Ja'far ash-Shadiq

Ilmuwan Muslim di bidang mazhab
Revisi sejak 14 Oktober 2021 03.11 oleh 36.79.161.33 (bicara)

Ja'far ash-Shadiq (Bahasa Arab: جعفر الصادق), nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib, adalah Imam ke-6 dalam tradisi Syi'ah. Ia lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 Masehi (M), dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13 Desember 765 M. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah dimakamkan di Pekuburan Baqi', Madinah. Ia merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih). Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi dasar utama bagi mazhab Ja'fari atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati dan menjadi guru bagi kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan bahwa ia menjadi guru bagi Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). Perbedaan tentang siapa yang menjadi Imam setelahnya menjadikan mazhab Ismailiyah berbeda pandangan dengan mazhab Dua Belas Imam.

Ja'far ash-Shadiq
Ja'far ash-Shadiq Radhiyallahu Anhu
Kun-yahAbu Abdillah
NamaJa'far ash-Shadiq
KebangsaanUmayyah, Abbasiyah
Bagian dari seri Dua Belas Imam
Ja'far ash-Shadiq

penggambaran fiksi
Ja'far bin Muhammad bin Ali
Imam Ahlusunnah
KunyahAbu Abdullah
Lahir17 Rabiul awal 83 H
20 April 702 Masehi
Meninggal25 Syawal 148 H
4 Desember 765 Masehi
Tempat lahirMadinah
DikuburkanMadinah
Masa hidupSebelum Imamah: 41 tahun
(83-114 H)
Imamah: 34 tahun
(114-148 H)
Gelarash-Shadiq (Arab: Jujur)
Altinci Ali (Turki: Ali Keenam)
AyahMuhammad al-Baqir
IbuUmmu Farwah (Fatimah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar)
KeturunanMusa al-Kadzim (pengganti Imamiyah)
Isma'il bin Ja'far (pengganti Ismailiyah)
Abdullah al-Aftah, Ishaq, Ali, al-Abbas, Muhammad, Fatimah, Ummu Farwah, Asmaa
Ali · Hasan · Husain

as-Sajjad · al-Baqir · ash-Shadiq
al-Kadzim · ar-Ridha · al-Jawad
al-Hadi · al-Asykari · al-Mahdi

Kelahiran dan kehidupan keluarga

Kelahiran

Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 20 April 702 Masehi. Ia merupakan anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibunya bernama Fatimah (beberapa riwayat menyatakan Ummu Farwah) binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Melalui garis ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu Bakar, karena al-Qasim menikahi putri pamannya, Abdurahman bin Abu Bakar. Namun, hal ini tidak begitu bermakna mengingat garis patrilineal dalam masyarakat Arab, dan tidak serta-merta mewakili semangat rekonsiliasi antara Syiah dengan Sunni. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul-Malik bin Marwan, dari Bani Umayyah. Namun, informasi atau ketarangan mengenai Fatimah binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar bersifat misleading karena beberapa hal. Pertama, otoritas ensiklopedia Shia seperti WikiShia tidak mencantumkan informasi yang menunjukkan bahwa ia merupakan keturunan Abu Bakar dari garis ibu. Kedua, laman Wikishia mengenai Imam Ja'far b. Muhammad al-Sadiq (a) justru menunjukkan bahwa Fatimah ialah anak perempuan dari al-Husayn b. 'Ali b. al-Imam al-Husayn (a), dan hal ini koheren dengan patrilineal dalam masyarakat Arab. Dengan kata lain, tidak signifikan untuk menyoroti garis keturunan Fatima secara matrilineal. Ketiga, fakta historis bahwa Imam Ja'far b. Muhammad al-Sadiq (a) menikah dengan Fatimah tidak cukup signifikan untuk mendukung klaim yang beredar di sebagian kalangan Sunni bahwa hal ini merupakan simbolisasi dari semangat untuk ishlah antara golongan Syiah dengan Sunni. Tidak ada catatan historis maupun riset akademis yang mendukung klaim tersebut.

Keluarga

Ia memiliki saudara satu ibu yang bernama Abdullah bin Muhammad. Sedangkan saudara lainnya yang berlainan ibu adalah Ibrahim dan Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-Mughirah. Ali dan Zaynab beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah yang beribukan wanita hamba pula.

Keturunan

Anak laki-laki

Memiliki keturunan selanjutnya:[1]

  1. Isma'il al-Aaraj (Imam ke-7 menurut Ismailiyah)
  2. Musa al-Kadzim (Imam ke-7 menurut Dua Belas Imam)
  3. Ishaq al-Mu'taman[1]
  4. Muhammad al-Dibaj, yang mendeklarasikan dirinya sebagai Amirul Mukminin setelah Salat Jumat pada tanggal 6 Rabiul akhir 200 Hijriyah, dan kemudian berperang melawan Khalifah Abbasiyah pada saat itu, al-Ma'mun, tetapi dengan cepat ia tertangkap dan dibawa ke Khurasan.[2]
    1. Qasim[3]
      1. Abdullah
      2. Yahya
    2. Ali[4]
  5. Ali al-Uraidhi, menetap di kota Uraidh dekat Madinah.

Tidak memiliki keturunan selanjutnya:[1]

  1. Abdullah al-Afthah
  2. Abbas
  3. Yahya
  4. Muhsin
  5. Ja'far
  6. Hasan
  7. Muhammad al-Ashgar

Anak perempuan

  1. Fatimah binti Ja'far
  2. Asma binti Ja'far
  3. Ummu Farwah binti Ja'far

Kehidupan awal

Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung oleh ayahnya. Setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim Syi'ah.

Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti Al-Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan keadilan Umar II (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah.

Meninggalnya

Karena meninggal, Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 4 Desember 765 Masehi di Madinah, menurut riwayat dari kalangan Syi'ah, dengan diracun atas perintah Khalifah Mansur al-Dawaliki dari Bani Abbasiyah.

Mendengar berita meninggalnya Ja'far ash-Shadiq, Al-Mansur menulis surat kepada gubernur Madinah, memerintahkannya untuk pergi ke rumah Imam dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya. Siapapun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya seketika. Tentunya tujuan Al-Mansur adalah untuk mengakhiri seluruh masalah keimaman dan aspirasi kaum Syi'ah. Ketika gubernur Madinah melaksanakan perintah tersebut dan membacakan pesan terakhir dan wasiatnya, ia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat orang dan bukan satu orang untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang terakhir; yaitu khalifah sendiri, gubernur Madinah, Abdullah Aftah putranya yang sulung, dan Musa al-Kadzim putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana Al-Mansur menjadi gagal.

Ia dimakamkan di pekuburan Baqi', Madinah, berdekatan dengan Hasan bin Ali, Ali Zainal Abidin, dan ayahnya Muhammad al-Baqir.

Masa keimaman

Situasi politik pada zaman itu sangat menguntungkannya, sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik yang labil inilah Ja'far ash-Shadiq mampu menyebarkan dakwah Islam dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukannya meluas ke segenap penjuru, sehingga digambarkan muridnya berjumlah empat ribu orang, yang terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, di Eropa dikenal dengan nama Geber, seorang ahli matematika dan kimia, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang ulama yang disegani, serta berbagai ulama Sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi), al-Qodi As-Sukuni, Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki) dan lain-lain.

Di zaman Imam Ja'far, terjadi pergolakan politik dimana rakyat sudah jenuh berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan penindasan yang mereka lakukan selama ini. Situasi yang kacau dan pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleh Bani Abbasiyah yang juga berambisi kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkampanye dengan berkedok sebagai "para penuntut balas dari Bani Hasyim".

Bani Umayyah akhirnya tumbang dan Bani Abbasiyah mulai membuka kedoknya serta merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiyah membawa babak baru dalam sejarah. Selang beberapa waktu, ternyata Bani Abbasiyah memusuhi Ahlul Bait dan membunuh pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuhan. Pada 25 Syawal 148 H, Al-Mansur membuat Imam syahid dengan meracunnya.

"Imam Ja'far bin Muhammad, putra Imam kelima, lahir pada tahun 83 H/702 M. Dia wafat pada tahun 148 H/757 M, dan menurut riwayat kalangan Syi'ah diracun dan dibunuh karena intrik Al-Mansur, khalifah Bani Abbasiyah. Setelah ayahnya wafat dia menjadi Imam keenam atas titah Illahi dan fatwa para pendahulunya." [5]

Perkembangan Mazhab Dua Belas Imam

Perkembangan pesat Mazhab Dua Belas Imam

Selama masa keimaman Ja'far ash-Shadiq inilah, mazhab Syi'ah Dua Belas Imam atau dikenal juga Imamiah mengalami kesempatan yang lebih besar dan iklim yang menguntungkan baginya untuk mengembangkan ajaran-ajaran agama. Ini dimungkinkan akibat pergolakan di berbagai negeri Islam, terutama bangkitnya kaum Muswaddah untuk menggulingkan kekhalifahan Bani Umayyah, dan perang berdarah yang akhirnya membawa keruntuhan dan kemusnahan Bani Umayyah. Kesempatan yang lebih besar bagi ajaran Syi'ah juga merupakan hasil dari landasan yang menguntungkan, yang diciptakan Imam ke-5 selama 20 tahun masa keimamannya melalui pengembangan ajaran Islam yang benar dan pengetahuan Ahlul Bait. Sampai sekarang pun mazhab Syi'ah Imamiah juga dikenal dengan mazhab Ja'fari.

Murid-murid Ja'far ash-Shadiq

Imam telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan berbagai pengetahuan keagamaan sampai saat terakhir dari keimamannya yang bersamaan dengan akhir Bani Umayyah dan awal dari kekhalifahan Bani Abbasiyah. Ia mendidik banyak sarjana dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan aqliah (intelektual) dan naqliah (agama) seperti:

  • Zararah,
  • Muhammad bin Muslim,
  • Mukmin Thaq,
  • Hisyam bin Hakam,
  • Aban bin Taghlib,
  • Hisyam bin Salim,
  • Huraiz,
  • Hisyam Kaibi Nassabah, dan
  • Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, ahli kimia. (di Eropa dikenal dengan nama Geber)

Bahkan beberapa sarjana terkemuka Sunni seperti:

Mereka beroleh kehormatan menjadi murid-muridnya. Disebutkan bahwa kelas-kelas dan majelis-majelis pengajaranya menghasilkan empat ribu sarjana hadist dan ilmu pengetahuan lain. Jumlah hadist yang terkumpul dari Imam ke-5 dan ke-6, lebih banyak dari seluruh hadits yang pernah dicatat dari Imam lainnya.

Sasaran dari khalifah yang berkuasa

Tetapi menjelang akhir hayatnya, ia menjadi sasaran pembatasan-pembatasan yang dibuat atas dirinya oleh Al-Mansur, khalifah Bani Abbasiyah, yang memerintahkan penyiksaan dan pembunuhan yang kejam terhadap keturunan Nabi, yang merupakan kaum Syi'ah, hingga tindakan-tindakannya bahkan melampaui kekejaman Bani Umayyah. Atas perintahnya mereka ditangkap dalam kelompok-kelompok, beberapa dan mereka dibuang dalam penjara yang gelap dan disiksa sampai mati, sedangkan yang lain dipancung atau dikubur hidup-hidup atau ditempatkan di bawah atau di antara dinding-dinding yang dibangun di atas mereka.

Penangkapannya

Hisyam, khalifah Bani Umayyah, telah memerintahkan untuk menangkap Imam ke-6 dan dibawa ke Damaskus. Belakangan, Imam ditangkap oleh As-Saffah, khalifah Bani Abbasiyah dan dibawa ke Iraq. Akhirnya Al-Mansur menangkapnya lagi dan dibawa ke Samarra, Iraq untuk diawasi dan dengan segala cara mereka melakukan tindakan lalim dan kurang hormat dan berkali-kali merencanakan untuk membunuhnya. Kemudian Imam diizinkan kembali ke Madinah, di mana dia menghabiskan sisa hidupnya di Madinah, sampai dia diracun dan dibunuh melalui upaya rahasia Al-Mansur.

Riwayat mengenai Ja'far ash-Shadiq

Imam Malik menceritakan pribadi Imam Ja'far ash-Shadiq dalam kitab Tahdhib al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104:

"Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku tidak pernah menemui dia kecuali dalam salah satu daripada keadaan-keadaan ini:
  1. dia sedang salat,
  2. dia sedang berpuasa,
  3. dia sedang membaca kitab suci al-Qur'an.
Aku tidak pernah melihat dia meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi SAW tanpa taharah. Ia seorang yang paling bertaqwa, warak, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada mata yang pernah, tidak ada telinga yang pernah mendengar dan hati ini tidak pernah terlintas akan seseorang yang lebih utama (afdhal) melebihi Ja'far bin Muhammad dalam ibadah, kewarakan dan ilmu pengetahuannya."

Pada suatu ketika khalifah Al-Mansur dari Bani Abbasiyah ingin mengadakan perdebatan antara Abu Hanifah dengan Imam Ja'far ash-Shadiq. Khalifah bertujuan untuk menunjukkan kepada Abu Hanifah bahwa banyak orang sangat tertarik kepada Imam Ja'far bin Muhammad karena ilmu pengetahuannya yang luas itu. Khalifah Al-Mansur meminta Abu Hanifah menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk diajukan kepada Imam Ja'far bin Muhammad di dalam perdebatan itu nanti. Sebenarnya Al-Mansur telah merencanakan untuk mengalahkan Imam Ja'far bin Muhammad, dengan cara itu dan membuktikan kepada orang banyak bahwa Ja'far bin Muhammad tidaklah luas ilmunya.

Menurut Abu Hanifah,

"Al-Mansur meminta aku datang ke istananya ketika aku tidak berada di Hirah. Ketika aku masuk ke istananya, aku melihat Ja'far bin Muhammad duduk di sisi Al-Mansur. Ketika aku memandang Ja'far bin Muhammad, jantungku bergoncang kuat, rasa gentar dan takut menyelubungi diriku terhadap Ja'far bin Muhammad lebih daripada Al-Mansur. Setelah memberikan salam, Al-Mansur memintaku duduk dan dia memperkenalkanku kepada Ja'far bin Muhammad. Kemudian Al-Mansur memintaku mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kepada Ja'far bin Muhammad. Aku pun mengemukakan pertanyaan demi pertanyaan dan dia menjawabnya satu persatu, mengeluarkan bukan saja pendapat ahli-ahli fiqih Iraq dan Madinah tetapi juga mengemukakan pandangannya sendiri, baik dia menerima atau menolak pendapat-pendapat orang lain itu sehingga dia selesai menjawab semua empat puluh pertanyaan sulit yang telah aku sediakan untuknya."

Abu Hanifah berkata lagi,

"Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang yang paling alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat orang lain?"

Lantaran pengalaman itu, Abu Hanifah berkata,

"Aku tidak pernah melihat seorang ahli fiqih yang paling alim selain Ja'far bin Muhammad." [6]

Imam Ja'far ash-Shadiq sering berkata

"Hadits-hadits yang aku keluarkan adalah hadits-hadits dari bapakku. Hadits-hadits dari bapakku adalah dari kakekku. Hadits-hadits dari kakekku adalah dari Ali bin Abi Thalib, Amirul Mu'minin. Hadits-hadits dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib adalah hadits-hadits dari Rasulullah SAW dan hadits-hadits dari Rasulullah SAW adalah wahyu Allah Azza Wa Jalla." [7]
‘Abdul Jabbar bin al ‘Abbas al Hamdani berkata,”Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad menghampiri saat mereka akan meninggalkan Madinah. Ia berkata,’Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang shalih dari Madinah. Maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barangsiapa yang menganggap diriku imam ma’shum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku berlepas diri dari Abu Bakr dan ‘Umar, maka aku pun berlepas diri darinya’.” Ad Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata: “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakr dan ‘Umar, ia berkata,’Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga’.”

Referensi

  1. ^ a b c "Nasab Ahlul-Bait Nabi dari Keluarga Alawiyyin". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-12. Diakses tanggal 2008-07-29. 
  2. ^ http://www.ansar.org/english/alkatib/6.htm
  3. ^ Muqarnas: An Annual on Islamic Art and Architecture Halaman 43
  4. ^ "Biography Sayyid al-Dibaji". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-18. Diakses tanggal 2008-08-06. 
  5. ^ Thabathaba'i dalam "Islam Syiah (Asal-Usul dan Perkembangannya), hal. 233-234-235
  6. ^ Muwaffaq, Manaqib Abu Hanifah, Jilid I, hlm. 173; Dzahabi, Tadhkiratul Huffadz, Jilid I, hlm. 157
  7. ^ Al-Kulaini,al-Kafi, Juzuk I, hadith 154-14

Pranala luar

Anekdot

Seseorang pernah sekali meminta Ja'far untuk memperlihatkan Tuhan kepadanya. Imam berkata, "Lihat ke Matahari!" Orang itu berkata bahwa ia tidak dapat melihat matahari karena terlalu terang. Ja'far berkata, "Kalau kamu tidak dapat melihat yang diciptakan, bagaimana kamu merasa dapat melihat Pencipta?"