umum PBB pada tahun 1948. Deklarasi hak-hak anak yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB terus dikembangkan dan disahkan secara resmi menjadi Konvensi Hak Anak (KHA).[1]

Isi Deklarasi Jenewa yang diadopsi oleh lembaga Liga Bangsa-Bangsa
Deklarasi Jenewa tahun 1924 yang telah diadopsi secara internasioanl oleh Liga Bangsa-Bangsa

Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan konvensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatur secara lengkap tentang hak-hak anak dari segala sektor baik ekonomi, politik, sipil, sosial, dan budaya. Negara-negara yang termasuk didalamnya dan menyetujui atau meratifikasi adanya konvensi ini diwajibkan untuk memenuhi prinsip-prinsip yang tertuang didalamnya.[2]

Sejarah Perkembangan Deklarasi Hak-Hak Anak

Tahun 1918-1919

 
Eglanty Jebb, salah seorang aktivis perempuan perancang deklarasi hak anak dan juga seorang pendiri lembaga Save The Children Fund (1919) bersama Dorothy Buxton

Deklarasi hak anak ini bermula dari pergerakan aktivis perempuan saat berakhirnya Perang Dunia I yang meminta perhatian publik terhadap nasib anak-anak mereka sebagai korban perang saat itu. Eglanty Jebb, yang juga termasuk salah satu aktivis tersebut akhirnya mengembangkan 10 butir gagasan pernyataan tentang hak anak menjadi rancangan deklarasi hak anak (Declaration of The Rights of The Child) dan mendirikan sebuah lembaga yaitu Save The Children Fund pada tahun 1919 bersama saudara perempuannya yang bernama Dorothy Buxton.[1]

Tahun 1924

Pada tahun 1924, rancangan deklarasi hak anak atau Deklarasi Jenewa tentang hak anak yang dirancang oleh Eglantyne Jebb diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Deklarasi tersebut mengartikulasikan bahwa semua orang berhutang kepada anak-anak hak untuk: sarana perkembangan anak baik materi maupun spiritual; kebutuhan khusus anak baik kebutuhan dasar berupa makanan, hingga perlindungan terhadap anak yatim dan terlantar; prioritas untuk bantuan saat kesusahan; kebebasan ekonomi dan perlindungan terhadap eksploitasi; dan pendidikan yang menanamkan kesadaran pengabdian dan kewajiban sosial. [3]

Tahun 1948

Pada tahun 1948 dimana Perang Dunia II telah berakhir, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember. Dalam deklarasi tersebut juga mencakup hak khusus bagi anak seperti perawatan, bantuan khusus, dan perlindungan sosial.[1]

Tahun 1959

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali mendeklarasikan hak anak secara internasional dengan mengartikulasikan hak anak atas pendidikan, bermain, lingkungan yang mendukung, dan perawatan kesehatan.[3]

Tahun 1979

Pada tahun 1979, untuk memperingati dua puluh tahun Deklarasi Hak Anak, pemerintah Polandia mengusulkan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perumusan dokumen hak anak dengan standar internasional dan pengikatan secara yuridis yang disebut sebagai Konvensi Hak Anak.[1]

Tahun 1989

Pada tahun 1989 tepatnya pada tanggal 20 November, rancangan Konvensi Hak Anak yang telah disusun oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dengan bantuan UNICEF akhirnya disahkan secara resmi dan universal dengan mengakui secara luas pentingnya hak asasi manusia serta menjamin perlindungan hak-hak anak dalam segala kapasitas baik sosial, ekonomi, politik, sipil, dan budaya. Sehingga ditetapkanlah 20 November sebagai Hari Anak Sedunia. [3]

Perbedaan Konteks Deklarasi dan Konvensi

Deklarasi adalah sebuah pernyataan atau perjanjian yang dituangkan dalam dokumen tidak resmi. Didalamnya mencakup pernyataan sikap negara dengan menegakkan prinsip-prinsip keadilan, kebebasan dan prinsip hak asasi manusia.[4]

Sedangkan Konvensi adalah perjanjian dalam bentuk dokumen resmi aturan tentang permasalahan yang secara hukum internasional diakui dan bersifat mengikat pemerintah suatu negara.[5]

Konvensi Hak Anak (KHA)

Konvensi Hak-Hak anak
Konvensi Hak-Hak anak (UNICEF)

Konvensi Hak Anak (KHA) adalah perjanjian dengan hukum internasional yang mengikat secara yuridis dan politis tentang hak-hak anak apa saja yang harus dipenuhi oleh negara agar tiap-tiap anak dapat tumbuh terdidik, terlindungi, dan diperlakukan dengan adil.[6]

Prinsip-prinsip konvensi hak anak

Prinsip non-diskriminasi

Prinsip ini bermakna bahwa semua anak berhak mendapatkan keadilan sesuai dengan hak-hak anak yang terkandung dalam Konvensi Hak anak tanpa ada pembedaan sedikitpun.[7] Seperti yang tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 Konvensi Hak Anak, yakni: “Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang diterapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah”. (ayat 1).[8]

“Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarga”. (ayat 2)[9]

Prinsip yang terbaik bagi anak

Prinsip ini bermakna bahwa setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan bersangkutan dengan anak, harus dipertimbangkan dan menjadi kepentingan yang terbaik bagi anak. [10]Seperti yang tertuang dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi Hak Anak, yakni: “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif. kepentingan terbaik anak akan merupakan pertimbangan utama” .(ayat 1)[9]

Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan

Prinsip ini bermakna bahwa setiap anak memiliki hak atas kehidupan dan setiap negara peserta menjamin batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak. [10]Seperti yang tertuang pada Pasal 6 ayat 1 dan 2 Konvensi Hak Anak, yakni:

“Negara-negara Peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang merupakan kodrat hidup”. (ayat 1)

“Negara-negara Peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan pengembangan anak”. (ayat 2)[11]

Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak

Prinsip ini bermakna bahwa setiap anak berhak berpendapat dalam setiap pengambilan keputusan mengenai kehidupannya dan berhak didengar serta diperhatikan sesuai dengan usia anak. [10]Seperti yang tertuang pada Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak, yakni:

“Negara-negara Peserta akan menjamin anak-anak yang mampu membentuk pandangannya sendiri, bahwa mereka mempunyai hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan anak dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan anak”. (ayat 1)[12]

Ratifikasi Konvensi Hak Anak

Sebuah perjanjian internasional dapat dikatakan mengikat negara-negara yang bersangkutan jika telah dilakukan ratifikasi terhadap suatu perjanjian/konvensi tersebut. Konvensi hak-hak anak sendiri merupakan instrumen hukum HAM internasional yang paling komprehensif dalam mempromosikan dan melindungi hak anak.[13]

Ratifikasi Konvensi Hak Anak di Indonesia dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 36/1990 pada tangal 25 Agustus 1990. Namun, Konvensi Hak Anak baru mulai diberlakukan di Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1990, sesuai pasal 49 ayat 2, yakni: “Bagi tiap-tiap negara yang meratifikasi atau yang menyatakan keikutsertaan pada konvensi (Hak Anak) setelah diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan yang keduapuluh, konvensi ini berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan dari negara yang bersangkutan. Untuk menguatkan ratifikasi tersebut dalam upaya perlindungan anak di Indonesia, maka disahkanlah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.[14]

Implementasi Hak Anak di Indonesia

Negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak berhak dan berkewajiban dalam mengimplementasikan Konvensi Hak Anak. Dengan kata lain, para penyelenggara negaralah yang mempunyai wewenang untuk mengimplementasikan Konvensi. Walaupun KHA ini menempatkan peranan keluarga dan masyarakat pada posisi utama dalam pemenuhan hak anak.[15]

Implementasi KHA dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yakni: Kepres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan berlakunya Konvensi Hak-Hak Anak; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Anak sebagai Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor  2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Ketenagakerjaan.[16]

Implementasi Konvensi Hak Anak dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut, yaitu:  Niat untuk menarik reservasi; Upaya menyesuaikan legislasi nasional terhadap prinsip dan ketentuan Konvensi Hak Anak; Upaya perumusan strategi nasional bagi anak yang secara komprehensif mengacu pada kerangka Konvensi Hak Anak berikut penetapan tujuan-tujuannya; Penerjemahan Konvensi Hak Anak ke dalam bahasa nasional dan bahasa daerah serta penyebarluasan Konvensi; Penyebarluasan laporan yang disiapkan oleh pemerintah berikut kesimpulan dan rekomendasi yang diberikan oleh Komite Hak Anak terhadap Laporan pemerintah. [17]

Pelanggaran Hak Anak

Konteks pelanggaran

Konteks pelanggaran Hak anak yaitu pelanggaran pasal-pasal Konvensi Hak Anak yang mengikat suatu negara secara yuridis hak anak dalam aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya.[17]

Bentuk pelanggaran KHA secara umum dilihat dari pemenuhan negara terhadap kewajibannya. Dalam hal ini, jika negara yang melakukan pelanggaran dengan tindakan apapun, maka bisa digolongkan sebagai pelanggaran yang nyata. Sanksi yang dapat diterima dapat berupa bentuk embargo bantuan ekonomi, pengucilan, mempermalukan di tingkat Internasional, dan lainnya.

Namun, jika pelanggaran dilakukan bukan dari pemerintah, melainkan orang tua atau anggota masyarakat, maka negara wajib menjamin pertanggungjawaban pelaku dan membantu pemulihan korban, serta menegaskan kembali peraturan Konvensi Hak Anak.[17]

Jenis-jenis pelanggaran

Intimidasi bullying

Perilaku Bullying pada anak
Bullying yang kerap kali didapatkan anak di lingkungan sekolah merupakan salah satu pelanggaran hak anak.

Kejahatan dalam bentuk bullying banyak ditemukan di lingkungan pendidikan bagi anak baik secara fisik maupun verbal. Hal yang mempengaruhi fenomena ini dikarenakan pelaku terbiasa menyaksikan cara kekerasan sebagai penyelesaian masalah, sehingga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. KPAI mencatat dalam kurun waktu sembilan tahun, yaitu  2011 - 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak dan 2.473 untuk kasus bullying baik di sekolah  maupun sosial media.[18]

Perkawinan anak usia dini

Salah satu pelanggaran hak anak yang begitu marak adalah perkawinan anak usia dini. Hal ini dikarenakan konsep perkawinan dalam keluarga yang mempengaruhi cara pandang anak, sehingga perlu adanya pemberian pemahaman yang benar kepada anak tentang konsep keluarga dan perkawinan. Perkawinan anak ini dapat menimbulkan dampak seperti drop-out sekolah, gangguan kesehatan pada ibu dan bayi, dan berpotensi memiliki ekonomi kurang karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga mempengaruhi capaian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Negara. Usia perkawinan anak perempuan juga telah dinaikkan dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.[19]

Kekerasan pada anak

Perilaku kekerasan pada anak
Perilaku kekerasan pada anak biasa dilakukan oleh orang tua sendiri dan hal ini termasuk salah satu pelanggarn hak asasi manusia

Kasus-kasus kekerasan juga marak terjadi. Hal ini dapat disebabkan pandangan dan pemahaman mengenai anak yang salah, ketidakberdayaan dan ketergantungan anak pada orang tua atau anggota keluarga yang lebih dewasa. Menurut data KPAI, pada tahun 2011 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada 2012 jumlahnya meningkat menjadi 40.398.625 kasus. Banyaknya kasus kekerasan pada anak ini terus meningkat sehingga data akurat belum tersedia dan bisa saja belum terungkap secara keseluruhan.[20]

Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Anak

Pencegahan kasus kekerasan anak

Upaya ini dapat dilakukan dengan menargetkan sosialisasi atau penyuluhan mengenai hak anak melalui berbagai media, sehingga mencapai target sasaran semua kalangan umur baik anak-anak, remaja, hingga orang tua. Penyuluhan ini dapat dilakukan oleh organisasi, komunitas, atau profesi apa saja sehingga korban kekerasan dari berbagai lembaga dapat teratasi. [21]

Memperluas jaringan perlindungan anak

Perlindungan anak sebagai salah satu hak anak dapat diterapkan dari tingkat provinsi hinga ke desa-desa pelosok dengan membangun jejaring terhadap instansi-instansi seperti Kemenkum dan HAM, Balai Pemasyarakatan (Bapas), BPOM, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisai sosial kemasyarakatan, organisasi profesi, komunitas, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), paguyuban dan lainnya.[22]

Catatan Kaki

  1. ^ a b c d Eddyono 2007, hlm. 1.
  2. ^ Patilima 2009, hlm. 11.
  3. ^ a b c UNICEF 2016, hlm. 2.
  4. ^ Rizani 2006, hlm. 419.
  5. ^ ELSAM 2014, hlm. 1.
  6. ^ Patilima 2019, hlm. 8.
  7. ^ Pulthoni 2012, hlm. 38.
  8. ^ PBB 1989, hlm. 2.
  9. ^ a b PBB 1989, hlm. 3.
  10. ^ a b c Pulthoni 2012, hlm. 39.
  11. ^ PBB 1989, hlm. 4.
  12. ^ PBB 1989, hlm. 6.
  13. ^ UNICEF 2009, hlm. 2.
  14. ^ Patilima 2019, hlm. 10.
  15. ^ Eddyono 2007, hlm. 5.
  16. ^ Unpatti 2015, hlm. 1.
  17. ^ a b c Eddyono 2017, hlm. 6.
  18. ^ KPAI 2020, hlm. 1.
  19. ^ KPPA 2020, hlm. 1.
  20. ^ Mulyadi 2009, hlm. 10.
  21. ^ Lestari 2017, hlm. 6.
  22. ^ Lestari 2017, hlm. 7.

Daftar Pustaka

Buku

Jurnal

Sumber Daring

Dokumen Perjanjian

Berita