Letusan Samalas 1257

letusan besar Gunung Samalas di Indonesia

Gunung Samalas meletus pada tahun 1257 M di Lombok, Indonesia. Letusan ini diperkirakan mencapai skala 7 dalam Volcanic Explosivity Index[a], menjadikannya salah satu letusan gunung berapi terbesar pada masa Holosen. Letusan ini menghasilkan kolom erupsi setinggi puluhan kilometer ke atmosfer serta aliran piroklastik yang mengubur hampir seluruh Pulau Lombok. Sebagian material piroklastik bahkan mencapai Pulau Sumbawa di seberang. Aliran piroklastik ini menghancurkan pemukiman-pemukiman penduduk, termasuk Pamatan, yang kala itu menjadi ibu kota sebuah kerajaan di Lombok. Jejak abu dari letusan ini terdeteksi hingga sejauh 340 kilometer (210 mi) di Pulau Jawa. Total material abu dan bebatuan yang dimuntahkan dalam letusan ini mencapai lebih dari 10 kilometer kubik (2,4 cu mi).

Peta Pulau Lombok dengan lokasi Samalas di bagian atas
Lokasi kompleks kaldera gunung berapi Samalas di utara Lombok

Kejadian ini terekam di dalam naskah lontar Babad Lombok. Dalam Babad tersebut disebutkan kalimat : "Gunung Rinjani longsor dan Gunung Samalas runtuh". Letusan ini menyisakan sebuah kaldera besar yang kini berisi Danau Segara Anak. Aktivitas kegunungapian pada masa berikutnya menciptakan lebih banyak pusat-pusat vulkanis di dalam kaldera tersebut, termasuk Puncak Barujari, yang masih aktif hingga sekarang. Semburan aerosol yang dihasilkan oleh letusan ini memenuhi udara dan mengurangi radiasi matahari yang menggapai permukaan bumi. Hal ini menyebabkan pendinginan lapisan atmosfer selama beberapa tahun hingga menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan di Eropa serta belahan bumi lainnya, meskipun tingkat keparahan anomali temperatur beserta dampaknya masih diperdebatkan. Ada kemungkinan bahwa letusan ini memicu terjadinya Zaman Es Kecil yang berlangsung selama berabad-abad. Sebelum situs letusan ini diketahui, dalam pengujian terhadap sampel pengeboran es dari berbagai belahan dunia, ditemukan peningkatan besar-besaran deposit sulfat pada sekitar tahun 1257, yang menjadi bukti kuat adanya letusan gunung berapi di suatu tempat. Barulah pada tahun 2013, ilmuwan menghubungkan catatan sejarah mengenai Gunung Samalas dengan temuan ini.

Geologi

Geologi umum

Gunung Samalas (juga dikenal sebagai Rinjani Tua[3]) kini menjadi bagian dari kompleks gunung berapi Rinjani di Lombok, Indonesia.[4] Sisa gunung berapi ini membentuk kaldera Segara Anak, dengan Gunung Rinjani di ujung timurnya.[3] Sejak keruntuhan Samalas, dua puncak berapi baru, Rombongan dan Barujari, telah terbentuk di dalam kalderanya. Gunung Rinjani juga aktif secara vulkanis melalui kawah Segara Muncar.[5] Gunung berapi lain di wilayah ini termasuk Gunung Agung, Batur, dan Bratan di Pulau Bali, sebelah barat Lombok.[6]

 
Letak Pulau Lombok

Pulau Lombok adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil[7] yang terletak di Busur Sunda[8] di Indonesia,[9] sebuah zona subduksi tempat penunjaman Lempeng Australia ke bawah Lempeng Eurasia[8] dengan kecepatan 7 sentimeter per tahun (2,8 in/tahun).[10] Magma yang mengaliri Gunung Samalas dan Gunung Rinjani kemungkinan berasal dari lelehan batu peridotit dari mantle wedge (bagian mantel yang diapit oleh dua lempeng di zona subduksi) di bawah tanah Lombok.[8] Sebelum letusan 1257, tinggi Gunung Samalas diperkirakan mencapai setidaknya 4.200 ± 100 meter (13.780 ± 330 ft), berdasarkan rekonstruksi yang mengekstrapolasi kemiringan lereng gunung yang tersisa ke atas. Bagian Samalas yang tersisa kini lebih rendah daripada puncak Gunung Rinjani, yang mencapai 3.726 meter (12.224 ft).[11]

Unit geologis tertua di Lombok terbentuk pada kala Oligosen-Miosen,[4][9] seperti bisa dilihat dari formasi bebatuan vulkanis tua di bagian selatan pulau tersebut.[3][4] Samalas sendiri terbentuk melalui aktivitas vulkanis sekitar 12.000 tahun yang lalu. Sementara Rinjani terbentuk dalam rentang waktu antara 11.940 ± 40 hingga 2.550 ± 50 tahun yang lalu.[9] Sebuah letusan Rinjani yang diperkirakan terjadi antara 5.990 ± 50 hingga 2.550 ± 50 tahun yang lalu menghasilkan lapisan batu apung Propok yang memiliki ekuivalensi batuan padat[b] sebesar 01 kilometer kubik (0,24 cu mi).[13] Lapisan batu apung Rinjani, yang memiliki volume setara 03 kilometer kubik (0,72 cu mi) batuan padat,[14] kemungkinan dimuntahkan melalui letusan Rinjani atau Samalas;[15] lapisan ini diperkirakan berasal dari sekitar 2.550 ± 50 tahun yang lalu,[14] pada masa-masa akhir pembentukan Gunung Rinjani.[9] Muntahan material dari letusan ini terekam hingga sejauh 28 kilometer (17 mi) dengan ketebalan mencapai 6 sentimeter (2,4 in).[16] Letusan-letusan lain yang dihasilkan oleh Rinjani atau Samalas diperkirakan terjadi pada 11.980 ± 40, 11.940 ± 40, dan 6.250 ± 40 tahun yang lalu.[13] Aktivitas letusan berlanjut hingga kira-kira 500 tahun sebelum 1257.[17] Kini sebagian besar aktivitas vulkanis kompleks Rinjani-Samalas berpusat di Puncak Barujari yang meletus pada 1884, 1904, 1906, 1909, 1915, 1966, 1994, 2004, dan 2009, serta Rombongan yang pernah aktif pada 1944. Aktivitas vulkanis ini kebanyan berbentuk erupsi eksplosif dan aliran abu.[18]

Sebagian besar bebatuan Samalas adalah dasit, dengan kandungan SiO2 sebesar 62–63 persen.[9] Bebatuan vulkanik di Busur Banda termasuk kelompok kalk-alkali mulai dari basalt, andesit hingga dasit.[18] Lempeng bumi di bawah gunung berapi ini memiliki ketebalan sekitar 20 kilometer (12 mi) dengan lapisan terdalam zona Wadati–Benioff sekitar 164 kilometer (102 mi) di bawah permukaan.[8]

Letusan

 
Kaldera Segara Anak sisa letusan Samalas

Rekonstruksi letusan tahun 1257 telah dilakukan berdasarkan analisis geologis terhadap deposit material yang ditinggalkan.[13] Letusan ini kemungkinan berlangsung dalam rentang dua atau tiga bulan dari September tahun yang sama, mengingat waktu yang dibutuhkan bagi muntahan material letusan untuk mencapai lapisan es kutub serta meninggalkan jejak geologis di sana.[19] Letusan ini diawali dengan erupsi freatik (letusan akibat tekanan uap) yang memuntahkan abu setebal 3 sentimeter (1,2 in) yang menjangkau kawasan seluas 400 kilometer persegi (150 sq mi) di barat laut Pulau Lombok. Tahapan berikutnya adalah erupsi magmatik, yang membawa serpihan litik batu apung dengan ketebalan mencapai 8 sentimeter (3,1 in) melawan arah angin, menghujani Lombok Timur serta Bali.[13] Ini diikuti dengan muntahan abu dan batu lapili, serta aliran piroklastik yang sebagiannya hanya menjangkau lembah-lembah di lereng sebelah barat Samalas. Sebagian timbunan abu tergerus akibat aliran piroklastik hingga menciptakan struktur bergalur pada deposit abu tersebut. Aliran piroklastik menyeberangi Laut Bali sejauh 10 kilometer (6,2 mi) hingga menggapai Kepulauan Gili di sebelah barat Samalas. Jika dilihat dari deposit sisa letusan yang menandakan adanya interaksi antara lava dan air, letusan ini kemungkinan bersifat freatomagmatik. Letusan ini diikuti dengan tiga episode hujan batu apung yang menimpa wilayah lebih luas daripada fase erupsi lainnya.[20] Material batu apung terbawa sejauh 61 kilometer (38 mi) ke timur, melawan arah angin, hingga mencapai Sumbawa dan membentuk deposit setebal 7 sentimeter (2,8 in).[21]

Semburan batu apung ini diikuti dengan aliran piroklastik lainnya yang kemungkinan disebabkan oleh lunturnya kolom erupsi. Pada saat ini, erupsi tidak lagi menghasilkan kolom, tetapi semburan serupa air mancur, dan kaldera pun mulai terbentuk. Aliran piroklastik ini dikendalikan persebarannya oleh keadaan topografis Lombok, memenuhi lembah-lembah serta memutari halangan seperti gunung-gunung berapi tua selagi aliran tersebut meluas dan menghanguskan vegetasi di sekujur pulau. Aliran ini berinteraksi dengan udara dan memicu pembentukan awan-awan erupsi tambahan serta aliran piroklastik sekunder. Ketika aliran ini memasuki lautan di utara dan timur Lombok, ledakan uapnya menciptakan timbunan batu apung di pesisir pantai serta aliran piroklastik sekunder berikutnya.[21] Terumbu karang terkubur oleh aliran piroklastik ini; sebagian aliran bahkan menyeberangi Selat Alas antara Sumbawa dan Lombok serta membentuk deposit di Sumbawa.[22] Volume aliran piroklastik di Lombok mencapai 29 kilometer kubik (7,0 cu mi),[23] dengan material setebal 35 meter (115 ft) melingkupi wilayah sejauh 25 kilometer (16 mi) dari Samalas.[24] Keseluruhan tahapan erupsi ini juga dikenal dengan P1 (fase freatik dan magmatik), P2 (fase freatomagmatik dengan aliran piroklastik), P3 (fase Plinian) dan P4 (aliran piroklastik).[25] Durasi masing-masing fase P1 and P3 tidak diketahui tepatnya, tetapi bila keduanya digabungkan (tidak termasuk P2) lamanya kira-kira antara 12 hingga 15 jam.[26] Aliran piroklastik yang dihasilkan mengubah geografi wilayah timur Lombok, mengubur lembah-lembah sungai serta memanjangkan garis pantai; sebuah jaringan sungai baru terbentuk di atas deposit vulkanik pasca erupsi.[27] Kolom erupsi yang menyembur mencapai ketinggian 39–40 kilometer (24–25 mi) selama tahap pertama (P1),[28] dan 38–43 kilometer (24–27 mi) selama tahap ketiga (P3);[26] ketinggian yang cukup untuk memungkinkan fotolisis memengaruhi rasio isotop sulfur dari SO2 yang dikandungnya.[29]

Batuan vulkanik yang dimuntahkan oleh letusan ini menghujani Bali dan Lombok, serta sebagian Sumbawa.[10] Tefra dalam bentuk lapisan abu hasil erupsi ini bahkan juga mencapai Jawa, menjadi bagian dari Tefra Muntilan, yang dapat ditemukan di beberapa lereng gunung berapi di Jawa, tetapi tidak dapat dihubungkan dengan erupsi dari gunung-gunung ini. Lapisan tefra tersebut kini dianggap sebagai produk letusan Samalas 1257 dan diganti namanya menjadi Tefra Samalas.[21][30] Ketebalan lapisan tefra ini mencapai 2–3 sentimeter (0,79–1,18 in) di Gunung Merapi, 15 sentimeter (5,9 in) di Gunung Bromo, 22 sentimeter (8,7 in) di Kawah Ijen[31] dan 12–17 sentimeter (4,7–6,7 in) di Gunung Agung.[32] Di Danau Logung, Jawa Timur, 340 kilometer (210 mi) dari Samalas[21] ketebalannya mencapai 3 sentimeter (1,2 in). Sebagian besar tefra jatuh di arah barat dan barat daya dari Samalas.[33] Berdasarkan ketebalan Tefra Samalas yang ditemukan di Gunung Merapi, diperkirakan bahwa total volume tefra yang dimuntahkan mencapai 32–39 kilometer kubik (7,7–9,4 cu mi).[34] Indeks dispersal (luas wilayah permukaan yang terselimuti hujan abu atau tefra) letusan ini mencapai 7.500 kilometer persegi (2.900 sq mi) selama tahap pertama dan 110.500 kilometer persegi (42.700 sq mi) selama tahap ketiga, menandakan bahwa masing-masing tahapan merupakan erupsi Plinian dan Ultraplinian.[35]

Lapisan tefra dengan butiran halus berwarna krem dari letusan Samalas telah digunakan sebagai penanda tefrokronologis[c] di Bali.[37] Material tefra dari letusan ini bahkan ditemukan di dalam inti es sejauh 13.500 kilometer (8.400 mi) dari Samalas.[38] Lapisan tefra di Pulau Dongdao, Laut Cina Selatan, juga dihubungkan dengan letusan Samalas.[39] Abu dan aerosol hasil letusan diperkirakan memberikan dampak bagi manusia serta koral yang jaraknya jauh dari lokasi letusan.[40]

Ada beberapa perkiraan mengenai volume material yang dimuntahkan selama tahap-tahap letusan Samalas. Tahap pertama letusan memuntahkan sekitar 126–134 kilometer kubik (30–32 cu mi). Sementara volume material yang dikeluarkan pada fase fraetomagmatik diperkirakan mencapai 09–35 kilometer kubik (2,2–8,4 cu mi).[41] Total volume ekuivalen batuan padat dari letusan ini secara keseluruhan mencapai setidaknya 40 kilometer kubik (9,6 cu mi).[35] Magma hasil letusan merupakan jenis trasidasitik dan mengandung amfibol, apatit, klinopiroksen, besi sulfida, ortopiroksen, plagioklase, serta titanomagnetit. Lava yang disemburkan tersusun dari magma basaltik melalui kristalisasi sebagian[42] dan memiliki temperatur kira-kira 1.000 °C (1.830 °F).[11] Semburan lava ini kemungkinan dipicu oleh masuknya magma baru ke dalam kantung magma atau efek dari gaya apung gelembung gas.[43]

Letusan ini mencapai skala 7 dalam Volcanic Explosivity Index,[44] menjadikannya salah satu letusan terbesar pada kala Holosen.[45] Letusan-letusan yang kekuatannya sebanding dengan ini adalah letusan Danau Kurile (di Kamchatka, Russia) pada milenium ke-7 SM, letusan Gunung Mazama (yang menghasilkan Danau Crater, Oregon, Amerika Serikat) pada milenium ke-6 SM, letusan Minoa (di Santorini, Yunani)[45] antara 1627 hingga 1600 SM,[46] serta letusan Tierra Blanca Joven yang menyisakan Danau Ilopango (El Salvador) pada abad ke-6 Masehi.[45] Letusan-letusan sebesar ini dapat menyebabkan dampak bencana yang besar bagi manusia serta menghilangkan kehidupan baik di sekitar lokasi letusan maupun pada jarak yang lebih jauh.[47]

Letusan ini meninggalkan kawah selebar sekiranya 6–7 kilometer (3,7–4,3 mi) di tempat Gunung Samalas tadinya berdiri;[5] di dalam dinding kawah setinggi sekitar 700–2.800 meter (2.300–9.200 ft) itu, sebuah danau kawah sedalam 200 meter (660 ft)[14] yang disebut Segara Anak.[48] Puncak Barujari menjulang setinggi 320 meter (1.050 ft) di tepi danau tersebut, dan telah meletus sebanyak 15 kali sejak 1847.[14] Ada kemungkinan bahwa Samalas sudah memiliki danau kawah sebelum letusan 1257, yang menyumbang sekitar 01–03 kilometer kubik (0,24–0,72 cu mi) air pada fase letusan fraetomagmatik. Kemungkinan lainnya, air tersebut berasal dari akuifer.[49] Sebagian lereng Rinjani yang menghadap kaldera Samalas ikut runtuh.[11]

Letusan yang menghasilkan kaldera ini pertama kali dikenali pada tahun 2003. Pada tahun 2004, sebuah penelitian menaksir bahwa volume letusan ini mencapai 10 kilometer kubik (2,4 cu mi).[13] Riset mula-mula memperkirakan bahwa letusan pembentuk kaldera ini terjadi antara tahun 1210 dan 1300. Pada tahun 2013, Lavigne mengusulkan bahwa letusan ini terjadi antara bulan Mei dan Oktober 1257, dan menyebabkan perubahan iklim pada tahun 1258.[5] Beberapa desa di Lombok dibangung di atas timbunan aliran piroklastik sisa kejadian tahun 1257.[50]

Riwayat pengkajian

Adanya letusan gunung berapi besar pada sekitar tahun 1257–1258 diketahui pertama kali melalui analisis terhadap sampel es hasil pengeboran dari wilayah kutub.[51][52] Menggunakan metode pengukuran keasaman termutakhir pada tahun 1980, sekelompok peneliti Denmark menemukan lonjakan konsentrasi sulfat dari berbagai masa[53] pada sampel es dari Crête, Greenland (hasil pengeboran tahun 1974[54]) yang dihubungkan dengan timbunan abu riolitik.[55] Lapisan es dari masa 1257–1258 menunjukkan jejak lonjakan sulfat terbesar ketiga yang ditemukan di Crête.[56] Awalnya, para peneliti tersebut menduga bahwa deposit sulfat ini bersumber dari gunung berapi di dekat Greenland,[53] tetapi catatan sejarah Islandia tidak menyebutkan adanya letusan gunung berapi pada sekitar tahun 1250. Ditambah lagi, pada tahun 1988 ditemukan bahwa sampel es dari Antarktika (tepatnya dari Byrd Station dan Kutub Selatan) juga mengandung jejak peningkatan sulfat dari kurun waktu yang sama dengan jejak dari Greenland.[57] Lonjakan sulfat serupa juga ditemukan pada sampel es dari Pulau Ellesmere, Kanada.[58] Luasnya cakupan jejak sulfat Samalas membuat para ahli geologi menjadikannya sebagai penanda stratigrafis bahkan sejak sebelum sumber letusannya diketahui.[59]

Sampel-sampel es ini mengisyaratkan peningkatan deposit sulfat yang tinggi, diikuti dengan timbunan tefra,[60] dalam kurun waktu antara tahun 1257[61] hingga 1259.[60] Jejak lonjakan sulfat ini merupakan yang terbesar[d] selama 7.000 tahun dan berukuran dua kali lebih besar daripada jejak yang dihubungkan dengan letusan Gunung Tambora pada tahun 1815.[61] Dalam sebuah kajian dari tahun 2003, volume ekuivalensi batuan padat bagi letusan ini ditaksir berkisar antara 200 kilometer kubik (48 cu mi) hingga 800 kilometer kubik (190 cu mi),[63] walaupun volume sebenarnya bisa jadi lebih kecil, hanya saja kaya akan sulfur.[64] Diameter kaldera hasil letusan diperkirakan berukuran sekitar 10–30 kilometer (6,2–18,6 mi),[65] dan letaknya diperkirakan berada di dekat khatulistiwa.[66] Letusan ini diperkirakan berasal dari wilayah Cincin Api,[67] walaupun awalnya gunung yang menjadi sumber letusan ini belum dapat diketahui secara pasti.[51] Gunung Tofua di Tonga sempat diusulkan sebagai sumber, tetapi usulan ini ditolak karena letusan Tofua dianggap terlalu kecil untuk menghasilkan jejak-jejak sulfat dari tahun 1257.[68] Sementara, letusan Gunung Harrat al-Rahat dekat Madinah pada tahun 1256 dianggap terlalu awal dan terlalu kecil untuk memicu timbunan sulfat sebesar ini.[69] Kajian lain mengusulkan skenario letusan beberapa gunung berapi secara bersamaan.[70]

Awalnya, tidak ditemukan anomali cuaca yang dapat dihubungkan secara pasti dengan lapisan sulfat tahun 1257,[71][72] tetapi pada tahun 2000[71] laporan mengenai fenomena-fenomena cuaca khas akibat letusan gunung berapi[53] ditemukan dalam catatan Abad Pertengahan dari belahan bumi utara.[51][52] Sebelumnya, perubahan pola cuaca juga dilaporkan dalam kajian-kajian lingkar pohon dan rekonstruksi cuaca.[71]

Teori bahwa Gunung Samalas/Rinjani merupakan sumber letusan ini pertama kali disuarakan pada tahun 2012, sebab calon-calon sumber letusan lainnya – Gunung El Chichón dan Quilotoa – tidak cocok dengan unsur kimiawi penyusun lapisan-lapisan sulfat yang telah ditemukan.[73] Kurun waktu dan ukuran letusan ini juga tidak sesuai dengan data dari El Chichon dan Quilotoa, begitu juga dengan data dari calon lainnya, Gunung Okataina.[52]

Seluruh rumah hancur dan tersapu habis, mengambang di lautan, dan banyak orang yang mati.

Babad Lombok, [74]

Kaitan antara letusan Samalas dengan kejadian-kejadian ini dipastikan pada tahun 2013[51] berdasarkan penanggalan radiokarbon pohon-pohon di Lombok[75] serta bukti sejarah Babad Lombok yang dituliskan di atas dedaunan lontar dalam bahasa Jawa Kuno.[51] Babad Lombok mengisahkan sebuah letusan katastropis yang terjadi di Lombok sebelum akhir abad ke-13.[11] Temuan-temuan ini meyakinkan Franck Lavigne (ahli ilmu bumi dari Pantheon-Sorbonne University[76]), yang telah mencurigai gunung berapi di Lombok sebagai sumber letusan, untuk menyimpulkan bahwa Samalas-lah pelakunya.[53] Peran letusan Samalas dalam anomali cuaca global juga telah dipastikan dengan perbandingan geokimia antara pecahan sampel es serta deposit erupsi di Lombok.[48] Kajian lanjutan yang menemukan kesamaan geokimia antara tefra yang ditemukan dalam sampel es kutub dengan hasil letusan Samalas juga turut memperkuat temuan ini.[77]

Dampak pada iklim

Berdasarkan data aerosol dan paleoklimatologis

Jejak sulfat pada sampel es dari berbagai tempat di bumi yang dihubungkan dengan Samalas merupakan jejak sulfat paling kuat selama 1000 tahun terakhir.[78] Menurut satu perkiraan, jejak ini bahkan merupakan yang paling kuat selama 2500 tahun terakhir.[79] Jejak ini sekitar delapan kali lebih kuat daripada jejak sulfat hasil letusan Krakatau pada tahun 1883.[53] Di belahan bumi utara, jejak sulfat Samalas hanya kalah kuat dari jejak yang dihasilkan oleh letusan Laki pada tahun 1783/1784;[78] Jejak sulfat dari sampel es ini telah digunakan sebagai penanda waktu dalam kajian-kajian kronostratografis.[80] Sampel es dari Illimani di Bolivia bahkan juga mengandung thallium[81] dan jejak sulfat dari letusan Samalas.[82] Sebagai perbandingan, material sulfur yang dimuntahkan oleh letusan Pinatubo pada tahun 1991 hanya sekitar sepersepuluh dari material sulfur yang dimuntahkan oleh letusan Samalas.[83] Timbunan sulfat dari letusan Samalas telah ditemukan di Svalbard,[84] dan luruhan material asam sulfat dari gunung ini kemungkinan berdampak secara langsung pada lahan gambut di utara Swedia.[85] Selain itu, aerosol sulfat yang dihasilkan oleh letusan ini kemungkinan mengekstrak sejumlah besar isotop berilium 10Be dari stratosfer; pengekstrakan dan pendepositan material semacam ini pada lapisan es dapat memberi dampak serupa dengan perubahan aktivitas matahari.[86] Massa sulfur dioksida yang dilepaskan oleh letusan ini diperkirakan mencapai sekitar 158 ± 12 juta ton.[42] Massa sulfur ini lebih besar daripada yang dilepaskan oleh letusan Tambora, walaupun mungkin saja ini karena letusan Samalas lebih efektif dalam memuntahkan tefra hingga mencapai lapisan stratosfer. Selain itu, magma Samalas kemungkinan memiliki kandungan sulfur yang lebih tinggi.[87] Luruhan material dari letusan ini kemungkinan membutuhkan berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan untuk menjangkau tempat-tempat yang jauh.[67] Aerosol yang dimuntahkan oleh letusan gunung berapi berskala besar dapat membentuk lapisan tersendiri di stratosfer. Lapisan ini mengurangi sinar yang menjangkau permukaan bumi dan menurunkan temperatur, sehingga dapat berdampak pada berkurangnya hasil panen.[88] Menurut temuan yang didapat dari kajian sampel es Dome C di Antarktika, material aerosol sulfat hasil letusan Samalas kemungkinan bertahan dalam konsentrasi tinggi di atmosfer hingga kira-kira tiga tahun, walaupun material aerosol dalam jumlah yang lebih kecil kemungkinan masih bertahan selama beberapa waktu lebih lama.[89]

Data dari kajian lingkar pohon yang berkaitan dengan dampak letusan ini adalah penurunan pertumbuhan pohon di Mongolia pada tahun 1258–1262,[90] lingkar-lingkar pohon yang rusak akibat pembekuan pada masa pertumbuhan,[91] lingkar-lingkar yang terang pada pohon-pohon di Kanada dari tahun 1258 dan Siberia barat laut dari tahun 1259,[92] lingkar-lingkar pohon yang tipis di Sierra Nevada, California, Amerika Serikat,[93] serta penipisan lingkar pohon selama satu dekade penuh pada pohon-pohon di Norwegia dan Swedia.[94] Temuan lainnya yang menunjukkan besarnya dampak letusan ini adalah jejak pendinginan pada sedimen danau di timur laut Tiongkok,[95] jejak musim hujan yang teramat basah di Vietnam,[75] dan jejak kekeringan yang ditemukan pada berbagai tempat di belahan bumi utara[96] serta pada gua-gua Thailand.[e][97] Penurunan suhu mungkin saja bertahan selama sekitar 4–5 tahun berdasarkan simulasi iklim dan data kajian lingkar pohon.[98]

Efek lain dari perubahan iklim akibat letusan mungkin adalah penurunan singkat konsentrasi karbon dioksida di atmosfer.[70] Penurunan laju pertumbuhan konsentrasi karbon dioksida atmosfer tercatat setelah letusan Pinatubo 1992; beberapa mekanisme untuk penurunan atmosfer yang didorong oleh konsentrasi vulkanik telah diusulkanCO2 , termasuk lautan yang lebih dingin menyerap ekstrak dan lebih sedikit melepasnyaCO2, penurunan tingkat respirasi yang menyebabkan akumulasi karbon di biosfer,[99] dan peningkatan produktivitas biosfer karena meningkatnya sinar matahari yang tersebar dan pemupukan lautan oleh abu vulkanik.[100]

Sinyal Samalas hanya dilaporkan secara tidak konsisten dari informasi iklim pada lingkaran pohon,[101][102] dan efek suhu juga terbatas, mungkin karena keluaran sulfat yang besar mengubah ukuran rata-rata partikel dan dengan demikian pemancaran radiasinya.[103] Pemodelan iklim menunjukkan bahwa letusan Samalas mungkin telah menurunkan suhu global sekitar 2 °C (3,6 °F), nilai yang sebagian besar tidak direplikasi oleh data proxy.[104] Pemodelan yang lebih baik dengan model sirkulasi umum yang mencakup penjelasan rinci tentang aerosol menunjukkan bahwa anomali suhu utama terjadi pada tahun 1258 dan berlanjut hingga 1261.[104] Model iklim cenderung melebih-lebihkan dampak iklim dari letusan gunung berapi;[105] salah satu penjelasannya adalah bahwa model iklim cenderung berasumsi bahwa aerosol kedalaman optik meningkat secara linier dengan jumlah belerang yang meletus.[106] Kemungkinan terjadinya El Niño sebelum letusan kemungkinan juga telah ikut mengurangi pendinginan.[107]

Letusan Samalas, bersama dengan pendinginan abad ke-14, diperkirakan telah memicu pertumbuhan lapisan es, lautan es,[108] dan gletser di Norwegia.[109] Kemajuan es setelah letusan Samalas mungkin telah memperkuat dan memperpanjang efek iklim.[85] Aktivitas vulkanik di kemudian hari pada 1269, 1278, dan 1286 dan pengaruh es laut di Atlantik Utara akan berkontribusi lebih jauh pada perluasan es.[110] Kemajuan gletser yang dipicu oleh letusan Samalas didokumentasikan di Pulau Baffin, di mana es yang mendekat telah membunuh dan kemudian memasuki vegetasi, yang kemudian melestarikannya.[111] Demikian pula, perubahan di Kanada Arktik dari fase iklim hangat menjadi lebih dingin bertepatan dengan letusan Samalas.[112]

Berdasarkan simulasi

Menurut rekonstruksi tahun 2003, penurunan suhu musim panas akibat letusan ini mencapai 069 °C (124 °F) di belahan bumi selatan dan 046 °C (83 °F) di belahan bumi utara.[71] Data-data proxy[f] yang lebih mutakhir menunjukkan penurunan suhu hingga 07 °C (13 °F) pada 1258 dan 12 °C (22 °F) pada 1259, tetapi dengan tingkat berbeda-beda tergantung wilayah.[113] Sebagai perbandingan, radiative forcing letusan Pinatubo pada tahun 1991 hanya sekitar sepertujuh dari letusan Samalas.[114] Suhu permukaan laut juga menurun sebesar 03–22 °C (5,4–39,6 °F),[115] sehingga menyebabkan perubahan pada sirkulasi samudra. Perubahan pada suhu dan salinitas samudra kemungkinan bertahan hingga satu dekade.[116] Tingkat presipitasi maupun evaporasi menurun, walaupun penurunan evaporasi lebih parah daripada penurunan presipitasi.[117]

Letusan gunung berapi juga dapat menyebarkan bromin dan klorin ke stratosfer. Senyawa oksida dari kedua unsur ini, klorin monoksida and bromin monoksida turut berperan dalam mengurai lapisan ozon. Walaupun kebanyakan bromin dan klorin hasil letusan gunung berapi larut dalam kolom erupsi dan tidak mencapai stratosfer, kuantitas semburan halogen Samalas yang diperkirakan mencapai 227 ± 18 million tonnes of chlorine and up to 1.3 ± 0.3 million tonnes of bromine cukup untuk mereduksi lapisan ozon di stratosfer[42] sekalipun hanya sebagian kecil dari semburan tersebut yang mencapai stratosfer.[118] Menurut sebuah hipotesis, radiasi ultraviolet yang timbul akibat berkurangnya lapisan ozon ini kemungkinan menyebabkan penurunan kekebalan tubuh secara luas pada populasi manusia sehingga berbagai epidemi timbul pada tahun-tahun pascaletusan.[119]

Dampak sosial dan historis

Letusan Samalas menyebabkan bencana global pada tahun 1257–1258.[48] Letusan gunung berapi besar secara umum dapat menyebabkan berbagai bencana seperti kelaparan, termasuk pada wilayah yang jauh dari gunung tersebut, akibat dampak iklim yang ditimbulkannya.[88]

Kerajaan di Lombok dan Bali

Wilayah Kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah pada saat itu terpecah menjadi kerajaan-kerajaan saingan yang merekam kejadian sejarah mereka dalam berbagai prasasti.[47] Namun, sedikit sekali catatan sejarah mengenai letusan Samalas yang dapat ditemukan.[120] Salah satunya adalah Babad Lombok, yang menceritakan bagaimana desa-desa di Lombok luluh-lantak akibat aliran abu, gas, dan lahar pada sekitar abad ke-13.[51] Naskah babad lain yang kemungkinan merujuk pada letusan ini adalah Babad Sembalun dan Babad Suwung.[121] Dari naskah-naskah ini pulalah nama "Samalas" didapatkan[3].

Kota Pamatan, sebuah pusat pemerintahan kerajaan di Lombok, hancur dan hilang dari catatan sejarah akibat letusan ini. Meski begitu, naskah babad menyebut bahwa keluarga kerajaan berhasil selamat,[122] dan tidak ada bukti yang jelas mengenai apakah kerajaan tersebut sepenuhnya hancur akibat letusan.[120] Ribuan orang diperkirakan meninggal dalam letusan ini[11] walaupun sebagian penduduk Lombok kemungkinan mengungsi sebelum erupsi terjadi.[123] Di Bali, jumlah prasasti yang dikeluarkan penguasa setempat menurun setelah letusan.[124] Bali dan Lombok diperkirakan mengalami penurunan penduduk[125] yang mungkin berlangsung selama beberapa generasi, sehingga mempermudah Raja Kertanegara dari Singhasari untuk menaklukkan Bali pada 1284 tanpa perlawanan berarti.[126][124] Kawasan [[pantai barat Sumbawa]i mengalami depopulasi dan tetap sepi penduduk hingga saat ini; penduduk setempat kala itu kemungkinan melarang kawasan terdampak letusan untuk ditinggali, dan ingatan akan larangan tersebut terus bertahan hingga akhir-akhir ini.[127]

Oseania dan Selandia Baru

Sejarah di Oseania pada umumnya tidak memiliki penanggalan yang pasti, sehingga sulit menentukan rentang waktu dan peran atau dampak dari kejadian tertentu di kawasan tersebut. Meski begitu, terdapat bukti yang menunjukkan adanya berbagai krisis antara tahun 1250 dan 1300 di Oseania, contohnya seperti yang terjadi di Pulau Paskah, yang dapat dikaitkan permulaan Zaman Es Kecil serta letusan Samalas.[40] Pada sekitar tahun 1300, banyak pemukiman di Pasifik yang berpindah tempat, yang kemungkinan terkait dengan penurunan permukaan air laut setelah pertengahan abad ke-13.[128]

Perubahan iklim yang dipicu oleh letusan Samals dan permulaan Zaman Es Kecil barangkali menyebabkan orang-orang Polinesia bermigrasi ke arah barat daya pada abad ke-13. Pemukiman pertama di Selandia Baru muncul pada sekitar tahun 1230–1280 M. Kemunculan pemukiman manusia di sana dan kepulauan sekitarnya bisa jadi merupakan akibat dari migrasi ini.[129]

Eropa, Timur Dekat dan Timur Tengah

Tarikh-tarikh Eropa menyebutkan keadaan cuaca yang tidak lazim pada 1258.[130] Laporan dari Prancis dan Inggris pada tahun 1258 mengenai fenomena serupa awan yang tak kunjung hilang mengindikasikan adanya kabut kering yang meliputi kawasan tersebut.[131] Tarikh-tarikh Abad Pertengahan menyebut bahwa pada tahun 1258, musim panasnya dingin dan berhujan, sehingga menyebabkan banjir dan gagal panen,[52] dengan suhu dingin antara Februari hingga Juni.[132] Suhu beku terjadi pada musim panas tahun 1259 menurut tarikh-tarikh Rusia.[92] Di Eropa dan Timur Tengah, perubahan pada warna atmosfer, badai, suhu dingin, dan cuaca buruk dilaporkan terjadi pada tahun 1258–1259,[133] ditambah dengan permasalahan pertanian yang juga terjadi di kawasn tersebut termasuk Afrika Utara.[134] Di Eropa, curah hujan berlebih, suhu dingin, dan awan yang tebal menyebabkan kerusakan pada hasil tani, sehingga menyebabkan kelaparan yang juga diikuti dengan wabah penyakit,[135][75] walaupun bencana kelaparan yang terjadi tidak sampai separah Kelaparan Besar 1315–1317.[136]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Volcanic Explosivity Index (VEI) adalah skala yang mengukur intensitas dari sebuah letusan gunung;[1] skala 7 menandakan letusan besar yang menghasilkan setidaknya 100 kilometer kubik (24 cu mi) muntahan material vulkanik. Letusan sebesar ini terjadi satu atau dua kali setiap milenium, walaupun sepertinya perkiraan ini lebih kecil dari kenyataan karena kurang lengkapnya rekaman geologis dan sejarah.[2]
  2. ^ Ekuivalensi batuan padat adalah sebuah besaran yang digunakan untuk mengukur seberapa besar volume magma yang membentuk lapisan material piroklastik.[12]
  3. ^ Tefrokronologi adalah teknik geokronologi yang menggunakan lapisan batu apung yang usianya diketahui untuk mengaitkan serta menyelaraskan berbagai kejadian.[36]
  4. ^ Jejak lonjakan sulfat dari sekitar tahun 44 SM dan 426 SM, yang ditemukan di kemudian hari, memiliki ukuran yang sebanding.[62]
  5. ^ Walaupun kekeringan di Thailand tampaknya berlanjut hingga melewati masa ketika dampak aerosol Samalas seharusnya sudah tidak lagi terasa.[97]
  6. ^ Dalam paleoklimatologi, data proxy adalah bukti fisik yang dapat digunakan untuk mereka ulang keadaan iklim di masa lampau sebagai pengganti data observasi langsung. Data inti es dan lingkar pohon termasuk ke dalam jenis data proxy.

Rujukan

  1. ^ Newhall, Self & Robock 2018, hlm. 572.
  2. ^ Newhall, Self & Robock 2018, hlm. 573.
  3. ^ a b c d "Rinjani Dari Evolusi Kaldera hingga Geopark". Geomagz. 4 April 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-02-22. Diakses tanggal 3 March 2018. 
  4. ^ a b c Métrich et al. 2018, hlm. 2258.
  5. ^ a b c Rachmat et al. 2016, hlm. 109.
  6. ^ Fontijn et al. 2015, hlm. 2.
  7. ^ Mutaqin et al. 2019, hlm. 338–339.
  8. ^ a b c d Rachmat et al. 2016, hlm. 107.
  9. ^ a b c d e Rachmat et al. 2016, hlm. 108.
  10. ^ a b Mutaqin et al. 2019, hlm. 339.
  11. ^ a b c d e Lavigne et al. 2013, hlm. 16743.
  12. ^ Pyle, David M. (2015-01-01). Sizes of Volcanic Eruptions. The Encyclopedia of Volcanoes (dalam bahasa Inggris). hlm. 257–264. doi:10.1016/B978-0-12-385938-9.00013-4. ISBN 9780123859389. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-18. Diakses tanggal 2018-10-19. 
  13. ^ a b c d e Vidal et al. 2015, hlm. 3.
  14. ^ a b c d Vidal et al. 2015, hlm. 2.
  15. ^ Métrich et al. 2018, hlm. 2260.
  16. ^ Métrich et al. 2018, hlm. 2264.
  17. ^ Métrich et al. 2018, hlm. 2263.
  18. ^ a b Rachmat et al. 2016, hlm. 110.
  19. ^ Crowley, T. J.; Unterman, M. B. (23 May 2013). "Technical details concerning development of a 1200 yr proxy index for global volcanism". Earth System Science Data. 5 (1): 193. Bibcode:2013ESSD....5..187C. doi:10.5194/essd-5-187-2013. 
  20. ^ Vidal et al. 2015, hlm. 5.
  21. ^ a b c d Vidal et al. 2015, hlm. 7.
  22. ^ Mutaqin et al. 2019, hlm. 344.
  23. ^ Vidal et al. 2015, hlm. 17.
  24. ^ Lavigne et al. 2013, hlm. 16744.
  25. ^ Vidal et al. 2015, hlm. 21–22.
  26. ^ a b Vidal et al. 2015, hlm. 18.
  27. ^ Mutaqin et al. 2019, hlm. 348.
  28. ^ Vidal et al. 2015, hlm. 17–18.
  29. ^ Whitehill, A. R.; Jiang, B.; Guo, H.; Ono, S. (20 February 2015). "SO2 photolysis as a source for sulfur mass-independent isotope signatures in stratospehric aerosols". Atmospheric Chemistry and Physics. 15 (4): 1861. Bibcode:2015ACP....15.1843W. doi:10.5194/acp-15-1843-2015. 
  30. ^ Alloway et al. 2017, hlm. 87.
  31. ^ Alloway et al. 2017, hlm. 90.
  32. ^ Vidal et al. 2015, hlm. 8.
  33. ^ Vidal et al. 2015, hlm. 12.
  34. ^ Vidal et al. 2015, hlm. 16.
  35. ^ a b Vidal et al. 2015, hlm. 19.
  36. ^ Lowe, David J. (April 2011). "Tephrochronology and its application: A review". Quaternary Geochronology (dalam bahasa Inggris). 6 (2): 107. doi:10.1016/j.quageo.2010.08.003. hdl:10289/4616. ISSN 1871-1014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-18. Diakses tanggal 2018-10-19. 
  37. ^ Fontijn et al. 2015, hlm. 8.
  38. ^ Stevenson, J. A.; Millington, S. C.; Beckett, F. M.; Swindles, G. T.; Thordarson, T. (19 May 2015). "Big grains go far: understanding the discrepancy between tephrochronology and satellite infrared measurements of volcanic ash". Atmospheric Measurement Techniques. 8 (5): 2075. Bibcode:2015AMT.....8.2069S. doi:10.5194/amt-8-2069-2015. 
  39. ^ Yang, Zhongkang; Long, Nanye; Wang, Yuhong; Zhou, Xin; Liu, Yi; Sun, Liguang (1 February 2017). "A great volcanic eruption around AD 1300 recorded in lacustrine sediment from Dongdao Island, South China Sea". Journal of Earth System Science (dalam bahasa Inggris). 126 (1): 5. doi:10.1007/s12040-016-0790-y. ISSN 0253-4126. 
  40. ^ a b Margalef et al. 2018, hlm. 5.
  41. ^ Vidal et al. 2015, hlm. 14.
  42. ^ a b c Vidal, Céline M.; Métrich, Nicole; Komorowski, Jean-Christophe; Pratomo, Indyo; Michel, Agnès; Kartadinata, Nugraha; Robert, Vincent; Lavigne, Franck (10 October 2016). "The 1257 Samalas eruption (Lombok, Indonesia): the single greatest stratospheric gas release of the Common Era". Scientific Reports. 6: 34868. Bibcode:2016NatSR...634868V. doi:10.1038/srep34868. PMC 5056521 . PMID 27721477. 
  43. ^ Métrich et al. 2018, hlm. 2278.
  44. ^ Whelley, Patrick L.; Newhall, Christopher G.; Bradley, Kyle E. (22 January 2015). "The frequency of explosive volcanic eruptions in Southeast Asia". Bulletin of Volcanology. 77 (1): 3. Bibcode:2015BVol...77....1W. doi:10.1007/s00445-014-0893-8. PMC 4470363 . PMID 26097277. 
  45. ^ a b c Lavigne et al. 2013, hlm. 16745.
  46. ^ Lavigne et al. 2013, Table S1.
  47. ^ a b Alloway et al. 2017, hlm. 86.
  48. ^ a b c Reid, Anthony (10 July 2016). "Revisiting Southeast Asian History with Geology: Some Demographic Consequences of a Dangerous Environment". Dalam Bankoff, Greg; Christensen, Joseph. Natural Hazards and Peoples in the Indian Ocean World. Palgrave Macmillan US. hlm. 33. doi:10.1057/978-1-349-94857-4_2. ISBN 978-1-349-94857-4. 
  49. ^ Vidal et al. 2015, hlm. 14–15.
  50. ^ Lavigne, Franck; Morin, Julie; Mei, Estuning Tyas Wulan; Calder, Eliza S.; Usamah, Muhi; Nugroho, Ute (2017). Mapping Hazard Zones, Rapid Warning Communication and Understanding Communities: Primary Ways to Mitigate Pyroclastic Flow Hazard. SpringerLink. Advances in Volcanology (dalam bahasa Inggris). hlm. 4. doi:10.1007/11157_2016_34. ISBN 978-3-319-44095-8. 
  51. ^ a b c d e f "Culprit Behind Medieval Eruption". Science. 342 (6154): 21.2–21. 3 October 2013. doi:10.1126/science.342.6154.21-b. 
  52. ^ a b c d Lavigne et al. 2013, hlm. 16742.
  53. ^ a b c d e Hamilton 2013, hlm. 39.
  54. ^ Langway, Chester C. (2008). "The history of early polar ice cores" (PDF). Cold Regions Science and Technology. 52 (2): 28. doi:10.1016/j.coldregions.2008.01.001. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-11-18. Diakses tanggal 29 January 2019. 
  55. ^ Oppenheimer 2003, hlm. 417–418.
  56. ^ Hammer, Clausen & Langway 1988, hlm. 103.
  57. ^ Hammer, Clausen & Langway 1988, hlm. 104.
  58. ^ Hammer, Clausen & Langway 1988, hlm. 106.
  59. ^ Osipova, O. P.; Shibaev, Y. A.; Ekaykin, A. A.; Lipenkov, V. Y.; Onischuk, N. A.; Golobokova, L. P.; Khodzher, T. V.; Osipov, E. Y. (7 May 2014). "High-resolution 900 year volcanic and climatic record from the Vostok area, East Antarctica". The Cryosphere (dalam bahasa English). 8 (3): 7. doi:10.5194/tc-8-843-2014. ISSN 1994-0416. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 April 2019. Diakses tanggal 7 April 2019. 
  60. ^ a b Narcisi et al. 2019, hlm. 165.
  61. ^ a b Auchmann, Renate; Brönnimann, Stefan; Arfeuille, Florian (March 2015). "Tambora: das Jahr ohne Sommer". Physik in Unserer Zeit (dalam bahasa Jerman). 46 (2): 67. Bibcode:2015PhuZ...46...64A. doi:10.1002/piuz.201401390. 
  62. ^ Sigl, M.; Winstrup, M.; McConnell, J. R.; Welten, K. C.; Plunkett, G.; Ludlow, F.; Büntgen, U.; Caffee, M.; Chellman, N.; Dahl-Jensen, D.; Fischer, H.; Kipfstuhl, S.; Kostick, C.; Maselli, O. J.; Mekhaldi, F.; Mulvaney, R.; Muscheler, R.; Pasteris, D. R.; Pilcher, J. R.; Salzer, M.; Schüpbach, S.; Steffensen, J. P.; Vinther, B. M.; Woodruff, T. E. (8 July 2015). "Timing and climate forcing of volcanic eruptions for the past 2,500 years". Nature. 523 (7562): 543–9. Bibcode:2015Natur.523..543S. doi:10.1038/nature14565. PMID 26153860. 
  63. ^ Oppenheimer 2003, hlm. 419.
  64. ^ Oppenheimer 2003, hlm. 419–420.
  65. ^ Oppenheimer 2003, hlm. 424.
  66. ^ Hammer, Clausen & Langway 1988, hlm. 107.
  67. ^ a b Campbell 2017, hlm. 113.
  68. ^ Caulfield, J. T.; Cronin, S. J.; Turner, S. P.; Cooper, L. B. (27 April 2011). "Mafic Plinian volcanism and ignimbrite emplacement at Tofua volcano, Tonga". Bulletin of Volcanology. 73 (9): 1274. Bibcode:2011BVol...73.1259C. doi:10.1007/s00445-011-0477-9. 
  69. ^ Stothers 2000, hlm. 361–362.
  70. ^ a b Brovkin et al. 2010, hlm. 675.
  71. ^ a b c d Oppenheimer 2003, hlm. 422.
  72. ^ Zielinski, Gregory A. (1995). "Stratospheric loading and optical depth estimates of explosive volcanism over the last 2100 years derived from the Greenland Ice Sheet Project 2 ice core". Journal of Geophysical Research. 100 (D10): 20949. doi:10.1029/95JD01751. 
  73. ^ Witze, Alexandra (14 July 2012). "Earth: Volcanic bromine destroyed ozone: Blasts emitted gas that erodes protective atmospheric layer". Science News. 182 (1): 12. doi:10.1002/scin.5591820114. 
  74. ^ Hamilton 2013, hlm. 39–40.
  75. ^ a b c Hamilton 2013, hlm. 40.
  76. ^ "Centuries-old volcano mystery solved?". Science News. UPI. 18 June 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 April 2019. Diakses tanggal 11 March 2019. 
  77. ^ Narcisi et al. 2019, hlm. 168.
  78. ^ a b Kokfelt et al. 2016, hlm. 2.
  79. ^ Swingedouw et al. 2017, hlm. 28.
  80. ^ Boudon, Georges; Balcone-Boissard, Hélène; Solaro, Clara; Martel, Caroline (September 2017). "Revised chronostratigraphy of recurrent ignimbritic eruptions in Dominica (Lesser Antilles arc): Implications on the behavior of the magma plumbing system". Journal of Volcanology and Geothermal Research (dalam bahasa Inggris). 343: 135. doi:10.1016/j.jvolgeores.2017.06.022. ISSN 0377-0273. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-18. Diakses tanggal 2018-10-20. 
  81. ^ Kellerhals, Thomas; Tobler, Leonhard; Brütsch, Sabina; Sigl, Michael; Wacker, Lukas; Gäggeler, Heinz W.; Schwikowski, Margit (1 February 2010). "Thallium as a Tracer for Preindustrial Volcanic Eruptions in an Ice Core Record from Illimani, Bolivia". Environmental Science & Technology. 44 (3): 888–93. doi:10.1021/es902492n. ISSN 0013-936X. PMID 20050662. 
  82. ^ Knüsel, S. (2003). "Dating of two nearby ice cores from the Illimani, Bolivia". Journal of Geophysical Research. 108 (D6): 4181. Bibcode:2003JGRD..108.4181K. doi:10.1029/2001JD002028. 
  83. ^ Fu et al. 2016, hlm. 2862.
  84. ^ Wendl, I. A.; Eichler, A.; Isaksson, E.; Martma, T.; Schwikowski, M. (7 July 2015). "800-year ice-core record of nitrogen deposition in Svalbard linked to ocean productivity and biogenic emissions". Atmospheric Chemistry and Physics. 15 (13): 7290. Bibcode:2015ACP....15.7287W. doi:10.5194/acp-15-7287-2015. 
  85. ^ a b Kokfelt et al. 2016, hlm. 6.
  86. ^ Baroni et al. 2019, hlm. 6.
  87. ^ Vidal et al. 2015, hlm. 21.
  88. ^ a b Stothers 2000, hlm. 362.
  89. ^ Baroni et al. 2019, hlm. 21.
  90. ^ Davi, N.K.; D'Arrigo, R.; Jacoby, G.C.; Cook, E.R.; Anchukaitis, K.J.; Nachin, B.; Rao, M.P.; Leland, C. (August 2015). "A long-term context (931–2005 C.E.) for rapid warming over Central Asia". Quaternary Science Reviews. 121: 95. Bibcode:2015QSRv..121...89D. doi:10.1016/j.quascirev.2015.05.020. 
  91. ^ Baillie, M. G. L.; McAneney, J. (16 January 2015). "Tree ring effects and ice core acidities clarify the volcanic record of the first millennium". Climate of the Past (dalam bahasa English). 11 (1): 105. doi:10.5194/cp-11-105-2015. ISSN 1814-9324. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-20. Diakses tanggal 19 October 2018. 
  92. ^ a b Hantemirov, Rashit M; Gorlanova, Ludmila A; Shiyatov, Stepan G (July 2004). "Extreme temperature events in summer in northwest Siberia since AD 742 inferred from tree rings". Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology (dalam bahasa Inggris). 209 (1–4): 161. doi:10.1016/j.palaeo.2003.12.023. ISSN 0031-0182. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-18. Diakses tanggal 2018-10-16. 
  93. ^ Scuderi, Louis A. (1990). "Tree-Ring Evidence for Climatically Effective Volcanic Eruptions". Quaternary Research (dalam bahasa Inggris). 34 (1): 73. doi:10.1016/0033-5894(90)90073-T. ISSN 1096-0287. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-11. Diakses tanggal 11 January 2019. 
  94. ^ Thun, Terje; Svarva, Helene (February 2018). "Tree-ring growth shows that the significant population decline in Norway began decades before the Black Death". Dendrochronologia (dalam bahasa Inggris). 47: 28. doi:10.1016/j.dendro.2017.12.002. ISSN 1125-7865. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-18. Diakses tanggal 2018-10-16. 
  95. ^ Chu, Guoqiang; Sun, Qing; Wang, Xiaohua; Liu, Meimei; Lin, Yuan; Xie, Manman; Shang, Wenyu; Liu, Jiaqi (1 July 2012). "Seasonal temperature variability during the past 1600 years recorded in historical documents and varved lake sediment profiles from northeastern China". The Holocene (dalam bahasa Inggris). 22 (7): 787. doi:10.1177/0959683611430413. ISSN 0959-6836. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 April 2019. Diakses tanggal 7 April 2019. 
  96. ^ Fei, Jie; Zhou, Jie (February 2016). "The drought and locust plague of 942–944 AD in the Yellow River Basin, China". Quaternary International (dalam bahasa Inggris). 394: 120. doi:10.1016/j.quaint.2014.11.053. ISSN 1040-6182. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-18. Diakses tanggal 2018-12-26. 
  97. ^ a b Tan, Liangcheng; Shen, Chuan-Chou; Löwemark, Ludvig; Chawchai, Sakonvan; Edwards, R. Lawrence; Cai, Yanjun; Breitenbach, Sebastian F. M.; Cheng, Hai; Chou, Yu-Chen; Duerrast, Helmut; Partin, Judson W.; Cai, Wenju; Chabangborn, Akkaneewut; Gao, Yongli; Kwiecien, Ola; Wu, Chung-Che; Shi, Zhengguo; Hsu, Huang-Hsiung; Wohlfarth, Barbara (27 August 2019). "Rainfall variations in central Indo-Pacific over the past 2,700 y". Proceedings of the National Academy of Sciences (dalam bahasa Inggris). 116 (35): 17202,17204. doi:10.1073/pnas.1903167116. ISSN 0027-8424. PMC 6717306 . PMID 31405969. 
  98. ^ Stoffel et al. 2015, hlm. 787.
  99. ^ Brovkin et al. 2010, hlm. 674.
  100. ^ Brovkin et al. 2010, hlm. 674–675.
  101. ^ Guillet et al. 2017, hlm. 123.
  102. ^ Baillie, M. G. L.; McAneney, J. (16 January 2015). "Tree ring effects and ice core acidities clarify the volcanic record of the first millennium". Climate of the Past. 11 (1): 106. Bibcode:2015CliPa..11..105B. doi:10.5194/cp-11-105-2015. 
  103. ^ Boucher, Olivier (19 May 2015). "Stratospheric Aerosols". Atmospheric Aerosols. Springer Netherlands. hlm. 279. doi:10.1007/978-94-017-9649-1_12. ISBN 978-94-017-9649-1. 
  104. ^ a b Guillet, Sebastien; Corona, Christophe; Stoffel, Markus; Khodri, Myriam; Poulain, Virginie; Guiot, Joel; Luckman, Brian; Churakova, Olga; Beniston, Martin; Franck, Lavigne; Masson-Delmotte, Valerie; Oppenheimer, Clive (2015). "Toward a more realistic assessment of the climatic impacts of the 1257 eruption". EGU General Assembly 2015. 17: 1268. Bibcode:2015EGUGA..17.1268G. 
  105. ^ Swingedouw et al. 2017, hlm. 30.
  106. ^ Stoffel et al. 2015, hlm. 785.
  107. ^ Timmreck et al. 2009, hlm. 3.
  108. ^ Brewington, Seth D. (May 2016). "The Social Costs of Resilience: An Example from the Faroe Islands". Archeological Papers of the American Anthropological Association. 27 (1): 99. doi:10.1111/apaa.12076. 
  109. ^ Faust, Johan C.; Fabian, Karl; Milzer, Gesa; Giraudeau, Jacques; Knies, Jochen (February 2016). "Norwegian fjord sediments reveal NAO related winter temperature and precipitation changes of the past 2800 years". Earth and Planetary Science Letters. 435: 91. Bibcode:2016E&PSL.435...84F. doi:10.1016/j.epsl.2015.12.003. 
  110. ^ Zhong, Y.; Miller, G. H.; Otto-Bliesner, B. L.; Holland, M. M.; Bailey, D. A.; Schneider, D. P.; Geirsdottir, A. (31 December 2010). "Centennial-scale climate change from decadally-paced explosive volcanism: a coupled sea ice-ocean mechanism". Climate Dynamics. 37 (11–12): 2374–2375. Bibcode:2011ClDy...37.2373Z. doi:10.1007/s00382-010-0967-z. 
  111. ^ Robock, Alan (27 August 2013). "The Latest on Volcanic Eruptions and Climate". Eos, Transactions American Geophysical Union. 94 (35): 305–306. Bibcode:2013EOSTr..94..305R. doi:10.1002/2013EO350001. 
  112. ^ Gennaretti, F.; Arseneault, D.; Nicault, A.; Perreault, L.; Begin, Y. (30 June 2014). "Volcano-induced regime shifts in millennial tree-ring chronologies from northeastern North America". Proceedings of the National Academy of Sciences. 111 (28): 10077–10082. Bibcode:2014PNAS..11110077G. doi:10.1073/pnas.1324220111. PMC 4104845 . PMID 24982132. 
  113. ^ Guillet et al. 2017, hlm. 126.
  114. ^ Lim, Hyung-Gyu; Yeh, Sang-Wook; Kug, Jong-Seong; Park, Young-Gyu; Park, Jae-Hun; Park, Rokjin; Song, Chang-Keun (29 August 2015). "Threshold of the volcanic forcing that leads the El Niño-like warming in the last millennium: results from the ERIK simulation". Climate Dynamics. 46 (11–12): 3727. Bibcode:2016ClDy...46.3725L. doi:10.1007/s00382-015-2799-3. 
  115. ^ Chikamoto, Megumi O.; Timmermann, Axel; Yoshimori, Masakazu; Lehner, Flavio; Laurian, Audine; Abe-Ouchi, Ayako; Mouchet, Anne; Joos, Fortunat; Raible, Christoph C.; Cobb, Kim M. (16 February 2016). "Intensification of tropical Pacific biological productivity due to volcanic eruptions" (PDF). Geophysical Research Letters. 43 (3): 1185. Bibcode:2016GeoRL..43.1184C. doi:10.1002/2015GL067359. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2018-07-22. Diakses tanggal 16 December 2018. 
  116. ^ Kim, Seong-Joong; Kim, Baek-Min (30 September 2012). "Ocean Response to the Pinatubo and 1259 Volcanic Eruptions". Ocean and Polar Research. 34 (3): 321. doi:10.4217/OPR.2012.34.3.305. 
  117. ^ Fu et al. 2016, hlm. 2859.
  118. ^ Wade et al. 2020, hlm. 26657.
  119. ^ Wade et al. 2020, hlm. 26656.
  120. ^ a b Alloway et al. 2017, hlm. 98.
  121. ^ Mutaqin & Lavigne 2019, hlm. 2.
  122. ^ Hamilton 2013, hlm. 41.
  123. ^ Mutaqin & Lavigne 2019, hlm. 9.
  124. ^ a b Reid, Anthony (2017-01-16). "Population history in a dangerous environment: How important may natural disasters have been?". Masyarakat Indonesia (dalam bahasa Inggris). 39 (2): 520. ISSN 2502-5694. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-19. Diakses tanggal 18 October 2018. 
  125. ^ Reid, Anthony (2016). "Building Cities in a Subduction Zone: Some Indonesian Dangers". Dalam Miller, Michelle Ann; Douglass, Mike. Disaster Governance in Urbanising Asia. Springer Singapore. hlm. 51. doi:10.1007/978-981-287-649-2_3. ISBN 978-981-287-649-2. 
  126. ^ Lavigne et al. 2013, hlm. 16746.
  127. ^ Mutaqin & Lavigne 2019, hlm. 7-8.
  128. ^ Newhall, Self & Robock 2018, hlm. 576.
  129. ^ Anderson, Atholl (2016). The First Migration: Māori Origins 3000BC – AD1450 (dalam bahasa Inggris). Bridget Williams Books. hlm. 18. ISBN 9780947492809. 
  130. ^ Ludlow, Francis (2017). "Volcanology: Chronicling a medieval eruption". Nature Geoscience (dalam bahasa Inggris). 10 (2): 78–79. doi:10.1038/ngeo2881. ISSN 1752-0908. 
  131. ^ Stothers 2000, hlm. 363.
  132. ^ D'Arrigo, Rosanne; Jacoby, Gordon; Frank, David (2003). "Dendroclimatological evidence for major volcanic events of the past two millennia". Volcanism and the Earth's Atmosphere: Dendroclimatological evidence for major volcanic events of the past two millennia. Washington DC American Geophysical Union Geophysical Monograph Series. Geophysical Monograph Series. 139. hlm. 259. Bibcode:2003GMS...139..255D. doi:10.1029/139GM16. ISBN 978-0-87590-998-1. 
  133. ^ Dodds & Liddy 2011, hlm. 54.
  134. ^ Sánchez, Antonio Vicente Frey (2017). "¿Qué puede aportar el clima a la historia? El ejemplo del periodo cálido medieval en el Magreb almorávide y almohade". El Futuro del Pasado: Revista Electrónica de Historia (dalam bahasa Spanyol). 6 (8): 221–266. ISSN 1989-9289. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-20. Diakses tanggal 20 October 2018. 
  135. ^ Guillet et al. 2017, hlm. 124.
  136. ^ Guillet et al. 2017, hlm. 127.

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Zhang2019" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Wallace2019" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Fernandez-Turiel2019" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Baldwin2018" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Sanchez2019" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "TokerSivan2012" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Knudsen2018" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "WangWang2019" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Sánchez2014" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Cruz2017" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "YanKorty2015" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Matson2016" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Herweijer2007" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Schneider2009" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Arrigo2001" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Guillet2016" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Miller2012" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "RobertDavid2016" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Gillingham2014" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "HAGrosjean2015" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Xoplaki2016" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Luterbacher2016" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Bradley2016" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Naulier2015" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Neukom2014" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Sumber

8°24′36″S 116°24′30″E / 8.41000°S 116.40833°E / -8.41000; 116.40833

Pranala luar