Takwa

Melaksanakan Perintah dan Meninggalkan Larangan-Nya

Takwa (bahasa Arab: تقوى taqwā / taqwá ) adalah istilah dalam Islam yang merujuk kepada kepercayaan akan adanya Allah, membenarkannya, dan takut akan Allah.[1] Istilah ini sering ditemukan dalam Al-Qur'an, Al-Muttaqin (bahasa Arab: اَلْمُتَّقِينَ Al-Muttaqiina) yang merujuk kepada orang-orang yang bertakwa, atau dalam perkataan Ibnu Abbas, "orang-orang yang meyakini (Allah) dengan menjauhkan diri dari perbuatan syirik dan patuh akan segala perintah-Nya."[2]

Penafsiran secara agama

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, arti dasar dari "takwa" adalah menaati Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya.[butuh rujukan] Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka'ab mengenai takwa. Ubay bertanya, "Pernahkah kamu berjalan di jalan yang penuh dengan duri?" Umar menjawab, "Ya." Ubay bertanya lagi, "Apa yang engkau lakukan?" Umar menjawab, "Aku menggulung lengan bajuku dan berusaha (melintasinya)." Ubay berkata, "Inilah (makna) takwa, melindungi seseorang dari dosa dalam perjalanan kehidupan yang berbahaya sehingga ia mampu melewati jalan itu tanpa terkena dosa."[3]

Dalil

Perintah untuk bertakwa diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman pada Surah Ali Imran ayat 102. Dalam ayat ini, orang-orang beriman diminta untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya. Lalu pada Surah At-Tagabun ayat 16 disebutkan bahwa ketakwaan dilakukan sesuai dengan kesanggupan. Kemudian pada Surah Al-Ahzab ayat 70 disebutkan bahwa takwa yang benar adalah melalui ucapan yang benar. Surah Al-Ahzab ayat 70 menjadi penjelas bagi makna Surah Ali Imran ayat 102.[4]

Keimanan

Ketakwaan dan keimanan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Kaitan antara keduanya dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 2-3. Rangkaian ayat ini menjelaskan bahwa orang yang bertakwa merupakan orang yang beriman kepada hal yang gaib. Dalam hal ini, ketakwaan dilandasi oleh keimanan. Kedudukan takwa merupakan kedudukan tertinggi yang daapt dicapai oleh orang yang beriman. Kedudukan takwa hanya dicapai oleh orang beriman yang selalu menyucikan diri.[5] Indikasi akan hal ini ada pada Surah Al-Baqarah ayat 183. Ayat ini menjelaskan bahwa berpuasa dilakukan oleh orang-orang yang beriman agar dapat mencapai takwa.[6] Ketakwaan diraih ketika keimanan telah maksimal, sehingga seorang yang beriman menaati segala perintah dan menjauhi segala larangan dari Allah.[7]  Dalam Islam, ketakwaan merupakan tolok ukur kemuliaan seseorang di hadapan Allah atas orang yang lainnya.[8]

Manfaat

Ketakwaan kepada Allah akan memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia khususnya bagi kemudahan rezeki. Keterangan ini diperoleh dari Surah At-Talaq ayat 2-3. Selain itu, ketakwaan kepada Allah akan diberi balasan berupa karunia dari Allah dalam bentuk penghapusan dosa-dosa.[4] Penghapusan dosa-dosa juga disebutkan pada Surah Al-Ahzab ayat 70-71.[9]  

Kemudian pada Surah At-Talaq ayat 4 disebutkan bahwa orang yang bertakwa akan dimudahkan urusannya. Surah Al-A'raf ayat 96 juga menyebutkan bahwa orang yang bertakwa akan memperoleh kelimpahan berkah yang berasal dari langit dan Bumi. Dalam Surah Al-A'raf ayat 201 juga disebutkan bahwa ketakwaan dengan cepat akan menyadarkan seseorang akan kesalahan yang diperbuatnya. Ketakwaan juga memberikan petunjuk dan pengajaran kepada manusia. Ayat-ayat yang menyatakan hal ini adalah Surah Al-Baqarah ayat 2 dan 282, dan Surah Al-Ma'idah ayat 46. Ketakwaan juga bermanfaat dalam mencegah keburukan yang dilakukan oleh orang lain. Ayat yang menyatakan hal ini adalah Surah Ali Imran ayat 120.[7]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ "Religious Practices: Piety: Overview". referenceworks.brillonline.com (dalam bahasa bahasa Inggris). Diakses tanggal 13 Januari 2017. 
  2. ^ "The Meaning of Al-Muttaqin". qtafsir.com (dalam bahasa bahasa Inggris). Diakses tanggal 13 Januari 2017. 
  3. ^ Muhammad Saed Abdul-Rahman (2009). The Meaning and Explanation of the Glorious Qur'an (Vol 1) 2nd Edition. MSA Publication Limited. hlm. 63. ISBN 978-1-86179-763-6. 
  4. ^ a b An-Nawawi 2019, hlm. 72.
  5. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 101.
  6. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 101-102.
  7. ^ a b Bakhtiar 2018, hlm. 102.
  8. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 119.
  9. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 103.

Daftar pustaka

  • An-Nawawi (2019). Matan dan Terjemahan Lengkap Riyadhus Shalihin. Solo: Pustaka Arafah. ISBN 978-602-9024-87-6.