Pelindo

perusahaan asal Indonesia

PT Pelabuhan Indonesia (Persero) (disingkat Pelindo) adalah sebuah badan usaha milik negara Indonesia yang bergerak di bidang logistik, terutama pengelolaan dan pengembangan pelabuhan. Saat ini, perusahaan ini mengoperasikan 94 Pelabuhan yang terletak di 32 Provinsi Indonesia. Dari Sumatra Barat hingga Jawa Barat, Pelindo menjadi salah satu BUMN strategis dimana seluruh pelabuhan yang dikelola memiliki posisi yang signifikan dalam perhubungan jaringan perdagangan internasional berbasis transportasi laut.

PT Pelabuhan Indonesia (Persero)
Pelindo
Sebelumnya
PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)
Perusahaan perseroan (Persero)
IndustriPengelola dan pengembang pelabuhan
Pendahulu
Didirikan1 Oktober 2021
Kantor pusat,
Wilayah operasi
Seluruh Indonesia, kecuali DI Yogyakarta dan Sulawesi Barat
Tokoh kunci
Arif Suhartono (Direktur Utama)
PemilikPemerintah Indonesia
Anak usahaPT Pelindo Jasa Maritim
PT Pelindo Terminal Petikemas
PT Pelindo Multi Terminal
PT Pelindo Solusi Logistik
Situs webwww.pelindo.co.id
Lambang logo Perusahan PELINDO di era 80an sampai 20an sebelum diganti di tahun 2012

Perusahaan yang dibentuk oleh Pemerintah sejak tahun 1960 ini telah berubah status usaha dari PN sejak pendiriannya berlanjut menjadi Perum pada tahun 1983 dan akhirnya menjadi Perseroan Terbatas pada tahun 1992. Perubahan status usaha itu tak lepas dari gegap gempitanya Pelindo untuk menjalankan fungsinya sebagai pelaksana teknis kegiatan logistik dibidang kepelabuhanan, yaitu membangun Pelabuhan terbesar di Indonesia, Tanjung Priok. Pencapaian sukses pernah diraih perusahaan ini sebagai The Best Port Practices in Asia-Pacific Region pada Tahun 1980an. Namun, tidak lepas juga akibat tidak adanya perkembangan signifikan dalam kegiatannya membuat Pelindo tertinggal dan terkucil. Meski cukup ironis untuk diketahui, Pelindo tidak malu untuk menghadapi perubahan dan bergerak bersama dengan perubahan dengan berubah. Kawasan pelabuhan diperluas, fasilitas pelabuhan diperbarui dan tata kelola manajemen perusahaan dirombak total untuk menciptakan gerak usaha yang lebih adaptabel, resilien dan progresif dalam perkembangannya sebagai pengelola pintu perdagangan Indonesia. Kini, setelah menjalani serangkaian penataan, revitalisasi dan transformasi, Pelindo hadir menjadi pengelola dan pengembang kegiatan logistik, tidak hanya sekadar pelabuhan tetapi juga berbagai usaha yang terkait dengan logistik sebagai energi perdagangan Indonesia. Pada tanggal 1 Oktober 2021, Pelindo I, Pelindo III, dan Pelindo IV resmi digabung ke dalam perusahaan ini, sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyatukan pengelolaan pelabuhan di Indonesia.[1] Sehingga nama Pelindo II resmi berubah menjadi hanya Pelindo saja.

Berkas:R.J Lini.jpg
ini adalah foto Direktur PELINDO R.J Lino

Sejarah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya adalah perairan dan terletak pada lokasi yang strategis karena berada di persilangan jalur perdagangan internasional berbasis transportasi laut. Sehingga peran pelabuhan sebagai pintu perdagangan Ekonomi Internasional sangatlah vital bagi kegiatan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan pelabuhan menjadi kunci utama pemerintah untuk menggerakkan aktivitas ekonomi dan mengundang masuk investasi. Berikut rentang perjalanan Perusahaan Pelabuhan Indonesia 2.

Awal mula dan perkembangan (1960–1970)

Didirikannya Perusahaan Negara (PN) Pelabuhan Indonesia I sampai dengan VIII pada tahun 1960 bertujuan untuk mengelola dan membangun pelabuhan di seluruh nusantara. Tidak lama kemudian, pada tahun 1964 aspek operasional Pelabuhan dilakukan oleh lembaga pemerintah yang disebut Badan Pengelolaan Pelabuhan. Sementara itu, untuk aspek komersial tetap dibawah kendali PN Pelabuhan I sampai dengan VIII.

Pada tahun 1979, tingginya aktivitas di Pelabuhan Tanjung Priok dengan mulai padatnya arus lalu lintas kargo membuat Pelindo 2 sebagai PN diberi mandat oleh pemerintah untuk melakukan pembangunan kawasan Pelabuhan Tanjung Priok yang dibiayai oleh Bank Dunia, dimana proses pengerjaannya dipimpin oleh staf ahli Direktorat Jenderal Perhubungan Laut RI (yang kelak akan menjadi salah satu dirut Pelindo 2), yaitu Richard Joost Lino. Menariknya pembangunan ini menjadikan Pelabuhan dengan lalu lintas tersibuk di Indonesia ini sebagai Pelabuhan dengan infrastruktur dan fasilitas terbaik di Asia dan sejajar dengan Pelabuhan yang ada di Singapura, Hong Kong dan Jepang.

Masa emas (1980–1989)

Selesainya pembangunan Terminal Peti Kemas 1 pada tahun 1980 dan Terminal Peti Kemas 2 pada tahun 1982 menjadi bukti pesatnya perkembangan dan pembangunan yang dilakukan oleh Perum Pelindo 2 untuk menjadikan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai ikon dan tolak ukur infrastruktur dan fasilitas serta, kegiatan kepelabuhanan di Indonesia. Hal ini terwujud dengan menjadi benchmark (acuan) dan best practices (praktik terbaik) di Asia untuk kegiatan pengelolaan dan pembangunan pelabuhan. Tercatat hingga saat ini, terdapat beberapa negara yang pernah menjadikan Pelindo 2 cabang Tanjung Priok sebagai benchmarking pembangunan pelabuhan di negara mereka, dari Malaysia, Thailand dan Republik Rakyat Tiongkok serta Korea Selatan hingga Uni Emirat Arab.

Namun, relevansi Pelindo 2 sebagai perusahaan logistik yang bergerak di bidang pengelolaan dan pengembangan Pelabuhan dengan praktik terbaik di Asia tidak bertahan lama. Meningkatnya jumlah peredaran kapal berukuran besar, pada tahun 1990an membuat banyak perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut dari Luar Negeri untuk menutup rute pengangkutan kargo menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini tak lepas dari langkah direksi Perum saat itu yang hanya berfokus untuk meningkatkan keuntungan tanpa diikuti dengan perputaran uang yang signifikan bagi perusahaan, seperti pembangunan terminal baru yang tentunya akan meningkatkan keuntungan perusahaan seiring dengan makin membesarnya kapasitas tampung arus lalu lintas kargo. Lebih jauh lagi, para perusahaan EMKL membuka kartu dan menyatakan bahwa tingkat pengembalian keuntungan dari rute menuju Pelabuhan Tanjung Priok kecil, karena Kapal yang melayani rute kesulitan untuk bersandar, berlabuh dan melakukan bongkar muat karena ukurannya yang besar, sehingga perusahaan yang melayani rute ke Pelabuhan Tanjung Priok terpaksa melayani rute tersebut menggunakan kapal kecil yang tertinggal zaman. Hal ini tentunya membuka mata para anggota direksi, dimana secara jelas, singkat dan eksplisit bahwa Pelabuhan Tanjung Priok tidaklah sesuai, bahkan sejajar dengan pelabuhan yang ada kawasan sekitarnya. Pernyataan itu menjadi pukulan telak bagi Perum Pelindo 2 saat itu, karena dulunya Pelindo 2 lah yang justru menjadikan iklim usaha EMKL menjadi usaha yang menguntungkan, karena Pelabuhan Tanjung Priok menjadi acuan standar bagi Pelabuhan di Asia untuk berkembang lebih berkualitas dan perkembangan ini diikuti oleh perusahaan pengelola dan pengembang pelabuhan yang menjadi pemicu perubahan arah permainan usaha EMKL kelas global, malahan yang ironis adalah Pelabuhan yang pernah menjadi acuan di Asia tersebut malah menjadi kawasan yang kumuh, semrawut dan penuh kegiatan pungutan liar. Belum lagi pengelolaannya, akrab dengan kelambanan, fasilitas kuno dan tata kelolanya sangat tertinggal zaman.

Stagnansi dan mengejar ketertinggalan (1990–2000)

Ketertinggalan Pelindo 2 dalam kancah usaha logistik dengan bidang kepelabuhanan, membuat Pemerintah pada tahun 1992 mengeluarkan keputusan untuk mengubah status usaha Perum Pelindo I-VIII menjadi Perseroan Terbatas Pelindo I-IV agar BUMN pengelola dan pengembang pelabuhan ini bisa bersaing, tanpa mendapatkan kekhususan dan mampu mengikuti arus dan dinamika persaingan global. Dimulainya revitalisasi sejak diubahnya status usaha oleh Pemerintah, Pelindo 2 mengambil langkah stategis dengan membangun Terminal Peti Kemas Koja pada tahun 1995 dan membuka lelang terbuka untuk mengoperasikan Terminal Peti Kemas 1 dan 2. Jatuhnya pertumbuhan ekonomi indonesia, hingga mencapai angka negatif akibat Krisis finansial Asia 1997, membuat Terminal Peti Kemas Koja yang selesai pada tahun 1997, mengharuskan Pelindo 2 sebagai BUMN untuk mencari rekanan baru sekaligus melepas kepemilikan aset pelabuhan Tanjung Priok sebagai langkah untuk mengisi kekurangan kas perusahaan yang hampir default, karena hampir semua transaksi dilakukan dengan menggunakan Dolar Amerika. Hal ini bertepatan dengan kesepakatan paket normalisasi kegiatan ekonomi dari International Monetary Fund yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia (saat itu) Soeharto bersama Direktur IMF saat itu, Michael Camdesus sebesar US$ 40 Miliar yang mendorong BUMN untuk mengurangi besaran kepemilikan dan bekerjasama dengan investor asing sebagai langkah untuk berkompetisi secara terbuka dan adaptabel. Menindaklanjuti kesepakatan itu, Pelindo 2 langsung menyusun program pelelangan terbuka Pelindo 2 terhadap kedua Terminal Peti Kemas 1 dan 2 dengan skema KSO (Kerja Sama Operasional) yang bertujuan untuk, pertama meningkatkan keuntungan perusahaan, kedua mendorong kelayakan ekonomi perusahaan untuk mengembangkan Terminal Peti Kemas baru dan ketiga menggali pengalaman dengan memanfaatkan jaringan global rekanan kerjasama untuk membuat kegiatan kepelabuhanan di Tanjung priok secara ekonomi menjadi menguntungkan. Pelelangan yang dilakukan pada tahun 1997 ini menjadikan Hutchison Ports (Perusahaan asal Hong Kong yang dibentuk di Kepulauan Virgin Britania Raya yang mengoperasikan pelabuhan di 52 Negara dengan 26 Terminal Peti Kemas) keluar sebagai rekanan yang sesuai dengan kriteria dan syarat yang ditentukan oleh Pelindo 2, kesepakatan diraih oleh kedua pihak pada tahun 1999 dengan kepemilikan sebesar 51% milik Hutchison Ports, 48,9% milik Pelindo 2 dan sisanya milik Koperasi pegawai Maritim dengan jangka waktu selama 20 tahun dengan nilai kontrak investasi sebesar US$ 423 Juta dengan upfront payment sebesar US$ 243 Juta (sebelum pengembalian aset JICT 2) dengan skema pengembangan dan pengelolaan pelabuhan bahwa, Pelindo 2 harus membeli aset yang dikerjasamakan dengan harga pasar yang sesuai dan kesepakatan ini baru saja diamendemen dengan perubahan kepemilikan sebesar 51% dimiliki oleh Pelindo 2 dan sisanya dimiliki oleh HPH dan besaran kontrak yang telah diperbarui dengan nilai sebesar 486,5 Juta dengan upfront payment sebesar US$ 215 Juta (setelah pengembalian aset JICT 2) dengan skema pengembangan dan pengelolaan pelabuhan Built-Operate-Transfer yang dinilai lebih menguntungkan ketimbang kesepakatan sebeumnya, meski nilai pembayaran dimuka lebih sedikit, karena dialokasikan ke dalam belanja infrastruktur dan fasilitas baru yang nantinya akan dipindahtangankan kepemilikannya kepada Pelindo kembali.[2]

Menghadapi perubahan, berubah dan berkembang (2000–2010)

Memasuki milenium baru, masuknya Richard "Manneke" Joost Lino kedalam jajaran Pelindo 2 oleh Menteri BUMN saat itu, Sofyan Djalil pada Bulan Mei 2009, menjadi tonggak awal perubahan di dalam Pelindo 2. Alumni Fakultas Teknik Sipil ITB Tahun 1977 yang pernah membidani kelahiran Pelabuhan Tanjung Priok itu kembali, setelah Ia sukses mengembangkan Pelabuhan Sungai Guigang, Provinsi Guangxi yang dikelola oleh Aneka Kimia Raya memimpin Pelindo 2 dengan penuh ketegasan, keberanian dan kelugasan yang tinggi dengan cara yang cerdas dan tidak kenal kompromi. Lino memutar balikkan situasi dan kondisi Pelabuhan Tanjung Priok yang semula kumuh, tidak terawat dan ketinggalan zaman. Mula-mula, Lino melakukan revitalisasi kompetensi SDM yang berkecimpung di perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) itu, agar mental untuk melayani tetap ada, bukan sebaliknya. Reformasi Sumber Daya Manusia terjadi dengan perombakan standar pengisian jabatan berdasarkan kompetensi, bukan dengan melobi direksi atau pejabat tinggi. Pelindo 2 (kini menjadi IPC) pun melakukan investasi besar-besaran di human capital development. Tercatat lebih dari 500 pegawai dikirim ke berbagai Institusi berkelas dunia, baik di dalam dan luar negeri untuk mengikuti pelatihan, kuliah pascasarjana, dan program executive master of business administration (MBA).

Bahkan Ia tak gentar menghadapi para birokrat-birokrat mengobrak-abrik Pelindo 2, sebagai pimpinan perusahaan Ia juga tak pernah gentar saat digertak atau dibatasi. Dari Dirjen hingga Menteri, Ia memulai perubahan ini dengan serius dan memulai keseriusan untuk memimpin perubahan. Hal ini bukan alasan, banyak sekali upaya keras dari berbagai pejabat untuk menjatuhkan Lino. Hal itu bermula dari upaya Lino menata antrean panjang di pelabuhan pada tahun 2009. Penyebabnya ternyata ada di loket Bea dan Cukai yang sering kali hanya membuka satu loket. Melihat truk antre, ia menghubungi Bea dan Cukai setempat, tetapi tidak dilayani. Setelah itu, ia pun mengirim SMS ke Menteri Keuangan, yang saat itu dijabat Sri Mulyani. Ternyata Sri Mulyani menindaklanjuti dan para dirjen kalang kabut. Rupanya Lino telah mengusik ketentraman dan kesejahteraan Dirjen Bea dan Cukai, Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, serta mitra-mitranya dari pemerintah yang mengurus pelabuhan. Penataan yang dilakukan oleh R.J Lino di Perseroan BUMN rupanya telah mempengaruhi kerja berbagai kementerian. Tentunya, mengerti bukan, "bahwa kebanyakan regulasi yang diterbitkan oleh institusi pemerintah sendiri hanya membuat segalanya berbelit-belit dan sulit", dimana artinya adalah regulasi sudah tidak bertindak lagi sebagaimana regulasi bertindak mestinya, tetapi berubah menjadi sebuah formalitas yang hanya membatasi tetapi tidak menyelesaikan permasalahan dan digunakan oleh mereka yang mengerti peraturan itu, untuk dijadikan “rezeki” bagi mereka dengan memperlambat proses di pelabuhan dan hal ini berhasi diberantas oleh Pelindo 2.

 
Logo Pelindo tahun 2012

2010–2020

Pada tanggal 30 Juni 2020, perusahaan ini resmi menyerahkan mayoritas saham PT. Rumah Sakit Pelabuhan, yang mengelola Rumah Sakit Pelabuhan di Jakarta, Cirebon, dan Palembang, ke PT. Pertamina Bina Medika, sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyatukan kepemilikan semua rumah sakit yang dimiliki oleh BUMN.[3]

Pembangunan dan Pengembangan Infrastruktur Maritim

Sebagai perusahaan yang mengelola operasional pelabuhan dan mengembangkan kegiatan disektor kepelabuhanan, Pelindo 2 sebagai BUMN telah menangani berbagai proyek pembangunan pelabuhan baru dan pengembangan pelabuhan yang ada. Di samping membangun infrastruktur utama, Pelindo juga membangun infrastruktur pendukung yang dikerjasamakan oleh BUMN atau swasta, seperti pembangunan akses jalan tol (bekerjasama dengan Jasa Marga, rel kereta (bekerjasama dengan Kereta Api Logistik) dan kanal untuk mendorong diversifikasi penggunaan transportasi kargo dan mengoptimalkan moda transportasi kargo. Berikut beberapa proyek pengembangan dan pembangunan yang ditangani oleh Pelindo 2.

New Priok Container Terminal & Cikarang-Bekasi-Laut Inland Waterway

Terminal Petikemas Kalibaru atau sering disebut sebagai NPCT adalah proyek pengembangan Pelabuhan Tanjung Priok yang dilaksanakan oleh Pelindo 2 yang bekerjasama dengan investor asal Singapura dan Jepang, yaitu Mitsui & Co., NYK Line dan Port of Singapore Authority. Proyek yang diinisiasi sejak tahun 2010 ini diteken kontraknya pada pertengahan tahun 2012 dan diresmikan pembangunannya pada tahun 2013 awal. Pembangunan NPCT ini tergolong cepat, karena urgensinya yang besar dan proyek ini masuk kedalam program prioritas pemerintahan saat itu, Masterplan Percepatan, Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia 2011-2015. Di dalam program tersebut, pengembangan pelabuhan ini ditujukan untuk menjadi gerbang perdagangan utama Indonesia ke pasar global dengan memanfaatkan momentum pengembangan dan pembangunan pelabuhan Tanjung Priok untuk bersaing secara global dalam sektor kepelabuhanan. Pengembangan dan pembangunan pelabuhan ini terbagi atas 2 tahap sekaligus. Tahap 1, pengembang bersama rekan investor akan membangun kompleks pelabuhan dan bongkar muat dari tahun 2012-2019 dengan luas sebesar 180 Ha yang mampu menampung lalu lintas kargo kontainer dan kargo produk hingga mencapai 4,5 Juta TEU's dan 10 Juta M3, area tambat kapal sepanjang 4000 Meter dengan biaya mencapai sebesar US$ 2,5 Miliar. Pada tahap 2, pengembang dan rekan investor akan melanjutkan pembangunan komplek pelabuhan pada tahun pembangunan 2019-2024 dengan luas sebesar 300 Ha yang mampu menampung lalu lintas sebesar 8 Juta TEU's, area tambat kapal untuk bongkar muat sepanjang 4000 Meter dengan biaya mencapai sebesar US$ 2,2 Miliar. Hal ini tentunya akan meningkatkan kapasitas maksimum pelabuhan dengan arus lalu lintas pertahun hingga mencapai 20 Juta kontainer berukuran 20 kaki, diikuti dengan pendalaman kolam berlabuh kapal hingga mencapai kedalaman -16 Meter Dpl akan mendorong perusahaan pelayaran logistik untuk memperbesar kapasitas angkut kontainer kapal mereka dari rata-rata bekapasitas 3.000 kontainer TEU's menjadi 10.000 kontainer TEU's, bahkan lebih yang nantinya berdampak pada meningkatnya kapasitas muat kontainer kapal seiring dengan makin layaknya infrastruktur pelabuhan untuk menampung kapal berukuran besar.[4] Tentunya akan menarik untuk melihat langkah berbagai perusahaan pelayaran logistik berbasis maritim dari Maersk Lines (Denmark), OOCL (Hong Kong), Evergreen (Taiwan), Hapag-Lloyd (Jerman) dan UASC (Uni Emirat Arab) hingga Samudera Indonesia, Tanto Intim Line, Mentari Line hingga Temas Line mendorong globalisasi perdagangan Indonesia ke pasar internasional dengan makin efektifnya kegiatan dan efisien serta layak. Dimana Pelabuhan Tanjung Priok akan disandari kapal-kapal berukuran besar seperti di pelabuhan negara tetangga seperti Keppel Port, Singapura; Port Klang, Malaysia dan Pelabuhan Laem Chabang, Thailand.

Selain itu, sebagai rangka untuk mengembangkan kegiatan interkonektivitas logistik yang efektif, efisien dan terintegrasi di kawasan hinterland, perlu adanya diversifikasi moda transportasi. Saat ini, ruang interkonektivitas logistik di kawasan ini saat terbatas, oleh karena itu diusulkanlah alternatif yang lebih efektif, modern dan rendah biaya dalam bentuk jaringan jalur air pedalaman dengan menggunakan tongkang. CBL Inland Waterways akan menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan kawasan industri di sekitar Cibitung, Cikarang, dan Karawang dengan memanfaatkan arus CBL Canal. Pengembangan kanal CBL Inland Waterway dengan total panjang 25 km ini, terdiri dari proses pelebaran dan pengerukan kanal dan juga termasuk pembangunan sebuah Waterway Terminal Inland di sekitar Cikarang Industrial Estate. Pembangunan ini diharapkan menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di jalan tol di kawasan industri dan menjadikan biaya logistik semakin kompetitif. CBL Inland Waterway diharapkan dapat meningkatkan arus peti kemas volume yang menuju Pelabuhan Tanjung Priok dari Cibitung, Cikarang, dan daerah Karawang, dengan total kapasitas dalam fase operasional penuh 3 juta TEUs per tahun.[5]

Tanjung Carat Terminal & Musi-Lematang River Inland Waterway

Pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat adalah hasil kerjasama Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan dan Pelindo 2. Untuk menunjang kegiatan ekonomi Sumatra Selatan yang terus bertumbuh, tentu membutuhkan fasilitas kepelabuhanan yang mampu menampung sesuai kebutuhan yang ada. Pada tahun 2014 saja, Sumatra Selatan menyumbang 30% dari total GDP Sumatra, dengan tingkat pembangunan ekonomi tahunan yang melebihi rata-rata di kawasan ini. Sumatra Selatan memiliki sumber daya alam yang kaya, khususnya di bidang pertanian (yaitu Kelapa Sawit), pertambangan (yaitu batubara), dan energi (yaitu minyak dan gas) yang memberikan daya tarik yang kuat bagi masuknya Foreign Direct Investment (FDI) dan juga investasi dalam negeri untuk meningkatkan perekonomian provinsi. Selain itu, Sumatra Selatan yang strategis dan dekat dengan Selat Malaka, Singapura dan Malaysia, menjadi beneficial effect dimana terdapat akses langsung ke simpul transportasi dan perdagangan internasional. Kedua alasan itu yang mendasari urgensi pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat.

Pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat menjadi penyelesaian dalam pengembangan dan pembangunan Pelabuhan Boom Baru, Palembang yang dikelola oleh Pelindo 2 yang sudah terbatas dalam pengembangan pelabuhan. Selain itu, Pelindo 2 telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan untuk mengembangkan Lematang dan Sungai Musi sebagai jaringan transportasi sungai yang nantinya akan memperluas akomodasi kegiatan penambangan batu bara di kawasan Muara Enim, serta mengembangkan pelabuhan baru laut dalam di Tanjung Api - Api yang berfungsi sebagai pengganti Pelabuhan Boom Baru. Pengembangan jaringan transportasi Sungai Lematang dilakukan dari Muara Enim dengan bifurkasi hingga Sungai Musi di Muara Lematang untuk jarak 190 km, dan Sungai Musi dari Muara Lematang hingga muara luar untuk jarak 200 km. Perkembangan ini juga meliputi kompleks bongkar muat terminal batubara di Muara Enim dan transshipment terminal batubara di Muara Lematang.Pembangunan terminal ini juga akan mendukung Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) baru yang akan dikembangkan Tanjung Api - Api.[6]

Kijing Deep Sea Water Port Terminal

Pembangunan Pelabuhan Laut Dalam Kijing berawal dari urgensi yang mendesak, bahwa pelabuhan yang ada di Pontianak tidak mampu menampung lalu lintas kargo yang meningkat. Hal ini tentunya diakibatkan oleh beberapa permasalahan dilapangan, pertama dangkalnya kedalaman kolam labuh kapal untuk bersandar yang diakibatkan oleh tingginya sedimentasi di muara sungai yang terus meningkat, otomatis pengerukan bukan solusi yang layak. Terakhir, tingginya kapasitas muat kargo yang mulai melebihi kapasitas rasio hunian kontainer diakibatkan oleh berbagai pembangunan infrastruktur kota dikawasan muara sungai yang berdampak pada terbatasnya kapal besar untuk masuk dan berlabuh. Kebutuhan pembangunan Pelabuhan Kijing ini berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi provinsi Kalimantan barat yang terus berkembang. Pelabuhan Kijing akan menjadi pelabuhan DSWP (Deep Sea Water Port) pertama di Indonesia yang akan menangani lalu lintas pengangkutan berbasis kontainer dan kargo curah yang nantinya akan menjadi gerbang perdagangan Kalimantan Barat. Hal ini tentunya mendorong economical feasibility dalam pendirian dan pembentukkan kawasan industri seiring dengan meningkatnya lalu lintas kargo. Selain itu, posisi strategis Pelabuhan Kijing yang langsung berhadapan dengan jalur perdagangan laut Internasional tersibuk didunia menjadikan beneficial effect bagi pembangunan Pelabuhan Kijing dimana setiap tahun arus lalu lintas yang bergerak menuju Indonesia mencapai rata-rata 8% pertahun, otomatis pembangunan ini akan memungkinkan Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan arus lalu lintas kapal kargo yang sesuai dengan teknologi yang diterapkan diberbagai negara lain. Pembangunan Pelabuhan Laut Dalam Kijing bagi Pelindo menjadi strategis untuk mengurai keterbatasan Pelabuhan Pontianak, dari dangkalnya alur kolam labuh sandar kapal, tidak mencukupinya lapangan penapungan kontainer yang terus meningkat.

Memaksimalkan kesempatan ekonomi dari Kalimantan Barat melalui Pembangunan Pelabuhan Laut Dalam Kijing sangatlah tepat, karena multiplier effect (efek berganda) yang dihasilkan menjadi kunci utama untuk tetap menggerakkan pertumbuhan dan aktivitas ekonomi dikawasan ini dan terdapat alasan utama Pelabuhan Kijing Pelabuhan. Pembangunan Pelabuhan Laut Dalam Kijing sangat menarik bagi perusahaan pengiriman logistik kargo. Karena selesainya pembangunan Pelabuhan ini akan mengundang datangnya kapal berukuran besar seperti dinegara tetangga, dimana rata-rata kapal yang datang memiliki kemampuan angkut dari ukuran 10.000 kontainer berukuran 20 kaki, bahkan lebih. Hal ini tentunya akan menekan biaya pengiriman yang signifikan dan alokasi waktu yang digunakan akan berkurang drastis, karena kapal kargo berbasis kontainer berukuran besar tidak perlu lagi transit di Singapura untuk memindahkan kargo. Singkatnya, penggunaan biaya untuk pengiriman dan pemanfaatan waktu akan menciptakan efek berganda bagi kegiatan ekonomi dikawasan Pelabuhan Laut Dalam Kijing yang nantinya menjadi tonggak awal untuk memanfaatkan kesempatan dan mengembangkan kesempatan ekonomi di Kalimantan Barat.[7]

Wilayah operasi [8]

Wilayah operasi Pelindo mencakup 32 provinsi dan mengelola 95 pelabuhan yang diusahakan, yaitu:

Bidang usaha

Bidang usaha Pelindo meliputi penyediaan dan pengusahaan:

  • Perairan dan kolam pelabuhan untuk lalu lintas pelayaran dan tempat kapal berlabuh;
  • Pelayanan pemanduan dan penundaan kapal keluar masuk pelabuhan, olah gerak kapal di dalam kolam serta jasa pemanduan dan penundaan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya;
  • Fasilitas untuk kapal bertambat serta melakukan bongkar muat barang dan hewan;
  • Fasilitas pergudangan dan lapangan penumpukan;
  • Terminal konvensional, terminal petikemas, dan terminal curah untuk melayani bongkar muat komoditas sesuai jenisnya;
  • Terminal penumpang untuk pelayanan embarkasi dan debarkasi penumpang kapal laut;
  • Fasilitas listrik, air minum dan telepon untuk kapal dan umum di daerah lingkungan kerja pelabuhan;
  • Lahan untuk industri, bangunan dan ruang perkantoran umum;
  • Pendidikan dan latihan yang berkaitan dengan kegiatan kepelabuhanan.
  • Jasa Barang serta pusat lalu lintas

Referensi

  1. ^ "Peraturan Pemerintah nomor 101 tahun 2021" (PDF). Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Diakses tanggal 4 Oktober 2021. 
  2. ^ http://www.indonesiaport.co.id/download/WHITE%20BOOK%20IPC.pdf
  3. ^ "Pertamedika IHC ambil alih saham bersyarat RS BUMN". Antaranews.com. 30 Juni 2020. 
  4. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-11-25. Diakses tanggal 2016-12-06. 
  5. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-20. Diakses tanggal 2016-12-06. 
  6. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-20. Diakses tanggal 2016-12-06. 
  7. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-20. Diakses tanggal 2016-12-06. 
  8. ^ Pelindo.co.id