Mohammad Sjafei
Dr. (H.C.) Muhammad Sjafei (Mohammad Syafei) (31 Oktober 1893 – 5 Maret 1969)[2][3][4][5][6][7] adalah seorang tokoh pejuang pergerakan dan pendidikan Indonesia. Ia merupakan pendiri INS Kayutanam, sebuah lembaga pendidikan menengah swasta yang bercorak khusus di Kayu Tanam, Padang Pariaman, Sumatra Barat yang banyak melahirkan tokoh masyarakat di kemudian hari.[8]
Muhammad Sjafei | |
---|---|
Residen Sumatra Barat Pertama | |
Masa jabatan 1 Oktober 1945 – 15 November 1945 | |
Presiden | Soekarno |
Menteri Pengajaran Republik Indonesia ke-3 | |
Masa jabatan 12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946 | |
Presiden | Soekarno |
Informasi pribadi | |
Lahir | Matan, Ketapang, Kalimantan Barat, Hindia Belanda | 31 Oktober 1893
Meninggal | 5 Maret 1969 Jakarta | (umur 75)
Suami/istri | Johanna Sicrie (m. 1954) |
Anak | 3 |
Orang tua | Orang tua kandung: Sjafiah Orang tua angkat: Ibrahim Marah Soetan Andung Chalijah |
Almamater | Kweekschool di Fort de Kock |
Pekerjaan | Pendidik dan Pejuang Pergerakan Kemerdekaan Republik Indonesia |
Sunting kotak info • L • B |
Masa muda
Latar belakang
Terdapat berbagai sumber berbeda yang berbicara mengenai tempat dan tanggal lahir Engku Mohammad Syafei. Mengutip Suryadi Sunuri sebagaimana catatan dari beberapa sumber, Engku Mohammad Syafei lahir di Ketapang, Kalimantan Barat pada tahun 1893. Beberapa sumber lainnya di dalam tulisan itu menyebut bahwa tahun kelahirannya adalah 1896[9]. AA Navis menyebutkan bahwa Engku Mohammad Syafei lahir pada tanggal 31 Oktober 1893[10]. Sedangkan Audrey R. Kahin menyebut bahwa Engku Mohammad Syafei adalah guru kelahiran Kalimantan Barat pada tahun 1893[11]. Syafiah, ibu kandung dari Engku Mohammad Syafei tidak memperkirakan hari dan tanggal kelahiran Engku Mohammad Syafei. Namun, dari keterangan dari Syafiah dan sanak saudaranya, Engku Ibrahim Marah Sutan mengambil tahun 1893 sebagai tahun kelahiran Engku Mohammad Syafei[12]. Walau pun terdapat banyak perbedaan mengenai tanggal dan tahun kelahiran Engku Mohammad Syafei, namun sumber-sumber yang berbeda ini menyebutkan bahwa tempat kelahiran beliau adalah di Ketapang, Kalimantan Barat.
Keluarga
Engku Mohammad Syafei adalah anak angkat dari Anduang Khalijah dan Engku Ibrahim Marah Sutan. Mereka bertemu saat Marah Sutan bertugas mengajar di Pontianak. Engku Mohammad Syafei yang saat itu masih lagi anak-anak bertemu di sekolah tempat Marah Sutan mengajar. Engku Mohammad Syafei datang ke sana bukan sebagai murid untuk belajar tapi untuk menjajakan makanan/kue kecil yang dibuat oleh ibunya. Sambil menjajakan makanan tadi, Syafei kecil ikut mencuri dengar dan menyimak pelajaran yang diberikan oleh Engku Ibrahim Marah Sutan dari balik jendela kelas. Bahkan, Syafei kecil pun ikut bersuara di balik tembok ruangan ketika seisi kelas diajak bernyanyi oleh Marah Sutan. Sifat demikian membuat Sutan tertarik akan sosok Syafei kecil dan mencari tahu mengenai anak kecil ini[13].
Singkat cerita, Syafei kecil yang sudah tidak berayah ini diangkat anak oleh pasangan Anduang Khalijah dan Engku Ibrahim Marah Sutan. Sebenarnya selain Engku Mohammad Syafei, Anduang Khalijah dan Engku Ibrahim Marah Sutan juga telah memiliki anak-anak angkat lainnya. Tetapi, ada sesuatu yang lain di dalam diri Syafei kecil yang membuat kedua orang tua yang tidak memiliki anak kandung ini untuk berketetapan hati mengangkat Engku Mohammad Syafei sebagai anak mereka.
Engku Mohammad Syafei menikah dengan Ibu Joanna Sicrie dan memilki tiga orang anak.
Pendidikan
Mengutip Suryadi Sunuri, majalah Pandji Poestaka memuat secara lengkap riwayat pendidikan Engku Mohammad Syafei setelah Anduang Khalijah dan Engku Ibrahim Marah Sutan mengangkatnya sebagai anak. Pada tahun 1904, di usia sepuluh tahun Engku Mohammad Syafei belajar di Sekolah Melayu di Pidie, Aceh. Pada pertengahan tahun 1907, Engku Mohammad Syafei pindah ke Sekolah Melayu di Pontianak. Setahun kemudian, beliau dikirim oleh orang tua angkatnya ke Sekolah Raja atau Kweekschool di Fort de Kock (Bukittinggi) setelah berhasil lulus di ujian masuk sekolah bergengsi ini yang juga adalah almamater Engku Ibrahim Marah Sutan[14].
Engku Mohammad Syafei tamat belajar di sekolah guru itu pada tahun 1914 dan langsung diangkat menjadi guru di Kartini School di Betawi atau Jakarta. Di sekolah ini juga bekerja sebagai guru Engku Ibrahim Marah Sutan dan saudara angkatnya Engku Sukardi. Selain mengajar, Engku Mohammad Syafei juga ikut kursus menggambar bersama guru menggambar terkenal, Tuan De Graaf. Kursus menggambar ini beliau selesaikan dalam delapan belas bulan. Engku Mohammad Syafei juga mengisi waktu dengan mengambil ujian bahasa Belanda (Acte Nederlandsche) dan lulus dengan predikat baik[15].
Selain itu, di luar kegiatan sekolah nya Engku Mohamamd Syafei ikut terlibat aktif dalam berbagai kegiatan politik memperjuangkan usaha kemerdekaan negara Republik Indonesia. Kesadaran ini telah tumbuh sedari beliau bersekolah di Sekolah Raja di Bukittinggi. Engku Ibrahim Marah Sutan selalu mengirimkan majalah dan tulisan politik dari para pengurus Indische Partij[16]. Beliau dan Engku Ibrahim Marah Sutan menjadi pengurus aktif dari Partai Insulinde. Terlebih lagi kediaman Engku Ibrahim Marah Sutan di Jakarta menjadi tempat pertemuan orang-orang pergerakan untuk berdiskusi dan untuk pendidikan politik. Sebagai seorang intelektual Minangkabau dan pengurus partai politik pergerakan kemerdekaan Indonesia, Engku Ibrahim Marah Sutan percaya bahwa hanya melalui pendidikan lah bangsa Indonesia berhasil mencapai kemerdekaannya. Oleh karena itu, Engku Ibrahim Marah Sutan berusaha mengirimkan anaknya sekolah sejauh mungkin hingga ke negeri Belanda.
Belajar ke negeri Belanda
Menurut AA Navis yang mengutip majalah Budaya Jaya, sebenarnya yang ingin dikirimkan oleh Engku Ibrahim Marah Sutan adalah Engku Sukardi, salah seorang anak angkat lainnya. Namun karena situasi dunia saat itu setelah Perang Dunia Pertama dan keadaan Engku Sukardi yang telah berkeluarga membuat biaya pengiriman Engku Sukardi belajar ke negeri Belanda menjadi mahal sekali. Hal ini diakali oleh Engku Ibrahim Marah Sutan dengan menjadi guru bahasa Melayu di Kursus Melayu Gunung Sahari, Betawi[17]. Namun, penghasilan dari memberikan pelajaran bahasa Melayu untuk orang asing ini tidak banyak membantu. Untuk menghemat uang , tak jarang keluarga Anduang Khalijah dan Engku Ibrahim Marah Sutan makan nasi dan garam saja[18].
Pada tanggal 31 Mei 1922, Engku Mohammad Syafei berangkat ke Belanda untuk belajar pendidikan kerajinan tangan dengan menumpang kapal Oranje menuju Genoa, Italia. Pelepasan keberangkatan Engku Mohammad Syafei diadakan dengan meriah di Kartini School, sekolah tempat beliau mengajar pada tanggal 25 April 1922[19][20]. Pada acara yang sama, Engku Sukardi saudara angkat Engku Mohammad Syafei berpidato ikut melepas[19]. Kepergian Engku Mohammad Syafei ke Belanda adalah untuk melihat dinamika kenapa dan bagaimana sebuah negeri kecil yang daratannya lebih rendah dari permukaan air laut di Eropa Barat itu bisa maju dan kuat serta mampu menguasai Nusantara begitu lamanya.
Di negeri Belanda, Engku Mohammad Syafei ingin menelisik industri kerajinan apa saja yang menunjang kemajuan mereka. Engku Mohammad Syafei juga berkesempatan mengunjungi sekolah yang didirikan oleh Dr. Georg Kerchebsteiner di Munchen, Jerman[21]. Sekolah ini juga mengajarkan pelajaran kerajinan tangan serta sistem sosial berdasarkan kecintaan terhadap sesama.
Bagi Engku Mohammad Syafei, pelajaran kerajinan tangan dan pendidikan kerajinan tangan itu berbeda. Menurut beliau, kursus atau pelatihan singkat dapat menyediakan pelajaran kerajinan tangan untuk keterampilan kerja. Sifat dari kegiatan singkat ini hanya akan menghasilkan para pekerja siap pakai tapi tidak memiliki sifat atau kamauan untuk berubah dari dari sendiri. Pendidikan kerajinan tangan lebih dari itu. Pendidikan ini berfungsi membangkitkan minat kerajinan dan kemauan untuk bekerja[22].
Engku Mohammad Syafei selain belajar pendidikan kerajinan tangan juga berkesempatan untuk mengajar di sekolah rendah di Mook Hoek, Rotterdam. Kesempatan itu digunakan oleh beliau untuk praktek mengajar di tengah-tengah anak didik Belanda[23][24][25]. Waktu yang kosong digunakan oleh beliau melihat pusat-pusat industri dan sekolah kerajinan tangan. Selain itu, Engku Mohammad Syafei juga aktif dalam organisasi pelajar Indonesia De Indische Vereeniging/Perhimpunan Hindia (yang kemudian berubah menjadi De Indonesische Vereeniging/Perhimpunan Indonesia). Di organisasi ini beliau berteman dengan para pelajar Indonesia lainnya yang juga tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia seperti Mohammad hatta, Subarjo, dan Sukiman[23].
Engku Mohammad Syafei kembali ke Indonesia pada tahun 1925. Pada tanggal 7 April 1926 Engku Muhammad Syafei sampai di Padang. Keinginan untuk mendirikan sekolah ini dibicarakan dengan Engku Abdul Rachman, yang merupakan kemenakan dari Engku Ibrahim Marah Sutan. Sedari awal Engku Abdul Rachman dan Engku Ibrahim berusaha menyelenggarakan sebuah sekolah yang mereka cita-citakan di Minangkabau[26].
Perjuangan, pergerakan, dan kontribusi besar bagi Republik Indonesia
Perjuangan politik pra-kemerdekaan
Sebagai anak angkat dari Ibrahim Marah Sutan, seorang aktivis kemerdekaan dan intelektual besar Minangkabau yang paham bahwa bangsa Indonesia harus berjuang melalui pendidikan dari dan untuk mereka sendiri, Mohammad Syafei telah menjadi bagian dari kerja-kerja politik perjuangan kemerdekaan. Bersama ayahnya, Engku Mohammad Syafei menjadi anggota aktif De Indische Partij dan partai penerusnya, Insulinde.
Selain itu, selama masa-masa tugas belajar di negeri Belanda, Engku Mohamamd Syafei ikut bergabung dalam wadah pergerakan mahasiswa Indonesia di Belanda, De Indische Vereeniging/Perhimpunan Hindia. Melalui organisasi mahasiswa ini, Engku Mohammad Syafei bertemu dan berkenalan dengan para aktivis Indonesia yang sama-sama belajar di Belanda. Pertemanan dan koneksi ini kemudian hari membawa Engku Mohammad Syafei aktif dalam usaha pergerakan kemerdekaan di tanah air, usaha-usaha bersama menjaga kemerdekaan, dan kemudian mengisi kemerdekaan.
Perjuangan pendidikan bangsa Indonesia melalui INS Kayutanam
Kontribusi besar dari Engku Mohammad Syafei dan selalu dikenang adalah pendirian sekolah bersejarah INS Kayutanam di desa kecil bernama Kayutanam. Nama harum sekolah INS Kayutanam dalam lembaran sejarah Indonesia tidak terlepas dari orisinalitas konsep pendidikan yang diajukan Engku Mohammad Syafei yang tidak hanya melawan kelaziman pendidikan jaman kolonial di mana sekolah adalah tempat untuk menghasilkan pegawai rendahan di dalam sistem pemerintahan kolonial yang jelas sangat merugikan bangsa Indonesia, tapi juga sebuah konsep pendidikan yang bertujuan untuk menggali dan membentuk identitas manusia Indonesia itu sendiri.
Mengutip Thalib Ibrahim yang merupakan salah seorang murid tamatan pertama INS Kayutanam menandaskan bahwa konsep pendidikan di Ruang Pendidik INS adalah untuk membentuk manusia aktif dan kreatif berdasarkan Pancasila yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, yang di setiap perbuatannya insyaf dan sadar bahwa alam-bumi dan makhluk insani ciptaan Tuhan selalu tumbuh dan bergerak[27]. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang diterapkan di Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah sistem pendidikan yang melahirkan manusia yang selalu aktif dan kreatif. Sistem pendidikan yang menghasilkan manusia yang pasif adalah mengingkari adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut AA Navis model pendidikan di sekolah INS adalah model sekolah kerja di mana terdapat perpaduan seimbang antara pengajaran teori dan praktik keterampilan yang berbeda dari model sekolah-sekolah di negeri Barat. Pendidikan nya ini murni hasil olah pikir Engku Mohammad Syafei yang didasarkan pada hasil teroka Engku Mohammad Syafei atas alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Penekanan nilai-nilai pendidikan ini, menurut AA Navis ada dari nilai-nilai pendidikan alam Indonesia dan dari filsafat alam dan budaya sosial bangsa Indonesia[28].
Lebih lanjut, AA Navis menyebut bahwa konsep pendidikan Ruang Pendidik INS Kayutanam ini terwujud secara utuh di masa-masa awal kemerdekaan dan menghasilkan lulusan-lulusan yang berkontribusi besar dalam usaha perebutan kemerdekaan dan pembangunan negara bangsa di masa awal kemerdekaan. Namun, seiring berjalannya waktu dikarenakan oleh kondisi dan situasi saat perubahan waktu itu terjadi konsep pendidikan Ruang Pendidik INS Kayutanam di masa awal kemerdekaan sulit untuk diterapkan[29].
Setidaknya terdapat dua alasan menurut AA Navis. Pertama, tidak mudahnya untuk menjabarkan kembali konsep pemikiran pendidikan Engku Mohammad Syafei sesuai dengan tantangan jaman saat itu. Para pengurus mengalami kesulitan dalam menerjemahkan gagasan pendidikan Engku Mohammad Syafei ke dalam suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan dengan filsafat, sistem aktif kreatif, dan tujuan INS yang dicita-citakan oleh Engku Mohammad Syafei. Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia membawa perubahan-perubahan besar dan cepat dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan hilangnya kebutuhan masyarakat atas pendidikan yang ditawarkan oleh INS Kayutanam.
Masa pendudukan Jepang
Selain dikenal sebagai tokoh pendidikan dan pengajar yang mumpuni dengan mendirikan INS Kayutanam, Engku Mohammad Syafei muda juga ikut terlibat langsung dalam pergerakan merebut kemerdekaan sekembalinya dari negeri Belanda di tahun 1925. Pada masa pendudukan Jepang, Engku Mohammad Syafei ditunjuk sebagai ketua Chuo Sang-In Sumatera Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi[30][31]. Ketika Jepang menyerah ke pada Sekutu, Engku Mohamamd Syafei membacakan naskah proklamasi di Bukittinggi pada 29 Agustus 1945. Naskah proklamasi ini adalah naskah yang sama dibacakan Soekarno dan Mohammad Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui diplomasi kebudayaan Indonesia
Pada masa awal kemerdekaan, kegiatan belajar dan mengajar tidak serta-merta dapat dilangsungkan begitu saja. Situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pendidikan, segala perhatian dan usaha tercurah untuk menjaga kemerdekaan. INS Kayutanam pada waktu itu menjadi pusat pergerakan di Sumatera Barat, termasuk pusat diplomasi kebudayaan Indonesia.
Sebagai sebuah usaha untuk mendukung diplomasi pengakuan kemerdekaan Indonesia, Engku Mohammad Syafei mendirikan Ruang Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan di Padang Panjang. Institusi ini menjadi sendi utama diplomasi pendidikan dan kebudayaan Indonesia di Sumatera Barat dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan pendidikan dan kesenian seperti perpustakaan, museum kerajinan tangan daerah, sandiwara rakyat, sendratari, dan berbagai bentuk kesenian lain nya. Sasaran nya adalah tamu dari Jawa dan para rombongan tamu negara asing yang hendak berkunjung ke Bukittinggi, Ibukota Indonesia saat itu. Tujuannya adalah agar para tamu pemerintah pusat dan wakil presiden yang berkunjung ke Bukittinggi dapat dijamu dan melihat eksistensi bahwa Republik Indonesia masih ada dan memiliki kebudayaan khas.
Dikarenakan sangat sulit nya untuk mengumpulkan segala bahan untuk mendirikan Gedung Ruang Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dan menyelenggarakan kegiatan, maka semua bahan dan alat yang dibutuhkan dibawa dari kampus INS Kayutanam. Alat-alat pertukangan dan lima puluh orang siswa dibawa ke Padang Panjang untuk menyiapkan gedung ini dan persiapan mobilisasi perang berupa pembuatan senjata dan amunisi yang nanti hasil nya akan dibagikan ke pada seluruh rakyat nanti.
Masa-masa usaha mengisi kemerdekaan Indonesia
Setelah kemerdekaan, Engku Mohammad Syafei ikut aktif dalam membangun Republik Indonesia. Di masa awal kemerdekaan, Engku Mohammad Syafei diangkat sebagai Residen Sumatera Barat. Jabatan ini tidak lama dipegang, segera pada Oktober 1945 Engku Mohammad Syafei memilih mengundurkan diri. Sepanjang 12 Maret 1946 hingga 2 Oktober 1946, Engku Mohammad Syafei diminta mengurusi bidang pendidikan dengan menjadi Menteri Pengajaran Indonesia pada Kabinet Sjahrir II menggantikan Todung Sutan Gunung Mulia[32]. Pada Pemilu 1955, Engku Mohammad Syafei ikut terjun berpolitik, namun tidak terpilih menjadi anggota parlemen karena kekurangan suara.
Pada peristiwa pergolakan daerah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berlangsung dari 1958-1961, situasi dan kondisi memaksa Engku Mohammad Syafei untuk bergabung dengan gerakan ini dengan menjadi Menteri Pendidikan dan Kesehatan PRRI. Walau pun perang hanya berlangsung selama tiga tahun, namun kegiatan belajar di sekolah INS Kayutanam terlantar cukup lama. Selama masa perang saudara itu, kampus INS Kayutanam mengalami kerusakan yang cukup parah. Pada tahun 1968, Engku Mohammad Syafei kembali ke Kayutanam untuk membangun INS yang terlantar akibat perang. Selain membangun dunia pendidikan melalui INS Kayutanam, Engku Mohammad Syafei juga turut membantu pendirian Sekolah Tinggi Hukum Pancasila di Padang, yang kemudian hari menjadi Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Wafat
Engku Mohammad Syafei meninggal pada 5 Maret 1969 di Jakarta ketika berupaya mengumpulkan donasi pembangunan kembali INS Kayutanam. Beliau meninggalkan seorang istri, Joanna Sicrie dan tiga orang anak yang masih kecil. Jenazahnya diterbangkan ke Padang dan dimakamkan di samping ibu angkatnya, Andung Khalijah di kompleks sekolah INS Kayutanam.
-
Plang nama menuju kuburan Anduang Khalijah dan anak angkatnya, Engku Mohamamd Syafei
-
Makam Anduang Khalijah berdampingan dengan Engku Mohammad Syafei di komplek sekolah INS Kayutanam.
-
Prasasti yang menjelaskan pemugaran makam Anduang Khalijah dan Engku Mohammad Syafei
Usaha-usaha mengusulkan Engku Mohammad Syafei sebagai Tokoh Pendidikan Nasional dan Pahlawan Nasional
Kontribusi besar Engku Mohammad Syafei ke pada Republik Indonesia tidak hanya ada melalui sekolah INS Kayutanam yang beliau rintis dan dirikan di Nagari Kayutanam, Sumatera Barat. Sekembalinya beliau menuntut ilmu di negeri Belanda sepanjang tahun 1922 hingga 1925, beliau memfokuskan diri untuk mendirikan sebuah sekolah untuk anak-didik Indonesia dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan jati diri luhur bangsa Indonesia.
Ajisman mencatat bahwa dalam usaha-usaha beliau mendirikan sekolah ini beliau menolak berbagai bentuk tawaran pekerjaan yang tentunya dapat membuat beliau dan orang tua beliau hidup dengan mapan. Tawaran pekerjaan itu adalah sebagai redaktur di Volkslecuur (kemudian berubah menjadi Balai Poestaka) dan tawaran posisi dosen bahasa Indonesia di Universitas Leiden dengan gaji 4000 gulden dan tiket pulang-pergi ke Hindia Belanda[26]. Pada 31 Oktober 1926, Engku Mohammad Syafei mendirikan Indonesische-Nederlandsche School (INS) di Kayutanam, Sumatera Barat. Sekolah menjadi nasional, dan merupakan reaksinya terhadap pendidikan kolonial waktu itu, yang hanya bertujuan untuk mempersiapkan anak-anak pribumi menjadi pegawai rendahan Belanda. Tujuan pendidikan yang diamanatkan Mohammad Sjafei adalah anak didik yang berketerampilan dan punya daya kreatif melalui tiga komponen utama yaitu memberdayakan tenaga agar murid bisa bekerja, memberdayakan otak agar murid bisa berpikir, dan memberdayakan jiwa agar murid bisa merasa.
Keberadaan INS Kayu Tanam serupa dengan sekolah-sekolah nasionalis lainya, seperti Taman Siswa, yang menjadikan sekolah sebagai tempat mengasah pikiran sehingga lahir generasi kritis dan sadar akan nasib bangsa. Pada waktu itu sekolah dan politik tidak bisa dipisahkan, karena ia hadir di tengah pergerakan nasional. Nilai-nilai yang hadir di masa perjuangan tersebut sepantasnya diteruskan kepada generasi bangsa di era digital, sehingga peka terhadap kemaslahatan orang banyak (bangsa).
Jasa-jasa Engku Mohammad Syafei di bidang pendidikan tidak hanya sampai dalam pendirian sekolah menengah. Beliau juga tercatat sebagai tokoh yang mempelopori berdirinya Sekolah Tinggi Hukum Pancasila di Padang (Perguruan Tinggi Pertama di Sumatera, kemudian lebur menjadi Fakultas Hukum, setelah berdirinya Universitas Andalas 1956).
Engku Mohmmad Sjafei dikenal tidak hanya sebagai tokoh pendidik yang berpikiran moderen dalam zaman penjajahan, namun juga dikenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang berada di garis depan pemimpin Sumatera. Ia pernah menjadi Ketua Dewan Sumatera (masa pendudukan Jepang). Pada masa awal kemerdekaan dipercaya memerankan diri atas nama bangsa Indonesia di Sumatera membacakan lagi teks proklamasi 17 Agustus 1945, sekaligus menyatakan:
“Maka kami Bangsa Indonesia di Sumatera dengan ini mengakui Kemerdekaan Indonesia seperti dimaksud dalam Proklamasi di atas dan menjunjung keagungan kedua pemimpin Indonesia itu”.
Teks ini dibacakan pada pada tanggal 29 Agustus 1945. Mohammad Syafei dipercaya pula menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia daerah (KNID) dan kemudian menjadi Residen pertama Sumatera Barat.
Penghargaan
- Doctor Honoris Causa dari IKIP Padang (1968).
- Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Joko Widodo (2019)[33]
Galeri
-
Gambar salah satu sudut Sekolah Raja/Kweekschool di Fort de Kock (Bukittinggi) pada tahun 1915 (sekarang sekolah ini menjadi SMA Negeri 2 Bukittinggi). Engku Mohammad Syafei dan Engku Ibrahim Marah Sutan belajar di sini. Engku Mohammad Syafei tamat pendidikan guru di sekolah ini pada tahun 1914.
-
Gambar Sekolah Kartini atau Kartinischool di kawasan Weltevreden, Batavia (sekarang kawasan Sawah Besar, Jakarta), tempat di mana Engku Mohammad Syafei bekerja sebagai salah seorang guru dan di saat yang sama belajar bersiap untuk melanjutkan studi ke Belanda.
Rujukan
- ^ https://books.google.co.id/books?id=b6-cAAAAMAAJ&q=Johanna+sicrie&dq=Johanna+sicrie&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjnlvnQxuXxAhVNAHIKHevNA0AQ6AEwAXoECAgQAw
- ^ http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/02.Setya%20Raharja%20April%202008.pdf
- ^ https://sumsel.kemenag.go.id/files/sumsel/file/dokumen/PemikiranPendidikanSyafei.pdf
- ^ "Minang Saisuak #224 – Mohammad Sjafei (1893 – 1969)". Dr. Suryadi | LIAS - SAS Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda (dalam bahasa Inggris). 2015-05-24. Diakses tanggal 2022-11-24.
- ^ muskitnas. "Mohammad Sjafei: Berani Melawan Arus Pendidikan Kolonial – Museum Kebangkitan Nasional". Diakses tanggal 2022-11-24.
- ^ Indrajaya, Dimas Wahyu. "Engku Mohammad Syafei, Melawan Sistem Pendidikan Belanda dengan INS Kayutanam". www.goodnewsfromindonesia.id. Diakses tanggal 2022-11-24.
- ^ Nasar, M. Fuad (2018). CAPITA SELECTA ZAKAT: Esei-Esei Zakat Aksi Kolektif Melawan Kemiskinan. Gre Publishing. ISBN 978-602-7677-40-1.
- ^ Kahin, Audrey R. (2005). Dari pemberontakan ke integrasi Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-519-5.
- ^ Lihat tulisan Suryadi Sunuri di tulisannya berjudul Minang Saisuak #194 – Intelektual Minang: Ibrahim Gelar Mara Soetan di https://niadilova.wordpress.com/2014/10/20/minang-saisuak-194-intelektual-minang-ibrahim-gelar-mara-soetan/ Tulisan ini juga muncul di rubrik Minang Saisuak, Koran Singgalang hari Minggu, 19 Oktober 2014.
- ^ Keterangan ini sulit diterima mengingat ibu kandung Engku Mohammad Syafei adalah seorang yang buta huruf seperti kebanyakan orang Indonesia di awal Abad ke 20 M. AA Navis menyebut bahwa bisa saja tanggal yang digunakan Engku Mohammad Syafei adalah tanggal yang sama dia diangkat anak oleh Inyiak Ibrahim Marah Sutan dan Anduang Chalidjah, karena “Sjafei gemar memakai tanggal-tanggal atau angka yang berhubungan dengan sejarahnya. Bahkan, nomor mobilnya pun diberi angka demikian”. Lihat AA Navis. Filsafat Dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam. Jakarta: Grasindo, hlmn.
- ^ Lihat Kahin, Audrey. R. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlmn. 113.
- ^ Lihat Ajisman. Dinamika Perkembangan INS Kayutanam 1926-1998. Padang: BPSNT Padang Ekspress. 2012. hlmn 24.
- ^ Lihat AA Navis. Filsafat Dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam. Jakarta: Grasindo, hlmn 13-14.
- ^ Lihat tulisan Suryadi Sunuri di Minang Saisuak #224 – Mohammad Sjafei (1893 – 1969)https://niadilova.wordpress.com/2015/05/25/minang-saisuak-224-mohammad-sjafei-1893-1968/
- ^ Idem
- ^ Lihat AA Navis. Ruang Pendidikan INS Dulu, Kini, dan Esok. Kerjasama Lembaga Pengembangan Pendidikan INS dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (UNIT EP3M) Pesantren Ciganjur. Jakarta: 1986. hlmn. 16
- ^ Lihat tulisan berjudul M. Safe’I ke Eropa di majalah Boedi Tjaniago No. 7 Tahun 1, 1922, hlm. 2-4
- ^ AA Navis mengutip Majalah Budaya Jaya, No. 132 Tahun 1979, dalam bukunya Filsafat dan Strategi pendidikan M. Syafei Ruang Pendidikan INS Kayutanam. Jakarta: Grasindo, 1996 halaman 11-12. Kutipan ini bisa dilihat dalam Ajisman Dinamika Perkembangan INS Kayutanam 1926-1998. Padang: BPSNT Padang Ekspress. 2012. hlmn 25-26.
- ^ a b Lihat tulisan berjudul M. Safe’I ke Eropa di majalah Boedi Tjaniago No. 7 Tahun 1, 1922, hlm. 2-4.
- ^ "Minang Saisuak #233 – Moehammad Sjafei di Belanda (1924)". Dr. Suryadi | LIAS - SAS Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda (dalam bahasa Inggris). 2015-08-30. Diakses tanggal 2022-11-24.
- ^ Lihat Ajisman Dinamika Perkembangan INS Kayutanam 1926-1998. Padang: BPSNT Padang Ekspress. 2012. Hlm. 27
- ^ Idem
- ^ a b "Minang Saisuak #224 – Mohammad Sjafei (1893 – 1969)". Dr. Suryadi | LIAS - SAS Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda (dalam bahasa Inggris). 2015-05-24. Diakses tanggal 2022-11-24.
- ^ Idem
- ^ Suryadi Sunuri mengutip tulisan Pandji Poestaka bahwa “Toean Mohd. Sjafe’i sekarang ada dinegeri Belanda sedang menoentoet berbagai-bagai ‘ilmoe. Maksoednja jang teroetama kenegeri Belanda, boekanlah hendak mentjahari acte, akan tetapi akan mentjahari pengetahoean jang lebih dalam, bagaimana tjaranja djalan mendidik anak-anak, djoega mempeladjari kunst, seperti; pekerdjaan tangan, biola dan gambar. Oentoek beladjar mendidik, ia telah diberi izin mengadjar pada sekolah rendah di Mook Hoek (Rotterdam). Moedah-moedahan segala tjita-tjita toean Mohd. Sjafe’i itoe terkaboel hendaknja jang kemoedian hari dapatlah beliau membimbing bangsa dan tanah airnja kepada djalan ketjerdasan dan kepandaian.” Lihat tulisan Suryadi Sunuri di Minang Saisuak #233 – Moehammad Sjafei di Belanda (1924) https://niadilova.wordpress.com/2015/08/31/minang-saisuak-233-moehammad-sjafei-di-belanda-1924/
- ^ a b Ajisman, dkk; (2012). Bunga Rampai: Sejarah Sumatera Barat (Sumatera Barat Dari Zaman Jepang Hingga Era Reformasi) (dalam bahasa Indonesia). BPSNT Padang Press. ISBN 978-602-8742-54-2.
- ^ Lihat Ibrahim, Thaleb. Pendidikan Mohd. Sjafei INS Kayutanam. Jakarta: Mahabudi Jakarta, hlm. 4.
- ^ Lihat AA Navis. Ruang Pendidikan INS Dulu, Kini, dan Esok. Kerjasama Lembaga Pengembangan Pendidikan INS dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (UNIT EP3M) Pesantren Ciganjur. Jakarta: 1986, hlm. 41.
- ^ Idem., hlmn 42.
- ^ Badan Chuo Sang-In adalah sebuah dewan pertimbangan bentukan pemerintah pendudukan Jepang yang bertugas memberi nasihat ke pada pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia dalam hal-hal seperti pengembangan kepemerintahan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendidikan, dan kesehatan.
- ^ Lihat Reid, Anthony. “The Birth of the Republic of Sumatra” Indonesia 12(12): 21-46. Oktober 1971.
- ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia, Balai Pustaka
- ^ "Presiden Jokowi Anugerahkan Tanda Kehormatan bagi 29 Tokoh". Presiden RI. 2019-08-15. Diakses tanggal 2021-11-29.