Penaklukan Mesir oleh Fatimiyah
Penaklukan Fatimiyah atas Mesir terjadi pada tahun 969 M, ketika pasukan Kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan jenderal Jauhar merebut Mesir, yang pada saat itu diperintah oleh Dinasti Ikhshidiyah yang otonom atas nama Kekhalifahan Abbasiyah.
Penaklukkan Mesir oleh Fatimiyah | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Ekspansi Kekhalifahan Fatimiyah | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Kekhalifahan Fatimiyah | Dinasti Ikhsyidiyah | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Dinasti Fatimiyah melancarkan invasi berulang kali ke Mesir segera setelah berkuasa di Ifriqiyah (Tunisia modern dan Aljazair timur) pada tahun 909 M, tetapi gagal melawan Kekhalifahan Abbasiyah yang masih kuat. Namun, pada tahun 960-an, ketika Dinasti Fatimiyah telah mengkonsolidasikan kekuasaan mereka dan menjadi semakin kuat, Kekhalifahan Abbasiyah telah melemah dan rezim Ikhsyidiyah menghadapi krisis yang berkepanjangan. Krisis tersebut disebabkan karena serangan asing dan kelaparan parah diperparah dengan kematian tokoh kenamaan Mesir Abu Al-Misk Kafur pada tahun 968 M. Kekosongan kekuasaan yang diakibatkannya menyebabkan pertikaian terbuka di antara berbagai faksi di Fustat, ibu kota Mesir. Suasana krisis semakin parah dengan kemajuan simultan Kekaisaran Bizantium melawan negara-negara Muslim di Mediterania Timur. Sementara itu, agen-agen Fatimiyah beroperasi secara terbuka di Mesir, dan para elit lokal semakin menerima dan bahkan menyambut baik prospek penaklukkan Fatimiyah dengan harapan mengakhiri ketidakstabilan dan ketidakamanan.
Menghadapi situasi yang menguntungkan ini, khalifah Fatimiyah Al-Mu'izz Lidinillah mengadakan ekspedisi besar-besaran untuk menaklukkan Mesir. Dipimpin oleh Jauhar, ekspedisi berangkat dari Raqqadah di Ifriqiyah pada tanggal 6 Februari 969 M, dan memasuki Delta Nil dua bulan kemudian. Elit Ikhsyidiyah lebih memilih untuk menegosiasikan penyerahan diri secara damai, dan Jauhar mengeluarkan surat perintah perlindungan, berjanji untuk menghormati hak-hak para bangsawan dan masyarakat Mesir dan melakukan jihād melawan Bizantium. Tentara Fatimiyah menghalangi usaha tentara Ikhsyidiyah yang hendak melakukan penyeberangan melewati sungai Nil antara tanggal 29 Juni dan 3 Juli. Sementara dalam kekacauan tersebut, agen-agen pro-Fatimiyah menguasai Fustat dan menyatakan penyerahannya kepada al-Mu'izz. Jauhar memperbarui surat perlindungannya dan menguasai kota itu pada tanggal 6 Juli, dengan shalat Jumat dibacakan atas nama al-Mu'izz pada tanggal 9 Juli.
Selama empat tahun berikutnya Jauhar menjabat sebagai raja muda Mesir, menumpas pemberontakan dan memulai pembangunan ibu kota baru, Kairo. Upayanya untuk memperluas wilayah kekuasaan Ikhsyidiyah di Suriah, dan bahkan menyerang Bizantium, menjadi bumerang. Meski memiliki kemajuan awal yang cepat, pasukan Fatimiyah dibawah pimpinan Jauhar dihancurkan dan Mesir sendiri menghadapi invasi Qaramitah yang terjadi di utara Kairo. Al-Mu'izz tiba di Mesir pada tahun 973 M, dan bertempat tinggal di Kairo, yang menjadi pusat Kekhalifahan Fatimiyah selama sisa keberadaannya, hingga penghapusan rezim Fatimiyah oleh Salahuddin pada tahun 1171 M.
Latar Belakang: upaya awal Fatimiyah untuk merebut Mesir
Dinasti Fatimiyah berkuasa di Ifriqiyah (Tunisia modern dan Aljazair timur laut) pada tahun 909 M. Orang-orang Fatimiyah telah meninggalkan rumah mereka di Suriah beberapa tahun sebelumnya, dan berangkat ke Maghreb ketika agen-agen mereka telah membuat kemajuan besar dalam mengubah aliran keagamaan bangsa Berber Kutama.[1][2] Sementara Fatimiyah tetap bersembunyi, da'i Isma'ili Abu Abdallah al-Syi'i memimpin orang-orang Kutama untuk menggulingkan dinasti Aghlabiyah yang sedangkan berkuasa, sehingga pemimpin Fatimiyah mengungkapkan dirinya di depan umum dan mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dengan nama pemerintahan sebagai al-Mahdi Billah (m. 909–934).[2][3] Berbeda dengan dinasti-dinasti pra-Fatimiyah di Afrika yang tetap menjadi dinasti regional di pinggiran barat Kekhalifahan Abbasiyah, dinasti Fatimiyah mempunyai pretensi ekumenis. Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan Fatimah, putri Muhammad dan istri Ali,[4] para khalifah Fatimiyah juga merupakan pemimpin sekte Syiah Isma'ili, yang para pengikutnya memberi mereka status semi-ilahi sebagai imam, khalifah Allah yang sah di muka bumi. Oleh karena itu, Dinasti Fatimiyah menganggap naiknya kekuasaan mereka sebagai langkah pertama dalam memulihkan posisi mereka yang selayaknya sebagai pemimpin seluruh dunia Islam melawan Abbasiyah yang pro-Sunni dan mereka yang bertekad untuk menggulingkan dan menggantikannya.[5][6]
Sejalan dengan visi mereka, setelah berdirinya pemerintahan mereka di Ifriqiyah, dinasti Fatimiyah memiliki tujuan berikutnya untuk menaklukkan Mesir yang terkenal pintu gerbang ke Syam dan Irak, pusat saingan Abbasiyah mereka.[7] Pada tahun 914, invasi pertama di bawah pimpinan pewaris Fatimiyah, al-Qa'im bi-Amr Allah, diluncurkan ke arah timur. Mereka merebut Kirenaika (Barqah), Aleksandria dan Oasis Fayyum, tetapi gagal merebut ibu kota Mesir, Fustat, dan berhasil dipukul mundur pada tahun 915 M setelah kedatangan bala bantuan Abbasiyah dari Suriah dan Irak.[8] Invasi kedua dilakukan pada tahun 919–921. Alexandria kembali direbut, tetapi Fatimiyah berhasil dipukul mundur di dekat Fustat dan angkatan laut mereka dihancurkan. Al-Qa'im pindah ke Oasis Fayyum, tetapi terpaksa meninggalkannya saat menghadapi pasukan Abbasiyah baru dan mundur melewati gurun menuju Ifriqiyah.[9]
Kegagalan upaya invasi awal ini utamanya disebabkan oleh perluasan logistik Fatimiyah yang berlebihan dan kegagalan untuk menaklukkan kota sebelum kedatangan bala bantuan Abbasiyah. Namun demikian, Barqah tetap berada di tangan Fatimiyah sebagai basis terdepan untuk mengancam Mesir.[10] Ketika Kekhalifahan Abbasiyah memasuki krisis yang parah pada tahun 930-an, Dinasti Fatimiyah sekali lagi mencoba mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi antara faksi-faksi militer di Mesir pada tahun 935–936. Pasukan Fatimiyah sempat menduduki Aleksandria untuk sementara waktu, tetapi pemenang sebenarnya saat itu adalah Muhammad ibn Tughj al-Ikhsyidiyah, seorang komandan Turki yang membuktikan dirinya sebagai penguasa Mesir dan Suriah bagian selatan, yang seolah-olah mengatasnamakan Abbasiyah tetapi independen dalam dalam hal pemerintahan, dan mendirikan dinasti Ikhsyidiyah.[11][12] Selama perselisihannya dengan Bagdad, al-Ikhsyid tidak segan-segan mencari dukungan Fatimiyah, bahkan menyarankan aliansi pernikahan antara salah satu putranya dan putri al-Qa'im, tetapi setelah istana Abbasiyah mengakuinya. pemerintahan dan gelarnya, dia membatalkan tindakannya ini.[13][14]
Di pihak Fatimiyah, pada akhir tahun 930-an, semangat revolusioner awal yang membawa Fatimiyah berkuasa telah memudar, dan meskipun klaim kedaulatan universal tidak dilupakan, klaim tersebut ditunda karena pecahnya pemberontakan besar-besaran di Dinasti Fatimiyah yang diinisiasi oleh da'i Khawarij Berber yang bernama Abu Yazid (943–947). Pemberontakan ini hampir membuat rezim Fatimiyah runtuh, dan bahkan setelah masa kekacauannya, Fatimiyah selama beberapa waktu sibuk memulihkan posisi mereka di Mediterania barat. [15] Selama masa ini, Mesir relatif damai. Setelah kematian al-Ikhsyid pada tahun 946 M, kekuasaan diserahkan kepada orang kuat Abu al-Misk Kafur, seorang budak kasim kulit hitam yang ditunjuk oleh al-Ikhsyid sebagai panglima tentara. Selama dua puluh tahun, Kafur puas menjadi penguasa di balik takhta, karena putra-putra al-Ikhsyid memerintah sebagai emir. Namun pada tahun 966 M, ia naik takhta dengan haknya sendiri.[16]
Keadaan yang berubah: Mesir pada tahun 960an
Selama sepertiga kedua abad ke-10, perimbangan kekuasaan bergeser ke arah yang menguntungkan Fatimiyah. Ketika Fatimiyah mengkonsolidasikan rezim mereka, Kekhalifahan Abbasiyah dilemahkan oleh perebutan kekuasaan yang terus-menerus antara faksi-faksi birokrasi, istana, dan militer yang saling bersaing. Secara bertahap provinsi-provinsi terpencil dinasti Abbasiyah dirampas oleh dinasti-dinasti lokal yang ambisius dan wilayah kekuasaannya mengecil dan menyisakan Irak saja. Setelah tahun 946 M, para khalifah Abbasiyah sendiri berubah menjadi khalifah boneka dari dinasti Buwaihiyah yang tidak berdaya.[17][18]
Pada tahun 960-an, dinasti Ikhsyidiyah juga menghadapi krisis yang terdiri atas kombinasi dari ketegangan dalam negeri dan tekanan eksternal.[19] Kerajaan Makuria yang beragama Kristen di Nubia melancarkan invasi ke Mesir dari selatan, sementara di barat, orang-orang Berber Lawata menduduki wilayah sekitar Aleksandria, dan bersekutu dengan suku Badui setempat di Gurun Barat untuk menghadapi pasukan Ikhshidiyah.[20][21] Di Suriah, meningkatnya kegelisahan di antara orang-orang Badui membuat pemerintahan Ikhsyidiyah menjadi terguncang, terutama karena hal itu bertepatan dengan invasi Suriah oleh orang-orang Qaramitah, sebuah sekte Isma'ili yang berbasis di Bahrain (Arab Timur).[a] Sering bersekutu dengan Badui, kaum Qaramati menyerang karavan pedagang dan jamaah haji, dan orang-orang Ikhsyidiyah tidak mampu melawan serangan mereka.[20][21] Situasinya sedemikian rupa sehingga jalur darat dari Mesir ke Irak praktis terputus.[26] Para sejarawan modern mencurigai adanya campur tangan Fatimiyah di balik setidaknya beberapa peristiwa berikut. Menurut Orientalis Prancis Thierry Bianquis, penyerbuan Makurian pada tahun 956, yang menjarah wilayah Aswan, "mungkin didukung secara diam-diam oleh Fatimiyah", [20] dan kolusi Fatimiyah dalam serangan Badui dan Qaramitah di Suriah "biasanya diakui". Akan tetapi, seperti yang diperingatkan oleh sejarawan Michael Brett, "tidak ada bukti nyata" mengenai hal tersebut.[27]
Situasi domestik di Mesir semakin diperburuk oleh serangkaian banjir rendah Sungai Nil yang dimulai pada tahun 962 M. Pada tahun 967 M, banjir mencapai tingkat terendah yang tercatat sepanjang periode awal Islam, diikuti oleh tiga tahun ketika permukaan sungai masih jauh di bawah normal. Angin panas dan kawanan belalang juga berdampak besar terhadap kerusakan tanaman, menyebabkan kelaparan terburuk yang pernah ada. Keadaan semakin diperparah dengan merebaknya wabah penyakit yang ditularkan oleh tikus.[28] Akibatnya, harga pangan meningkat pesat. Pada tahun 968 M, harga ayam bisa didapat 25 kali lipat dari harga sebelum kelaparan, dan harga telur lima puluh kali lipat.[29] Fustat dalam hal ini justru yang paling menderita. Kota terpadat di dunia Islam setelah Bagdad ini dilanda kelaparan dan wabah epidemi (yang berlanjut hingga tahun-tahun awal pemerintahan Fatimiyah).[30] Panen yang buruk juga mengurangi aliran pemasukan ke kas, sehingga menyebabkan pemotongan pengeluaran. Hal ini secara langsung berdampak pada kalangan agama berpengaruh, bukan hanya gaji mereka yang tidak dibayarkan, tetapi juga uang untuk pemeliharaan masjid-masjid pun lenyap, dan ketidakmampuan untuk menyediakan tenaga kerja dan uang yang diperlukan untuk menjamin keamanan mereka membuat setelah tahun 965 M, kafilah haji berhenti sama sekali.[31]
Selanjutnya pada tahun 960an, Kekaisaran Bizantium berada di bawah pimpinan Nikeforos II Fokas (m. 963–969) melakukan ekspansi dengan menaklukkan daerah dunia Islam. Ia menguasai Kreta, Siprus, dan Kilikia, dan maju ke Suriah utara. Rezim Ikhsyidiyah menganggali hal ini dengan penuh keraguan sehingga tindakan mereka sangat tidak efektif. Setelah tidak melakukan apa pun untuk membantu Kreta, armada yang dikirim sebagai tanggapan atas jatuhnya Siprus dihancurkan oleh angkatan laut Bizantium, sehingga pesisir Mesir dan Suriah tidak berdaya. Umat Muslim Mesir menyerukan jihād dan melancarkan pogrom anti-Kristen yang dapat dipadamkan dengan susah payah.[19][32] Propaganda Fatimiyah dengan cepat mengeksploitasi serangan Bizantium, membandingkan ketidakbecusan kaum Ikhsyidiyah dan penguasa Abbasiyah mereka dengan kaum Fatimiyah,[33] yang pada saat itu berhasil memenangkan perang melawan Bizantium di Italia selatan, sebagai pejuang Islam yang gigih.[34] Kemajuan Bizantium, ditambah dengan pemusnahan yang dilakukan oleh suku Badui dan Qarmatian di Suriah tengah membuat Mesir kehilangan mendapatkan pasokan gandum dari Suriah, yang biasa mereka gunakan saat terjadi kelaparan.[29]
Dengan latar belakang permasalahan internal dan ancaman eksternal, dan menyusul kemunduran permanen penguasa kekaisaran mereka, kemungkinan pengambilalihan kekuasaan Fatimiyah menjadi prospek yang semakin menarik bagi Mesir.[35]
Runtuhnya rezim Ikhsyidiyah
Kematian Abu al-Misk Kafur pada bulan April 968 M, tanpa meninggalkan ahli waris, melumpuhkan rezim Ikhsyidiyah.[36] Wazir Kafur, Ja'far ibn al-Furat, yang menikah dengan seorang putri Ikhsyidiyah dan mungkin berharap agar putra mereka naik takhta,[37] mencoba mengendalikan pemerintahan. Akan tetapi, ia tidak memiliki basis kekuasaan di luar birokrasi, sementara itu tentara terpecah menjadi faksi-faksi yang saling bermusuhan (terutama tentara Ikhsyidiyyah yang direkrut oleh al-Ikhsyid, dan Kafuriyyah, yang direkrut oleh Kafur). [38] [39] Para pemimpin militer lebih suka jika salah satu dari mereka menggantikan Kafur, tetapi terpaksa mundur di hadapan keluarga Ikhsyidiyah dan mendapatkan tentangan dari kelompok sipil dan ulama.[40]
Berbagai faksi awalnya menyepakati sebuah perjanjian untuk berbagi kekuasaan di bawah pemerintahan cucu al-Ikhsyid yang berusia 11 tahun, Abu'l-Fawaris Ahmad bin Ali, dengan pamannya al-Hasan bin Ubaydullah yang saat itu menjabat sebagai gubernur Palestina menjadi bupati, Ibnu al-Furat sebagai wazir, dan seorang prajurit budak (ghulmām) Syamul al-Ikhsyidi sebagai panglima tertinggi.[39] Perjanjian tersebut dengan cepat terurai, seiring dengan mengemukanya persaingan antar faksi dan personal dari para elit Ikhsyidiyah. Syamul tidak mempunyai wewenang nyata atas tentara, sehingga Ikhsyidiyyah mengalami bentrok melawan Kafuriyyah dan mengusir mereka dari Mesir. Pada saat yang sama, Ibn al-Furat mulai menangkapi pesaing-pesaingnya dalam pemerintahan, sehingga secara efektif menghentikan pemerintahan dan yang terpenting, aliran pendapatan pajak.[41] Bupati al-Hasan bin Ubaydullah tiba dari Palestina pada bulan November dan menduduki Fustat, memenjarakan Ibn al-Furat. Namun, upayanya untuk menegakkan kekuasaannya gagal, dan pada awal tahun 969 M, ia pergi dari ibu kota dan kembali ke Palestina, meninggalkan Mesir tanpa pemerintahan.[42][43]
Sejarawan Yaacov Lev menulis bahwa menghadapi kebuntuan ini, para elit Mesir hanya punya "pilihan untuk mencari intervensi dari luar". Mengingat situasi internasional pada saat itu, yang dimaksud hanyalah Fatimiyah. Sumber-sumber abad pertengahan melaporkan bahwa surat-surat dari para pemimpin sipil dan militer dikirimkan kepada khalifah Fatimiyah al-Mu'izz Lidinillah (m. 953–975) di Ifriqiyah, yang saat itu persiapan untuk invasi baru ke Mesir sudah berjalan lancar. [43]
Persiapan Fatimiyah
Tahun-tahun pertama pemerintahan al-Mu'izz didedikasikan untuk memperluas kekuasaannya atas Magrib barat dan dalam konflik dengan Bizantium di Sisilia dan Italia selatan. Akan tetapi, menurut sejarawan Paul E. Walker bahwa al -Mu'izz "berniat menaklukkan Mesir sejak awal masa pemerintahannya".[33] Sudah pada tahun 965/066 M, al-Mu'izz mulai menyimpan perbekalan dan membuat persiapan untuk invasi baru ke Mesir.[44] Pada tahun 965 M, pasukannya di bawah Jauhar telah menang atas Bani Umayyah dari Kekhalifahan Córdoba, membalikkan perolehan mereka dan memulihkan otoritas Fatimiyah atas apa yang sekarang menjadi wilayah barat Aljazair dan Maroko, wilayah yang awalnya ditaklukkan oleh jenderal Fatimiyah pada tahun 910-an dan 920-an. Di Sisilia, gubernur Fatimiyah merebut benteng terakhir Bizantium, sehingga menyelesaikan penaklukan Muslim atas pulau tersebut, dan mengalahkan ekspedisi Bizantium yang dikirim sebagai balasan.[45][46] Menyusul keberhasilan ini, gencatan senjata diakhiri dengan Konstantinopel pada tahun 967 M, sehingga kedua kekuatan bebas melakukan rencana mereka di timur. Bizantium melawan Keamiran Hamdaniyah di Aleppo dan Fatimiyah melawan Mesir.[27][47] Khalifah Fatimiyah tidak merahasiakan ambisinya, bahkan membual kepada duta besar Bizantium selama negosiasi bahwa pertemuan berikutnya akan dilakukan di Mesir.[33][48]
Persiapan militer
Berbeda dengan ekspedisi pendahulunya yang dilakukan secara gegabah, al-Mu'izz dengan hati-hati mempersiapkan penaklukkannya di Mesir, menginvestasikan waktu dan sumber daya yang sangat besar.[35] Menurut sejarawan Mesir abad ke-15 al-Maqrizi, Khalifah menghabiskan 24 juta dinar emas untuk tujuan tersebut. Lev menunjukkan bahwa angka tersebut "mungkin tidak boleh diartikan secara harfiah", tetapi tetap "memberikan gambaran tentang sumber daya yang tersedia bagi Dinasti Fatimiyah" untuk usaha tersebut.[49] Fakta bahwa al-Mu'izz mampu mengumpulkan sejumlah besar uang merupakan indikator berkembangnya keuangan negara Fatimiyah selama periode ini, didorong oleh pajak yang dikenakan pada perdagangan trans-Sahara, sekitar 400.000 dinar, setengah dari pajak pemerintahan Fatimiyah. Pendapatan tahunan, yang diperoleh dari terminal perdagangan Sijilmasa pada tahun 951/952 saja, dan impor besar-besaran emas berkualitas tinggi dari Afrika sub-Sahara.[50] Dana ini ditambah pada tahun 968 M dengan pajak khusus yang dikenakan untuk ekspedisi yang akan datang.[26]
Pada tahun 966 M, Jauhar yang baru saja meraih kemenangan di Magrib, dikirim ke tanah air Kutama di Kabylia Kecil untuk merekrut orang dan mengumpulkan dana. Ia kembali ke ibu kota Fatimiyah pada bulan Desember 968 M dengan pasukan Berber baru dan setengah juta dinar.[51] Gubernur Barqah diperintahkan untuk mempersiapkan rute ke Mesir, dan sumur-sumur baru digali di sepanjang jalan tersebut secara berkala.[35] Persiapan yang cermat ini juga mencerminkan peningkatan kekuatan dan stabilitas rezim Fatimiyah. Seperti yang diungkapkan Lev, "tentara pertama yang dikirim melawan Mesir kurang disiplin dan meneror penduduk", sedangkan tentara yang dikumpulkan oleh al-Mu'izz "sangat besar, dibayar dengan baik, dan disiplin".[52] Usaha tersebut dipercayakan kepada Jauhar, yang diberi wewenang tertinggi untuk ekspedisi tersebut. Khalifah menetapkan bahwa gubernur kota-kota di sepanjang rutenya harus turun di hadapannya dan mencium tangannya.[26]
Propaganda Fatimiyah di Mesir
Propaganda Ismailiyah yang anti-Abbasiyah dan pro-Fatimiyah tersebar luas di dunia Islam pada awal abad ke-10, bahkan simpatisan Ismailiyah pun ada di istana Abbasiyah.[53] Pada tahun 904 M, khalifah Fatimiyah pertama mencari perlindungan di Mesir, yang kemudian diperintah oleh Dinasti Thuluniyah yang otonom dan tetap bersembunyi bersama simpatisan di Fustat selama sekitar satu tahun hingga Bani Abbasiyah kembali menguasai provinsi tersebut pada awal tahun 905 M. Sementara pemimpin Fatimiyah melarikan diri ke barat ke Sijilmasa, saudara laki-laki Abu Abdallah asy-Syi'i ditinggalkan untuk menjaga kontak dengan bagian lain dari jaringan propaganda da'i Fatimiyah. [54]
Aktivitas agen-provokator dan simpatisan Fatimiyah di Mesir dibuktikan dalam sumber-sumber pada tahun 917/8, menjelang invasi kedua. Pada tahun 919, gubernur setempat menangkap beberapa orang yang berkorespondensi dengan tentara Fatimiyah yang sedang menginvasi.[55] Menyusul kegagalan upaya invasi awal, Dinasti Fatimiyah semakin beralih ke propaganda dan subversi.[18] Sebagai pusat komersial besar dengan populasi yang beragam secara etnis dan agama, Fustat dengan mudah disusupi oleh agen dakwah Fatimiyah.[56] Aktivitas dakwah ditunjukkan dengan meningkatnya prasasti pro-Syiah, atau khususnya Isma'ili, di antara batu nisan Mesir pada dekade setelah ca 912 M.[57]
Hebatnya, delegasi da'i Fatimiyah diterima secara publik oleh Kafur, dan dakwah diizinkan untuk berdiri sendiri dan beroperasi secara terbuka di Fustat. Agen-agennya menekankan bahwa "pemerintahan Fatimiyah hanya akan dimulai setelah kematian Kafur".[58] Pemimpin dakwah, yaitu seorang pedagang kaya bernama Abu Ja'far Ahmad bin Nasr, memelihara hubungan persahabatan dengan elit lokal, termasuk wazir Ibn al-Furat, dan mungkin menyuap beberapa dari mereka.[35] Para pedagang kota, yang memiliki kepentingan khusus untuk memulihkan stabilitas, dan dengan demikian perdagangan normal, sangat rentan terhadap argumen Ibn Nasr.[28] Selain itu, beberapa sumber menyatakan bahwa bupati al-Hasan ibn Ubaidullah berada di bawah pengaruh Ibn Nasr. Ketika pasukan melakukan kerusuhan di Fustat, Ibn Nasr menasihati al-Hasan untuk mengajukan banding ke al-Mu'izz, dan secara pribadi mengirimkan surat mengenai hal tersebut kepada Khalifah.[51] Sementara itu, letnannya, Jabir ibn Muhammad mengorganisir dakwah di kawasan pemukiman kota, membagikan spanduk Fatimiyah untuk dipajang pada saat kedatangan tentara Fatimiyah.[59] Dinasti Fatimiyah juga menerima bantuan dari seorang mualaf Yahudi, Ya'qub bin Killis, yang memendam ambisi untuk menjadi wazir sebelum dianiaya oleh saingannya Ibn al-Furat. Ibnu Killis melarikan diri ke Ifriqiyah pada bulan September 968 M. Dia berpindah agama ke Ismailiyah dan membantu Fatimiyah dengan pengetahuannya tentang urusan Mesir.[60] Pemerintahan Ikhsyidiyah ditembus secara menyeluruh; beberapa komandan Turki dilaporkan telah menulis surat kepada al-Mu'izz mengundangnya untuk menaklukkan Mesir,[61] bahkan Ibn al-Furat dicurigai oleh beberapa sejarawan modern telah bergabung dengan partai pro-Fatimiyah.[62]
Catatan modern mengenai peristiwa tersebut menekankan pentingnya "propaganda politik yang terampil" (Marius Canard) yang dilakukan Dinasti Fatimiyah sebelum invasi sebenarnya.[63] Ditambah dengan kelaparan yang melanda Mesir dan krisis politik rezim Ikhsyidiyah, "masa persiapan psikologis dan politik yang intensif" terbukti lebih menentukan daripada kekuatan militer, (Thierry Bianquis)[64] dan memungkinkan penaklukan dilakukan. dengan cepat dan tanpa banyak kesulitan.[26][63] Perjuangan Fatimiyah semakin terbantu oleh teror yang diilhami oleh berita berlanjutnya kemajuan Bizantium ke Suriah utara pada tahun 968 M. Bizantium menyerbu daerah itu sesuka hati, dan menangkap sejumlah besar tahanan Muslim, tanpa menghadapi perlawanan serius oleh para penguasa Muslim yang bersekutu dengan Abbasiyah di wilayah tersebut.[65]
Invasi dan penaklukan Mesir
Jauhar mendirikan tendanya di Raqqada pada tanggal 26 Desember 968 M, dan para tentara ekspedisi mulai berkumpul di bawah pengawasannya. Khalifah al-Mu'izz datang hampir setiap hari ke kamp yang sedang berkembang dari dekat kota istana Mansuriyah.[51] Pasukan yang dikumpulkan dilaporkan oleh sumber-sumber Arab berjumlah lebih dari seratus ribu orang,[65] dan harus didampingi oleh skuadron angkatan laut yang kuat,[b] dan perbendaharaan perang yang berisi lebih dari 1.000 peti berisi emas.[68] Pada tanggal 6 Februari 969 M, tentara berangkat, setelah upacara resmi yang dipimpin langsung oleh Khalifah. Ia memberikan kekuasaan penuh kepada Jauhar. Sebagai tandanya, hanya dia dan Jauhar yang diizinkan tetap menunggang kuda selama upacara. Semua pejabat lainnya, termasuk putra dan saudara laki-laki Khalifah, diperintahkan turun dan melakukan penghormatan Jauhar. Untuk lebih menggarisbawahi wewenang yang diberikan kepada walinya, al-Mu'izz menemani para tentara dengan menunggang kuda selama beberapa waktu dan kemudian mengirimkan pakaian mewah yang dikenakannya pada hari itu ke Jauhar.[69][70] Tentara berbaris ke Barqah, tempat Ibnu Killis bergabung dengan tentara.[71]
Pada bulan Mei 969, tentara Fatimiyah memasuki Delta Nil.[71] Jauhar menduduki Aleksandria tanpa perlawanan dan mendirikan kamp berbenteng di Tarrujah, di tepi barat Delta, dekat Aleksandria,[68] sementara barisan depan maju menuju oasis Fayyum.[71] Pasukan Jawhar tidak menemui perlawanan apa pun saat mereka memasuki negara itu, dan jenderal Fatimiyah dengan cepat menguasai tepi barat Sungai Nil, dari laut hingga Fayyum. Lalu dia berhenti, menunggu reaksi Fustat.[26]
Amān Jawhar
Sebagai pusat administrasi dan kota terbesar di negara Mesir, Fustat adalah kunci untuk mengendalikan seluruh wilayah tersebut. Pengalaman kaum Fatimiyah sendiri membuat mereka sadar akan hal ini. Dalam invasi mereka sebelumnya, meskipun mereka berhasil menduduki sebagian besar negara, kegagalan mereka untuk merebut Fustat menentukan hasil kampanye tersebut. Sebaliknya, Lev menunjuk pada karier Muhammad bin Tughj al-Ikhsyid dan kesuksesan Jauhar sendiri pada tahun 969 M, sebagai bukti bahwa "penaklukan terhadap pusat lebih menentukan nasib negara, meskipun provinsi-provinsi tidak sepenuhnya ditaklukkan".[72]
Pada awal Juni, lingkaran penguasa Fustat mengirim delegasi ke Jauhar dengan membawa daftar tuntutan, terutama jaminan keselamatan pribadi mereka dan jaminan atas properti dan posisi mereka.[71][73] Pemimpin Ikhsyidiyyah, Nihrir al-Syuwaizan, sebagai komandan satu-satunya badan militer yang cukup besar, juga meminta agar ia dicalonkan sebagai gubernur kota suci Mekah dan Madinah, sebuah tuntutan yang ditolak oleh Lev sebagai "tidak realistis" dan mengungkapkan "kurangnya pemahaman terhadap kepekaan agama tertentu di kalangan Fatimiyah."[73] Delegasi tersebut terdiri dari para pemimpin keluarga asyrāf ,[c] Abu Ja'far Muslim dari keluarga bani Husain, Abu Isma'il al-Rassi dari keluarga bani Hasan, dan Abu'l-Tayyib dari keluarga bani Abbas, ketua qāḍī dari Fustat, Abu Tahir al-Dzuhli, dan kepala agen Fatimiyah, Ibnu Nasr.[71][76]
Sebagai imbalan atas penyerahan negara secara damai, Jauhar, sebagai wakil al-Mu'izz, mengeluarkan surat perintah jaminan keamanan (amān) dan daftar janji kepada penduduk Mesir.[76][77][d] Seperti yang ditunjukkan Lev, amān adalah "sebuah manifesto yang menguraikan program politik rezim baru dan sebuah propaganda".[80] Oleh karena itu amān dibuka dengan mencoba membenarkan invasi tersebut dengan alasan perlunya melindungi umat Islam di bagian timur dunia Islam dari musuh-musuh mereka yang tidak secara eksplisit menyebut Bizantium.[73][80] Surat tersebut mengusulkan sejumlah perbaikan nyata yang harus dilakukan oleh rezim baru, yang mengungkapkan pengetahuan rinci tentang urusan Mesir yang diberikan kepada Fatimiyah oleh agen mereka di negara tersebut, seperti memulihkan ketertiban dan mengamankan rute ziarah atau mengakhiri pajak ilegal dan meningkatkan nilai mata uang.[81][82] Janji untuk membela para peziarah, dalam kata-kata Orientalis Wilferd Madelung, adalah "deklarasi perang terbuka" terhadap kaum Qaramitah yang secara eksplisit disebutkan dan dikutuk oleh Jauhar dalam suratnya.[83] Kalangan agamawan Islam (pendakwah, ahli hukum, dll.) terhibur dengan janji Fatimiyah untuk membayarkan kembali gaji mereka, merestorasi masjid-masjid yang sudah ada, dan membangun masjid-masjid baru.[82][84]
Penaklukkan Fustat
Delegasi tersebut kembali ke Fustat pada 26 Juni dengan membawa surat Jauhar. Bahkan sebelum utusan tersebut tiba, rumor menyebar bahwa militer menolak menerimanya dan memutuskan untuk berperang dan melarang penggunaan jalur di Sungai Nil. Ketika surat itu dibacakan di depan umum, secara khusus para perwira dengan keras menentangnya dan bahkan intervensi wazir Ibn al-Furat tidak dapat membujuk mereka untuk menyerah.[82] Jauhar kemudian menyatakan ekspedisinya sebagai jihād melawan Bizantium, dan meminta ketua qāḍī memastikan bahwa siapa pun yang menghalangi jalannya adalah musuh agama dan dapat dibunuh.[82] Di pihak Mesir, Nihrir terpilih sebagai komandan bersama Ikhsyidiyyah dan Kafuriyyah, [84] yang pada tanggal 28 Juni menduduki Pulau Rawdah yang mengendalikan jalur jembatan ponton yang menghubungkan Fustat dengan Giza di tepi barat sungai Nil, tempat Jauhar mendirikan kemah.[82]
Jalannya konflik selanjutnya tidak jelas, karena sumber-sumber melaporkan dengan rincian yang berbeda. [85] Pertempuran pertama terjadi pada tanggal 29, tetapi Jauhar terpaksa mundur. Setelah itu, Jauhar memutuskan untuk menyeberangi sungai di tempat lain. Tergantung pada sumbernya, hal ini dilakukan dengan perahu yang disediakan oleh sekelompok Ikhsyidiyah ghilmān yang membelot, atau ditangkap oleh Ja'far bin Fallah dari armada Ikhsyidiyah yang dikirim dari Mesir Hilir untuk membantu garnisun Fustat.[86] Dengan menggunakan perahu-perahu ini, Ibnu Fallah memimpin sebagian pasukan Fatimiyah menyeberang, meskipun lokasi tepatnya tidak diketahui. Menurut al-Maqrizi, empat komandan Ikhsyidiyah telah dikirim bersama pasukannya untuk memperkuat kemungkinan titik pendaratan, tetapi pasukan Fatimiyah berhasil menyeberangi sungai. Pada tanggal 3 Juli, kedua pasukan bentrok dan Fatimiyah menang. Tidak ada rincian yang diketahui, tetapi seluruh pasukan Ikhshidid yang dikirim dari Giza untuk melawan Fatimiyah dihancurkan.[87] Pasukan Ikhsyidiyah lainnya kemudian meninggalkan Rawdah dan berpencar, meninggalkan Fustat dan melarikan diri hingga Suriah untuk mencari keselamatan.[82]
Fustat berada dalam kekacauan akibat peristiwa ini, tetapi pada saat itu para da'i Fatimiyah tampil, melakukan kontak dengan kepala polisi, dan menggantungkan spanduk putih Fatimiyah[e] di atas kota sebagai tanda penyerahan, sementara kepala polisi berbaris di jalan-jalan sambil membunyikan bel dan membawa spanduk yang menyatakan al-Mu'izz sebagai khalifah.[89] Perlawanan pasukan telah merusak amān Jauhar dan menjadikan kota itu sah untuk dijarah menurut adat. Jauhar setuju untuk memperbarui amān, menugaskan Abu Ja'far Muslim untuk pemeliharaannya, sementara Ibn al-Furat ditugaskan untuk menyita rumah petugas yang melarikan diri.[90]
Pada tanggal 6 Juli, Ibn al-Furat dan Abu Ja'far Muslim, didampingi oleh para pedagang terkemuka, memimpin massa melewati jembatan ponton untuk memberi penghormatan kepada Jauhar di Giza. Pada malam yang sama, tentara Fatimiyah mulai melintasi jembatan, dan mendirikan kemah sekitar 5 kilometer (3 mi) utara kota.[90] Keesokan harinya, pembagian sedekah diumumkan, dibiayai oleh harta yang dibawa Jauhar bersamanya. Uang dibagikan kepada orang miskin oleh qāḍī tentara, Ali bin al-Walid al-Isybili.[90] Pada tanggal 9 Juli, Jauhar memimpin salat Jumat di Masjid Amr di Fustat. Pada saat itu pengkhotbah Sunni, berpakaian dengan pakaian Bani Ali yang berwarna putih dan membaca frasa asing dari sebuah catatan, membacakan khuṭbah atas nama al-Mu'izz .[26]
Konsolidasi pemerintahan Fatimiyah
Mengejar sisa-sisa pasukan Ikhsyidiyah dan mencoba melakukan ekspansi ke Suriah
Sisa-sisa pasukan Ikhsyidiyah berkumpul di Palestina di bawah al-Hasan bin Ubaidullah, sementara lebih jauh ke utara, Bizantium merebut Antiokhia setelah pengepungan yang lama dan memaksa Hamdaniyah dari Aleppo untuk tunduk menyerah. Oleh karena itu Jauhar mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Ja'far bin Fallah untuk menaklukkan pasukan Ikhsyidiyah terakhir dan sesuai dengan janji untuk memulai kembali jihād menghadapi Bizantium.[91][92]
Pasukan Fatimiyah mengalahkan dan menangkap al-Hasan bin Ubaidullah pada bulan Mei 970 M, tetapi kemudian penduduk Damaskus sangat marah dengan kekacauan yang dilakukan tentara Kutama dan melakukan perlawanan hingga bulan November 970 M, ketika kota tersebut menyerah dan dijarah.[93][94] Dari Damaskus, pasukan Fatimiyah bergerak ke utara untuk mengepung Antiokhia, tetapi dikalahkan oleh Bizantium.[95] Pada saat yang sama, Ibnu Fallah menghadapi serangan kaum Qaramitah, yang bersekutu dengan suku Arab Badui di wilayah tersebut. Ibnu Fallah dikalahkan dan terbunuh dalam pertempuran pada bulan Agustus 971 M dan pemerintahan Fatimiyah di Suriah dan Palestina runtuh, meninggalkan jalan menuju Mesir terbuka.[96][94][97]
Dinasti Fatimiyah lebih sukses menguasai Hijaz yang di dalamnya terdapat dua kota suci umat Islam, Mekah dan Madinah. Hal itu disebabkan karena sumbangan emas yang dikirim oleh al-Mu'izz.[94] Di Madinah, tempat kekuasaan Husainiyah, Abu Ja'far Muslim mempunyai pengaruh yang besar, dan khuṭbah diproklamasikan pertama kali atas nama Khalifah Fatimiyah pada tahun 969 M, atau menurut Ibnu al-Jauzi dan Ibnu al-Atsir pada tahun 970 M. [98] Hasaniyah Ja'far ibn Muhammad al-Hasani, yang baru saja mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Mekah pada ca 968, dikatakan telah memproklamirkan khuṭbah atas nama al-Mu'izz segera setelah berita penaklukan Mesir sampai padanya,[99] tetapi Najmuddin Umar melaporkan pengiriman ekspedisi gabungan Fatimiyah Madiniyah pada tahun 972 untuk memaksa Ja'far mengucapkan khuṭbah atas nama Khalifah Fatimiyah.[100] Ibnu al-Jauzi dan Ibnu al-Atsir menempatkan pembacaan shalat Jumat paling lambat pada tahun 974 M, sedangkan al-Maqrizi, dengan mengandalkan dokumen-dokumen Fatimiyah yang hilang, pada tahun 975 M.[99] Pengakuan kekuasaan Fatimiyah oleh ashrāf Hijazi, diungkapkan melalui penamaan khalifah Fatimiyah di khuṭbah, dan dimulainya kembali kafilah haji mulai tahun 974/5 dan seterusnya, merupakan dorongan besar bagi klaim legitimasi Dinasti Fatimiyah. [101]
Jauhar sebagai wakil raja Mesir
Meskipun Fustat sebagai pemukiman terpenting dan pusat pemerintahan telah direbut, Mesir belum sepenuhnya berada di bawah kendali Fatimiyah.[102] Ketika Ja'far bin Fallah pindah ke Suriah, Jauhar tetap di Mesir untuk mengkonsolidasikan otoritas Fatimiyah sebagai wakil raja atau gubernur. Tugasnya adalah memulihkan pemerintahan yang tertib, menstabilkan rezim baru, menghadapi sisa-sisa pasukan Ikhsyidiyah yang kalah, dan memperluas kekuasaan Fatimiyah ke utara (daerah Delta Nil) dan selatan (Mesir Hulu).[102][103]
Perlakuan terhadap pasukan Ikhsyidiyah
Pada tahun 969 M, Jauhar menerima penyerahan empat belas pemimpin Ikhsyidiyyah dan Kafuriyyah yang diiringi oleh sekitar 5.000–6.000 orang prajurit. Para komandan ditangkap dan pasukan dilucuti. [104] Properti pasukan Ikhsyidiyah, baik komandan maupun anggota biasa juga disita secara sistematis oleh rezim baru.[105]
Secara umum, rezim Fatimiyah tidak mempercayai kesetiaan mantan pasukan Ikhsyidiyah dan menolak memasukkan mereka sebagai anggota tetap ke dalam pasukan militer mereka. [105] Yang agak mengejutkan, beberapa mantan komandan Ikhsyidiyah dipekerjakan pada tahun-tahun awal rezim baru untuk menekan pemberontakan di Mesir karena pengetahuan tentang medan mereka yang unggul.[106] Sebaliknya, para prajurit biasa yang dibubarkan dieksploitasi sebagai "gudang tenaga tempur" (Lev) untuk keadaan darurat, terutama karena mereka kehilangan sarana penghidupan lainnya.[105] Banyak dari sisa-sisa pasukan Ikhsyidiyah yang direkrut untuk menghadapi invasi Qaramithah pada tahun 971 M, tetapi setelah invasi Qaramithah berhasil dipukul mundur, Jauhar menangkap 900 prajurit dari sisa Ikhsyidiyah, yang kemudian tidak dibebaskan sampai mereka direkrut kembali untuk melawan invasi Qaramithah kedua pada tahun 974 M. Mantan pasukan Ikhshydiyah direkrut untuk menopang militer Fatimiyah setelah kekalahan besar hingga tahun 981 M. Sebagian dari pasukan Ikhsyidiyah, yang melarikan diri dari Mesir, malah bergabung dengan Qaramithah.[107]
Administrasi dan reformasi dalam negeri
Dalam kebijakan dalam negerinya, Jauhar berhati-hati agar tidak menimbulkan kebencian di kalangan elite lokal dan memastikan keberlangsungan pemerintahan yang tertib. Akibatnya, secara umum dia menempatkan personel berpengalaman dari rezim sebelumnya untuk bekerja di bawah kekhalifahan Fatimiyah. Ibnu al-Furat tetap menjabat sebagai wazir, begitu pula kepala qāḍī dan kepala khatib, serta kepala biro administrasi. Jauhar hanya menunjuk seorang pengawas Kutama untuk menjaga semua orang itu untuk tetap sejalan di bawah visi kekhalifahan Fatimiyah.[108][109] Jauhar juga mengadakan sesi mingguan untuk mendengarkan keluhan warga (maẓālim), menghapuskan sebagian pajak tertentu, dan mengembalikan properti yang disita secara ilegal oleh bendahara kepada pemiliknya.[65]
Dalam urusan keagamaan, Jauhar melangkah dengan hati-hati dan ritus aliran Isma'iliyah hanya diperkenalkan secara bertahap.[63] Di Masjid Amr, ritual Sunni dipertahankan untuk saat itu dan hanya di Masjid Ibnu Tulun yang berfungsi sebagai masjid jamaah untuk penghuni barak militer Fatimiyah. Adzan ala kekhalifahan Fatimiyah diperkenalkan pada bulan Maret 970 M.[108] Namun demikian, ketegangan meletus pada bulan Oktober 969 M, ketika qāḍī tentara Fatimiyah mengakhiri puasa Ramadhan sehari lebih awal dari qāḍī utama Sunni.[108] Rezim Fatimiyah juga memberlakukan kode moral yang lebih ketat, yang mencerminkan puritanisme Fatimiyah sendiri, serta sebagai upaya yang disengaja untuk membalikkan dugaan libertinisme Ikhsyidiyah. Langkah-langkah ini berkontribusi pada popularitas rezim di kalangan kelompok agama Sunni, tetapi juga memicu sejumlah perlawanan.[110]
Jauhar juga mulai mendirikan ibu kota baru (yang kemudian menjadi Kairo) untuk khalifah Mu'iz di lokasi perkemahannya. Seperti padanannya di Ifriqiyah, kota baru tersebut pada awalnya bernama al-Mansuriya, bahkan nama gerbang dan kawasan kota tertentu pun disalin.[111] Pusatnya, Masjid al-Azhar, dimulai oleh Jauhar pada tanggal 4 April 970 M, [94] dan selesai pada musim panas tahun 972 M. [112]
Pengamanan provinsi dan invasi Qaramithah
Pada awal November/Desember 969 M, Jauhar mengirim pasukan di bawah mantan komandan Ikhsyidiyah, Ali bin Muhammad al-Khazin, untuk memerangi perampokan di Mesir Hulu.[109] Di Delta, situasinya lebih tidak stabil. Medan berawa dan perpecahan sosial dan agama yang kompleks di masyarakat setempat merupakan hal yang asing bagi Kutama, sehingga Jauhar yang awalnya mempercayakan operasi tersebut juga kepada mantan perwira Ikhsyidiyah, Muzahim bin Ra'iq, yang bersama anak buahnya telah tunduk kepada Fatimiyah, mengubahnya menjadi gubernur Farama, dan mantan komandan Ikhsyidiyah yang bernama Tibr juga dikirim melawan Tinnis, yang saat itu pemberontakan melawan pajak yang besar telah pecah. Namun tak lama kemudian, Tibr bergabung dengan pemberontak dan menjadi pemimpin mereka, mendorong penduduk setempat untuk menolak pembayaran pajak mereka. Setelah bujukan yang murah hati gagal membuatnya kembali ke kelompoknya, Jauhar mengirim pasukan lain untuk melawan Tinnis. Tibr melarikan diri ke Suriah, tetapi ditangkap dan dieksekusi oleh Fatimiyah.[106][113]
Pada bulan September 971 M, Jauhar harus menghadapi orang-orang Qaramithah yang menginvasi Mesir. [102] Namun, alih-alih maju langsung ke Fustat, pasukan Qaramithah berbelok ke Delta timur. Pendekatan mereka mengobarkan kembali pemberontakan di Tinnis dan seluruh wilayah lainnya. Tentara Fatimiyah sempat merebut kembali Farama, tetapi dalam menghadapi pemberontakan mereka harus mundur ke Fustat, dengan Qarmatians mengejarnya.[102][113][114] Namun demikian, hal ini menunda serangan Qaramithah di Fustat selama dua bulan, dan memberi Jauhar waktu untuk mempersiapkan garis benteng dan parit di Ayn Shams, sebelah utara ibu kota, yang membentang sepanjang 10 kilometer (6 mi) dari Sungai Nil hingga perbukitan Muqattam. Jenderal Fatimiyah memanggil hampir seluruh penduduk laki-laki Fustat untuk mengangkat senjata, dan dalam dua pertempuran sengit pada tanggal 22 dan 24 Desember 971 M, meskipun menderita kerugian besar, berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Kaum Qaramithah pecah dan mundur kembali ke Palestina, banyak yang terbunuh selama retret mereka demi mendapatkan hadiah yang diberikan Jauhar.[115][116][117] Dua hari setelah pertempuran, bala bantuan tiba dari Ifriqiya di bawah pimpinan al-Hasan bin Ammar, mengamankan cengkeraman Fatimiyah atas negara tersebut.[113][118]
Invasi Qaramithah tidak hanya memberikan semangat baru pada pemberontakan di Tinnis dan Delta, tetapi juga menyebabkan peningkatan aktivitas anti-Fatimiyah secara umum.[118] Di Mesir Hulu, pemimpin Kilabi Abdul Aziz bin Ibrahim, yang sebelumnya merupakan sekutunya, kini memberontak atas nama khalifah Abbasiyah. Sebuah ekspedisi di bawah komandan Nubia, Bisyarah dikirim untuk melawannya dan dia ditangkap dan dibawa ke Kairo dalam penjara pada awal tahun 973 M.[118]
Pemberontakan di Delta berlanjut selama beberapa tahun, terutama karena Jauhar tidak dapat menyisihkan sumber daya yang diperlukan untuk menghadapinya. Baru pada musim panas tahun 972 M pasukan di bawah pimpinan Ibnu Ammar memulai kampanye penindasan yang brutal. Qaramithah mengirimkan armada untuk membantu Tinnis, tetapi pada bulan September/Oktober 972 tujuh kapal Qarmatian dan 500 awak ditangkap oleh pasukan Fatimiyah. Al-Maqrizi mengemukakan hal ini setahun kemudian, pada bulan Juni/Juli 973, jadi mungkin terdapat dua ekspedisi angkatan laut Qaramithah melawan Tinnis, yang sesuai dengan klaim Ibnu Zulaq bahwa al-Mu'izz mencetak dua kemenangan angkatan laut melawan mereka.[118][119] Tinnis akhirnya menyerah membayar satu juta dirham perak sebagai tebusan untuk menghindari pembalasan.[120]
Penilaian
Pemerintahan Jauhar kurang lebih berhasil dalam mengamankan kendali atas Mesir dan membuat kemajuan penting dalam membuat rezim baru tersebut diterima oleh penduduk setempat, terutama karena kehati-hatian dan pengendalian diri yang ditunjukkan dalam menerapkan doktrin Isma'ili (sebuah praktik yang secara kontras diterapkan oleh Jauhar akan berbanding terbalik dengan apa yang diterapkan oleh al-Mu'izz, begitu khalifah tiba di Mesir).[121] Namun, kampanye militer yang membawa bencana ke Suriah, perlawanan terhadap invasi Qaramithah, proses perdamaian Mesir yang terus berlanjut, dan pembangunan ibu kota baru, memerlukan pengeluaran tenaga kerja dan sumber daya keuangan yang sangat besar. Gejolak yang terjadi pada tahun-tahun ini juga mengganggu pemulihan pertanian Mesir dan kemampuan pemerintah untuk mengenakan pajak terhadap pertanian tersebut.[122][123] Akibatnya, menurut kata-kata Michael Brett, "tiga tahun setelah masuknya Jauhar ke Fustat dengan penuh kemenangan, ekspektasi, atau harapan, akan penaklukan yang menyebar hingga ke Bagdad telah pupus".[113]
Selain Ramla, yang diduduki kembali pada bulan Mei 972, sebagian besar wilayah Suriah masih berada di luar kendali Fatimiyah.[94][113] Dinasti Fatimiyah kemudian harus menghadapi invasi Qarmatian kedua ke Mesir pada tahun 974 M. Sekali lagi, Mesir Delta direbut oleh Qaramithah, sementara pasukan kedua, dipimpin oleh saudara laki-laki Abu Ja'far Muslim, Akhu Muslim, melewati Kairo dan berkemah di antara Asyut dan Akhmim. Banyak keturunan keluarga asyrāf paling terkemuka berbondong-bondong bergabung dengannya. Sekali lagi penduduk ibu kota dipanggil untuk mengangkat senjata dan kaum Qaramithah bertempur di utara Ayn Shams.[120][124] Hanya di bawah penerus al-Mu'izz, al-Aziz Billah (m. 975–996), Fatimiyah berhasil merebut Damaskus dan memperluas kendali mereka ke sebagian besar Suriah.[94][125]
Pemindahan istana Fatimiyah ke Mesir
Menyusul perlawanan terhadap serangan Qaramithah dan meskipun kerusuhan lokal di Mesir terus berlanjut, Jauhar menilai Mesir sudah cukup tenang untuk mengundang khalifahnya, al-Mu'izz, untuk datang ke Mesir.[126] Khalifah Fatimiyah memulai persiapan untuk memindahkan seluruh istana, harta, dan bahkan peti mati leluhurnya dari Ifriqiyah ke Mesir.[120][127] Setelah persiapan yang panjang, penguasa Fatimiyah dan rombongannya meninggalkan ibu kota mereka, al-Mansuriyah di Ifriqiyah pada tanggal 5 Agustus 972 M menuju Sardaniyah dekat Aïn Djeloula yang selama empat bulan berikutnya, para pengikut Fatimiyah yang ingin mengikuti pemimpin mereka datang ke Bergabunglah dengannya.[128] Di sana, pada tanggal 2 Oktober, al-Mu'izz menunjuk Buluggin bin Ziri sebagai raja mudanya di Ifriqiyah.[129][f] Pada tanggal 14 November, rombongan besar manusia dan hewan berangkat ke Mesir, tiba di Alexandria pada tanggal 30 Mei 973, dan Giza pada tanggal 7 Juni. [131] Dalam perjalanan, ia bertemu dengan delegasi para tokoh yang dipimpin oleh Abu Ja'far Muslim yang menemaninya pada tahap akhir perjalanannya. [132] Pada tanggal 10 Juni, al-Mu'izz menyeberangi Sungai Nil. Mengabaikan Fustat dan resepsi meriah yang diselenggarakan untuknya di sana, dia langsung menuju ibu kota barunya, yang dia beri nama al-Qāhirah al-Muʿizzīyah ("Kota Kemenangan al-Mu'izz"), sebuah nama yang diserap oleh bahasa Inggris secara rusak menjadi Kairo.[132][133]
Kedatangan khalifah Fatimiyah dan istananya merupakan titik balik besar dalam sejarah Mesir. Pada masa pemerintahan Tuluniyah dan Ikhsyidiyah sebelumnya, negara ini, untuk pertama kalinya sejak masa Ptolemeus, menjadi pusat pemerintahan independen dan muncul sebagai kekuatan regional yang otonom. Namun demikian, ambisi rezim-rezim ini bersifat regional dan terikat pada kepribadian para penguasa mereka yang sebagian dari mereka tetap berada dalam orbit istana Abbasiyah. Sedangkan rezim Fatimiyah mewakili kekuatan imperial sekaligus revolusioner, dengan mandat keagamaan yang memberi mereka pretensi ekumenis untuk menentang Abbasiyah secara langsung.[134] Peristiwa ini juga mempunyai dampak terhadap perkembangan Syiah Imamiyah dan Sunni di wilayah Islam bagian timur. Dengan munculnya Fatimiyah sebagai pihak yang mengklaim kepemimpinan dunia Islam, sekte-sekte Syiah lainnya, yang paling terkenal adalah Kelompok Dua Belas Imam, dipaksa untuk membedakan diri mereka dari kelompok Isma'ili Fatimiyah, sehingga mempercepat proses pemisahan mereka menjadi sebuah komunitas tersendiri yang ditandai dengan doktrin, ritual, dan perayaan mereka sendiri. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan proses serupa di kalangan Sunni (yang disebut “Kebangkitan Sunni”), yang berpuncak pada kodifikasi doktrin Sunni dan manifesto anti-Syiah dari khalifah Abbasiyah al-Qadir (m. 991–1031). Hasil dari semua ini adalah semakin menguatnya perpecahan Syiah-Sunni menjadi kelompok-kelompok yang saling eksklusif. Seperti yang ditulis oleh sejarawan Hugh Kennedy, "tidak mungkin lagi menjadi seorang Muslim saja: seseorang harus memilih untuk menjadi Sunni atau Syiah". [135] Meskipun Dinasti Fatimiyah akhirnya gagal dalam mewujudkan ambisi mereka karena pemerintahan mereka diakhiri oleh Salahuddin pada tahun 1171, yang mengembalikan kekuasaan Sunni dan Abbasiyah ke Mesir [136], Dinasti Fatimiyah tetap berhasil mengubah Mesir dan ibu kota mereka, Kairo, sebagai pusat pemerintahan sebuah kerajaan universal. Maka sejak itulah Mesir dan Kaironya menjadi salah satu pusat utama dalam dunia Islam.[137]
Footnotes
- ^ Although originating in the same secret Isma'ili movement that eventually gave birth to the Fatimid Caliphate, the Qarmatians broke away from the pro-Fatimid branch in 899 over doctrinal innovations introduced by the eventual first Fatimid caliph, al-Mahdi Billah.[22][23] Contemporary Muslim sources, as well as some modern scholars, held that the Qarmatians secretly coordinated their attacks with the Fatimids, but this has been disproven.[24] The Fatimids made several attempts to get the scattered Qarmatian communities to recognize their leadership, but although they were successful in some areas, the Qarmatians of Bahrayn persistently refused to do so.[25]
- ^ In 968, the Fatimid governor of Sicily, Ahmad al-Kalbi, was recalled, with his family and property, in order to lead the naval component of the Egyptian expedition. Ahmad arrived with 30 ships at Tripoli, but soon fell ill and died.[44] However, the sources make no mention of the navy's activity during the actual conquest, and it is not until June/July 972 that a Fatimid fleet is mentioned in Egypt, recently arrived from Ifriqiya.[66][67]
- ^ Even though the local Muslims were overwhelmingly Sunni, the ashrāf (those claiming descent from the family of Muhammad) enjoyed an exceptionally high status in Egypt, and prominent members of the ashrāf were often used as mediators in political disputes.[74] The Fatimids were careful to court them, not only for their influence with the local population, but also because the recognition of Fatimid overlordship by their close relatives, the ashrāf of Mecca and Medina, was a major, and assiduously sought, boost to Fatimid claims of legitimacy of leadership of the Islamic world.[75]
- ^ The text of the amān was preserved by the contemporary Egyptian historian Ibn Zulaq (died 997). Most of his actual work is lost, but his detailed, and largely eyewitness, account of the conquest and the first years of Fatimid rule, forms the basis for almost all later historians, such as those of Ibn Sa'id, al-Maqrizi, and Idris Imad al-Din.[78][79] For the text of the amān as relayed by al-Maqrizi, cf. Jiwa 2009, hlm. 68–72
- ^ The Fatimid dynastic colour was white, in opposition to Abbasid black, while red and yellow banners were associated with the Fatimid caliph's person.[88]
- ^ In the event, the shift of the Fatimid court to Egypt very quickly resulted in the de facto loss of its authority over Ifriqiya and Sicily, where over the following decades the Zirid and Kalbid dynasties became effectively independent, and even turned hostile to the Fatimids.[130]
Referensi
- ^ Kennedy 2004, hlm. 313–314.
- ^ a b Canard 1965, hlm. 852.
- ^ Halm 1991, hlm. 99–138.
- ^ Canard 1965, hlm. 850–852.
- ^ Canard 1942–1947, hlm. 158–161, 169, 181–185.
- ^ Walker 1998, hlm. 120.
- ^ Lev 1988, hlm. 192.
- ^ Lev 1988, hlm. 187–188.
- ^ Lev 1988, hlm. 188–190.
- ^ Brett 2010, hlm. 563–564.
- ^ Brett 2001, hlm. 161–162.
- ^ Halm 1991, hlm. 253–254.
- ^ Bianquis 1998, hlm. 113.
- ^ Halm 1991, hlm. 361.
- ^ Brett 2010, hlm. 567.
- ^ Bianquis 1998, hlm. 115–118.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 185–197.
- ^ a b Lev 1991, hlm. 11.
- ^ a b Brett 2001, hlm. 294.
- ^ a b c Bianquis 1998, hlm. 116.
- ^ a b Brett 2001, hlm. 294–295.
- ^ Madelung 1996, hlm. 24, 27–28.
- ^ Halm 1991, hlm. 64–67.
- ^ Madelung 1996, hlm. 22–45.
- ^ Halm 1991, hlm. 67, 176.
- ^ a b c d e f Walker 1998, hlm. 137.
- ^ a b Brett 2001, hlm. 295.
- ^ a b Halm 1991, hlm. 362.
- ^ a b Bianquis 1972, hlm. 55.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 56.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 59.
- ^ Bianquis 1998, hlm. 116–117.
- ^ a b c Walker 1998, hlm. 136.
- ^ Halm 1991, hlm. 349–350, 358–360.
- ^ a b c d Walker 1998, hlm. 136–137.
- ^ Bianquis 1998, hlm. 117–118.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 58.
- ^ Brett 2001, hlm. 298.
- ^ a b Lev 1991, hlm. 12–13.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 61.
- ^ Lev 1991, hlm. 13–14.
- ^ Bianquis 1998, hlm. 118.
- ^ a b Lev 1991, hlm. 14.
- ^ a b Lev 1984, hlm. 237.
- ^ Brett 2001, hlm. 235–242.
- ^ Halm 1991, hlm. 351–355, 359–360.
- ^ Lev 1984, hlm. 235–236.
- ^ Halm 1991, hlm. 360.
- ^ Lev 1988, hlm. 196.
- ^ Lev 1988, hlm. 195–196.
- ^ a b c Halm 1991, hlm. 363.
- ^ Lev 1988, hlm. 195.
- ^ Canard 1942–1947, hlm. 169–170.
- ^ Halm 1991, hlm. 86–89.
- ^ Canard 1942–1947, hlm. 171–172.
- ^ Bianquis 1998, hlm. 118–119.
- ^ Bloom 1987, hlm. 9–16.
- ^ Lev 1991, hlm. 12.
- ^ Halm 1991, hlm. 362–363.
- ^ Bianquis 1998, hlm. 117.
- ^ Canard 1942–1947, hlm. 176.
- ^ Canard 1942–1947, hlm. 179.
- ^ a b c Canard 1965, hlm. 853.
- ^ Bianquis 1998, hlm. 119.
- ^ a b c Gibb 1936, hlm. 706.
- ^ Lev 1984, hlm. 240.
- ^ Lev 1979, hlm. 321.
- ^ a b Dachraoui 1993, hlm. 488.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 49.
- ^ Halm 1991, hlm. 363–364.
- ^ a b c d e Halm 1991, hlm. 364.
- ^ Lev 1979, hlm. 320.
- ^ a b c Lev 1991, hlm. 15.
- ^ Lev 1979, hlm. 323–324.
- ^ Lev 1979, hlm. 324–326.
- ^ a b Brett 2001, hlm. 300.
- ^ Halm 1991, hlm. 364–365.
- ^ Dachraoui 1993, hlm. 487.
- ^ Lev 1979, hlm. 315–318.
- ^ a b Lev 1988b, hlm. 315.
- ^ Lev 1991, hlm. 15–16.
- ^ a b c d e f Halm 1991, hlm. 365.
- ^ Madelung 1996, hlm. 35.
- ^ a b Lev 1991, hlm. 16.
- ^ Lev 1991, hlm. 16 (esp. note 15).
- ^ Lev 1979, hlm. 319.
- ^ Lev 1979, hlm. 319–320.
- ^ Hathaway 2012, hlm. 97.
- ^ Halm 1991, hlm. 365–366.
- ^ a b c Halm 1991, hlm. 366.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 280, 318.
- ^ Brett 2001, hlm. 311–312.
- ^ Brett 2001, hlm. 312–313.
- ^ a b c d e f Canard 1965, hlm. 854.
- ^ Brett 2001, hlm. 313.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 318.
- ^ Brett 2001, hlm. 313–314.
- ^ Mortel 1991, hlm. 65–66.
- ^ a b Mortel 1987, hlm. 457.
- ^ Mortel 1991, hlm. 66.
- ^ Lev 1979, hlm. 325–326.
- ^ a b c d Lev 1991, hlm. 17.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 75–83.
- ^ Lev 1979, hlm. 322.
- ^ a b c Lev 1979, hlm. 323.
- ^ a b Bianquis 1972, hlm. 76–77.
- ^ Lev 1979, hlm. 322–323.
- ^ a b c Halm 1991, hlm. 367.
- ^ a b Bianquis 1972, hlm. 76.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 87–88.
- ^ Halm 1991, hlm. 368.
- ^ Brett 2001, hlm. 316.
- ^ a b c d e Brett 2001, hlm. 315.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 85.
- ^ Lev 1991, hlm. 17–18.
- ^ Brett 2001, hlm. 314–315.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 85–86.
- ^ a b c d Bianquis 1972, hlm. 86.
- ^ Lev 1979, hlm. 321–322.
- ^ a b c Lev 1991, hlm. 18.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 91–96.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 96–97.
- ^ Brett 2001, hlm. 315–316.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 98–100.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 321–327.
- ^ Bianquis 1972, hlm. 88–89.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 319.
- ^ Halm 1991, hlm. 369–370.
- ^ Halm 1991, hlm. 370.
- ^ Canard 1965, hlm. 854–855.
- ^ Halm 1991, hlm. 370–371.
- ^ a b Bianquis 1972, hlm. 90.
- ^ Halm 1991, hlm. 371.
- ^ Sayyid 1998, hlm. 115–116.
- ^ Kennedy 2010, hlm. 387–393.
- ^ Canard 1965, hlm. 854–857.
- ^ Sayyid 1998, hlm. 116–117.
Daftar pustaka
- Bianquis, Thierry (1972). "La prise de pouvoir par les Fatimides en Égypte (357–363/968–974)" [The Seizure of Power by the Fatimids in Egypt (357–363/968–974)]. Annales islamologiques (dalam bahasa Prancis). XI: 49–108. doi:10.3406/anisl.1972.950. ISSN 0570-1716.
- Bianquis, Thierry (1998). "Autonomous Egypt from Ibn Ṭūlūn to Kāfūr, 868–969". Dalam Petry, Carl F. The Cambridge History of Egypt, Volume 1: Islamic Egypt, 640–1517. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 86–119. ISBN 0-521-47137-0.
- Bloom, Jonathan M. (1987). "The Mosque of Qarafa in Cairo". Muqarnas: An Annual on Islamic Art and Architecture. Leiden: E.J. Brill. IV. ISSN 0732-2992.
- Brett, Michael (2001). The Rise of the Fatimids: The World of the Mediterranean and the Middle East in the Fourth Century of the Hijra, Tenth Century CE. The Medieval Mediterranean. 30. Leiden, Boston, Köln: Brill. ISBN 90-04-11741-5.
- Canard, Marius (1942–1947). "L'impérialisme des Fatimides et leur propagande" [The Imperialism of the Fatimids and their Propaganda]. Annales de l'Institut d'études Orientales (dalam bahasa Prancis). VI: 156–193.
- Canard, Marius (1965). "Fāṭimids". Dalam Lewis, B.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume II: C–G (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 850–862. OCLC 495469475.
- Dachraoui, F. (1993). "al-Muʿizz li-Dīn Allāh". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume VII: Mif–Naz (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 485–489. ISBN 978-90-04-09419-2.
- Gibb (1936). M. Th. Houtsma; A. J. Wensinck; E. Lévi-Provençal; W. Heffening, ed. The Encyclopaedia of Islām, A Dictionary of the Geography, Ethnography and Biography of the Muhammadan Peoples. Volume III: L–R. E. J. Brill and Luzac & Co. OCLC 221097825.
- Halm, Heinz (1991). Das Reich des Mahdi: Der Aufstieg der Fatimiden [The Empire of the Mahdi: The Rise of the Fatimids] (dalam bahasa Jerman). Munich: C. H. Beck. ISBN 3-406-35497-1.
- Hathaway, Jane (2012). A Tale of Two Factions: Myth, Memory, and Identity in Ottoman Egypt and Yemen. Albany: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-8610-8.
- Jiwa, Shainool, ed. (2009). Towards a Shi'i Mediterranean Empire: Fatimid Egypt and the Founding of Cairo. The Reign of Imam-Caliph al-Muʿizz, from al-Maqrīzī's Ittiʿāẓ al-ḥunafāʾ. London and New York: I.B. Tauris. ISBN 978-0-8577-1742-9.
- Lev, Yaacov (1979). "The Fāṭimid Conquest of Egypt – Military Political and Social Aspects". Israel Oriental Studies. 9: 315–328. ISSN 0334-4401.
- Lev, Yaacov (1984). "The Fāṭimid Navy, Byzantium and the Mediterranean Sea, 909–1036 CE/297–427 AH". Byzantion: Revue internationale des études byzantines. 54 (1): 220–252. ISSN 0378-2506. JSTOR 44170866.
- Lev, Yaacov (1988). "The Fāṭimids and Egypt 301–358/914–969". Arabica. 35 (2): 186–196. doi:10.1163/157005888X00332. ISSN 0570-5398.
- Lev, Yaacov (1988b). "The Fātimid Imposition of Isma'īlism on Egypt (358–386/969–996)". Zeitschrift der Deutschen Morgenländischen Gesellschaft. 138 (2): 313–325. ISSN 0341-0137. JSTOR 43377841.
- Lev, Yaacov (1991). State and Society in Fatimid Egypt. Leiden: Brill. ISBN 90-04-09344-3.
- Madelung, Wilferd (1996). "The Fatimids and the Qarmatīs of Bahrayn". Dalam Daftary, Farhad. Mediaeval Isma'ili History and Thought. Cambridge University Press. hlm. 21–73. ISBN 978-0-521-00310-0.
- Mortel, Richard T. (1987). "Zaydi Shiism and the Hasanid Sharifs of Mecca". International Journal of Middle East Studies. 19 (4): 455–472. doi:10.1017/S0020743800056518. JSTOR 163211.
- Mortel, Richard T. (1991). "The Origins and Early History of the Husaynid Amirate of Madīna to the End of the Ayyūbid Period". Studia Islamica. 74 (74): 63–78. doi:10.2307/1595897. JSTOR 1595897.
- Sayyid, Ayman Fuʾād (1998). La capitale de l'Égypte jusqu'à l'époque fatimide. Al-Qāhira et al-Fusṭāṭ: Essai de reconstitution topographique [The Capital of Egypt Until the Fatimid Era. Al-Qāhira and al-Fusṭāṭ: Attempt of a Topographical Reconstruction]. Beiruter Texte und Studien (dalam bahasa Prancis). Stuttgart: Franz Steiner Verlag. ISBN 3-515-05716-1.