Jawa Barat adalah sebuah provinsi di Tatar Pasundan, Indonesia. Ibu kotanya berada di Kota Bandung. Pada masa era monarki, Tatar Pasundan, merupakan wilayah dengan ragam kerajaan, diantaranya, Kerajaan Jampang Manggung,[1] Kerajaan Agrabintapura,[1] Kerajaan Tanjung Singuru,[1] Kerajaan Kendan,[2] Kerajaan Galuh, Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Talaga Manggung, Kerajaan Galunggung, Kerajaan Sunda Galuh, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Tembong Agung,[3] dan Kerajaan Sumedang Larang.[4] Masyarakat modern pun mengenal wilayah ini sebagai wilayah tatar Sunda dengan tokoh utamanya Sri Baduga Maharaja atau dikenal sebagai Raja Siliwangi yang dianggap sebagai pemimpin pemersatu seluruh monarki yang ada di Parahyangan dalam satu kerajaan bernama Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran sebelum runtuh pada 1579. Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia era akhir kolonial (staatblad Nomor: 378). Pasca kemerdekaan, Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No. 1 Tahun 1945 dan UU No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Bagian barat laut provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ibukota negara Indonesia dimana pada masa monarki wilayah ini termasuk Sunda Kalapa[note 1] merupakan pelabuhan dan teritori Sunda.[note 2] Pada tahun 2000, wilayah barat dari Provinsi Jawa Barat dimekarkan menjadi Provinsi Banten, yang saat awal pembentukan terdiri dari Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Tangerang. Saat ini terdapat wacana untuk mengubah nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan, dengan memperhatikan aspek historis wilayah ini.[7]

Monarki di Tatar Pasundan

 
Panorama di belakang Situs Batutulis Bogor antara tahun 1865-1872. Foto diambil oleh Louis Henri Wilhelmus Merkus de Stuers, dan diperbaharui oleh Tropenmuseum - Belanda
 
Prasasti Tugu era Kerajaan Tarumanagara, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.

Masyarakat pra-modern era Pleistosen mengenal daerah Nusantara sekarang sebagai Sundaland[8] yang berseberangan dengan Sahul land.[9]

Temuan arkeologi di Anyer menunjukkan adanya budaya logam perunggu dan besi sejak sebelum milenium pertama. Gerabah tanah liat prasejarah zaman buni (Bekasi kuna) bisa ditemukan merentang dari Anyer sampai Cirebon.[10]

Jawa Barat pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara.[11] Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (ditulis dalam aksara Pallawa) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar menceritakan para raja Tarumanagara.

Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Serayu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda[11]. Salah satu prasasti dari zaman Kerajaan Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932.[12] Kerajaan Sunda beribukota di Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor).[13]

Pada abad ke-16, berdiri Kesultanan Demak tumbuh menjadi saingan ekonomi dan politik Kerajaan Sunda. Cirebon berhasil lepas dari Kerajaan Sunda dengan bantuan dari Kesultanan Demak.[14] Hingga akhirnya Cirebon membentuk kesultanannya sendiri. Begitu pula dengan Banten yang berhasil lepas dari Kerajaan Sunda atas bantuan Kesultanan Cirebon dan kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Banten.[11]

Untuk menghadapi ancaman ini, Sri Baduga Maharaja, raja Sunda saat itu, meminta putranya, Surawisesa untuk membuat perjanjian pertahanan keamanan dengan orang Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kalapa (sekarang Jakarta) kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak.[11]

Pada saat Surawisesa menjadi raja Sunda, dengan gelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa, dibuatlah perjanjian pertahanan keamanan Sunda-Portugis, yang ditandai dengan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal, ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai imbalannya, Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kalapa serta akses untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan keamanan tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu monumen batu yang disebut padrão di tepi Ci Liwung.

Meskipun perjanjian pertahanan keamanan dengan Portugis telah dibuat, pelaksanaannya tidak dapat terwujud karena pada tahun 1527 pasukan aliansi Cirebon-Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau Paletehan mengalahkan pasukan Portugis dan Kerajaan Sunda hingga akhirnya merebut pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon-Demak berlangsung lima tahun sampai akhirnya Kesultanan Banten pada tahun 1531 mengajukan suatu perjanjian damai antara Prabu Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.[11] Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya, alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan Sunda mengalami kemunduran besar dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576, kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran (ibukota Kerajaan Sunda), dan akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan Banten, wilayah Priangan (Jawa Barat bagian tenggara) jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.[11]

Masa kolonial

Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu dimaksudkan sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden[11] (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Di bawah kebijakan Belanda wilayah batas Provinsi Jawa Barat mirip dengan peta yang dibayangkan oleh Mataram dan VOC pada 1706. Wilayah Provinsi Jawa Barat termasuk Banten, Batavia, Priangan, dan Cirebon (statsblad no. 235 dan 276, 1925; Ekadjati).[15] Bagi sebagian orang Sunda istilah Jawa Barat berarti subordinat Jawa. Tentu mereka engan menggunakan terma ini dan lebih menyukai Sunda atau Pasoendan seperti petisi yang dilayangkan Paguyuban Pasundan 1924-1925. Sama halnya dengan Kongres Pemuda Sunda yang menyarankan Sunda sebagai nama provinsi ketimbang Jawa Barat. Semua ajuan ini tidak pernah terwujud. Istilah Sunda atau Tatar Sunda hanya menjadi terma budaya ketimbang politik.[15]

1 Januari 1926 merupakan awal adanya sistem pemerintahan di Jawa Barat pada masa kolonial Belanda. Yang pertama kali memperjuangkan pembentukan sistem pemerintahan di Jawa Barat ke pemerintah Kolonial Belanda adalah para tokoh perjuangan yang ada seperti Oto Iskandar di Nata, Husni Thamrin, Tjokroaminoto dan tokoh lainnya. Usulan itu diterima pemerintah kolonial Belanda, ada sekitar 45 orang pribumi, 20 diantaranya tokoh Sunda yang terlibat dalam pemerintahan provinsi Jawa Barat kala itu.[16]

Masa awal kemerdekaan

Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Kemudian pada tanggal 27 Desember 1949, Jawa Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

Jawa Barat kemudian kembali bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.

Peristiwa penting di Tatar Pasundan

 
Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun oleh para Kandaga Lante Kerajaan Pajajaran sebagai legitimasi untuk meneruskan trah Siliwangi
 
Keris Panunggul Naga adalah Keris milik Prabu Geusan Ulun yang merupakan raja Kerajaan Sumedang Larang yang terakhir
 
Keris Naga Sasra yang digunakan oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumahdinata IX) saat bersalaman menggunakan tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kebijakan Belanda dalam pembangunan Jalan Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Daendels pada peristiwa Cadas Pangeran

Abad II

Dewawarman I mengembara dari arah timur ke wilayah sekitar sebagai Banten.[17] Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada, Pandeglang. Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika putri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperistri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya. Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) yang beribukota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agninusa (Negeri Api) yang wilayah kekuasaannya berada di Pulau Krakatau. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I–VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi.

Abad IV

Jayasinghawarman meneruskan kekuasaan Kerajaan Salakanagara dan mendirikan Kerajaan Tarumanagara. Beberapa prasasti terdapat di wilayah ini. The Holotan Country dalam The Book of Sung (420–79) diasumsikan adalah nama lain dari Tarumanagara dengan ibu kota di aliran tinggi Ciaruteun yang saat ini terletak di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Nama negara atau kerajaan ini muncul dalam catatan The Book of Tang (618–19).[17]

Abad VI

Manikmaya menantu dari Raja ke-VII Tarumanagara mendirikan Kerajaan Kendan, yang wilayahnya terletak di sebelah timur Kota Bandung sekarang.[17]

Abad VII

Wretikandayun, Raja ke-IV Kendan memindahkan ibukota negara ke sebelah timur Tatar Pasundan. [17]

Tarusbawa menantu Raja ke-XII Tarumanegara, Linggawarman, mendirikan Kerajaan Sunda. Lokasinya diperkirakan di sekitar Kota Bogor sekarang. [17]

Abad VIII

Sena, pangeran dari Galuh, naik tahta. Istrinya Sannha, cucu dari Ratu Shima dari Jawa Tengah. Sanjaya Harisdarma lahir.[17]

Sanjaya, Raja ke-II Sunda menikahi cucu dari pendiri kerajaan.[17]

Abad XIV

Kerajaan Kawali vasal dari Kerajaan Sunda, beribukota di timur Tatar Pasundan. [17]

Tragedi Bubat, Linggabuana Raja ke-IV Kerajaan Kawali (Galuh) yang hendak menikahkan putrinya Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk dari Majapahit, diserang oleh Gajah Mada. Seluruh abdi dalam kerajaan tewas terbunuh dan para perempuan bunuh diri. [17]

Suradipati, adik sang raja Linggabuana, meneruskan dan mempertahankan Kerajaan Kawali.[17]

Abad XV

Sri Baduga (Siliwangi), menantu Raja ke-VI Kerajaan Kawali, Dewaniskala, menyatukan kerajaan di Tatar Pasundan dan mendirikan Kerajaan Sunda Galuh yang beribukota di Pakuan Pajajaran. Naskah Bujangga manik dan lainnya banyak ditulis di era ini.[17]

Abad XVI

Pada tahun 1512 dan 1521, Sri Baduga Maharaja mengutus putra mahkota, Surawisesa, ke Malaka untuk meminta Portugis menandatangani kerjasama ekonomi dan militer berupa perjanjian dagang, terutama lada, serta hak membangun benteng di Sunda Kalapa.[18] Pada tahun 1522, pihak Portugis siap membentuk koalisi dengan Sunda untuk memperoleh akses perdagangan lada yang menguntungkan. Tahun tersebut bertepatan dengan diselesaikan penjelajahan dunia oleh Magellan. Komandan benteng Malaka pada saat itu adalah Jorge de Albuquerque. Tahun itu pula dia mengirim sebuah kapal, São Sebastião, di bawah komandan Kapten Enrique Leme, ke Sunda Kalapa disertai dengan barang-barang berharga untuk dipersembahkan kepada raja Sunda. Dua sumber tertulis menggambarkan akhir dari perjanjian tersebut secara terperinci. Yang pertama adalah dokumen asli Portugis yang berasal dari tahun 1522 yang berisi naskah perjanjian dan tandatangan para saksi, dan yang kedua adalah laporan kejadian yang disampaikan oleh João de Barros dalam bukunya Da Asia, yang dicetak tidak lama sebelum tahun 1777/78.

Surawisesa menjadi Raja Sunda Pajajaran ke-II.[17]

Perjanjian kerjasama Kerajaan Pajajaran-Portugis bidang ekonomi dan pertahanan militer.[17]

Banten jatuh ke tangan kelompok muslim yang dipimpin oleh Fatahillah.[17]

Sunda Kalapa jatuh ke ke tangan pasukan Demak.[17]

Surawisesa mendirikan prasasti Batutulis dalam rangka menghormati Sri Baduga Maharaja.[17]

Syarif Hidayatullah yang merupakan seorang muslim dan cucu Sri Baduga Maharaja di Cirebon mendeklarasikan kemerdekaan dari Pajajaran.[17]

Kerajaan Pakuan Pajajaran sebagai yang menyatukan seluruh keturunan trah Parahyangan dari Kerajaan Sunda dan Galuh berakhir di era Prabu Ragamulya. Para mahapatih yang menjadi Kandaga Lante mempercayakan transformasi kekuasaan kepada sesama keturunan Siliwangi yaitu Ratu Pucuk Umun, dan yang menjadi Raja Sumedang Larang akhirnya anaknya bernama Prabu Geusan Ulun.[17]

Jan Huyghen van Linschoten dan Cornelis de Houtman menemukan "jalur rahasia" pelayaran Portugis, yang membawa pelayaran pertama Cornelis de Houtman ke Banten,[17] pelabuhan utama di Jawa pada tahun 1595–1597. Pada tahun 1596 empat kapal ekspedisi dipimpin oleh Cornelis de Houtman berlayar menuju Nusantara, dan merupakan kontak pertama Nusantara dengan Belanda. Ekspedisi ini mencapai Banten, pelabuhan lada utama di Tatar Pasundan, disini mereka terlibat dalam perseteruan dengan orang Portugis dan penduduk lokal. Houtman berlayar lagi ke arah timur melalui pantai utara Jawa, sempat diserang oleh penduduk lokal di Sedayu dan berakibat pada kehilangan 12 orang awak, dan kemudian terlibat perseteruan dengan penduduk lokal di Madura menyebabkan terbunuhnya seorang pimpinan lokal. Setelah kehilangan separuh awak maka pada tahun berikutnya mereka memutuskan untuk kembali ke Belanda namun rempah-rempah yang dibawa cukup untuk menghasilkan keuntungan.

Abad XVII

Pada 20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie (Perkumpulan Dagang India Timur). Pada masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten Generaal di Belanda, VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda yang waktu itu masih berbentuk republik, untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara. Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara. Perusahaan ini mendirikan markasnya di Batavia (sekarang Jakarta) di pulau Jawa. Pos kolonial lainnya juga didirikan di tempat lainnya di Hindia Timur yang kemudian menjadi Indonesia, seperti di kepulauan rempah-rempah (Maluku), yang termasuk Kepulauan Banda di mana VOC menjalankan monopoli atas pala dan fuli. Metode yang digunakan untuk mempertahankan monopoli termasuk kekerasan terhadap populasi lokal, dan juga pemerasan serta pembunuhan massal. Pos perdagangan yang lebih tentram terletak di Deshima, pulau buatan di lepas pantai Nagasaki. Daerah ini adalah tempat satu-satunya di mana orang Eropa dapat berdagang dengan Jepang. Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610–1614), namun ia memilih Jayakarta sebagai basis administrasi VOC. Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605–1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621–1623).[17]

VOC mendirikan pelabuhan di Jayakarta.[17]

Sekutu Anglo-Banten mengokupasi pelabuhan Belanda di Jayakarta. Gubernur Jendral JP Coen dari VOC kembali.[17]

Pangeran Suriadiwangsa yang merupakan anak tiri Prabu Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya yang dinikahinya ketika ia mengandung Suriadiwangsa dari Panembahan Ratu dengan talak berupa penyerahan Sindangkasih (sebagian wilayah Majalengka) akhirnya menyerahkan Kerajaan Sumedang Larang kepada Sultan Agung Mataram hingga kerajaan pewaris terakhir Siliwangi ini pun menjadi wilayah bawahan. Pangeran Aria Suriadiwangsa alias Kusumadinata IV alias Rangga Gempol I diangkat sebagai Bupati Wadana Prayangan.

Jayakarta berganti nama menjadi Batavia. Pelabuhan Batavia dan tata kota dibangun.[17]

Batavia diserang dua kali dan gagal oleh Sultan Agung Mataram.[17]

Kruiskerk (gereja) didirikan.[17]

Keturunan Belanda dan Inggris di Jepang, termasuk Haru, dideportasi dari Nagasaki dan tiba di Batavia.[17]

Pangeran Wangsakerta dan tim nya mengeluarkan buku dan seri lainnya di Cirebon.[17]

Abad XVIII

Maret 1703, eksploitasi kamar dagang Hindia Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) semakin merajalela di Nusantara. Pemerintahan Nagari Tjieanjoer dengan Raden Aria Wira Tanu II (masa jabatan 1691–1707) waktu itu seolah tak bisa berbuat banyak untuk menolong keadaan rakyatnya. Haji Prawatasari alias Raden Alit, putra bupati pertama Tjianjoer Raden Aria Wira Tanu I (masa jabatan 1681–1691) dari istri kedua Dewi Amriti (putri Patih Kerajaan Jampang Manggung, sebuah kerajaan kecil yang letaknya diperkirakan berada di kaki Gunung Mananggel, Cianjur), gelisah dan memutuskan memobilisasi rakyat Cianjur dan sekitarnya. Sekitar 3.000 massa yang terdiri dari koalisi priyayi, petani, dan jawara berhasil direkrut oleh Raden Alit. Aksi awal yang mereka lakukan adalah menyerang tangsi-tangsi tentara kompeni di pusat kota Cianjur untuk kemudian menjalankan aksi hit and run. Dalam berbagai aksi penyerangannya, Raden Alit menggunakan 12 taktik tempur prajurit Pajajaran, Jagabaya. Setelah berbagai bentrokan-bentrokan kecil dengan pasukan VOC, awal Maret 1704, pasukan bataliyon Raden Alit bergerak menyerang titik-titik kepentingan militer VOC di Bogor, Tangerang dan beberapa kawasan Priangan Timur seperti Galuh, Imbanagara, Kawasen, dan daerah muara Sungai Citanduy, juga di sekitar Batavia. VOC sama sekali tidak nyaman. Mereka membentuk sebuah ekspedisi militer dengan kekuatan dua bataliyon, paduan serdadu lokal dan sebagian tentara Hindia Belanda pimpinan Pieter Scorpoi untuk menyerang kedudukan pasukan Raden Alit yang memilih bukit-bukit berhutan sekitar Jampang Manggung (diperkirakan di sekitar Cikalong dan Jonggol). Niat kolonial Hindia Belanda tercium, baru sampai kota Tjianjoer, konvoi para serdadu dari Batavia dicegat sekaligus dihabisi para gerilyawan rakyat dan Raden Alit. Dari 1354 serdadu, disisakan 582 orang. Akhir Maret 1704, para rakyat gerilyawan dan Raden Alit mengepung Sumedang Larang dan nyaris menghancurkannya. Hingga Agustus 1705, tercatat 3 kali pasukan musuh nomor satu VOC dari Tjiandjoer itu itu berhasil mengalahkan pasukan kompeni.[19] [20]

Balai Kota Batavia Baru dibangun (sekarang Museum Sejarah Jakarta).[17]

Penghianatan Peter Erberveld gagal.[17]

Pembantaian Tionghoa di Batavia oleh pasukan VOC.[17]

Baron van Imhoff membuka perkebunan di Buitenzorg (sekarang Kota Bogor). Tempat tersebut menjadi istana resmi Gubernur Jendral sejak 1870.[17]

VOC resmi dibubarkan.[17]

Abad XIX

Gubernur Jendral Herman Willem Daendels tiba, dikirim oleh Perancis yang dikontrol Belanda. Mereformasi Batavia, membangun Jalan Raya Pos sepanjang Pulau Jawa. [17]

Kota strategis Bandung dibangun. Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens. [17]

Bupati Wedana Pangeran Kusumahdinata IX atau dikenal dengan Pangeran Kornel dengan tegas menentang kerja rodi yang dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC saat itu di pimpin oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels yang memaksakan kerja rodi untuk membuka kelancaran distribusi eksploitasi hasil bumi Nusantara lewat pembuatan jalur Anyer-Panarukan yang menelan banyak korban. Peristiwa pembuatan jalan ini terkenal sebagai Peristiwa Cadas Pangeran.

Nama Priangan resmi menjadi nama keresidenan terjadi pada tahun 1815 sewaktu Pulau Jawa dikuasai oleh Pemerintahan Interregnum Inggris pimpinan Thomas Stamford Raffles (1811 – 1816). Pada periode ini Keresidenan Priangan terbagi lima kabupaten: Cianjur, Bandung, Sumedang, Sukapura, dan Parakanmuncang.

Penjajah Belanda mengakui kedaulatan Tatar Pasundan, meliputi wilayah yang dimulai dari Sungai Cipamali, Brebes (Jawa Tengah), Cirebon, Priangan (Tasikmalaya, Ciamis, Sumedang, Garut), Betawi (Jakarta, kini menjadi Daerah Istimewa dan Ibu Kota Negara), hingga Banten (kini telah menjadi provinsi sendiri). Sejarah terbentuknya Tatar Pasundan, sampai saat ini belum berubah.[21][22]

Bupati Wedana Sumedang yaitu Pangeran Rangga Gempol III Kusumahdinata yang dikenal dengan sebutan Pangeran Panembahan adalah Bupati Pertama yang berani menentang pemerintahan VOC, agar kembali merdeka dan berdaulat untuk kemudian mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Pakuan Padjajaran pada zamannya.

Bupati Pangeran Aria Suriaatmaja atau dikenal juga sebagai Pangeran Mekah mengungkapkan kepada Belanda, bahwa Belanda harus memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia/Nusantara. Hal ini dapat diketahui melalui literatur yang ditulisnya dalam buku Ditiung memeh hujan.

Abad XX

25 Desember, Kota Bandung turut menjadi saksi didirikannya De Indische Partij – partai politik pertama di Hindia Belanda oleh Tiga Serangkai Douwes Dekker, Tjiptomangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara.

4 Juli, Perserikatan Nasional Indonesia didirikan di sebuah paviliun selatan rumah di Regentsweg no. 22 (sekarang Jl. Dewi Sartika) Bandung pada malam tanggal 4 Juli 1927 oleh Mr. Iskaq, Mr. Sartono, Mr. E.S. Budyarto Martoatmodjo, Mr. Sunario, Dr. Samsi Sastrowidagdo, Ir Soekarno, Ir. Anwari, dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Mereka semua akan tercatat sebagai pendiri PNI, kecuali Dr. Tjipto yang menolak diikutsertakan atas alasan keamanan. Meski demikian Soekarno tetap menganggap Dr. Tjipto sebagai salah satu pendiri, selain Sujadi dan J. Tilaar yang menjadi penghubung antara pemuda di Bandung dengan Hatta di Nederland.

1 Januari 1926 merupakan awal adanya sistem pemerintahan di Jawa Barat pada masa kolonial Belanda. Yang pertama kali memperjuangkan pembentukan sistem pemerintahan di Jawa Barat ke pemerintah Kolonial Belanda adalah para tokoh perjuangan yang ada seperti Oto Iskandar di Nata, Husni Thamrin, Tjokroaminoto dan tokoh lainnya. Usulan itu diterima pemerintah kolonial Belanda, ada sekitar 45 orang pribumi, 20 diantaranya tokoh Sunda yang terlibat dalam pemerintahan provinsi Jawa Barat kala itu.[16][7] Penyebutan Tatar Sunda dirubah menjadi Province West Java oleh Belanda mendapat usulan Paguyuban Pasundan agar diganti menjadi Provinsi Pasundan; dan usul tersebut disetujui oleh pemerintah kolonial sehingga ketetapan tentang pembentukan propinsi ini antara lain berbunyi:”.....West Java, in inheemsche talen aan te duiden als Pasoendan,.......” (Staatsblad no. 285 dan 378 tahun 1925), yang terjemahannya”.....Jawa Barat, dalam bahasa orang pribumi (bahasa Sunda) menunjuk sebagai Pasundan,......”. [23] Pada implementasinya, dari paska kemerdekaan hingga reformasi nama Provinsi Pasundan tidak pernah diakui oleh pemerintahan republik.

24 April 1948 - 24 Maret 1950, wilayah Jawa Barat pernah menjadi bagian Negara Pasundan, era negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibuat Belanda untuk memecah konsentrasi persatuan para Bumiputera/i. Negara Pasundan versi Wiranatakusumah mempertahankan wilayah Pasundan dengan kaum pro-Republiken dari Negara Pasundan versi Soeria Kartalegawa. Saat itu, negara Pasundan adalah wilayah yang kuat, tidak ekspansif dan terbuka terhadap budaya lain. 24 Maret 1950 kembali bergabung dengan Sukarno dan Kaum Republiken memperkuat Indonesia.

17 November, K.H. Zainal Mustafa bersama Kiai Rukhiyat (Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat, untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka dipenjarakan di Tasikmalaya selama satu hari, kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin di Bandung. Setelah dibebaskan, K.H. Zaenal Mustofa tidak berubah. Kembali ia berdakwah yang isinya jelas-jelas menentang penjajah. Pada akhir bulan Februari 1942, ia dan Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan ditahan di penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama. [24]

25 Februari, keadaan perbaikan di Tatar Pasundan pasca kolonialisme Hindia Belanda belum mereda, fasisme Jepang kembali mengulangi penindasan di Nusantara. Tasikmalaya yang merupakan lumbung santri dan ulama melakukan pemberontakan terhadap agresor pengusung Asia Timur Raya itu. Faktor tersebut dilatari, diantaranya, oleh pajak beras berupa kewajiban penyerahan sandang dan pangan masyarakat Tatar Pasundan di Tasikmalaya tersebut kepada Jepang. Kedua, tipu daya Jepang yang menjanjikan perbaikan pendidikan bagi kaum wanoja Tatar Pasundan, nyatanya, para kaum perempuan yang telah mendaftarkan diri kemudian dikirimkan menjadi budak nafsu tentara Jepang, Jugun Ianfu. K.H. Zainal Mustafa dan ulama, para santri, dan rakyat Tatar Pasundan di Tasikmalaya dengan tegas menolak kebijakan Jepang tersebut. Koalisi ulama-santri-rakyat dalam menghadang keinginan Jepang dilakukan dengan menyiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat selain pembekalan latihan spiritual tarekat. Pemberontakan Sukamanah atau Pemberontakan Singaparna tersebut mengakibatkan kurang dari seribu jiwa dijebloskan ke penjara, duapuluh tiga orang termasuk Kyai Mustafa yang ditengarai sebagai dalang oleh fasisme Jepang digiring ke Batavia dan tak tentu rimbanya. Puluhan tahun kemudian, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya. Sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanannya, pemerintah mengangkat K.H. Zainal Mustafa sebagai pahlawan nasional dengan SK Presiden No. 064/TK/1972. [24]

Abad XXI

29 Oktober, Sejumlah tokoh dan sesepuh Jawa Barat diagendakan berkumpul di Wisma Karya, Kabupaten Subang, pada Kamis (29/10/2009), guna menggelar Deklarasi Provinsi Pasundan untuk menggantikan sebutan Jawa Barat. Dengan tema Panceg Dina Galur Ngajaga Sarakan, mereka yang diundang adalah Dede Yusuf, Iwan Sulandjana, Dadang Garnida, Solihin G.P., Acil Bimbo, Masyarakat Badui, Nagara Banceuy, Ki Sunda Sabudeur Subang, rancakalong, Cigugur Kuningan, Panghayat Kapercayaan Cibedug Lembang, Pinisepuh Bandung, Pimpinan Pesantren di Jabar, dan lainnya.[22] Pada tahun yang sama, ratusan warga etnis Sunda yang menamakan diri Pangauban Ki Sunda Jawa Barat, mendeklarasikan Provinsi Pasundan sebagai pengganti Provinsi Jawa Barat. [25]

30 Agustus, Wacana pergantian nama Provinsi Jawa Barat (Jabar) menjadi Provinsi Pasundan harus mengacu pada sejarah Tatar Sunda, sebutan lain provinsi tersebut, di samping kajian dan analisa para tokoh. Tokoh Sunda Tjetje Hidayat Padmadinata dan Guru Besar Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Didi Turmudzi, mengatakan menyatakan tidak mempermasalahkan jika ada usulan pergantian nama Provinsi Jawa Barat dan warga ke-Sundaan sudah berdiri lebih dari 100 tahun, dan untuk wacana pergantin nama Provinsi Jabar, tidak perlu dibahas dengan tergesa-gesa.[22]

5 Agustus, Tim Pengkaji Perubahan Nama Jawa Barat seperti Adjie Esa Putra, Asep Saeful, Rully Indrawan, Dani Wisnu, Hendy, Dyna Ahmad, dan Memet Hamdan menemui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi. Mereka hendak menyampaikan maksud mengubah nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan atau Tatar Sunda karena menilai nama Jawa Barat tidak tepat lagi digunakan.[21]

Inisiasi Provinsi Pasundan

 
Kujang Wayang adalah salah satu dari beberapa koleksi kujang yang dimiliki oleh Museum Prabu Geusan Ulun. MPGU memiliki koleksi macam-macam kujang paling lengkap di Tatar Pasundan

Provinsi Pasundan adalah nama provinsi Jawa Barat yang diinisiasi masyarakat Parahyangan, salah satunya mengacu pada sejarah penyebutan populer Tatar Sunda, Parahyangan, Sunda Kalapa, Pasundan pada wilayah Jawa bagian Barat sejak era kerajaan Nusantara sebelum menjadi Indonesia kini. Dan penamaan Jawa Barat yang dianggap tidak merepresentasikan karakteristik Tatar Pasundan.

Pada milenium baru, dekade 2000-an muncul inisiasi untuk mengembalikan nama Provinsi Jawa Barat kepada identitas yang sesuai dengan karakteristik Tatar Pasundan yang oleh sebagian tokoh, seniman, budayawan, masyarakat adat, tokoh agama, dan komunitas yang tersebar di Tatar Parahyangan dianggap sudah mulai terkikis akibat adanya globalisasi di satu sisi. [note 3]

Inisiasi pergantian nama menjadi Provinsi Pasundan sebagai salah satu aspirasi dalam mewujudkan undang-undang yang berlaku dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 30 tahun 2012 tentang pedoman pemberian nama ibu kota, nama daerah dan pemindahan ibu kota, atau UU Otda 32/2004 jo UU 23/2014. Contoh kongkritnya Seperti Papua menjadi Irian Jaya dan Aceh menjadi Nangroe Aceh Darussalam. Pergantian nama tersebut tidak mengubah jumlah kabupaten/kota dan sistem pemerintahan yang sudah ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia.[7]

Prof. Asep Syaifuddin menyatakan bahwa secara akademis sejak 2003 hingga hari ini prestasi pendidikan di Jawa Barat terus menurun. Yang bertahan hanya posisi kemiskinan saja di rangking 15. Ini mengapa terjadi, karena orang Pasunda telah kehilangan jati dirinya, dibanding daerah lain seperti Banten, ‎Papua Barat, NAD, dan lainnya. [26] Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan persentase partisipasi usia pendidikan SMP di Jawa Barat berada di peringkat 24, kalah dengan Papua Barat serta Aceh. Juga jumlah penduduk miskin berada di urutan 15. [note 4]

Pemerintahan Jokowi melalui aparatur Kabinet Kerja yaitu Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, menyambut baik namum menyatakan masih memperlukan kajian lebih komprehensif dan melihat urgensinya selain gaung apresiasi masyarakat Parahyangan.[7]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Menurut Tomé Pires, Kalapa adalah pelabuhan terbesar di Jawa Barat, selain Sunda (Banten), Pontang, Cigede, Tamgara, dan Cimanuk yang juga dimiliki Pajajaran. Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda: dayeuh yang berarti kota) dalam tempo dua hari. [5]
  2. ^ Pertama Raja Cumda dengan kotanya yang hebat Dayo (Su. Dayeuh), perkotaan, pedataran, dan pelabuhan Bantam, pelabuhan Pontang (Pomdam), pelabuhan Chiguide, pelabuhan Tamgaram, pelabuhan Calapa, dan pelabuhan Chi Manuk (Chemano); Ini adalah Sunda sebab sungai Chi Manuk adalah batas kedua kerajaan [6]
  3. ^ Para tokoh yang diundang dalam Deklarasi Provinsi Pasundan dengan tema Paceng Dina Galur Ngajaga Sarakan, Wisma Karya, Subang, itu adalah sejumlah tokoh Jawa Barat, seperti Dede Yusuf, Iwan Sulandjana, Dadang Garnida, Solihin G.P., Acil Bimbo, Masyarakat Badui, Nagara Banceuy, Ki Sunda Sabudeur Subang, rancakalong, Cigugur Kuningan, Panghayat Kapercayaan Cibedug Lembang, Pinisepuh Bandung, Pimpinan Pesantren di Jabar, dan lainnya. [7]
  4. ^ Provinsi di bagian barat Pulau Jawa ini dianggap memiliki prestasi menurun sejak menyandang nama Jawa Barat.[21]

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ a b c Benny Bastiandy (Sabtu, 9 Juli 2011 18:05 WIB). "Wah, Ada Tiga Kerajaan di Kabupaten Cianjur". inilah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Oct 2015 16:49:28 UTC. Diakses tanggal 28 Agustus 2015. 
  2. ^ ., Amirrulloh; Wijaya, Chandra; Aliman, Muhamad; Mudrikah, Farah (2013), "Menelusuri kota tua kejayaan Tanah Pasundan Kerajaan Kendan di Nagreg Kabupaten Bandung, Jawa Barat", Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Sunan Gunung Djati 
  3. ^ Erna Mardiana (Senin 31 Aug 2015, 17:15 WIB). "Cerita Tentang Tembong Agung, Kerajaan yang Jadi Nama Waduk Jatigede". detikNews. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Aug 2015 13:53:37 UTC. Diakses tanggal Senin 31 Aug 2015. 
  4. ^ Uka Tjandrasasmita 2009, hlm. 124.
  5. ^ Supratikno Rahardjo et. al. 1996, hlm. 21, 23.
  6. ^ Tomé Pires, Francisco Rodrigue 2005, hlm. 166.
  7. ^ a b c d e Annas Nasrullah (Kamis, 29 Oktober 2009 - 02:03 wib). "Tokoh Jabar Siapkan Deklarasi Provinsi Pasundan". News.Okezone.Com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Jul 2012 12:01:32 UTC. Diakses tanggal 8 Agustus 2015. 
  8. ^ R.W. va Bemmelen 1949, hlm. 723.
  9. ^ Big Bank Shoals of the Timor Sea: An environmental resource atlas. Australian Institute of Marine Science. 2001. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 27, 2011. Diakses tanggal 2006-08-28. 
  10. ^ Rohmat Kurnia 2009, hlm. 2.
  11. ^ a b c d e f g Rohmat Kurnia 2009, hlm. 3.
  12. ^ Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono 1995, hlm. 13-24.
  13. ^ "Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago – 1498-1580". themapdatabase.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 Jun 2013 10:25:02 UTC. 
  14. ^ Slamet Muljana 2005, hlm. 101, 112, 113, 124, 126, 232, 247.
  15. ^ a b Tommy Christomy 2008, hlm. 58.
  16. ^ a b "Sejarawan Senior Prof. A. Sobana Merasa Dikhianati". Pikiran-Rakyat.com. 31 Oktober 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Aug 2015 03:10:09 UTC. Diakses tanggal 7 Agustus 2015. 
  17. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah Masatoshi Iguchi 2014, hlm. 22.
  18. ^ Zahorka, Herwig (2007). The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, Over 1000 Years of Propsperity and Glory. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. 
  19. ^ "Raden Alit Prawatasari". Dewan Kesenian Cianjur. Kamis, 19-03-2015 00:00:00. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Oct 2015 14:22:57 UTC. Diakses tanggal 7 Oktober 2015. 
  20. ^ Hendi Johari (Jumat, 07 Maret 2014). "Musuh VOC dari Tjiandjoer (3): Akhir Perlawanan Haji Prawatasari". Islamindonesia.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Oct 2015 14:34:36 UTC. Diakses tanggal 7 Oktober 2015. 
  21. ^ a b c Baiquni (Rabu, 5 Agustus 2015 18:02). "Nama Provinsi Jawa Barat Diganti Jadi `Pasundan`?". Dream.co.id/Menpan.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Aug 2015 15:57:59 UTC. Diakses tanggal 8 Agustus 2015. 
  22. ^ a b c lampost.co, Adian (ed.) (Sabtu, 31 Agustus 2013 04:15 WIB). "Provinsi Pasundan Gantikan Jawa Barat?". lampost.co. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Aug 2015 15:58:05 UTC. Diakses tanggal 8 Agustus 2015. 
  23. ^ Edi Suhardi Ekadjati 1995, hlm. 6.
  24. ^ a b Prof. Dr. Nina Herlina Lubis (Februari 2008). "Perlawanan Kaum Santri, 25 Pebruari 1944". Pikiran Rakyat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Oct 2015 12:17:46 UTC. Diakses tanggal 7 Oktober 2015. 
  25. ^ Viva.co.id (6 Agustus 2015). "Akankah Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Provinsi Pasundan". Lingkarannews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Aug 2015 15:58:32 UTC. Diakses tanggal 8 Agustus 2015. 
  26. ^ (esy/jpnn) (Selasa, 04 Agustus 2015, 12:57:00). "Jabar Diusulkan Berganti Nama jadi Provinsi Pasundan". Jpnn.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Aug 2015 15:57:38 UTC. Diakses tanggal 8 Agustus 2015. 
Daftar pustaka
  • Rohmat Kurnia (2009). Tempat dan Peristiwa Sejarah: di Jawa Barat. PT Sarana Panca karya Nusa. 
  • Tommy Christomy (2008). Signs of the Wali: Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan, West Java. Canberra: ANU E Press. 
  • Edi Suhardi Ekadjati (1995). Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember 1995. Bandung: Universitas Padjadjaran. 
  • Suryadinata, L., Arifin, E. N., & Ananta, A. (2003). Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape (No.1). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono (1995). La principauté de Banten Girang. Archipel, Vol. 50. 
  • R.W. va Bemmelen (1949). "General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes". The Geology of Indonesia. Vol. IA. The Hague: Matinus Nithoff. 
  • Uka Tjandrasasmita (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
  • Slamet Muljana (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 9798451163. 
  • Supratikno Rahardjo et. al. (1996). Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalur Sutra. Laporan Penelitian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 
  • Tomé Pires, Francisco Rodrigue (2005). Armando Cortesao, ed. The Suma oriental of Tomé Pires : An account of the east, from the red sea to China. And the book of Fracisco Rodrigues : Pilot-major of the armada that discovered Banda and the Mollucas. New Delhi, Chennai: Asian Educational Services. 
  • Masatoshi Iguchi (2014). Java Essay: The History and Culture of a Southern Country. Wistow Road, Kibworth Beauchamp: Matador is an imprint of Troubador Publishing Ltd. 

Pranala luar